Anda di halaman 1dari 9

UAS Pengatar Ilmu Politik

Mata Kuliah : PENGANTAR ILMU POLITIK


Sem/Kelas/Konsent :
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Dosen Pengampu : Ijang Faisal., M.Si
Hari/Tanggal : Senin/ 25 Januari 2021
Waktu : Disesuaikan
Sifat Soal : Open Book

NASKAH SOAL    

1. Mengapa dalam kekuasaan politik harus ada kewenangan, apa saja tipe
kewenagan dalam kekuasaan tersebut. Uraikan dengan singkat.

2. Apakah perbedaan kewenangan dan legitimasi. Jelaskan menurut sejumlah


pakar.

3. Setiap negara membutuhkan pola kepemimpinan politik. Uraikan bagaimana


bentuk kepemimpinan politik secara khusus di Indonesia.

4. Bagaimana pandangan Anda terhadap perilaku elit politik Indonesia saat ini?
Kemudian, kaitkan partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum per lima
tahun di Indonesia.

5. Apakah nilai-nilai politik dibutuhkan elit politik dan masyarakat kita saat ini.
Berikan pandangan Anda, berikut contoh-contohnya.

SELAMAT MENGERJAKAN
LEMBAR JAWABAN

Nama : SHAFIRA AUDYA PUTRI

NIM : 200208191

Kelas :D

1. Kekuasaan = Wewenang

Secara jamak, kekuasaan itu diartikan dengan kemampuan melaksanakan kehendak.


Max Weber, Bapak Sosiologi dunia, menjelaskan bahwa kekuasaan adalah kemampuan
untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun
mengalami perlawanan tanpa memeperdebatkan bentuk kekuasaan itu. Maka, dengan
kekuasaan ini, si pemiliknya memiliki wewenang berbuat apa saja atas kuasa yang
dimiliki. wewenang adalah kemampuan memaksa kehendak. Dan, wewenang tertinggi
itu dimiliki oleh negara. Representasinya adalah presiden. Nah, atas dasar inilah, maka
dalam setiap pemilihan presiden manapun, baik negara kaya maupun negara miskin,
banyak kelompok-kelompok kepentingan yang terlibat secara langsung .

Tipe kewenangan dalam kekuasaan terdiri dari:

 Tipe pertama (tipe kasta)

adalah sistem lapisan kekuasaan dengan garis pemisah yang tegas dan kaku.
Tipe semacam ini biasanya dijumpai pada masyarakat berkasta, dimana hampir
hampir tak terjadi gerak sosial vertikal.

 Tipe yang kedua (tipe oligarkis)

masih mempunyai garis pemisah yang tegas. Akan tetapi, dasar pembedaan
kelas – kelas sosial ditentukan oleh kebudayaan masyarakat, terutama pada
kesempatan yang diberikan kepada para warga untuk memperoleh kekuasaan –
kekuasaan tertentu. Bedanya dengan tipe pertama adalah walaupun kedudukan
para warga pada tipe kedua masih didasarkan pada kelahiran ascribed status,
individu masih diberi kesempatan untuk naik lapisan.

 Tipe yang ketiga (tipe demokratis)

menunjukkan kenyataan akan adanya garis pemisah antara lapisan yang sifatnya
mobil sekali. Kelahiran seseorang tidak menentukan seseorang, yang terpenting
adalah kemampuan dan kadang – kadang juga faktor keberuntungan.
2. Kewenangan adalah kekuasaan yang mendapatkan keabsahan atau legitimasi, dan juga
hak moral untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik, sedangkan Legitimasi
adalah Pengakuan dan penerimaan masyarakat kepada pemimpin untuk memerintah,
membuat dan melaksanakan keputusan politik.

Menurut Plato

Plato adalah pemikir yang pertama berbicara mengenai negara ideal. Dia
bermaksud membangun suatu masyarakat dimana orang banyak menyumbang
kepada kemakmuran komunitas tanpa adanya kekuasaan kolektif yang merusak.
Dalam model distribusi kekuasaan antara penguasa dan yang dikuasai, Plato
mengandaikan bahwa para penguasa memperoleh hak memakai kekuasaan
untuk mencapai kebaikan publik dari kecerdasan mereka

Oleh sebab itu, dengan merujuk pada sistem monarki yang lazim pada waktu itu,
Plato merumuskan bahwa pemerintahan akan adil jika raja yang berkuasa
adalah seorang yang bijaksana. Kebijaksanaan kebanyakan dimiliki oleh seorang
filsuf. Maka konsepsi tentang “filsuf raja” atau “raja filsuf” banyak disebut
sebagai inti dari teori Plato mengenai kekuasaan negara.selain itu Plato
mengatakan bahwa kebaikan publik akan tercapai jika setiap potensi individu
terpenuhi.

Teori Plato memang masih mengandung banyak kelemahan karena adanya


beberapa pertanyaan mendasar yang belum terjawab. Jika dibandingkan dengan
kondisi negara- negara modern sekarang ini, model Plato terasa sangat utopis.
Untuk menerima model ini kita perlu menerima pemikiran bahwa kualitas dasar
individu secara alamiah berbeda. Pemikiran Plato sudah mampu menjadi
peletak dasar sistem kenegaraan modern. Legitimasi negara tidak harus selalu
dikaitkan dengan hal-hal supernatural dan masalah-masalah sakral yang ada di
luar jangkauan pemikiran manusia.

Menurut Thomas Aquinas

Masalah keadilan diterjemahkan oleh pemikir ini ke dalam dua bentuk, yaitu
pertama, keadilan yang timbul dari transaksi- transaksi seperti pembelian
penjualan yang sesuai dengan asas-asas distribusi pasar, dan kedua,
menyangkut pangkat bahwa keadilan yang wajar terjadi bila seorang penguasa
atau pemimpin memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya
berdasarkan pangkat. Kemudian Thomas Aquinas membahas tentang hukum
melalui pembedaan jenis-jenis hukum menjadi tiga, yaitu:

 Hukum Abadi (Lex Externa)

Kebenaran hukum ini ditunjang oleh kearifan Ilahi yang merupakan


landasan dari segala ciptaan. Manusia merupakan salah satu makhluk
yang mencerminkan kebijaksanaan Sang Pencipta. Makhluk itu ada,
berbentuk/berkodrat sebagaimana yang dikehendakinya. Oleh sebab itu,
manusia sebagai makhluk yang berakal wajib memenuhi setiap
kehendak Tuhan dan mempertanggung jawabkannya.

 Hukum Kodrat (Lex Naturalis)

Hukum ini dijadikan dasar dari semua tuntutan moral. Tampak dia
bukan hanya membuat pembahasan yang berkaitan dengan etika religius
tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang mengapa Tuhan
menghendaki keadilan. Menurut Aquinas, Tuhan menghendaki agar
manusia hidup sesuai kodratnya. Itu berarti bahwa manusia hidup
sedemikian rupa sehingga ia dapat berkembang, membangun dan
menentukan identitasnya, serta mencapai kebahagiaan.

 Hukum Buatan Manusia (Lex Humana)

Hukum ini untuk mengatur tatanan sosial sesuai dengan nilai-nilai


kebajikan dan keadilan. Norma hukum berlaku karena adanya perjanjian
antara penguasa dengan rakyatnya. Di dalamnya tersirat rakyat akan
taat pada penguasa, dan penguasa berjanji akan mempergunakan
kekuasaannya demi kepentingan masyarakat umum. Namun Aquinas
menekankan bahwa isi hukum buatan manusia hendaknya sesuai
dengan hokum kodrat.kekuasaan harus memiliki legitimasi etis. Dia
menegaskan bahwa hukum yang bertentangan dengan hukum kodrat
merupakan “penghancur hukum”. Untuk itu Aquinas menggolongkan dua
corak pemerintah, yaitu: pemerintahan berdasarkan kekuasaan
(despotik), dan pemerintahan yang sesuai dengan kodrat masyarakat
sebagai individu yang bebas (politik).

Menurut Niccolo Machiavelli

Saat Niccolo menulis pemikirannya tentang filsafat politik, ia menyaksikan


terpecahnya kekuasaan di Italia dengan muncul banyak negara-negara kota yang
rapuh, sehingga dapat dipahami bahwa ajarannya mengandung sinisme yang
keras terhadap moralitas di dalam kekuasaan. Ia sesungguhnya merindukan
suatu keadaan dimana Negara merupakan pusat kekuasaan yang didukung
sepenuhnya oleh rakyat banyak sehingga roda pemerintahan berjalan lancar.

Untuk itu pemimpin harus punya kekuatan dalam mempertahankan


kekuasaannya. Kaidah etika politik yang dianut oleh Machiavelli ialah bahwa apa
yang baik adalah sesuatu yang mampu menunjang kekuasaan negara. Namun
Machiavelli bergerak terlalu jauh ketika mengatakan bahwa tindakan yang jahat
pun dapat dimaafkan oleh masyarakat asal penguasa mencapai sukses. Tampak
bahwa Niccolo ingin mengadakan pemisahan yang tegas antara prinsip moral
dan prinsip ketatanegaraan. Selain itu, ia tidak memperhitungkan bagaimana
sikap-sikap masyarakat terhadap legitimasi kekuasaan. Namun demikian, ia
telah berhasil menyuarakan penderitaan rakyat yang tercerai-berai karena
intrik politik yang berkepanjangan.
Menurut Thomas Hobbes

Dasar dari ajaran Hobbes adalah tinjauan psikologi terhadap motivasi tindakan
manusia. Dia menemukan bahwa manusia selalu memiliki harapan dan
keinginan yang terkadang licik dan emosional. Semua itu akan berpengaruh
apabila seorang manusia menggenggam kekuasaan. Hobbes mengaitkan
masalah tersebut dengan legitimasi kekuasaan politik.

Hobbes mengatakan bahwa untuk menertibkan tindakan manusia, negara harus


membuat supaya manusia itu takut dan perkakas utama yang harus digunakan
adalah tatanan hukum. Negara harus benar-benar kuat agar mampu
memaksakan hukum melalui ancaman yang paling ditakuti manusia., yaitu
hukuman mati. Pembentukan undang-undang digariskan dengan tujuan untuk
mencegah anarki.

Oleh karena itu, negara harus berkuasa jika tidak ingin keropos karena
banyaknya anarki. Hobbes adalah orang pertama yang menyatakan paham
positivisme hukum, bagi dia hukum di atas segala-galanya. Namun Hobbes lupa
bahwa tindakan manusia tidak hanya ditentukan oleh emosi, karena manusia
dikaruniai akal budi. Dan pendirian suatu negara juga bukan hanya atas
pertimbangan emosional tapi juga pemikiran rasional. Kesimpulan dari Hobbes
bahwa pembatasan konflik dilakukan melalui saran hukum,

Menurut Jean-Jacques Rousseau

Ditinjau dari titik tolak ajaran yang dikemukakannya Rousseau termasuk


pemikir utopis, seperti Plato, yang berusaha menggambrkan negara ideal
dengan tujuan mengajarkan perbaikan cita-cita rakyat. Rousseau memandang
ketertiban dihasilkan sebagai akibat dari hak-hak yang sama. Rousseau
berangkat dari asumsi bahwa pada dasarnya manusia itu baik.

Negara dibentuk karena adanya niat-niat baik untuk melestarikan kebebasan


dan kesejahteraan individu. Dia mengandaikan bahwa keinginan umum dan
semua kesejahteraan individu akan muncul bersamaan. Menurutnya segala
bentuk kepentingan individu yang menyimpang dari kepentingan umum adalah
salah, karena justru orang harus melihat kebebasan itu pada kesamaan yang
terbentuk dalam komunitas. Rousseau terlalu idealis dalam memandang
manusia, ia lupa bahwa tidak setiap individu mempunyai iktikad baik serta
bersedia menyerahkan kebebasan individu demi kebaikan umum.

Selain itu dia mengatakan bahwa kepentingan publik kolektif senantiasa


memperkuat kebebasan individu sambil menguraikan bahwa setiap pribadi
bukan sebagai kesatuan melainkan bagian dari kesatuan yang disebut
komunitas. Namun pada dasarnya Rousseau sangat mencintai kesamaan dan
ketenangan yang dijamin oleh Negara melalui keutuhan masyarakat yang
organis.
3. Indonesia sebagai negara yang menerapkan sistem pemerintahan demokrasi yang
sesuai dengan Pancasila, dalam hal ini pemerintah Indonesia harus benar-benar mampu
manjalankan roda pemerintahan dengan sifat-sifat pemimpin yang sesuai dengan sistem
pemerintahannya. Sistem pemerintahan demokrasi merupakan sistem pemerintahan
dimana rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara, pemerintah
hanya sebagai pelaksana sistem pemerintahan dimana terpilihnya para tokoh di
pemerintahan merupakan hasil dari rakyat melalui pesta demokrasi yang sering disebut
Pemilu (Pemilihan Umum), dalam acara 5 tahun sekali rakyat berbondong-bondong
untuk memilih calon presiden dan wakil presiden, yang nantinya akan memimpin
negara Indonesia. Pemerintahnya yang notabene adalah berasal dari rakyat nantinya
akan menjadi pelayan rakyat, dan berkewajiban untuk bertanggung jawab atas berjalan
atau tidaknya roda pemerintahannya.

Sudah diuraikan diatas mengenai persyaratan kepemimpinan yang harus dimiliki oleh
aparatur negara. Selain itu perlu juga adanya pemahaman secara dalam mengenai nilai-
nilai dari pancasila yang merupakan asas negara Indonesia. Untuk memahami hal
tersebut marilah kita renungkan pemikiran Dr. Ruslan Abdulgani mengenai moral
Pancasila dalam kaitannya dengan kepemimpinan nasional antara lain sebgai berikut:

Yang dimaksud dengan Pancasila ialah Pancasila yang tercantum pada Pembukaan


Undang-Undang Dasar 1945; Ketuhanan YME, Kemanusiaan Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan /Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Nilai-nilai tersebut harus dihayati, yaitu diresapi dan diendapkan dalam hati dan kalbu,
sehingga memunculkan sikap dan tingkah laku yang utama/terpuji dalam kehidupan
sehari-hari. Untuk kemudian diterapkan/diamalkan dengankesungguhan hati dalam
kehidupan bermasyarakat, karena orang menyadari sedalam-dalamnya Pancsila sebagai
pandangan hidup bangsa dan sumber kejiwaan masyarakat, (sekaligus menjadi dasar
negara Republik Indonesia) untuk hidup rukun-damai bersama-sama.

Pancasila dan UUD 1945 menjamin kemerdekaan setiap penduduk utuk memeluk
agama masing-masingdang beribat meurut agama dan kepercayaannya. Kebebasn
beragama adalah salah satu hak paling asasi di antara hak-hak asasi manusia, karena
kebebasan itu langsung bersumber pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan. Kebebasan beragam itu bukan pemberian negara, dan bukan pemberian
golongan, akan tetapi merupakan anugerah Ilahi.

Betapa pentingnya pemahaman pemimpin tentang falsafah negaranya dikarenakan


falsafah negara merupakan pandangan hidup semua rakryat indonesia dan sebagai
seorang pemimpin, pemerintah harus mampu mengemban kewajiban untuk
meuwujudkan tujuan bersama tersebut. Sebuah pemerintahan sebuah negara
khususnya harus memiliki teknis untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, dalam
hal ini Prof. Arifin Abdoerachman dalam bukunya (Teori, pengembangan dan filosofi
Kepemimpinan Kerja, hal. 60-67) menjelaskan bahwa ada 6 (enam) teknik
kepemimpinan pemerintahan yaitu sebagai berikut :
 Teknik pematangan/penyiapan pengikut

Dalam teknik ini terdapat dua sub teknik yaitu teknik penerangan dan teknik
propaganda. Teknik penerangan dimaksud kan untuk memberi keterangan yang
jelas dan faktual kepada orang-orang sehingga mereka dapat memiliki
pengertian yang jelas dan mendalam mengenai sesuatu hal yang
menyebabkankan timbulnya kemauan untuk mengikuti pemimpin sesuai
dengan rasa hati dan akalnya. Hal ini berbeda dengan teknik propaganda yang
berusaha memaksakan kehendak atau keinginan pemimpin, bahkan kadang-
kadang bagi pengiktu tidak ada pilihan lain, dengan mengenakan ancaman-
ancaman hukuman.

 Teknik Human Relation

Teknik ini merupakan proses atau rangkaian  kegiatan memotivasi orang,


maksudnya yaitu keseluruhan proses pemberian motif agar orang mau bergerak.
Hal-hal yang biasa dijadikan motif yaitu pemenuhan kebutuhan, yang meliputi
kebutuhan physis, dan kebutuhan psikologis. Dorongan-dorongan untuk
memenuhi kebutuhan tersebut menyebabkan orang-orang bersedia mengikuti
pemimpin yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

 Teknik menjadi teladan

Teknik menjadi teladan sangat cocok bagi masyarakat Indonesia dewasa ini
yang masih berorientasi ke atas. Dengan memberi contoh-contoh, orang-orang
yang harus digerakan itu lalu mengikuti apa yang dilihat. Hakekatnya dari
pemberian contoh ini diwujudkan dalm dua aspek, yaitu aspek negatif dalam
bentuk larangan-larangan atau pantangan-pantangan, dan aspek posotif dalam
bentuk anjuran-anjuran atau keharusan-keharusan berbuat. Dalam rangka
pemberian teladan maka si pemimpin harus dapat membatasi dan menguasai
diri, khususnya tidak menyimpang atau melanggar larangan-larangan dan
sebaliknya selalu mematuhi anjuran-anjuran. Dengan demikian orang-orang lalu
bersedia mengikuti pemimpin.

 Teknik Persuasi dan pemberian perintah

Teknik persuasi atau ajakan menunuuk kepada suatu suasana di mana antara


kedudukan pemimpin tidak terdapat batasan-batasan yang jelas. Karena itu
dengan persuasi ajakan-ajakan dilakukan dengan lunak sehingga orang-orang
yang diajak itu bersedia mengikuti pemimpin dengan kemauan sendiri dan atas
tanggung jawab sendiri.

Teknik pemberian perintah, yaitu menyuruh orang yang diberi perintah untuk
mematuhi yang memberi perintah melakukan sesuatu. Di belakang perintah
terdapat kekuasaan. Kekuasaan adalah wewenang dari yang memerintah
ditambah dengan kemampuan memaksakan perintah. oleh karena itu sering kali
perintah ini diperluas dengan persuasi, jadi sifatnya campuran.
 Teknik penggunaan sistem komunikasi yang cocok

Komunikasi berarti menyampaikan suatu mkasud kepada pihak lain, baik dalam
rangka penerangan, persuasu, perintah dan sebgainya. Dalam negara demokrasi
seperti negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, komunikasi bersifat dua
arah, yaitu Top-Down (dari atas ke bawah), berisi perintah-perintah dan
informasi-informasi, dari bawah ke atas (Bottom-Up) berisi laporan-laporan dan
saran-saran. Lain daripada itu tentunya masih ada juga komunikasike samping.
Sistem komunikasi yang cocok disesuaikan dengan faktor-faktor, seperti;
keadaan penerima, alat komunikasi, dan sebagainya. Akhirnya dalam hal
komuniksi ini perlu juga dibangun saluran-saluran komuniksai yang jelas dan
biasanya mengikuti struktur organisasi.

 Teknik penyediaan fasilitas-fasilitas

Apabila sekelompok orang siap untuk mengiktui ajakan si pemimpin, maka


orang-orang tersebut harus diberi fasilitas-fasilitas atau kemudahan-
kemudahan, adapun beberapa fasilitas antara lain; Kecakapan, Uang, waktu, dan
Perangsang.

Kesimpulan:

Kepemimpinan dalam pemerintahan yang merupakan salah satu jenis kepemimpinan,


ternyata mempunyai kedudukan yang strategis dalam pelaksanakan kebijakan-
kebijakan pemerintah dalam rangka mewujudkan tujuan negara dan cita-cita nasional.
Dengan memperhatikan berbagai deskripsi tentang kepemimpinan yang ada, maka pada
umumnya kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan dan kesanggupan
menggerakan orang-orang/pegikut untuk bekerja dan mengarahkan ke tujuan yang
telah ditetapkan. Kepemimpinan yang merupakan gejala kelompok dalam kepustakaan
ilmu administrasi dianggap sebagai inti dari management, berdasarkan alasan bahwa
management terutama berhubungan dengan manusia, padahal kepemimpinan
berhubungan dengan kemampuan dan kesanggupan menggerkan dan mengarahkan
orang-orang/pengikut.

Dalam kepemimpinan banyak teknik yang dapat dikembangkan, tetapi sesuai dengan
tingkat perkembangan masyarakat kita dewasa ini, yang masih berorientasi ke atas,
maka teknik kepemimpinan dengan pemberian suri tauladan merupakan teknik yang
sangat cocok. Lain daripada itu perlu juga dikembangkan gaya kepemimpinan motivasi
yang positifdengan memberikan penghargaan kepada yang berhasil, bersamaan
dengan gaya partisipasif atau gaya demokratis dengan memberikan kesempatan kepada
anak buah untuk berprakarsa dan berparisipasi dalam pengambilan keputusan,
dan gaya pengawasan yang berorientasi kpeada fakror-faktor manusia sejalan dengan
sila kemanusiaan yang adil dan beradab dari Pancasila.
4. Bila melihat sejarah kepemiluan, lembaga pemantau masih diyakini memiliki sumber
daya perjuangan yang tulus dan ikhlas. Mereka berjuang menemani pertumbuhkan
kualitas politik dan demokrasi. Pemantau menjadi pengingat yang selalu perhatian
kepada penyelenggara pemilu. Kritik membangun berdasar pada teori, fakta, dan data
lapangan menginspirasi regulasi dan kadang membantu kerja-kerja demokrasi dan
kepemiluan. Kepentingan pencegahan dan pengawalan demokrasi membutuhkan kerja-
kerja sosial para pemantau.

Proses kritis yang obyektif dan penghimpunan data lapangan, yang terkadang tidak
terjangkau oleh pengawas lapangan dan Bawaslu, adalah nilai lebih dari para aktivis
pemantauan pemilu. Partisipasi masyarakat pada momen pemilu tidak hanya dilihat
dari tingginya angka pemilih yang hadir menggunakan hak suara di tempat pemungutan
suara. Namun, diukur dari tingkat kesadaran masyarakat serta keterlibatan aktif dalam
seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu.

Partisipasi bertujuan mendorong aktif kegiatan demokrasi untuk semua proses


kepemiluan. Kepentingan fokus partisipasi menjadi indikator peningkatan kualitas
demokrasi dan kehidupan politik bangsa.

Oleh karena itu, partisipasi politik masyarakat, baik dalam bentuk formal maupun
ekstra formal dalam ikut serta mengawasi atau memantau jalannya penyelenggaraan
pemilu, jangan dipandang sebelah mata. Karena, eksistensinya dapat mencegah
tindakan-tindakan kontrademokrasi yang dapat mengoyak dan mendegradasi loyalitas
rakyat terhadap sistem demokrasi di Indonesia.

5. Nilai-nilai politik sangat dibutuhkan elit politik dan masyarakat kita saat ini, bertujuan
untuk  tidak memprovokasi dan membuat kegaduhan karena sangat dibutuhkan
kebersamaan

Anda mungkin juga menyukai