Anda di halaman 1dari 14

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER

PENGANTAR FILSAFAT

NAMA : Dwiki Febriansyah


NIM : H1B120035
PRODI : ILMU POLITIK
FAKULTAS : HUKUM

Assalamu’alaikumWarrohmatullahiWabarokatuh,
Adapun hasil rangkuman saya mengenai materi pengantar filsafat sebagai beberikut.

1. Keadaan Alamiah (Stste of Nature) Menurut Thomas Hobbes dan John Locke

Keadaan alamiah adalah konsep yang digunakan dalam teori filsafat politik (khususnya yang
berhubungan dengan kontrak sosial) untuk menyebut keadaan masyarakat sebelum adanya
pemerintahan atau negara. Para filsuf yang mengemukakan konsep ini mencoba membayangkan
kehidupan manusia pada masa itu, dan mereka bertanya-tanya bagaimana pemerintahan pertama
bisa muncul dari keadaan seperti itu. Hasil dari penelusuran ini pun berbeda-beda. Thomas
Hobbes di dalam karyanya, Leviathan, meyakini bahwa "keadaan alami manusia" itu adalah
homo homini lupus atau "manusia adalah serigala bagi sesamanya". Manusia pada masa itu
hidup dalam ketakutan dan kekerasan akibat ketiadaan suatu "kekuatan" yang mengendalikan
mereka semua, sehingga terjadilah "perang antara semua melawan semua". Manusia pada saat itu
hidup "sendiri, miskin, kotor, brutal, dan singkat”. Maka dari itu, manusia membentuk sebuah
perjanjian bersama untuk mendirikan negara. Di sisi lain, John Locke percaya bahwa manusia
dalam keadaan alamiah hidup damai, saling melindungi, penuh kebebasan, dan tidak memiliki
rasa takut. Walaupun begitu, pada dasarnya ciri utama dari "keadaan alamiah" adalah ketiadaan
pemerintahan.

2. Keadaan Alamiah (Stste of Nature) Menurut Rousseau.


Pemikiran Rousseau dalam bidang politik sangat dipengaruhi oleh
Ariestoteles dan Montesqui yang menginginkan pembentukan negara seperti pada
jaman Yuani kuno yakni City states atau negara kota dan kecenderung
menggunakan soal perasaan moral dibanding akal atau rasio, dimana pada abad
pencerahan, Rousseau beraggapan bahwa manusia yang hidup pada abad
pencerahaan tidak memiliki perasaan atau emosi yang bergerak berdasarkan
rasionya saja. Adapun hasil pemikirannya tentang politik yakni Kontrak sosial.
Kontrak sosial adalah akta hukum yang mendasari antara individu-individu untuk
masuk dalam suatu masyarakat politik (negara) yang individu-individu tidak lagi
menggunakan hak alamiahnya dan hanya patuh kepada keabsahaan kekuasaan,
yaitu kehendak umum (rakyat). Sebelum adanya masyarakat politik atau sering
disebut sebagai keadaan politik, individu atau manusia hidup dalam keadaan
alamiah atau keadaan non sosial. Menurut Rousseau, keadaan alamiah adalah
keadaan ketika manusia, yang dalam banyak hal masih mirip dengan binatang,
tanpa akal maupun bahasa, hidup terpisah dari sesamanya dan merupakan keadaan
damai yang dibuat untuk berlangsung selama-lamanya, namun karena kebutuhan-
kebutuhan yang harus dipenuhinya, maka keadaan itu menjadi keadaan perang
satu lawan satu yang keabsahaan kekuasaanya hanya berdasarkan kekuataan fisik saja, dengan
semboyan: “siapa yang kuat dia yang menang”. Oleh karena itu perlu
suatu peralihan dari keadaan alamiah ke keadaan politik untuk menjamin
keamanan, ketertibaan dan perdamaian. Rousseau pun, mengakui bahwa
kebebasan dan kesederajataan manusia yakni dalam keadaan alamiah. Manusia
bebas secara alamiah, karena tidak ada manusia yang memiliki otoritas politik
terhadap manusia lain, memiliki kemerdekaan mutlak dan hanya menuruti
kehendaknya sendiri, sedangkan manusia sederajat secara alamiah karena
bertindak sesuai keinginan sendiri dengan tujuan yang ditetapkan sendiri, namun
harus di ingat bahwa, konsep keadaan alamiah Rousseau tidak pada kenyataan
konteks sejarah manusia. Untuk menjamin keamanan, ketertiban dan perdamaian
dibentuklah negara sebagai hasil dari kontrak sosial, yang membedakaan
Rousseau dengan Hobbes dimana, menurut Hobbes dalam kontrak sosial
memperkuat konsep negara, sedangkan Rousseau memperkuat konsep rakyat
sebagai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Dalam legistimasi kekuasaan
negara berpangkalan pada Teori Kedaulatan Rakyat, dimana kekuasaan tertinggi
atau kedaulatan berada ditangan rakyat yang dibantu oleh kekuasaan legislatif dan
kekuasaan eksekutif yang saling menjalankan punsinya masing-masing. Sistem
pemerintahan yang ideal menurut Rousseau adalah negara kota jaman Yunani
kuno yang penduduknya sedikit, wilayah atau daerahnya tidak terlalu luas, dan
demokrasi langsung.
State of nature merupakan konsep dalam pendidikan Rousseau. Rousseau
beranggapan bahwa alam adalah guru terbaik, dimana alam akan mengajarkan
manusia tentang kejujuran, kebenaran, dan kualitas perasaan. Hal ini disebabkan karena
Rousseau tidak menyukai peradaban manusia (bermasyarakat),
menurutnya, peradaban manusia menciptakan manusia menjadi sombong,
pendusta, keinginan untuk menguasai, dll.
Pengaruh pemikiran Rousseau dalam bidang politik adalah
berkembanganya paham Sosialisme, Komunisme dan Totalitarisme, karena
melabrak habis lembaga hak milik pribadi. Dalam konteks Revolusis Prancis,
pengaruh pemikiran Rousseau dalam bidang politik yakni berlakunya deklarasi
hak-hak asasi manusia dan warga negara, lahirnya konsep negara Republik, dan
berkembangnya paham demokrasi modern. Namun relefansinya pemikiran politik
Rousseau patut dipertanyakan, hal itu disebakan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan jiwa jama yang berbeda.
Kebaikan Teori Rousseau antara lain sebagai landasan demokrasi modern
dan menonjolkan fungsi warga negara dalam masyarakat dan negara. Selain itu,
Rousseau mengubah sistem politik penuh kekerasan menjadi musyawarah. Teori
Kontrak Sosial-nya, Ia menghendaki bentuk negara di mana keabsahaan
kekuasannya di tangan rakyat, berbeda dengan Locke yang keabsahaan
kekuasaannya di tangan Individu, dan Hobbes di tangan negara. Sehingga dengan
demikian pemikiran Rousseau tentang kontrak sosial membuka jalan bagi
berkembanganya demokrasi modern dan kedaulataan rakyat.
3. Justifikasi Negara (Teori Kontrak Sosial) dan Anarkisme.

Justifikasi Negara
Apabila kita melihat perrnyataan John Stuart Mill (1806-1873) bahwa kehidupan tanpa
pengendalian terhadap perilaku orang la8in menjadi kurang atau bahkan tidak berharga, dan juga
percaya
bahw pengedalian perilaku yang ditegakkan” itu tanda
ada negara tidak lebih dari sekedar pemikiran tentang kebijaksanaan belaka, maka argumen
tentang justifikasi negara sudah tidak diperlukan lagi. Namun, apakah benar bahwa seluruh
anggota masyarakat lebih bahagia dibanding apabila mereka hidup tanpa negara?

*Negara
Didalam sejarah politik kontemporer kita mengenal beberapa jenis negara, diantaranya:
demokrasi liberal, rezim kediktatoran, monarkis, atau tirani yang berbasis pada aturan-aturan
militer dan lain sebagainya. Namun demikian, dari berbagai jenis negara kita dapat mengenali
beberapa ciri umum negara. Menurut John Locke, Kekuasaan politik sebagai hak untuk
menetapkan aturan, termasuk juga untuk menghukum siapa saja yang tidak mematuhinya. Dalam
hal ini negara jelas memiliki kekuasaan politik, oleh sebab itu dapat disimpulkan secara kasar
bahwa : negara berhak memonopoli kekerasan atau melakukan kekerasan. Urusan kekerasan atau
pemaksaan dianggap sebagai urusan negara, baik secara langsung melalui agen-agen negara
seperti militer, polisi, atau pengadilan maupun secara tidak langsung. Pada sisi yang lain, negara
juga memiliki tanggung jawab untuk melindungi setiap orang yang bertempat tinggal didalam
batas-batas wilayah negara dari bentuk ancaman apapun. Hal inilah yang memberikan wewenang
pada negara untuk memonopoli kekerasan. Dapat disimpulkan bahwa negara memiliki dua ciri
esensial: Pertama, negara menjaga wewenang atas monopoli terhadap kekerasan dan tindakan
koersif yang sah.

dan kedua, , negara memberikan perlindungan pada setiap orang yang ada diwilayah negara.
Penolakan terhadap definisi ini muncul karena pada praktek riilnya jelas sekali bahwa tidak ada
satupun negara yang dapat mewujudkan kedua ciri diatas secara ideal. Pada dasarnya, semua
manusia adalah bebas, setara, dan merdeka. Oleh sebab itu dapat disimpulkan menurut pendapat
Locke bahwa satu-satunya cara agar manusia bisa berada dibawah otoritas orang lain adalah
dengan memberikan persetujuan kepada orang tersebut. Jadi menurut Locke, persoalan mengenai
justifikasi negara adalah persoalan tentang bagaimana cara menunjukan agar otoritas negara bisa
direkonsiliasi dengan otonomi alamiah individu.

*Tujuan justifikasi
Tujuan menjustifikasi negara adalah untuk membuktikan adanya kewajiban politik universal.
Kewajiban politik adalah kewajiban mematuhi setiap aturan hukum yang berlaku karena
memang itu adalah hukum, dan bukan hanya karena kita menganggap ada justifikasi moral
tersendiri dalam hukum. Hukum diciptakan karena banyaknya perbedaan paradigm setiap
individu terhadap kebaikan dan kejahatan. Dengan demikian, hukum tercipta untuk menahan diri
mereka yang memiliki paradigma berbeda tentang hal yang bertentangan dengan moralitas,
misalnya membunuh . Dan

oleh karena itu juga kita memilki aturan hukum yang bersandar pada moralitas. Namun pada
kenyataanya, ada kalanya orang berpikir bahwa apa yang diperintahkan oleh hukum ternyata
keliru secara moral dan patut dicela. Tetapi sebagai warga negara merasa harus mematuhi hukum
tersebut, sebagai contohnya adalah penggunaan uang pajak untuk membuat hulu ledak nuklir.
Justifikasi negara lazimnya dianggap sebagai cara untuk menunjukkan bahwa terdapat kewajiban
universal untuk mematuhi hukum. Kewajiban universal ini bukan berarti harus mematuhi hukum
dimanapun dan kapanpun, melainkan melihat dari sisi kewajiban warga negara untuk mematuhi
hukum. Makam tujuan dari justifikasi negara adalah untuk menunjukan bahwa pada prinsipnya
setiap orang yang berada dalam wilayah negara terikat secara moral untuk mematuhi hukum dan
maklumat yang berlaku.

4. Justifikasi Negara (Utilitarianisme, Prinsip Fairness)

Utilitarianisme adalah suatu teori dari segi etika normatif yang menyatakan bahwa suatu
tindakan yang patut adalah yang memaksimalkan penggunaan (utility), biasanya didefinisikan
sebagai memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. "Utilitarianisme" berasal dari
kata Latin utilis, yang berarti berguna, bermanfaat, berfaedah, atau menguntungkan.[1] Istilah ini
juga sering disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happiness theory).
Utilitarianisme sebagai teori sistematis pertama kali dipaparkan oleh Jeremy Bentham dan
muridnya, John Stuart Mill.Utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa
yang baik adalah yang berguna, berfaedah, dan menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau
buruk adalah yang tak bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan.Karena itu, baik buruknya
perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak.
Dari prinsip ini, tersusunlah teori tujuan perbuatan.
Menurut kaum utilitarianisme, tujuan perbuatan sekurang-kurangnya menghindari atau
mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan yang dilakukan, baik bagi diri sendiri
ataupun orang lain Adapun maksimalnya adalah dengan memperbesar kegunaan, manfaat, dan
keuntungan yang dihasilkan oleh perbuatan yang akan dilakukan.Perbuatan harus diusahakan
agar mendatangkan kebahagiaan daripada penderitaan, manfaat daripada kesia-siaan, keuntungan
daripada kerugian, bagi sebagian besar orang.Dengan demikian, perbuatan manusia baik secara
etis dan membawa dampak sebaik-baiknya bagi diri sendiri dan orang lain.

5. Siapa yang Sebaiknya Memerintah? (Kritik Plato terhdap Demokrasi, Rosseau dan
Kehendak bersama)

Demokrasi sejatinya cacat sejak lahir. Bahkan sistem ini juga dicaci-maki di negeri asalnya,
Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai mobocracy atau pemerintahan
segerombolan orang. Dia menyebutkan demokrasi sebagai sebuah sistem bobrok karena
pemerintahan dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkisme.
Plato (472-347 SM) mengatakan liberalisasi adalah akar demokrasi sekaligus biang petaka
mengapa negara demokrasi akan gagal selamanya. Plato dalam bukunya The Republic
mengatakan, "Mereka adalah orang-orang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan
kebebasan berbicara, dan orang-orang di dalam sana boleh melakukan apa yang mereka sukai."
Orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan tidak terbatas. Akibatnya bencana bagi
negara dan warganya. Setiap orang ingin mengatur diri sendiri dan berbuat sesuka hati sehingga
menimbulkan kekerasan, ketidaktertiban atau kekacauan, tidak bermoral, dan ketidaksopanan.
Menurut Plato, masa itu citra negara benar-benar rusak akibat penguasa korup. Karena
demokrasi terlalu mendewakan kebebasan individu berlebihan sehingga membawa bencana bagi
negara, yakni anarki memunculkan tirani.
Dalam Encyclopedia Britannica, Socrates menyebut dalam demokrasi banyak orang tidak senang
jika pendapat mereka disanggah sehingga mereka membalas dengan kekerasan. "Orang baik
berjuang untuk keadilan dalam sistem demokrasi akan terbunuh," katanya.
Menurut Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur, demokrasi
mempunyai latar belakang sosio-historis tipikal Barat selepas Abad Pertengahan, yakni situasi
dipenuhi semangat untuk mengurangi pengaruh dan peran agama dalam kehidupan manusia.
Demokrasi lahir sebagai antitesis terhadap dominasi agama dan gereja terhadap masyarakat
Barat.
Karena itu, demokrasi adalah ide antiagama, dalam arti idenya tidak bersumber dari agama dan
tidak menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah berdemokrasi. Orang beragama tertentu bisa saja
berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil menjadi aturan main dalam berdemokrasi.

6. Diskusi Kelas Tentang Model-Model Demokrasi dan Para Pengkritiknya

A. MODEL-MODEL DEMOKRASI
Dalam demokrasi mestinya berkembang nilai kesetaraan, keragaman, penghormatan atas
kebebasan, kemanusiaaan atau penghargaan atas hak asasi manusia, tanggung jawab,
kebersamaan dan sebagainya. Disisi lain, sebagai suatu sistem politik, demokrasi juga
mengalami perkembangan dalam implementasinya. Banyak model demokrasi yang hadir, dan
menjadkan demokrasi berkembang ke dalam banyak model, antara lain karena terkait dengan
kreativitas para aktor politik diberbagai tempat dalam mendesain praktik demokrasi prosedural
sesuai ddengan kultur, sejarah, dan kepentingan mereka.
Dalam sejarah teori deemokrasi terletak suatu konflik yang angat tajam mengenai apakah
demokrasi harus berarti suatu jenis kekuasaan rakyat ( suatu bentuk politik dimana warga negara
terlibat dalam pemerintahan sendiri dan pengaturan sendiri ) atau suatu bantuan bagi pembuatan
keputusan ( suatu cara pemberian kekuasaan pada pemerintah melalui pemberian suara secara
periodik). Konflik ini telah memunculkan tiga jenis atau model demokrasi
Pertama, demokrasi partisipatif atau demokrasi langsung, suatu sistem dimana pengambilan
keputusan tentang permasalahan umum melibatkan warga negara secara langsung . Ini adalah
tipe demokrasi “ asli ” yang terdapat di Athena.
Kedua, demokrasi liberal atau demokrasi perwakilan, seatu sistem pemerintahan yang
menggunakan ‘ pejabat’ yang dipilih untuk ‘mewakili’ kepentingan atau pendapat warga negara
dalam daerah-daerah yang terbatas sambil tetap menjunjung tinggi ‘aturan hukum’

Ketiga, demokrasi yang didasarkan atas model satu partai. Model-model demokrasi berikut ini
menurut David Held:
a. Model I ( demokrasi klasik )
Prinsip penelitiannya adalah warga negara seharusnya menikmati kesetaraan politik agar mereka
bebas memerintah dan diperinttah secara bergiliran.
b. Model II ( republikanisme protektif )
Prinsip penelitiannya adalah merupakan sebuah kondisi yang terpenting bagi kebebasan pribdi;
jika para warga negara tidak menguasai mereka sendiri, mereka akan didominasi oleh orang lain.
c. Model IIa ( republikanisme dan perkembangan )
Prinsip penelitiannya adalah para warga negara harus menikmati persamaan politik dan ekonom
agar tak seorang pun yang dapat menjadi penguasa bagi yang lain dan semuanya dapat
menikmati perkembangan dan kebebasan yang sama dalam proses tekad diri bagi kebaikan
sesama.
d. Model III ( demokrasi protekif )
Prinsip penelitiannya adalah penduduk membutuhkan perlindungan dari para pemimpin, begitu
pula dari sesamanya, untuk memastikan bahwa mereka yang memimpin melaksanakan
kebajikan-kebajikan yangg sepadan dengan kkepentingan-kepentingan penduduk secara
keseluruhan.
e. Model IIIa ( demokrasi developmental )
Prinsip penelitiannya adalah partisipasi ddalam kehidupan politik penting tidak hanya baagi
perlindungan kepentingan individu, namun juga bagi pembentukan rakyat yang tahu, mengabdi,
dan berkembng. Keterlibatan politik penting bagi peningkatan kapasitas individu yang tertinggi
dan harmonis.
f. Model IV ( demokrasi langsung dan akhir dari politik )
Prinsip penelitiannya adalah ‘pembangunan yang bebas dari semuanya’ hanya dapat diraih
dengan pembangunan yang bebas dari setiap orang. Kebebasan membutuhkan berakhirnya
eksploitasi dan terutama kesetaraan politik ekonomi yang benar-benar lengkap; hanya kesetaraan
yang dapat menjamin keadaan-keadaan yang diperlukan untuk merealisasikan kemampuan
manusia sehingga ‘ setiap orang dapat memberi’ sesuai dengan kemampuannya dan menerima
apa yang mereka butuhkan.
g. Model V (demokrasi kompetisi elite )
Prinsip penelitannya adalah metode pemilihan elite politik yang terampil dan imajinatif yang
mampu mengambil keputusan-keputusan yang diperlukan dalam legislatif dan administratif,
hambatan bagi kepemimpinan yang berlebihan
h. Model VI (Demokrasi Pluralisme)
Prinsip penilaiannya menjamin pemerintahan oleh minoritas dan, dengan demikian, kebebasan
politik penghambat tumbuhnya faksi-faksi dengan kekuasaan berlebihan dan negara yang tidak
responsif.
i. Model VII (Demokrasi Legal)
Prinsip penilaiannya mayoritas merupakan sebuah cara yang efektif dan selalu diperlukan untuk
menjaga individu-individu dari kesewenang-wenangan pemerintah dan mempertahankan
kebebasan.
j. Model VIII (Demokrasi Partisipatif)
Prinsip penilaiannya adalah sebuah hak yang sama pada kebebasan dan pengembangan diri
hanya dapat diperoleh dalam sebuah ‘masyarakat partisipatif’, sebuah masyarakat yang
membantu perkembangan sebuah keampuhan nilai politik, memelihara sebuah urusan terhadap
masalah-masalah kolektif dan menyumbangkan pada formasi warga negara yang berpengetahuan
yang mampu menerima sebuah kepentingan tetap dalam proses memerintah.
k. Model IX (Demokrasi Deliberatif)
Prinsip penilaiannya adalah dengan persyaratan kelompok politik yang dilakukan dengan
kesepakatan warga negara yang bebas dan berdasarkan pada nalar.
l. Model X (Otonomi Demokrasi)
Prinsip penilaiannya adalah orang-orang atau masyarakat harus menikmati hak yang setara dan
selanjutnya, kewajiban yang setara dalam spesifikasi kerangka kerja politik yang menciptakan
dan membatasi kesempatan-kesempatan yang disediakan oleh masyarakat.
m. Model Xa (Demokrasi Kosmopolitan)
Prinsip penelitiannya adalah dalam dunia yang penuh dengan hubungan global dan regional yang
semakin intensif, dengan ‘komunitas nasib’ yang saling melengkapi, prinsip otonomi
membutuhkan sebuah penegakan dalam jaringan-jaringan regional dan global maupun
pemerintahan lokal dan nasional.

Model-model lain dari demokrasi sebagai berikut;


1. Demokrasi Liberal yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh undang-undang dan pemilihan
umum bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang ajeg.
2. Demokrasi Terpimpin. Para pemimpin percaya bahwa semua tindakan mereka dipercaya
rakyat tetapi menolak pemilihan umum yang bersaing sebagai kendaraan unyuk menduduki
kekuasaan.
3. Demokrasi Sosial adalah demokrasi yang menaruh kepedulian kepada keailan sosial dan
egalitarianisme bagi persyaratan untuk memperoleh kepercayaan politik.
4. Demokrasi Partisipasi, yang menekankan hubungan timbal balik antara penguasa dan yang
dikuasai.
5. Demokrasi Konstitusional, yang menekankan proteksi khusus bagi kelompok-kelompok
budaya yang menekankan kerja sama yang erat diantara elit yang mewakili bagian budaya
masyarakat utama.
6. Demokrasi Langsung, terjadi bila rakyat mewujudkan kedaulatannya pada suatu negara
dilakukan secara langsung.
Demokrasi Tidak langsung, terjadi bila untuk mewujudkan kedaulatannya rakyat tidak secara
langsung berhadapan dengan pihak eksekutif, melaikan melalui lembaga perwakilan.
7. Antagonisme Politik dan Solusi untuk Demokrasi Anarkis

Kebebasan dan persaingan politik dalam demokrasi Indonesia rentan terhadap praktik politik
antagonis.Terlihat dari maraknya tindak kekerasan sebagai metode perjuangan sejumlah Ormas
baik beridentitas agama maupun politik. Pemicu bisa bersumber dari respon reaksioner atas
ketidakmampuan menerima konsekuensi hidup berdemokrasi terutama dalam konteks penerapan
etika tolerandanpluralis. Naiknya pamor kelompok minoritas di panggung politik, kebijakan
yang tidak ramah kepada mayoritas dan toleransi kepada kelompok agama/kepercayaan lain
adalah daftar isu yang rentan tindak kekerasan. Selainitu, Masalah juga bersumber dari
ketidakefektifan Negara menegakkan hukum dan ketertiban. Dalam hal ini, rakyat menggunakan
logika kekuasaannya sendiri untuk mensubtitusi kegagalan Negara. Sayangnya, Negara terkesan
melakukan pembiaran pada berbagai penyakit demoralisasi masyarakat. Obat yang dinilai
mujarab mengatur ormas adalah pemerintah menerbitkan UU Ormas. Namun Negara juga
mengalami dilema yang tidak remeh. Penggiat masyarakat sipil mewaspadai Negara agar tidak
terlalu dalam mengintervensi ruang public sipil. Oleh karena itu, Negara dan masyarakat harus
menghormati konstitusi dan mentradisikan nilai demokrasi di internal Ormas. Kemudian etika itu
dijadikan landasan menyikapi berbagai masalah social. Begitu pula Negara harus efektif
menegakkan hukum dan ketertiban dalam hidupberdemokrasi. Dengan demikian, kehadiran UU
Ormas dapat dipahami bersama sebatas efektifitas instrumental menciptakan perdamaian dalam
Negara semata.

8. Masalah Kebebasan (Mill, Kritik Marxist dan Komunitarianisme

Masalah kebebasan berpikir merupakan masalah yang selalu aktual dan universal untuk dibahas.
Kebebasan berpikir Mill ini dilatar belakangi adanya suatu pertarungan antara kekuasaan dan
kebebasan di Inggris pada waktu itu di mana kekuasaan selalu mempresentasikan kepentingan
yang bertentangan dengan kehendak rakyat sehingga menyebabkan kebebasan yang di dalamnya
termasuk kebebasan berpikir sangat dibatasi. Selain dari latar belakang itu, pemikiran Mill
dipengaruhi secara langsung oleh aliran utilitarian yang diikutihya dimana manfaat digunakan
sebagai dasar tujuan aliran tersebut. Pemikiran Mill ini juga berhubungan dengan etika politik
karena kebebasan berpikir merupakan tema pokok etika politik empat abad terakhir yang
membahas tentang batas-batas kebebasan berpikir yang berhadapan dengan kekuasaan dan
adanya suatu jaminan atau pengakuan Negara akan hak tersebut. Maka Mill sebagai orang yang
sangat perhatian dengan pemerintahan yang demokratis dan konstitusional berusaha untuk
memperjuangkan hak kebebasan berpikir melalui pemikirannya tersebut.

Dalam penelitian ini penulis berusaha merumuskan suatu permasalahan itu menjadi dua:
Pertama, mengapa kebebasan berpikir itu harus dihargai dan dilindungi?, kedua, bagaimana
konsep kebebasan berpikir menurat John Stuart Mill bila ditinjau dari perspektif etika politik?
Sedangkan tujuan dan kegunaan penelitian ini untuk mengetahui dasar-dasar kebebasan berpikir
itu harus dihargai dan dilindungi serta untuk mengetahui dan memahami pemikiran John Stuart
Mill tentang kebebasan berpikir dalam aspek etika politik. Sedangkan metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian literatur yang menjadikan obyek bahasannya pemikiran Mill tentang
kebebasan berpikir yang ditinjau dari aspek etika politik. Sumber-sumber data yang digunakan
adalah sumber-sumber yang relevan dengan permasalahan tersebut dan kemudian diolah melalui
tehnik deskripsi, interpretasi dan analisa.

Dari penelitian ini dapat di hasilkan jawaban untuk menjawab rumusan masalah diatas bahwa
kebebasan berpikir menurut John Stuart Mill itu harus dilindungi dan dihargai karena hal itu
menjawab kebutuhan manusia yang paling penting. Ketidakmampuan menyatakan pikiran atau
pendapat apapun alasannya merupakan pemotongan dan pengurangan kemampuan manusia
untuk berpikir. Tetapi bagi Mill kebebasan berpikir yang merupakan hak dasar individu itu
mempunyai batas-batas bila hal itu sudah menyangkut individu lain dalam suatu komunitas
masyarakat. Maka Mill sebagai seorang aliran utilitarian menggunakan prinsip manfaat dalam
membatasi kebebasan berpikir itu yaitu terdapat satu uji sederhana validitas kontrol sosial dari
kekuasaan pemerintah terhadap tindakan individu yang termasuk didalamnya kebebasan berpikir
adalah satu-satunya tujuan dimana kekuasaan yang sah dapat dijalankan secara sah terhadap
anggota masyarakat yang beradab agar tidak merugikan individu lain.
9. Pasar dan Properti (Teori Locke tentang Asal Mula Pemilikan-propert, Pasar dan agumen
melawan pasar)

teori tenaga kerja properti (juga disebut teori tenaga kerja apropriasi , teori tenaga kerja
kepemilikan , teori tenaga kerja hak , atau prinsip perampasan pertama ) adalah teori hukum
alam yang memegang properti yang awalnya datang sekitar dengan tenaga kerja pada alam
sumber daya. Teori tersebut telah digunakan untuk membenarkan prinsip wisma , yang
menyatakan bahwa seseorang dapat memperoleh kepemilikan permanen sepenuhnya atas sumber
daya alam yang tidak dimiliki dengan melakukan tindakan perampasan asli.

Dalam Risalah Kedua tentang Pemerintah , filsuf John Locke bertanya dengan hak apa yang
dapat diklaim seseorang untuk memiliki satu bagian dunia, ketika, menurut Alkitab , Tuhan
memberikan dunia kepada semua umat manusia yang sama. Dia menjawab bahwa meskipun
orang adalah milik Tuhan, mereka memiliki hasil kerja keras mereka. Saat seseorang bekerja,
tenaga itu masuk ke dalam benda. Jadi, benda itu menjadi milik orang itu.

Namun, Locke berpendapat bahwa seseorang hanya dapat mengambil properti dengan cara ini
jika ketentuan Lockean berlaku, yaitu, "... ada cukup, dan sama baiknya, yang tersisa untuk
orang lain".

10. Teori Keadilan: feminisme

Feminisme sebagai sistem gagasan sebagai kerangka kerja dan studi kehidupan sosial dan
pengalaman manusia yang berevolusi dari perspektif yang berpusat pada perempuan. Ini sejarah
panjang sebagai cerminan dari tanggung jawab tentang bagaimana mewujudkan keadilan bagi
umat manusia menjadi nyata. Feminisme menyulut kesadaran Muslim tentang realitas
ketidaksetaraan gender. Kesadaran ini mengarah pada pemahaman bahwa pengasingan
ketidakseimbangan gender dimulai dengan perbedaan makna teks-teks agama dengan realitas
historisitas. Perpaduan antara teori feminis sebagai bagian dari teori modern dan studi Islam
(interpretasi kontemporer hukum agama) menawarkan solusi masalah kemanusiaan melalui
keseimbangan penilaian pada wanita dan pria. Menemukan nilai-nilai Islam yang relevan dalam
pengarusutamaan gender memiliki dampak positif pada keadilan sosial. Mengembangkan studi
Islam sebagai cara menemukan nilai esoteris yang mendasari kehidupan dalam kerangka
transformasi sosial keagamaan. Menegaskan bahwa Islam tidak hanya membahas masalah klasik
dan teologis Fiqh, tetapi juga mengilhami umat manusia untuk menghakimi dan memperlakukan
sesama manusia sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat dan bermartabat sehingga wajar
untuk dihormati dan diperlakukan secara adil.

Anda mungkin juga menyukai