Anda di halaman 1dari 6

NAMA/NIM : MUHAMMAD ARIQ JUNDA TAQIYA (932022066)

PRODI : TEKNIK ELEKTRONIKA


KELAS : 1TE-3

TEORI KONTRAK SOSIAL

A. Sejarah Teori Kontrak Sosial


Thomas Hobbes dan John Locke adalah dua pemikir politik Inggris abad 17.
Mereka menjad saksi atas pergolakan politik Inggris mulai dari Revolusi Puritan
1648 dan Revolusi Kejayaan 1688. Banyaknya korban perang dan penindasan
membuat mereka berupaya untuk mencari alternatif solusi. Mereka terlihat
“berkoalisi” untuk mencapai tujuan yang sama tetapi dengan jalan yang berbeda. Hal
ini terjadi karena mereka memiliki asumsi yang berbeda. Jika Hobbes merasa
manusia adalah serigala bagi manusia lainnya maka Locke melihat manusia seperti
kertas putih tanpa noda. Keadaan perang menuntut Hobbes dan Locke mencari jalan
keluarnya. Mereka terlihat sependapat untuk mengajukan kontrak sosial sebagai
jalan perdamaian dimana negara akan menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Gagasan kontrak sosial pada dasarnya mengacu pada semacam kesepakatan,
perjanjian yang dibuat satu orang dengan yang lain untuk menjamin rasa aman.
Teori kontrak sosial (social contract) berawal pada karya pemikiran Plato,
The Republic (427 SM – 347 SM). Thomas Hobbes (1588 – 1679), yang kemudian
memformalisasikan secara eksplisit konsep teori kontrak sosial pada sekitar abad
17 melalui karya yang berjudul Leviathan. Konsep tersebut lebih lanjut
dikembangkan oleh John Locke (1636 – 1704) yang mengatakan pada dasarnya
bentuk dan dasar lingkungan sosial bersifat apolitical, dimana pelaku sosial
memiliki tanggung jawab untuk mematuhi hukum alam yang sudah teratur (Chariri
Anis, dalam Nor Hadi, 2011, p.96). Keteraturan hukum alam memberikan
kewajiban kepada masyarakat untuk memelihara hukum dengan kontrak sosial
untuk mencegah individu agar tidak menyimpang dan melanggar hukum tersebut.
Teori ini muncul karena adanya interelasi dalam kehidupan sosial
masyarakat, agar terjadi keselarasan, keserasian, dan keseimbangan termasuk
terhadap lingkungan. Perusahaan yang merupakan kelompok orang yang memiliki
kesamaan tujuan dan berusaha mencapai tujuan secara bersama adalah bagian dari
masyarakat dalam lingkungan yang lebih besar. Keberadaannya sangat ditentukan
oleh masyarakat, di mana antara keduanya saling pengaruh-memengaruhi. Untuk itu
agar terjadi keseimbangan (equality), maka perlu kontrak sosial baik secara tersurat
maupun tersirat, sehingga terjadi kesepakatan-kesepakatan yang saling melindungi
kepentingan masing-masing (Ardianto & Machfudz, 2011, p.76).

B. Tokoh Teori Kontrak Sosial


Tokoh – tokoh teori kontrak sosial sebagai berikut :
1. Thomas Hobbes
Thomas Hobbes adalah salah satu filsuf politik yang terkemuka. Dia
hidup bersamaan dengan keadaan korup Inggris abad ke-17. Tidak seperti
Locke, dia adalah seorang filsuf yang sulit untuk diklasifikasikan pada
kelompok tertentu. Pada mulanya, Hobbes menganalogikan manusia seperti
jam tangan. Manusia dapat bergerak dan bekerja karena manusia adalah
perangkat mekanis. Kemudian, Hobbes mulai berpikir bahwa apa yang
menggerakkan manusia adalah nafsunya. Nafsu yang paling kuat dalam diri
manusia adalah nafsu untuk mempertahankan diri (Fibriamayusi, 2013:97).
Manusia sangat membutuhkan kekuasaan bersama untuk menghindari
pertumpahan darah. Kebersamaan tersebut (kontrak atau perjanjian sosial)
mendorong manusia untuk membentuk sebuah negara atau kedaulatan
(Suhelmi, 2001:176). Hobbes terasa menyadari bahwa manusia setara namun
bersifat individual. Mereka menyepakati agar negara memaksa mereka
menjadi makhluk sosial. Penguasa diberikan otoritas untuk menciptakan
pembedaan dalam masyarakat (Fink, 2010:59). Selain itu, ketika mereka
telah bersepakat maka Segala hak mereka berakhir dan harus menaati semua
aturan penguasa (Hadiwijono, 1980:34-35). Dengan kata lain, masyarakat
melalui negara memiliki peran yang fundamental dalam mengatur interaksi
antar manusia.
Warga negara tidak memiliki hak apapun terhadap negara. Mereka
memberikan segala hak yang melekat pada negara. Negara kemudian melalui
undang-undang menetapkan nilai-nilai moral yang digunakan. Hobbes
menolak kemungkinan warga negara naik banding terhadap kehendak negara
berdasarkan keadilan atau tuntutan moral. Apa yang adil dalam kehidupan
bernegara ditentukan oleh negara. Keadilan adalah apa yang sesuai dengan
undang-undang, betapapun buruknya. Apabila negara bertindak bertentangan
dengan undang-undang, para warga negara akan kehilangan motivasi untuk
bersikap taat kepadanya (Magnis-Suseno, 1995:11).
Negara ideal menurut Hobbes tidaklah jelas. Suhelmi (2001:178-9)
berpendapat bahwa bagi Hobbes semua bentuk negara baik, asal saja
kekuasaan dalam negara tidak terbagi-bagi. Kekuasaannya harus mutlak.
Dalam kasus di Inggris, dia setuju bila parlemen yang berkuasa tetapi pada
saat yang sama raja tidak boleh berkuasa atau sebaliknya. Fink (2010:52)
menambahkan bahwa Hobbes memilih penguasa laki-laki daripada penguasa
perempuan. Hobbes terlihat begitu fanatik pada ketertiban sosial yang
diciptakan oleh sistem feodalis-patriarki Inggris. Wajar apabila kemudian dia
memberikan penguasa ideal dalam diri William Sang Penakluk (William I
atau William dari Normandia)
Setelah Hobbes mengetahui keadaan alamiah maupun watak beserta
sifat dari manusia (State of Nature),kemudian Hobbes merumuskan apa
yang ia sebut sebagai Kontrak Sosial. Menurut Hobbes manusia bisa
menjamin penjagaan diri mereka hanya jika mereka bersedia membuat
perjanjian dengan orang lain dengan menghapuskan hak alamiah obsolut
mereka pada semua hal. Namun yang perlu diperhatikan disini ialah sifat
dari definisi Hobbes tentang kontrak sosial yang sekiranya penting untuk
dikemukakan. Pertama, perjanjian yang dimaksud oleh Hobbes dalam hal
ini bukanlah perjanjian antara ruler (penguasa ataupun pemimpin)dan ruled
(rakyat), melainkan sebuah kesepakatan (agrrement) diantara individu-
individu untuk mengakhiri keadaan alamiah (state of nature) dan
membentuk suatu tatanan yang diberi nama masyarakan sipil. Kedua,
kontrak sosial Hobbes dilakukan oleh individu-individu yang
secara alamiah terisolir dan anti-sosial. Pandangan ini mengingatkan
pada pernyataan kaum sophis bahwa manusia secara alamiah adalah
non-sosial dan bahwa keadilan lahir dari kesepakatan timbal balik untuk
menghindari saling menyakiti. Ketiga, kesatuan orang-orang yang dibentuk
oleh perjanjian sosial (social covenant) lebih merupakan suatu konsekuensi
dari kedaulatan daripada sumber dari kedaulatan. Sumber pokok negara,
yang terpenting adalah kehendak individu yang mengadakan persetujuan
denganborang lain, dan dari berbagai kehendak ini semata-mata
disatukan sebagai hasil dari kontrak mereka serta dibentuknya kekuatan
bersama yang kemudian disebut sebagai rakyat. Kemudian dari
berbagai kehendak ini direduksi menjadi satu, bukan melalui kesatuan
yang bersifat organis dari orang-orang melainkan melalui penciptaan
kedaulatan politik dimana semua kekuatan individu diserahkan kepada
negara. Jadi dalam hal ini Hobbes berpandangan bahwa Negara
merupakan sebuah intitusi yang memiliki suatu kewajiban mengatur
setiap masyarakat agar tercipta suatu tatanan yang berjalan dengan baik (J. P.
Mayer, 1939)

2. John Locke
John Locke adalah seorang filsuf sekaligus pemikir yang lahir pada
medio 1632. Dia hidup di tengah gejolak dua revolusi. Revolusi Puritan 1648
membawa kesadarannya bahwa agama dijadikan sebagai kendaraan politik
dalam menguasai suatu pemerintahan. Revolusi Kejayaan 1688 menjadi titik
tolak pemikirannya tentang manusia dan dunia. Dia mulai memahami apa
yang dibutuhkan manusia dalam menjalani hidup. Keterpenuhan hak asasi
manusia danmsuatu sistem yang menjamin adanya hak asas tersebut adalah
inti dari teori kontrak sosial Locke. Menurut Wijaya (2013), hak-hak yang
terampas dari kehidupan manusia adalah hak untuk memiliki hidup, bebas,
properti, dan kesehatan. Kontrak sosial yang dijalankan oleh suatu
pemerintahan harus melindungi hak-hak tersebut.
Locke juga menyaksikan pertentangan antara urusan pemerintahan
dan agama semakin meruncing. Dia merasa hal tersebut sebagai kekacauan
utama masyarakat. Dia percaya bahwa cara yang mungkin dilakukan untuk
menyelesaikan permasalahan ini adalah dengan mengembalikan urusan
mereka pada hakikatnya. Disatu sisi, pemerintah berhubungan dengan urusan
publik seperti bagaimana mengatur masyarakat atau melindungi masyarakat.
Sedangkan di sisi yang lain urusan gereja merujuk pada urusan batiniah
antara seseorang dengan tuhannya. Locke mempertimbangkan bahwa
seseorang pasti memiliki keinginan sendiri-sendiri; sehingga dibutuhkan
kontrak sosial untuk melindungi kepemilikan dan kebebasan rakyat. Dia
percaya bahwa kontrak sosial dipercaya adalah satu-satunya jalan dalam
menuju masyarakat beradab. Kontrak sosial adalah legitimasi otoritas politik
untuk membatasi kewenangan setiap subjek dan hak dari setiap penguasa dari
seluruh manusia yang secara alamiah terlahir bebas dan setara (Lessnoff,
1990:2).
Sebagaimana Hobbes pendahulunya, Locke menyandarkan
kewajiban
politik pada kontrak sosial. Locke memulai filsafat politiknya
dengan
memahami unsur alamiah yang ada dalam diri manusia bahwa dalam
diri
setiap manusia memiliki akal, dan manusia bebas untuk menentukan
dirinya dalam keadaan apapun termasuk otoritas politik tidak dapat
menghalangi kebebasan yang berada dalam diri manusia ini. Menurut
John Locke setiap orang memiliki kemerdekaan alamiah untuk bebas
dari setiap kekuasaan superior diatas bumi, dan tidak berada di bawah
kehendak atau otoritas legislatif manusia dikarenakan setiap orang sederajat
dengan orang lain, bukan dalam hal kebajikan atau kemampuan tetapi dalam
kenyataan bahwa ia adalah pemilik mutlak atas dirinya dan tidak tunduk pada
otoritas orang lain. Namun meskipun mempunyai kebebasan dan
kemerdekaan dalam setiap diri manusia, juga terdapat berbagai kekurangan
dalam setiap diri individu dari bentuk berbagai kekurangan inilah
kemudian mendorong manusia untuk bersatu dalam tatanan politik.
Kemudian dari tatanan politik inilah terciptasuatu aturan atau kontrak
sosial yang mengikat manusia secara keseluruhan dan menjadikan
mereka bisa mempunyai kekuatan utuh untuk mempertahankan sekaligus
mengamankan milik mereka, dan mempunyai peraturan yang
mengikat setiap masyarakat. (F. Budi Hardiman, 2019).

3. Jean Jacques Rousseau


Jean Jacques Rousseau adalah seorang filsuf yang lahir di Jenewa
pada 28 Juni 1712. Bagi Rousseau kontrak sosial itu adalah mempertahankan
kebebasan manusia. Dalam hal ini Rousseau mengakui adanya perubahan
kondisi lewat kontrak sosial itu. Pertama, jika dalam keadaan asali terdapat
kebebasan kodrati, maka kebebasan sipil terwujud sesudah kontrak sosial.
Kedua, jika dalam keadaan asali kebebasan alamiah dibatasi oleh kekuatan
fisik individu, maka dalam negara kebebasan sipil dibatasi oleh kehendak
umum. Meski ada perubahan ini, Rousseau tetap berkeyakinan bahwa, jika
negara diatur dengan baik, kebebasan warganya bisa lebih timggi daripada
kebebasan dalam keadaan asalinya.
Sebagai teori kontrak sosial, ajaran Rousseau memiliki
kemiripandengan ajaran yang sudah-sudah, yakni tatanan sosial dibentuk oleh
sebuah kesepakatan, persetujuan atau konvensi sosial. Perbedaan versi
Rousseau dari versi-versi lainnya terletak pada motif mengadakan kontral
sosial itu.
Inti dari teori Kontrak Sosial Rousseau adalah bahwa masing-masing
individu melimpahkan segala hak perorangannya kepada komunitas sebagai
satu keutuhan. Dengan demikian maka segala hak alamiah, termasuk
kebebasan penuh untuk berbuat sekehendak hati yang dimiliki oleh orang-
orang dalam kehidupan alamiah itu pindah ke komunitas, atau dalam bahasa
politik, pada komunitas sebagai satu keutuhanlah terletak kedaulatan rakyat,
dan kedaulatan ini tidak tidak dapat pula dibagi-bagi. Dengan kata lain,
kehidupan bersama dengan sendirinya menuntut bahwa kebebasan masing-
masing orang dibatasi demi hak dan kebebasan setiap orang lain yang sama
besarnya, dan juga oleh tuntutan kehidupan bersama.

C. Perkembangan Teori Kontrak Sosial


Kontrak sosial sebagai perjanjian diantara masyarakat dengan kaum elite
yang
diwakili oleh penguasa, berakar kepadapemikiran politik dari abad ke-16 sampai ke-
18 di Eropa Barat, terutama karya ThomaHobbes, Jhon Locke, dan Jean Jacques
Rousseau. Mereka adalah bagian dari golongan pemikir besar Eropa yang merespons
peralihan era revolusi pertanian pertama di pertengahan abad ke-16 menuju Kontrak
Sosial dan Pemilihan Umum (Arbi Sanit) revolusi keagungan dan revolusi ilmu
pengetahuan di akhir abad ke-18. Pemikiran mereka menapaki perjalanan Panjang
pergeseran kekuasaan dari raja dan kaum bangsawan kepada kaum feodal yang
semakin mendominasi parlemen, sebagai imbalan bagi kontribusi pajak mereka yang
semakin menentukan sumber keuangan kerajaan.
Perkembangan teori (pemikiran politik) kontrak sosial mengalami pasang
surut justru karena pemekaran pemikiran baru yang berakar kepadanya. Di akhir
abad ke-18, pada saat perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa Barat meningkat
tajam, dan raja serta bangsawan semakin kehilangan dominasi, pemikiran tentang
individualisme tumbuh pesat bertolak dari penajaman perhatian kepada kebebasan
rakyat yang digagaskan dalam kontrak sosial. Dipelopori oleh Jeremy Bentham yang
hidup dari pertengahan abad ke-18 sampai awal abad ke-19, di puncak
perkembangannya pemikiran utilitarianisme yang mengkonsepsionalkan
individualisme, menampilkan sejumlah prinsip. Pertama, manusia bertindak untuk
memaksimalkan kepentingan dalam arti kebahagiaannya sendiri. Kedua, nilai moral
hendaklah memuat prinsip bahwa manfaat kegiatan atau institusi publik hendaklah
membahagiakan sebanyak mungkin orang. Dan ketiga, prinsip kebahagiaan orang
banyak itu hendaklah menentukan kekuasaan negara seperti legislatif. Perkembangan
teori negara kontrak sosial keutillitarianisme merupakan dasar bagi pemikian
liberalisme klasik. Dengan
tetap mempertahankan kebebasan individu, Kontrak Sosial dan Pemilihan Umum
(Arbi Sanit) lebih jauh pem ikiran liberalisme klasik menawarkan peran negara yang
amat terbatas, sehingga dikenal sebagai “negara penjaga malam”. Teori negara
kontrak sosial semakin hilang dari peredaran, tatkala filsafat utilitarian yang
mengilhami berbagai teori negara liberal, mendapat saingan dari filsafat Marxis yang
juga melandasi berbagai teori negara (sosialis).
Tetapi pada pertengahan abad ke-20, di saat dunia berhadapan dengan
ketidakadilan yang serius, mulai dari keterbelakangan ekonomi dan sosial negara-
negara bekas jajahan, kesenjangan utara-selatan dan timur-barat, sampai kepada
ketergantungan politik dan ekonomi Dunia Ketiga, maka teori kontrak sosial
mendapat perhatian kembali. Dalam tulisannya tentang Keadilan Sebagai Kejujuran
di tahun 1958, John Rawls menulis tentang ketidaktepatan kaum utilitarian
membedakan dan memisahkan konsep keadilan (justice) dengan kejujuran (faimess).
Baginya pemikiran kontrak sosial menginspirasikan pengembangan argument bahwa
gagasan fundamental dari konsep keadilan justru kejujuran (Crespigny dan
Wertheimer, eds,. 1970)
Daftar Pustaka

Althien J. Pesurna. 2021. Kontrak Sosial Menurut Immanuel Kant: Kontekstualisasinya


Dengan Penegakan Ham di Indonesia (31). Yogyakarta : Jurnal filsafat.
Abraham Natanael Nainggolan. 2017. Strategi Community Relations PT. Pertamina Hulu
Energi West Madura Offshore dalam Melaksanakan Program CSR Si Komo Pasir – Taman
Pendidikan Mangrove. Surabaya : Universitas Kristen Petra.
Daya Negri Wijaya. 2016. Kontrak Sosial Menurut Thomas Hobbes dan John Locke (1).
Malang : Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis.
Mohamad Nur Wahyudi. 2022. Teori Kontrak Sosial (Studi Komparasi Teori Politik
Menurut Imam Al - Mawardi, Thomas Hobbes dan John Lock) (4). Yogyakarta : An – Nawa
: Jurnal Studi Islam
Zikraini Alrah. 2019. Kontrak Sosial dalam Pandangan Rousseau (1). Jakarta : Paradigma :
Jurnal Kalam dan Filsafat.
Arbi Sanit. (2004). Kontrak Sosial dan Pemilihan Umum. Jakarta : Jurnal Penelitian
Politik, 1(1).

Anda mungkin juga menyukai