Anda di halaman 1dari 22

Nasywa Julia Tiaradevi

11000122130309

1. RESUME BAB IV – DEMOKRASI


 Beberapa Konsep Mengenai Demokrasi

Demokrasi memiliki arti rakyat berkuasa atau government by the people. Demokrasi berasal dari
Bahasa Yunani, demos yang berarti rakyat, dan kratos/kratein yang berarti kekuasaan. Secara
formal demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara di dunia. Penelitian UNESCO pada
tahun 1949 menyatakan “Mungkin untuk pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan
sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang
diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh”.

Akan tetapi UNESCO juga menyimpulkan bahwa ide demokrasi dianggap ambigu atau
mempunyai berbagai pengertian, sekurang-kurangnya ada ambiguitas atau ketaktentuan
mengenai keadaan kultural serta historis yang memengaruhi istilah, ide, dan praktik demokrasi.
Tetapi diantara sekian banyak aliran pikiran yang dinamakan demokrasi, ada dua kelompok
aliran demokrasi yang oaling penting, yaitu demokrasi konstitusional dan satu kelompok aliran
yang menamakannya dirinya demokrasi, tetapi yang pada hakikatnya mendasarkan dirinya atas
komunisme.

Demokrasi yang dianut Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila,akan tetapi masih
dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinya terdapat berbagai tafsiran
serta pandangan. Beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusional cukup jelas tersirat dalam
Undang-Undang Dasar 1945.

Demokrasi yang menjadi dasar dari Undang-Undang Dasra 1945 yang belum diamademenkan
adalah Demokrasi Konstitusioal. Corak khas demokrasi Indonesia adalah kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dimuat dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar.

 Demokrasi Konstitusional
Ciri khas Demokrasi Konstitusional adalah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis ialah
pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang
terhadap warga negaranya. Pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi;
maka dari itu sering disebut pemerintah berdasarkan konstitusi (constitutional government). Jadi,
constitutional government atau limited government atau restrained government. Gagasan
mengenai kekuasaan pemerintah yang perlu dibatasi pernah dirumuskan oleh Lord Acton,
dengan mengingat bahwa pemerintahan selalu diselenggarakan oleh manusia dan bahwa pada
manusia itu tanpa kecuali melekat banyak kelemahan.

 Sejarah Perkembangan

Gagasan mengenai demokrasi dari kebudayaan Yunani Kuno dan Gagasan mengenai kebebasan
beragama yang dihasilkan oleh aliran reformasi serta perang-perang agama yang menyusulnya.
Sistem Demokrasu yang terdapat di negara-kota Yunani Kuno merupakan demokrasi langsung,
yaitu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan
secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas.
Dalam negara modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi merupakan demokrasi
berdasarkan perwakilan.

Perkembangan demokrasi Abad Pertengahan menghasilkan suatu dokumen yang penting, yaitu
Magna Carta (Piagam Besar). Magna Charta merupakan semi kontrak antara beberapa
bangsawan dan Raja John dari Inggris di mana untuk pertama kali seorang raja yang berkuasa
mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dan privileges dari bawahannya
sebagai imbalan untuk oenyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya. Meski piagam
ini lahir dalam suasana feodal dan tidak berlaku untuk rakyat jelata, namun dianggap sebagai
tonggak dalam perkembangan gagasan demokrasi.

Sebelum Abad Pertengahan berakhir dan pada permulaan abad ke-16 di Eropa Barat muncul
negara-negara nasional dalam bentuk modern. Wilayah tersebut mengalami beberapa perubahan
sosial dan kultural yang mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern di
mana akal dapat memerdekakan diri dari pembatasan-pembatasannya. Kejadian-Kejadian ini
adalah Renaissance dan Reformasi.
Kedua aliranpukiran tersebut mempersiapkan orang Eropa Barat untuk menyelami masa
Aufklarung beserta Rasionalisme, yakni aliran pikiran yang ingin memerdekakan pikiran
manusia dari batas-batas yang ditentukan oleh gereja dan mendasarkan pemikiran atas akal
(ratio) semata-mata. Kebebasan berpikir membuka jalan untuk meluaskan gagasan ini di bidang
politik. Timbul gagasan bahwa manusia mempunyai hak-hak politik yang tidak boleh
diselewengkan oleh raja dan mengakibatkan dilontarkannya kecaman-kecaman terhadap raja,
yang memiliki kekuasaan tidak terbatas pada masa itu.

Pendobrakan terhadap kedudukan raja-raja absolut didasarkan atas suatu teori rasionalitas yang
umumnya dikenal sebagai social contract. Salah satu asasdari gagasan kontrak sosial ialah
bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam yang mengandung prinsip-prinsip
keadilan yang universal; artinya berlaku untuk semua waktu serta semua manusia, apakah ia raja,
bangsawan, atau rakyat jelata. Unsur universalisme inilah yang diterapkan pada masalah-masalah
politik.

Teori kontrak sosial beranggapan bahwa hubungan antara raja dan rakyat didasari oleh suatu
kontrak yang ketentuan-ketetuannya mengikat kedua belah pihak. Pada hakikatnya teori-teori ini
merupakan usaha untuk mendobrak dasar dari pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak
politik rakyat. Sebagai akibat dari pergolakan tersebut, pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai
demokrasi mendapat wujud yang konkret sebagai program dan sistem politik. Demokrasi disini
semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas asas-asas kemerdekaan individu,
kesamaan hak, serta hak pilih untuk semua warga negara.

 Demokrasi Konstitusional Abad ke-19 : Negara Hukum Klasik

Akibat dari keinginan untuk menyelenggarakan hak-hak politik secara efektif, timbullah gagasan
bahwa cara yang terbaik untuk membatasi kekuasaan pemerintah ialah dengan suatu konstitusi,
apakah ia bersifat naskah (written constitution) atau tak bersifat naskah (unwritten constitution).
Konstitusi tersebut menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan
negara sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan
lembaga-lembaga hukum.

Menurut Carl J. Friedrich, konstitusionalisme adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan:


Suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada
beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan
untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk
memerintah.

Dalam gagasan konstitusionalisme, konstitusi tidak hanya merupakan suatu dokumen yang
mencerminkan pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga kenegaraan atau yang hanya
merupakan suatu anatomy of a power relationship, yang dapat diubah atau diganti kalau power
relationship itu sudah berubah.

Tetapi dalam gagasan konstitusionalisme undang-undang dasar dipandang sebagai suatu lembaga
yang mempunyai fungsi khusus yaitu menentukan dan membatasi kekuasaan pemerintah di satu
pihak, dan di pihak lain menjamin hak-hak asasi warga negaranya. Konstitusi dianggap sebagai
perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat
pemerintah sekalipun, sesuai dengan dalil: Pemerintahn berdasarkan hukum, bukan oleh manusia
(Government by laws, not by men).

4 Unsur Rechtstaat dalam arti klasik menurut Stahl :

a. Hak-Hak Manusia
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut.
c. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan.
d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Unsur-Unsur Rule of Law dalam arti klasik menurut A. V. Dicey dalam Introduction to the Law
of the Constitution mencakup:

a. Supremasi aturan-aturan hukum; tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang.


b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum.
c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh Undang-Undang serta keputusan-keputusan
pengadilan.

 Demokrasi Konstitusional Abad ke-20: Rule of Law yang Dinamis.

Dalam abad ke-20, terutama sesudah Perang Dunia II, telah terjadi perubahan-perubahan sosial
dan ekonomi yang sangat besar. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain banyak kecaman terhadap ekses-ekses dalam industrialisasi dan sistem kapitalis;
tersebarnya faham sosialisme yang menginginkan pembagian kekayaan secara merata serta
kemenagan dari beberapa partai sosialis di Eropa.

Gagasan bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negara baik di bidang
sosial maupun ekonomi lambat laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah bertanggung
jawab atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan
sosial. Demokrasi saat ini harus meluas, mencakup dimensi ekonomi dengan suatu sistem yang
menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi dengan satu sistem yang menguasai kekuatan-kekuatan
ekonomi dan yang berusaha memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi, terutama yang timbul
dari distribusi kekayaan yang tidak merata. Negara semacam ini dinamakan negara kesejahteraan
atau negara yang memberi pelayanan pada masyarakat.

Saat ini negara-negara modern mengatur soal pajak, upah minimum, pensiun, pendidikan,
asuransi, mencegah pengangguran dan kemelaratan, dimana bisa dilihat bahwa saat ini
pemerintah mempunyai kecenderungan untuk memperluas aktivitasnya.

Sesuai dengan perubahan dalam jalan pikiran ini, perumusan yuridis mengenai negara hukum
klasik seperti yang diajukan oleh A. V. Dicey dan Immanuel Kant pada abad ke-19 juga ditinjau
kembali dan dirumuskan kembali sesuai dengan tuntutan abad ke-20. International Comission of
Jurist dalam konferensinya di Bangkok pada tahun 1965 memperluas konsep Rule of Law, serta
menekankan apa yang dinamakan the dynamic aspect of the Rule of Law in the modern age.

The dynamic aspect of the Rule of Law I menganggap bahwa disamping hak-hak politik, hak-hak
sosial dan ekonomi juga harus diakui dan dipelihara, dalam arti bahwa harus dibentuk standar-
standar dasar sosial dan ekonomi. Penyelsaian soal kelaparan kemiskinan, dan pengangguran
merupakan syarat agar Rule of Law dapat berjalan dnegan baik.

Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law :

1. Perlindungan Konstitusional.
2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3. Pemilihan umum yang bebas.
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
6. Pendidikan kewarganegaraan.

Konsep dinamis mengenai Rule of Law saat ini dengan perumusan abad ke-19 sudah jauh
berbeda. Kecenderungan eksekutif untuk menyelenggarakan tugas yang jauh lebih banyak dan
intensif daripada dulu dalam masa Nachtwachtersaat telah diakui keperluannya. Disamping
mengembangkan rumusan Rule of Law baru, timbul kecenderungan untuk memberi perumusan
mengenai demokrasi sebagai sistem politik.

Menurut International Commission of Jurist, perumusan paling umum mengenai sistem politik
demokratis adalah: “Suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-
keputusab politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh
mereka yang bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas”. Ini
dinamakan “demokrasi berdasarkan perwakilan”. Mereka juga menyebut dalam sistem ini
kekuasaan di tangan mayoritas diselenggarakan di dalam suatu rangka legal pembatasan
konstitusional yang dimaksud untuk menjamin bahwa asas dan hak fundamental tidak tergantung
pada suatu mayoritas yang tidak tetap atau yang tidak wajar. Dengan demikian hak-hak asasi
golongan minoritas tetap terjamin.

Henry B. Mayo dalam buku Introduction to Democratic Theory mengatakan:

“Sistem politik yang demokratis ialah di mana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar
mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat-rakyat dalam pemilihan-
pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam
suasana terjaminnya kebebasan politik.

Dalam kerangka tersebut dapat dikatakan bahwa demokrasi didasari oleh beberapa nilai (values).
Henry B. Mayo merincikan nilai-nilai ini, dengan catatan bahwa perincian ini tidak berarti
bahwa setiap masyarakat demokratis menganut semua nilai yang dirinci, tetapi tergantung pada
perkembangan sejarah serta budaya politik masing-masing;

1. Menyelsaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga.


2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang
sedang berubah.
3. Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur.
4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum.
5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman,
6. Menjamin tegaknya keadilan.

Untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi, perlu diselenggarakan beberapa lembaga:

1. Pemerintahan yang bertanggung jawab.


2. Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-
kepentingan dalam masyarakat dan yang dipilih dengan pemilihan umum yang bebas dan
rahasia dan atas dasar sekurang-kurangnya dua calon untuk setiap kursi.
3. Suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik.
4. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat.
5. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan
keadilan.

 Perkembangan Demokrasi di Asia: Pakistan di Indonesia.


A. Pakistan

Setelah merdeka, Pakistan memisahkan diri dari India pada 14 Agustus 1947, Pakistan terdiri
atas dua wilayah yang menjadi teritori kedaulatan, yakni Pakistan Barat dan Pakistan Timur.
Kedua wilayah tersebut terpisah sepanjang 1.600 kilometer oleh negara India. Secara
kebudayaan Pakistan Barat berorientasi pada etnis Punjab, dan Pakistan Timur berorientasi pada
etnis Bengal. Pada Bidang Ekonomi, Pakistan Barat jauh lebih unggul, banyak perwira militer ya
ng berasal dari etnis Punjab, sementara Pakistan Timur amat terabaikan dalam segala bidang,
terutama ekonomi, etnis Bengal kehilangan identitasnya sebagai entitas sosial. Hingga akhirnya
satu hal yang dapat mengikat Pakistan Barat dan Pakistan Timur adalah kesamaan agama.

Permasalahan dalam sistem polirik dan ekonomi Pakistan mulai timbul setelah wafatnya The
Founding Father Pakistan, Muhammad Ali Jinnah dan Liaquat Ali Khan. Sepeninggal kedua
tokoh berkharisma tersebut, perkembangan sosial-politik di Pakistan terpengaruh. Terutama pada
Partai Liga Muslim yang didirikan oleh Muhammad Ali Jinnah dalam perjuangan untuk
memisahkan Pakistan dari India mulai kehilangan pamor, terutama pada Timur Pakistan, dengan
demikian Pakistan benar-benar mengalami krisis kepemimpinan yang sangat membahayakan
integrasi negara.
Krisis tersebut telah mendorong munculnya pembahasan mengenai perumusan Undang-Undang
Dasar baru. Dewan Konstituante yang baru itu rupanya tidak mampu membuat konstitusi dasar
yang mampu mencakup seluruh lapisan rakyat Pakistan, sehingga instabilitas politik disana tetap
berlangsung.

Kegagalan Dewan Konstituante Pakistan dalam membentuk konstitusi dasar itu akhirnya
membuat kubu militer kecewa. Pihak Militer Pakistan kemudian melakukan kudeta pada 1958,
militer mengambil alih kekuasaan negara, kemudian menganulir Undang-Undang Dasar 1956.
Sistem parlmenter dihancurkan oleh militer, kabinet pemerintahan, parlemen dari tingkat pusat
hingga daerah baik di Pakistan Barat maupun Timur, juga pembubaran partai politik oleh militer.
Sebagai gantinya, naiklah seorang perwira Angkatan Darat Pakistan, sebagai pemimpin baru,
yakni Jendral Ayub Khan.

Setelah kudeta militer, Jendral Ayub Khan kemudian menjabat sebagai Presiden Revolusioner
Pakistan dan mendirikan sebuah sistem presidensial serta kabinet pemerintahan baru Pakistan.
Pada 1960, sebuah referendum terjadi di Pakistan, dan menghasilkan sebuah tantangan untuk
Ayub Khan dalam membuat sebuah konstitusi negara baru bagi Pakistan.

Jendral Ayub berpendapat kalau sistem parlementer belum siap untuk Pakistan, karena tidak
cocok untuk Pakistan yang mayoritas rakyatanya masih buta huruf. Selain itu, sistem parlementer
juga menjadi peluang bagi pemimpin partai politik untuk memperkaya diri sendiri dan
memperbudak rakyat Pakistan. Oleh karena itu ia menawarkan beberapa syarat untuk
menciptakan sebuah sistem;

1. Sistem politik Pakistan harus dimengerti oleh seluruh rakyat Pakistan, dari seluruh
lapisan masyarakat.
2. Sistem politik Pakistan harus memberikan kesempatan bagi seluruh rakyat Pakistan dari
semua lapisan untuk turut serta dalam sistem sesuai dengan kemampuannya masing-
masing. Dengan demikian pemimpin partai tidak akan bisa memanfaatkan kesempatan
untuk membodohi rakyat.
3. Sistem politik Pakistan harus mampu menciptakan sebuah sistem pemerintahan yang kuat
dan tidak mudah digoyahkan oleh parlemen.
Gagasan Jendral Ayub tertuang dalam sebuah Undang-Undang dasar yang berlaku mulai tahun
1962 di Pakistan, undang-undang itu diberi nama, Demokrasi Dasar atau Basic Democracy.
Namun, gagasan tersebut menimbulkan masalah baru, karena demokrasi yang dia inginkan
hanya menjadikan dirinya memiliki kekuasaan yang secara formal sangat kuat, bahkan muncul
ungkapan, kekuasaan Jendral Ayub lebih kuat daripada kekuasaan John F. Kennedy ataupun
Soekarno. Basic Democracy tanpa partai politik itu ternyata justru memunculkan banyak
pemimpin politik dari partai lama yang terpilih kembali, sehingga anggota parlemen Pakistan
dapat menghidupkan partai lama yang telah dibubarkan, bahkan Jendra Ayub Khan
menggabungkan diri kepada Partai Liga Muslim.

Karena Demokrasi Dasar yang digagas oleh Jendral Ayub Khan dikatakan kurang demokratis
dan memunculkan masalah baru. Akhirnya, pada 1968, Jendral Ayub menyerahkan jabatan
presiden kepada koleganya, yakni Jendral Yahya Khan. Di bawah kepemimpinan Jendral Yahya,
pemerintah Pakistan berjanji akan menghidupkan kembali sistem parlementer dan segera
melakukan pemilihan umum pada 1970. Namun, dua partai besar Pakistan, yakni Partai Rakyat
di Pakistan Barat dan Partai Awami Nasional di Pakistan Timur tidak mampu mencapau batas
ambang suara untuk merumuskan undang-undang baru, akhirnya Jendral Yahya Khan
mengambil alih kepemimpinan negara Pakistan, karena tak kunjung selsai merumuskan
konstitusi dan stabilitas politik semakin tak menentu arahnya, Pakistan Timur pun memberontak
pada 1971 dan berdirilah negara Bangladesh yang terspisah dari Pakistan.

Perubahan dari sistem presidensial ke parlementer di Pakistan sebernarnya tak sepenuhnya


parlemen, bahkana ada yang menyebutnya semi-presidensial. Seorang presiden di Pakistan
merupakan kepala negara, sementara perdana mentri yang melakukan kegiatan pemerintahan.
Akan tetapi untuk di Pakistan yang menganut reserve power presiden memiliki wewenang untuk
menurunkan perdana menteri dan juga bisa membubarkan parlemen, bahkan presiden bisa
memutuskan untuk melaksanakan pemilu baru. Tetapi kekuasaan reserve power presiden harus
dengan persetujuan Yudikatif, yakni Mahkamah Agung.

B. Indonesia

Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Selama 25 tahun Republik
Indonesia berdiri, masalah pokok yang kita hadapi ialah bagaimana, dalam masyarakat yang
beraneka ragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi di samping membina
suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis . Pokok masalah yang berkisar pada
penyusunan suati sistem politik di mana kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan
pembangunan ekonomi serta nation building, dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan
timbulnya diktator, apakah diktator ini bersifat perorangan, partai, ataupun militer.

Sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia dibagi jadi empat;

1. Republik Indonesia I (1945-1959) : Demokrasi (konstitusional) yang menonjolkan


peranan parlementer serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan Demokrasi
Parlementer.
2. Republik Indonesia II (1959-1965) : Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek
telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan
landasannya, dan menunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat.
3. Republik Indonesia III (1965-1998) : Demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi
konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial.
4. Republik Indonesia IV (1998-Sekarang) : Reformasi yang menginginkan tegaknya
demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada
masa Republik Indonesia III.

a. Masa Republik Indonesia I (1945-1959): Masa Demokrasi Konstitusional


Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan
dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 dan 1950, ternyata kurang
cocok untuk Indonesia meskipun dapat berjalan secara memuaskan dalam beberapa
negara Asia lain. Persatuan yang dapat digalang untuk selalu menghadapi musuh bersama
menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesdudah
kemerdekaan tercapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer
memberi peluang untuk dominasi partai-partai politikdan Dewan Perwakilan Rakyat.

b. Masa Republik Indonesia II (1959-1965): Masa Demokrasi Terpimpin


Ciri-ciri periode ini ialah dominasi dari presiden, terbatasnya peranan partai politik,
berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peran ABRI sebagai unsur sosial-
politik. Dekrit presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan
keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Undang-
Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama
sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang
mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan
waktu lima tahun yang telah ditentukan oleh undang-undang dasar.

Selain itu terdapat penyelewengan demokrasi lainnya yang dilakukan pada masa ini,
misalnya pada tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai presiden membubarkan DPR hasil
pemilu, padahal dalan penjelasan undang-undang secara eksplisit ditentukan bahwa
presiden tidak memiliki wewenang untuk berbuat demikian. Hal tersebut menunjukan
telah ditinggalkannya doktrin Trias Politika.

Dalam rangka ini perlu dilihat ketentuan lain yang memberi wewenang kepada presiden
sebagai badan eksekutif. Misalnya pemberian wewenang terhadap presiden untuk campur
tangan dibidang lain selain eksekutif, misalnya wewenang untuk campur tangan di bidang
yudikatif berdasarkan Undang-Undang No. 19/1964, dan di bidang legislatif berdasarkan
Peraturan Preside No. 14/1960 dalam hal anggota DPR tidak mencapai mufakat.

Periode ini diakhiri dengan terjadinya peristiwa G30/SPKI dan membuka peluang
dimulainya demokrasi Pancasila.

c. Masa Republik Indonesia III (1965-1998): Masa Demokrasi Pancasila


Landasan formal dari periode ini ialah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta
ketetapan-ketetapan MPRS. Dalam usaha untuk meluruskan kembali pengawasan
terhadap Undang-Undang Dasar yang telah terjadi dalam masa Demokrasi Terpimpin,
telah diadakan sejumlah tindakan korektif. Ketetapan MPRS No. III/1963 yang
menetapkan masa jabatan seumur hidup untuk Ir. Soekarno telah dibatalkan dan jabatan
presiden kembari menjadi jabatan elektif setiap lima tahun. Ketetapan MPRS No.
XIX/1966 telah menentukan ditinjaunya kembali produk-produk legislatif dari masa
Demokrasi Terpimpin dan atas dasar itu Undang-Undang No. 19/1964 telah diganti
dengan suatu undang-undang baru (No. 14/1970) yang menetapkan kembali ke asas
kebebasan badan-badan pengadilan.

Selanjutnya periode ini menunjukan peranan presiden yang semakin besar. Secara lambat
laun tercipta pemusatan di tangan presiden karena Presiden Soeharto telah menjelma
sebagai seorang tokoh yang paling dominan dalam sistem politik Indonesia, tidak hanya
karena jabatannya sebagai presiden dalam sistem presidensial, tetapi juga karena
pengaruhnya yang dominan dalam elit politik Indonesia.

Perlunya menjaga kestabilan politik, pembangunan nasional, dan integrasi nasional telah
digunakan sebagai alat pembenaran bagi pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan
politik, termasuk yang bertentangan dengan demokrasi. Contohnya adalah prinsip
monoloyoloitas Pegawai Negri Sipil (PNS). Semula prinsip itu diperlukan untuk
melindungi Orde Baru dari gangguan-gangguan yang mungkin timbul dari musuh-musuh
Orde Baru dengan mewajibkan semua PNS untuk memilih Golkar dalam setiap
pemilihan umum (pemilu). Bahkan hingga Orde Baru semakin kuat, prinsip
monoloyalitas tersebut masih tetap digunakan untuk mencegah partai politik lain keluar
sebagai pemenang dalam pemilu sehingga Golkar dan Orde Baru dapat terus berkuasa.

Namun ternyata nilai-nilai demokrasi tidak diberlakukan dalam pemilu-pemilu tersebut,


karena tidak ada kebebasan memilih bagi para pemilih dan tidak ada kesempatan yang
sama bagi ketiga organisasi peserta pemilu (OPP) untuk memenangkan pemilu. Sebelum
fusi partai politik tahun 1973, semua OPP, kecuali Golkar, menghadapi berbagai kendala
dalam menarik dukungan dari para pemilih, antara lain karena adanya asas
monoloyalitas.

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) berkembang dengan pesat beriringan dengan
keberhasilan perkembangan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi malah
dianggap sebagai peluang untuk melakukan KKN yang dilakukan oleh para anggota
keluarga dan kroni para penguasa, baik di pusat maupun di daerah. Pada bidang politik,
dominasi Presiden Soeharto telah membuat Presiden menjadi penguasa mutlak karena
tidak ada suatu institusi/lembaga pun yang dapat menjadi pengawas presiden dan
menbcegahnya melakukan penyelewengan kekuasaan (abuse of power). Menjelang
berakhirnya Orde Baru, elite politik semakin tidak peduli dengan aspirasi rakyat dan
semakin banyak membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan para kroni dan
merugikan negara dan ralyat banyak.

d. Masa Republik Indonesia IV (1998-Sekarang): Masa Reformasi


Langkah terobosan yang dilakukan dalam proses demokratisasi adalah amandemen UUD
1945 yang dilakukan oleh MPR hasil pemilu 1999 dalam empat tahap selama empat
tahun (1999-2002). Beberapa penting dilakukan terhadap UUD 1945 agar UUD 1945
mampu mengasilkan pemerintahan yang demokratis. Peranan DPR sebagai lembaga
legislatif diperkuat, semua anggota DPR dipilih dalam pemilu, pengawasan terhadap
presiden lebih diperketat, dan hak asasi manusia memperoleh jaminan yang semakin
kuat. Amandemen UUD 1945 juga memperkenalkan pemilihan umum untuk memilih
presiden dan wakil presiden secara langsung (pilpren). Pilpres pertama dulakukan pada
tahun 2004 setelah pemilihan umum untuk lembaga legislatif.

Berikutnya adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah secara langsung
(pilkada) yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini
mengharuskan semua kepala daerah di seluruh Indonesia dipilih melalui pilkada mulai
pertengahan 2005. Semenjak itu, semua kepala daerah yang telah habis masa jabatannnya
harus dipilih melalui pilkada . Pilkada bertujuan untuk menjadikan pemerintah daerah
lebih demokratis dengan diberikan hak bagi rakyat untuk menentukan kepala daerah. Hal
ini tentu saja berbeda dengan pemilihan kepala daerah sebelumnya yang bersifat tidak
langsung karena dipilih oleh DPRD.

Pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden tahun 2004 merupakan tonggak
sejarah politik penting dalam sejarah politik Indonesia modern karena terpilihnya
presiden dan wakil presiden yang didahului dengan terpilihnya anggota-anggota DPR,
DPD, dan DPRD telah menuntakan demokratisasi di bidang lembaga-lembaga politik di
Indonesia. Demokratisasi telah berhasil membentuk pemerintah Indonesia yang
demokratis karena nilai-nilai demokrasi yang penting telah diterapkan melalui
pelaksanaan peraturan perundang-undangan mulai dari UUD 1945.

2. RESUME BAB VIII – PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA SECARA


VERTIKAL dan HORIZONTAL
 Perbandingan Konfederasi, Negara Kesatuan, dan Negara Federal

Pembagian kekuasaan menurut tingkat dapat dinamakan pembagian kekuasaan secara vertikal ,
yaitu pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan atau dapat juga dinamakan
pembagian secara teritorial, misalnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
suatu negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian suatu negara
federal.

Persoalan sifat kesatuan atau sifat federal dari sesuatu negara sungguhnya merupakan bagian dari
suatu persolan yang lebih besar, yaitu persoalan integrasi dari golongan-golongan yang berada
dalam sesuatu wilayah. Integrasi tersebut dapat diselenggarakan secara minimal (yaitu dalam
suatu konfederasi) atau dapat diselenggarakan secara maksimal (dalam suatu negara kesatuan).

Dalam teori kenegaraan persoalan tersebut menyangkut persoalan mengenai bentuk negara, dan
persoalan negara bersusun (Samengestelde Staten atau Statenverbindungen) yaitu khususnya
mengenai federasi dan konfederasi. Hans Kelsen pada General Theory of Law and State
memakai istilah forms of organization baik untuk federasi dan konfederasi maupun negara
kesatuan yang desentralistis.

 Konfederasi

Menurut L. Oppenheim, konfederasi terdiri dari beberapa negara yang berdaulat penuh yang
untuk mempertahankan kemerdekaan ekstern dan intern, bersatu atas dasar perjanjian
internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri yang
mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota konfederasi, tetapi tidak terhadap warga
negara negara-negara itu.

Kekuasaan alat bersama sangat terbatas dan hanya mencakup persoalan-persoalan yang telah
ditentukan. Negara yang tergabung dalam konfederasi itu tetap merdeka dan berdaulat, sehingga
konfederasi itu sendiri pada hakikatnya bukanlah merupakan negara, baik ditinjau dari sudut
ilmu politik maupun dari sudut hukum internasional. Keanggotaan suatu negara dalam suatu
konfederasi tidaklah menghilangkan ataupun mengurangi kedaulatannya sebagai negara anggota
konfederasi itu.

Kelangsungan hidup konfederasi itu sangat bergantung pada keinginan ataupun kesukarelaan
negara-negara peserta serta kenyataan pula bahwa konfederasi itu pada umumnya dibentuk untuk
maksud tertentu saja yang umumnya terletak di bidang politik luar negri dan pertahanan
bersama.

 Negara Kesatuan

Negara Kesatuan menurut C. F Strong adalah bentuk negara di mana wewenang legislatif
tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada
pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat mempunyai wewenang
untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi, tetapi pada
tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat. Jadi, baik kedaulatan
kedalam maupun kedaulatan ke luar, sepenuhnya terletak pada pemerintah pusat.

Hakikat negara kesatuan ialah bahwa kedaulatannya tidak terbagi, atau dengan kata lain
kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi, karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui
badan legislatif lain dari badan legislatif pusat.

Dua ciri mutlak yang melekat pada negara kesatuan;

1. Adanya supremasi hukum dari dewan perwakilan rakyat.


2. Tidak adanya badan-badan lain yang berdaulat.

 Negara Federal

Salah satu cirinnegara federal menurut C. F Strong ialah ia mencoba menyesuaikan dua konsep
yang sebenarnya bertentangan, yaitu kedaulatan negara federal dala keseluruhannya dan
kedaulatan negara bagian. Penyelenggaraan kedaulatan ke luar dari negara bagian diserahkan
sama sekali kepada pemerintah federal, sedangkan kedaulatan ke dalam dibatasi.
Satu prinsip yang dipegang teguh, yaitu hal-hal yang menyangkut negara dalam keseluruhan
diserahkan kepada kekuasaan federal. Dalam hal-hal tertentu, misalkan mengadakan perjanjian
internasional atau mencetak, pemerintah federal bebas dari negara bagian dan dalam bidang itu
pemerintah fedral mempunyai kekuasaan tertinggi. Tetapi untuk permasalahan yang menyangkut
negara bagian saja, dan bukan kepentingan nasionl, diserahkan kepada kekuasaan neara-negara
bagian.

Syarat membentuk suatu negara federal menurut C. F Strong diperlakukan dua syarat, yaitu:

1. Adanya perasaan sebangsa di antara kesatuan-kesatuan politik yang hendak membentuk


federasi itu.
2. Keinginan pada kesatuan-kesatuan politik yang hendak mengadakan federasi untuk
mengadakan ikatan terbatas, oleh karena apabila kesatuan-kesatuan politik itu
menghendaki persatuan, maka bukan federasilah yang akan dibentuk, melainkan negara
kesatuan.

Perbedaan Federasi dan Konfederasi menurut George Jellinek berdasarkan letak kedaulatnnya.
Dalam hal konfederasi, kedaulatan terletak pada federasi itu senditi dan bukan pada negara
bagian. Pendapat ini sejalan dengan Edward M. Sait dalam buku Political Institutions: A Preface
yakni, Negara-negar yang menjadi anggota suatu Konfederasi tetap merdeka sepenuhnya atau
berdaulat, sedangkan negara-negara yang tergabung dalam federasi kehilangan kedaulatannya.

Akan tetapi R. Krenburg keberatan dengan pendapat tersebut, ia merasa perbedaan konfederasi
dengan federasi harus didasarkan atas hal apakah warga negara dari negara bagian itu langsung
terikat atau tidak oleh peraturan-peraturan organ pusat. Jika jawabannya “ya”, maka bentuknya
federasi, sedangkan kalau peraturan organ pusat itu tidak mengikat langsung penduduk wilayah
anggotanya, maka gabungan kenegaraan itu adalah konfederasi.

Perbedaan antara federasi dengan negara kesatuan, berdasarkan kriteria hukum positif:

A. Negara bagian sesuatu federasi memiliki pouvoir constituant, yakni wewenang membentuk
undang-undang dasar sendiri serta wewenang mengatur bentuk organisasi sendiri dalam rangka
dan batas-batas konstitusi federal, sedangkan dalam negara kesatuan organisasi bagian-bagian
negara (yaitu pemerintah daerah) secara garis besarnya telah ditetapkan oleh pembentuk undang-
undang pusat;
B. Dalam negara federal, wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengatur hal-hal
tertentu telah terperinci satu per satu dalam konstitusi federal, sedangkan dalam negara kesatuan
wewenang pembentukan undang-undang pusat ditetapkan dalam suatu rumusan.

 Beberapa Macam Negara Federal

Macam perbedaan Negara Federal menurut C. F Strong:

1. Cara bagaimana kekuasaan dibagi antara pemerintah federal dan pemerintah negara-
negara bagian.
2. Badan mana yang mempunyai wewenang untuk menyelsaikan perselisihan yang timbul
antara pemerintah federal dan pemerintah-pemerintah negara-negara bagian.

Rincian Point Pertama :

a. Undang-Undang dasar memerinci satu per satu kekuasaan pemerintah federal (misalnya
kekuasaan untuk mengurus soal hubungan luar negri, mencetak uang dan sebagainya),
sedangkan sisa kekuasaan yang tidak teroerinci diserahkan kepada negara bagian.
Dianggap lebih sempurna sifat federalnya karena memerinci disini artinya membatasi
kekuasaan pemerintah federal dan memperkuat kekuasaan negara-negara bagian.
b. Undang-Undang dasar memerinci satu per satu kekuasaan pemerintah negara bagian,
sedangkan dana kekuasaan diserahkan pada pemerintah federal. Dianggap kurang
sempurna karena membatasi kekuasaan negara bagian dan memperkuat kekuasaan
federal.

Rincian Point Kedua : Wewenang untuk memutuskan persoalan kompetisi antara pemerintah
federal dan pemerintah negara bagian dapat diberikan kepada dua badan, mahkamah agung
federal atau dewan perwakilan rakyat federal.

a. Kalau wewenang terletak pada mahkamah agung federal, dianggap lebih sempurna sifat
federalnya.
b. Kalau wewenang terletak pada dewan perwakilan rakyat federal, dianggap kurang
sempurna sifat federalnya.
 Federalisme di Amerika Serikat

Amerika Serikat umumnya dianggap federalisme yang paling sempurna. Negara ini memiliki
ciri-ciri federalis yang kuat, yakni dana kekuasaan terletak di negara-negara bagian dan
kedudukan Mahkamah Agung Federal sebagai penafsir utama dari undang-undang dasar dalam
memutuskan masalah kompetensi antara berbagai tingkatan pemerintahan. Jadi, pembagian
kekuasaan menurut tingkat adalah paling sempurna.

Selain itu dianggap bahwa pembagian kekuasaan menurut Trias Politika juga yang paling
sempurna, dalam arti paling mendekati konsep yang diajukan oleh Montesquieu. Pembagian
kekuasaan berdasarkan Trias Politika dimaksudkan untuk lebih membatasi kekuasaan
pemerintah federal terutama dalam hubungannya dengan badan legislatif dan badan yudikatif.

Sifat federalnya juga nampak dalam susunan badan legislatifnya (Congress) yang terdiri atas dua
majelis, yaitu House of Representatives dan Senat.

 Federalisme Uni Soviet

Prinsip federalisme ternyata ada dalam susunan badan legislatifnya,Soviet terdiri atas dua majelis
tinggi, yaitu: Council of the Union dan Coouncil of Nationalities yang khusus memberi
perwakilan kepada negara-negara bagian Uni Soviet.

Sudut dana kekuasaan federalisme Uni Soviet secara formal bersifat sempurna dalam arti bahwa
menurut Undang-Undang dasar Pasal 14 kekuasaan pemerintah federal diperinci, sedangkan
dana kekuasaan terletak pada negara bagian.

Perbedaan yang besar dengan federalisme negara barat lainnya adalah menurut dua amandemen
tahun1944, diberi wewenang untuk mengurus hubungan luar negrinya sendiri dan mempunyai
angkatan bersenjata sendiri.

 Federalisme di Indonesia (Republik Indonesia Serikat, Desember 1949-Agustus


1950)

Republik Indonesia Serikat terdiri atas 15 negara bagian yang secara formal berkedudukan
“saling sama martabat” dan “saling sama hak”. Secara formal pula bentuk federal bersifat
sempurna, karena:
1. Kekuasaan pemerintah federal diperinci satu per satu, dan dana kekuasaan terletak pada
negara bagian.
2. Dalam hal timbulnya pertentangan antara undang-undang federal dan undang-undang
negara bagian, maka Mahkamah Agung Federal memiliki wewenanf untuk menyelsaikan
dan keputusannya mengikat kedua belah pihak.

Pemerintah federal memiliki suatu kekuasaan yang tidak terdapat dalam negara-negara federal
lainnya, yaitu wewenang untuk memeriksa Undang-Undang Dasar negara bagian sebelum dapat
disahakan sebagai Undang-Undang Dasar negara bagian.

 Perkembangan Konsep Trias Politika: Pemisahan Kekuasaan menjadi Pembagian


Kekuasaan.

Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah pembagian kekuasaan menurut fungsinya dan ini
berhubungan dengan doktrin Trias Politica, yakni anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas
3 macam yakni Legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang, Eksekutif atau kekuasaan
melaksanakan undag-undangm dan Yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran
undang-undang. Trias Politika adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaa-kekuasaan
sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan
oleh pihak yang berkuasa. Dengan harapan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin.

Doktrin ini pertama kali ditemukan oleh John Locke dan Montesquieu dan saat itu dianggap
sebagai pemisahan kekuasaan. Menurut Locke, negara dibagi kedalam tiga kekuasaan, yakni:
legislatif selaku pembuat peraturan dan undang-undang, Eksekutif selaku pelaksana undang-
undang dan pelaksana peradilan, dan Federatif yakni kekuasaan yang meliputi segala tindakan
dalam menjaga keamanan negara dalam berhubungan dengan negara lain.

Doktrin ini kemudia disempurnakan oleh Montesquieu dalam bukunya yang berjudul L’Esprit
des Lois (The Spirit of The Laws). Ia membagi kekuasaan dalam 3 cabang, yakni Legislatif,
Eksekutif, dan Yudikatif. Ketiga jenis kekuasaan tersebut menurutnya harus terpisah, baik
mengenai tugas (fungsi) maupun alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya.
Terutama adanya kebebasan badan yudikatif, karena merupakan letak kemerdekaan individu dan
gak asasi manusia dijamin dan dipertaruhkan.

Dengan berkembangnya zaman, tentu banyak perubahan yang terjadi, dan prinsip Trias Politika
dalam arti “pemisahan kekuasaan” tidak dapat dipertahankan lagi. Dengan berkembangnya
konsep mengenai Negara Kesejahteraan (welfare state) di mana pemerintah bertanggung jawab
atas kesejahteraan seluruh rakyat, dan karena itu harus menyelenggarakan perencanaan
perkembangan ekonomi dan sosial secara menyeluruh, maka fungsi kenegaraan sudah jauh
melebihi tiga macam fungsi yang disebut oleh Montesquieu.

Saat ini Trias Politika tidak lagi dilihat sebagai “pemisahan kekuasaan” (separation power),
tetapi sebagai “pembagian kekuasaan”(division of powers) yang diartikan bahwa hanya fungsi
pokoklah yang dibedakan menurut sifatnya serta diserahkan kepad badan yang berbeda (distinct
hands), tetapi untuk selebihnya kerja sama di antara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan
untuk kelancaran organisasi.

 Trias Politika di Indonesia.

Undang-Undang Dasar di Indonesia tidak secara eksplisit mengatakan bahwa mengantu doktrin
Trias Politika, tetapi karena undang-undang dasar menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional,
maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut paham Trias Politika dalam arti pembagian
kekuasaan.

Hal ini terlihat jelas dari pembagian Bab dalam Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya Bab III
mengenai Kekuasaan Pemerintah Negara, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, dan Bab
IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh Presiden bersama-sama
dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan Eksekutif dijalankan oleh Presiden dan dibantu
oleh menterti-menteri, sedangkan kekuasaan yudikatif, dijalankan oleh Mahkamah Agung dan
lain-lain badan kehakiman.

Karena sistem pemerintahannya adalah presidensial, maka kabinet tidak bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan oleh karena itu tidak dapat dijatuhkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dalam masa jabatannya. Sebaliknya, Presiden juga tidak dapat membubarkan
Dewan Perwakilan Rakyat sebagaiamana halnya dalam sistem parlementer di India dan Inggris.
Presiden sebagai penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi tunduk dan bertanggung
jawabkepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, dimana ia menjadi mandatarisnya.

3. NEGARA HUKUM KONSEP KLASIK


Negara hukum konsep klasik adalah negara hukum yang menganut atau memiliki
keinginan untuk menyelenggarakan hak-hak politik secara efektif dengan gagasan bahwa
cara terbaik untuk membatasi kekuasaan pemerintah ialah dengan suatu konstitusi.
Dimana konstitusi tersebut menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian
kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh
kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum.

Pembatasan dan perumusan tersebut hanyalah bersifat yuridis dan menyangkut bidang
hukum saja, dan hanya menyangkut pada batas-batas yang sempit. Pada konsep ini
negara hanya mempunyai tugas pasif, yakni baru bertindak apabila hak-hak manusia
dilanggar atau ketertiban dan keamanan umum terancam. Konsepsi negara hukum
tersebut adalah sempit, maka dari itu sering disebut ”Negara Hukum Klasik”

4. NEGARA INDONESIA MENGANUT APA?


Berdasarkan buku Dasar-Dasar Ilmu Politik karya Prof. Miriam Budiardjo, Negara
Indonesia merupakan negara Demokrasi berdasarkan Pancasila.Beberapa nilai pokok dari
demokrasi konstitusional cukup jelas tersirat di dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Selain itu pada UUD disebutkan pula dua nilai yang dicantumkan dalam Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 mengenai Sistem Pemerintahan Negara yaitu:
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum, yang berarti Indonesia tidak
berdasarkan kekuasaan belaka.
2. Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi, tidak bersifat absolutisme.

Demokrasi yang menjadi dasar dari Undang-Undang Dasar 1945 yang belum
diamandemen ialah demokrasi konstitusional. Menyampingkan hal tesebut, Demokrasi di
Indonesia memiliki ciri khas tersendiri, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, yang dimuat dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar.

5. CIRI NEGARA FEDERAL SEMPURNA DAN TIDAK SEMPURNA


Negara Federal dinilai sempurna apabila jika undang-undang dasar memerinci satu per
satu kekuasaan pemerintah federal (misalnya kekuasaan untuk mengurus soal hubungan
luar negri, mencetak uang dan sebagainya), hal ini dinilai sempurna karena memerinci
disini berarti membatasi kekuasaan pemerintah federal dan memperkuat kekuasaan
negara-negara bagian. Selain itu, negara federal dinilai sempurna apabila wewenang
untuk memutuskan persoalan kompetisi antara pemerintah federal dan negara bagian
terletak pada Mahkamah Agung Federal.

Negara Federal dinilai tidak sempurna apabila undang-undang dasar memerinci satu
per satu kekuasaan pemerintah negara bagian, hal ini dianggap kurang sempurna karena
membatasi kekuasaan negara bagian dan memperkuat kekuasaan federal. Selain
iti,sebuah negara federal dinilai tidak atau kurang sempurna apabila wewenang untuk
memutuskan persoalan kompetisi antara pemerintah federal dan pemerintah negara
bagian terletak pada dewan perwakilan rakyat federal.

Anda mungkin juga menyukai