Anda di halaman 1dari 9

Pengantar

Ada empat teori tentang terbentuknya negara, yaitu teori alamiah, teori ciptaan Tuhan,
teori kekuatan, dan teori kontrak sosial. Masing-masing teori itu juga memberikan
penjelasan tentang di mana sumber kewenangan politik.
Teori alamiah menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena kebutuhan
manusia untuk aktualisasi kemanusiaannya. Negara adalah wadah tertinggi untuk
aktualisasi manusia. Selain negara, dua wadah lain yang tingkatnya lebih rendah
adalah keluarga dan desa. Di dalam keluarga, manusia mengakutalisasikan diri di
bidang fisik, karena keluarga menyediakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisik
manusia. Di dalam desa, manusia mengaktualisasi diri di bidang sosial, karena desa
menyediakan pemenuhan hasrat untuk berkawan dan bermasyarakat.
Di dalam negara, manusia mengaktualisasikan diri di bidang moral dan politik untuk
menjadi manusia sepenuhnya karena manusia mampu mengaktualisasikan hasrat
moral dan politik yang tidak bisa terpenuhi di dalam wadah keluarga dan desa. Oleh
karena itu manusia bisa sempurna hanya bila mereka berperan dalam negara.
Teori ciptan Tuhan menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena diciptakan
oleh Tuhan. Penguasa atau pemerintah suatu negara ditunjuk atau ditentukan oleh
Tuhan, sehingga walau pun penguasa atau pemerintah mempunyai kewenangan,
sumber kewenangan tetap adalah Tuhan. Oleh karena sumber kewenangan adalah
Tuhan, penguasa atau pemerintah bertanggungjawab kepada Tuhan, bukan kepada
rakyat yang dikuasai atau diperintah.
Teori kekuatan menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena hasil
penaklukan dan kekerasan antarmanusia. Yang kuat dan mampu menguasai yang lain
membentuk negara dan memaksakan haknya untuk menguasai dan memerintah
negara. Sumber kewenangan dalam teori ini adalah kekuatan itu sendiri, karena
kekuatan itu yang membenarkan kekuasaan dan kewenangan.
Teori kontrak sosial menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena anggota
masyarakat mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara. Dalam teori ini,
sumber kewenangan adalah masyarakat itu sendiri.
Secara garis besar dan untuk keperluan analisis, keempat teori itu seolah-olah berdiri
sendiri secara tegar. Akan tetapi bila dilihat lebih seksama, di dalam masing-masing
teori itu terdapat nuansa-nuansa perbedaan penjelasan dan argumentasi, terutama pada
pengoperasian kewenangan. Bahkan, dari variasi argumentasi itu sering muncul
argumentasi yang bisa menjadi pendukung atau inspirasi dari teori lain. Teori ciptaan
Tuhan, misalnya, mengandung variasi pemikiran tentang pengoperasian kewenangan.
Kongfucu, misalnya, menyatakan bahwa Tuhan memberi mandat (the mandate of
heaven) kepada raja untuk memerintah rakyatnya. Apabila raja dianggap tidak
memerintah dengan baik, maka mandat itu dicabut oleh Tuhan. Tetapi bagaimana dan
kapan mandat harus dicabut, rakyatlah yang mengetahui dengan melihat gejalavgejala alam, seperti adanya bencana banjir, gempa bumi, kelaparan dan sebagainya.
Walau pun secara prinsip Tuhan sumber kewenangan, tampak pula bahwa akhirnya
manusia (baca: rakyat) yang secara praktis mengoperasikannya.
Thomas Aquinas, misalnya pula, mengembangkan pemikiran tentang principium

(prinsip), modus (cara) dan exercitium (pelaksanaan) dari kewenangan. Aquinas


secara tegas menyatakan bahwa pada prinsipnya kewenangan bersumber pada Tuhan,
bahwa cara kewenangan dioperasikan ditentukan oleh manusia, dan bahwa
pelaksanaannya pun dilakukan oleh manusia.
Dari pemikiran Konfucu dan Aquinas tadi sebenarnya tampak benih-benih atau dasardasar bagi perkembangan teori kontrak sosial.
Tulisan ini hanya membahas nuansa-nuansa dalam teori kontrak sosial. Bahasan
tentang teori kontrak sosial ini pun dibatasi pada tiga karya pemikir utamanya, yaitu
Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jacques Rousseau. Untuk menjamah segi
praktisnya, tulisan ini juga diakhiri dengan pembahasan hipotetis tentang pengaruhpengaruh masing-masing segi pemikiran dalam pola-pola kehidupan bernegara, baik
kalangan pemerintah mau pun masyarakat biasa.
Teori Kontrak Sosial
Teori kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran Jaman Pencerahan
(Enlightenment) yang ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang
menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia adalah
sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk
mengelola dan mengatasi kehidupan politik dan bernegara. Dalam perspektif
kesejarahan, Jaman Pencerahan ini adalah koreksi atau reaksi atas jaman sebelumnya,
yaitu Jaman Pertengahan. Walau pun begitu, pemikiran-pemikiran yang muncul di
Jaman Pencerahan tidaklah semuanya baru. Seperti telah disinggung di atas, teori
kontrak sosial yang berkembang pada Jaman Pencerahan ternyata secara samar-samar
telah diisyaratkan oleh pemikir-pemikir jaman-jaman sebelumnya seperti Kongfucu
dan Aquinas. Yang jelas adalah bahwa pada Jaman Pencerahan ini unsur-unsur
pemikiran liberal kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran.
Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari, dan membahas tentang,
kontrak sosial dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka sama-sama
mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah sumber
kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan itu dari
sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu dari
yang lain. Perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam
konsep maupun (apalagi!) di dalam praksisnya.
Salah satu faktor penyebab perbedaan itu adalah latarbelakang pribadi dan
kepentingan masing-masing. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Hobbes (15881679) hidup pada kondisi negaranya sedang kacau balau karena Perang Saudara;
bahwa Hobbes menginginkan negaranya stabil dan Hobbes mempunyai ikatan karier
dan politik dengan kalangan kerajaan, sehingga dalam persaingan kerajaan versus
parlemen Hobbes memihak kerajaan dan antiparlemen yang dianggap sumber utama
perang saudara.
Locke hidup (1632-1704) setengah abad lebih muda daripada Hobbes. Secara ringkas
bisa disebutkan bahwa Locke merasa hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan
despotik; bahwa Locke mendapat pengaruh dari semangat liberalisme yang sedang
bergelora di Eropa pada waktu itu; dan bahwa Locke mempunyai ikatan karier dan
politik dengan kalangan parlemen yang sedang bersaing dengan kerajaan, sehingga

Locke cenderung memihak parelemen dan menentang kekuasaan raja.


Sedangkan Rousseau (1712-177 hidup dalam abad berbeda dan negara berbeda pula.
Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Rousseau berasal dari kalangan biasa yang
merasakan kesewenang-wenangan kerajaan; dan bahwa Rousseau mengilhami dan
terlibat dalam Revolusi Perancis.
Dalam membangun teori kontrak sosial, hobbes, Locke dan Rousseau memulai
dengan konsep kodrat manusia, kemudian konsep-konsep kondisi alamiah, hak
alamiah dan hukum alamiah.
Kontrak Sosial: Hobbes
Hobbes menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya.
Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions),
yang menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu
akan kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan
aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati. Hobbes
menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat
atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap
manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan
power-nya masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antarsesama
manusia, yang meningkatkan keengganan untuk mati. Mengenai semua hal di atas,
Hobbes menulis sebagai berikut:
So that in the first place, I put for a generall inclination of all mankind, a perpetuall
and restlesse desire of Power after power, that ceaseth in Death. And the cause of this,
is not intensive delight, than he has already attained to; or that he cannot with a
moderate power: but because he cannot assure the power and means to live well,
which he hath present, without the acquisition of more. [Thomas Hobbes, Leviathan,
Harmandsworth, Middlesex: Penguin Books Ltd., 1651, cetak ulang tahun 1983, h.
161.]
Dengan demikian Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat
perjuangan untuk power dari manusia atas manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah
seperti itu manusia menjadi tidak aman dan ancaman kematian menjadi semakin
mencekam.
Karena kondisi alamiah tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha
menghindari kondisi perang-satu-dengan-lainnya itu dengan menciptakan kondisi
artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah,
tetapi sudah memasuki kondisi sipil. Caranya adalah masing-masing anggota
masyarakat mengadakan kesepakatan di antara mereka untuk melepaskan hak-hak
mereka dan menstransfer hak-hak itu kepada beberapa orang atau lembaga yang akan
menjaga kesepakatan itu agar terlaksana dengan sempurna. Untuk itu orang atau
lembaga itu harus diberi hak sepenuhnya untuk menggunakan semua kekuatan dari
masyarakat.
Beberapa orang atau lembaga itulah yang memegang kedaulatan penuh. Tugasnya
adalah menciptakan dan menjaga keselamatan rakyat (the safety of the people)
[Hobbes: hal. 376]. Masyarakat sebagai pihak yang menyerahkan hak-hak mereka,
tidak mempunyai hak lagi untuk menarik kembali atau menuntut atau
mempertanyakan kedaulatan penguasa, karena pada prinsipnya penyerahan total

kewenangan itu adalah pilihan paling masuk akal dari upaya mereka untuk lepas dari
kondisi perang-satu-dengan-lainnya yang mengancam hidup mereka. Di lain pihak,
pemegang kedaulatan mempunyai seluruh hak untuk memerintah dan menjaga
keselamatan yang diperintah itu. Pemegang kedaulatan tidak bisa digugat, karena
pemegang kedaulatan itu tidak terikat kontrak dengan masyarakat. Jelasnya, yang
mengadakan kontrak adalah masyarakat sendiri, sehingga istilahnya adalah kontrak
sosial, bukan kontrak antara pemerintah dengan yang diperintah.
Kontrak Sosial: Locke
Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan
lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia
tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya.
Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip
bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar dan
merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke
sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi
alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena
manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah
dalam pergaulan antara sesama.
Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke,
karena beberapa hal. Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka
tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh
akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi,
sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang
dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum yang
ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk
memaksakan sanksi.
Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power,
tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga
menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju
kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan
cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak
menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara
pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan
kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust). [John
Locke, An Essay Concerning the True Original, Extent and End of Civil
Government, dalam Social Contract, London: Oxford University Press, 1960, h. 84.]
Locke menegaskan bahwa ada tiga pihak dalam hubungan saling percaya itu, yaitu
yang menciptakan kepercayaan itu (the trustor), yang diberi kepercayaan (the trustee),
dan yang menarik manfaat dari pemberian kepercayaan itu (the beneficiary). Antara
trustor dan trustee terjadi kontrak yang menyebutkan bahwa trustee harus patuh pada
beneficiary, sedangkan antara trustee dan beneficiary tidak terjadi kontrak samasekali.
Trustee hanya menerima obligasi dari beneficiary secara sepihak.
Dari pemahaman tentang hubungan saling percaya dan kontraktual itu tampak bahwa
pemegang pemerintahan atau yang diberi kepercayaan mempunyai hak-hak dan
[kewenangan yang sangat terbatas, karena menurut Locke masyarakatlah yang dapat
bertindak sebagai trustor sekaligus beneficiary.
Dari uraian Locke, tampak nyata bahwa sumber kewenangan dan pemegang

kewenangan dalam teori Locke tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan
kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama
pemerintah masih dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus,
pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena
hubungan kepercayaan maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak. Kesimpulan
demikian ini tentu amat bertolak belakang dari kesimpulan yang dihasilkan oleh
Hobbes.
Kontrak Sosial: Rousseau
Seperti halnya Hobbes dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat
manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang
satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi
alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh
situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas. Masing-masing
menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka perlu saling
menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa
mengimbangi alam.
Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi alam, fisik dan moral
menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh beberapa
orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan
sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang punya hak-hak istimewa tersebut
untuk menambah power dan menekan yang lain. Pada gilirannya, kecenderungan itu
menjurus ke kekuasaan tunggal.
Untuk menghindar dari kondisi yang punya hak-hak istimewa menekan orang lain
yang menyebabkan ketidaktoleranan (intolerable) dan tidak stabil, maka masyarakat
mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari semua (the free
will of all), untuk memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Akan
tetapi kemudian Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte
generale) untuk dibedakan dari hanya kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak
bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the
quantity of the subjects), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya (the
quality of the object sought). [Jean Jacques Rousseau, The Social Contract, dalam
Social Contract, London: Oxford University Press, 1960, h. 193-194.]
Kehendak umum (volonte generale) menciptakan negara yang memungkinkan
manusia menikmati kebebasan yang lebih baik daripada kebebasan yang mungkin
didapat dalam kondisi alamiah. Kehendak umum menentukan yang terbaik bagi
masyarakat, sehingga apabila ada orang yang tidak setuju dengan kehendak umum itu
maka perlulah ia dipaksa untuk tunduk pada kehendak umum itu.
Rousseau mengajukan argumentasi yang sulit dimengerti ketika sampai pada
pengoperasian kewenangan dari kehendak umum ke pemerintah. Pada dasarnya
Rousseau menjelaskan bahwa yang memerintah adalah kehendak umum dengan
menggunakan lembaga legislatif, yang membawahi lembaga eksekutif. Walau
demikian Rousseau sebenarnya menekankan pentingnya demokrasi primer
(langsung), tanpa perwakilan, dan tanpa perantaraan partai-partai politik. Dengan
demikian masyarakat, lewat kehendak umum, bisa secara total memerintah negara.
[Rousseau: 231-2.]

Jadi jelas, walaupun sulit dipahami, argumentasi pengoperasian kewenangannya,


Rousseau mengembangkan semangat totaliter pihak rakyat dalam kekuasaan.
Penutup
Sumbangan pemikiran-pemikiran Hobbes, Locke dan Rousseau di atas bisa
membantu analisis terhadap kehidupan dan perilaku politik, baik pihak pemerintah
maupun pihak rakyat yang diperintah. Dalam praktik kehidupan perilaku politik,
masing-masing sumbangan pemikiran itu sering mewarnai kehidupan dan perilaku
politik.
Amerika Serikat, misalnya, walaupun secara tegas mengoper teori kontrak sosial dari
Locke, akan tetapi tidak jarang praktik-praktik politik pemerintahnya diwarnai oleh
teori kontrak sosial dari Hobbes dan Rousseau. Teori Hobbes yang mengandung
dasar-dasar teori kekuasaan prerogatif, paling tidak telah mewarnai tindakan-tindakan
Presiden Abraham Lincoln, Woodrow Wilson, Franklin Delano Roosevelt, dan
Richard Nixon.
Lincoln, Wilson dan Roosevelt bahkan berhasil menikmati praktik-praktik politik
yang lebih dekat dengan teori Hobbes daripada teori Locke karena keadaan darurat
(Perang Saudara, Perang Dunia I, dan Perang Dunia II) memang memberi peluang
Leviathan memanfaatkan hak prerogatifnya. Nixon, sebaliknya, harus kalah karena
ia memamerkan praksis teori Hobbes pada saat masyarakat sedang menggandrungi
praksis teori Rousseau. [Basis Susilo, The Constitutional Role of the US President in
Foreign Policy, makalah 1985, tidak diterbitkan.]
Walaupun teori kontrak sosial mendasari pemikiran politik suatu masyarakat, akan
tetapi dinamika kehidupan dan perilaku masing-masing harus dibedakan apakah yang
mewarnai Hobbes, Locke atau Rousseau. Apabila yang lebih mewarnai adalah
Hobbes, maka kehidupan dan praktik perilaku politik rakyat hanya ditandai dengan
kewajiban untuk taat dan tunduk pada penguasa, sementara penguasa akan merasa
leluasa untuk bertindak tanpa memperhatikan aspirasi dan tuntutan politik dari
rakyatnya.
Apabila yang lebih mewarnai adalah teori kontrak sosial dari Locke, maka kehidupan
dan perilaku politik masyarakat tentu mengandung ciri-ciri tertentu, seperti
pemerintah berhati-hati dalam melakukan tugas-tugasnya, parlemen amat vokal dalam
mengontrol dan berperan dalam politik, dan masyarakat tidak segan-segan untuk
melakukan kritik-kritik.
Upaya untuk memahami dan menjelaskan kehidupan dan perilaku politik atau
kebudayaan politik suatu entitas tertentu dapat menggunakan pola-pola pemikiran
politik untuk dijadikan salah satu pokok analisis. Konsep-konsep dasar tentang
sumber kewenangan dan pengoperasian yang mana yang berada di benak suatu
masyarakat, atau yang mengalir di dalam darah masyarakat itu? Apakah teori
kontrak sosial, atau bukan? Apabila teori kontrak sosial, yang mana? Dari Hobbes,
Locke, Rousseau, Hume, atau lainnya?
Pemanfaatan analisis tentang bekerjanya teori-teori tentang asal negara dan sumber
kewenangan untuk menjelaskan kehidupan, perilaku, atau kebudayaan politik sampai
saat ini belum dikembangkan. Barangkali, ada kesulitan untuk mengukur bekerjanya
teori-teori asal-mula negara dan sumber kewenangan di dalam suatu masyarakat,
karena sifatnya yang amat abstrak.

Akan tetapi, bila mulai dicoba, tentu ada cara untuk mengukur bekerjanya teori itu
dalam praksis kemasyarakatan. Salah satu cara yang mumngkin bisa digunakan
adalah dengan mengkaji isi pesan-pesan dan semangat di dalam literatur-literatur atau
cerita-cerita yang digemari masyarakat, seperti yang dilakukan oleh David C.
McClelland ketika mencari nAch pelbagai masyarakat.
Sumber : http://www.radhitisme.com/2009/02/teori-kontrak-sosial-dari-hobbeslocke.html
1. Teori Kontrak Sosial
Teori Kontrak Sosial adalah teori mengenai perjanjian masyarakat. Menurut teori ini,
asal mula negara adalah perjanjian sosial. Teori ini banyak dipilih oleh masyarakat,
termasuk di Indonesia. Berbagai tuntutan elemen masyarakat, mulai dari lembaga
swadaya masyarakat, mahasiswa, organisasi sosial, partai politik, para tokoh
masyarakat dan dari kalangan ilmuwan, menghendaki adanya kontrak sosial dan
kontrak politik antara masyarakat dengan para pemimpin bangsa, para penguasa yang
akan memegang kebijakan moneter dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Perjanjian masyarakat merupakan perwujudan kesepakatan terbentuknya negara yang
orisinalitasnya dijamin oleh gerakan politik ketatanegaraan sekaligus sebagai bukti
sejarah mengenai kesepakatan antara masyarakat untuk menghapuskan kekuasaan
yang otoriter, tirani dan feodalistis. Hal ini terutama muncul di tengah kehidupan
masyarakat yang menghantui kekhawatiran terhadap masa depan kehidupan bangsa
dan negara, kenyataan kemiskinan dan kezaliman penguasa terhadap rakyatnya, serta
banyaknya praktik inkonstitusional dari pemegang pemerintahan atau penyelenggara
negara.
Teori kontrak sosial yang dipraktikkan sekarang ini, secara kasat mata bukan
merupakan bagian paling orisinal dari teori kontrak sosial. Hal ini karena secara
filosofis, realitas yang sekarang muncul ke permukaan dari gagasan adanya kontrak
politik antara masyarakat dan penguasa, yaitu ketika negaranya sudah terbentuk dan
spekulasi mengenai teori kontrak sosial seharusnya sebelum negara itu lahir. Karena
berandai-andai adanya negara, pencetus teori kontrak sosial juga tidak berbeda jauh
dengan pandangan mengenai kontrak politik ketika negara sudah ada dan dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat. Jadi, keduanya diposisikan menurut latar belakang
munculnya teori tersebut.
Perbincangan mengenai teori kontrak sosial yang menjelaskan asal mula negara, tidak
terlepas dari pandangan tiga orang sarjana barat yang konsen terhadap pemikiran
politik dan ketatanegaraan, yaitu Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau.
a. Thomas Hobbes
Teori Thomas Hobbes mengenai kontrak sosial berpangkal dari pandangan mengenai
kehidupan manusia yang terpisah dalam dua zaman, yaitu keadaan selama belum ada
negara dan keadaan bernegara. Menurut Hobbes, keadaan bukan keadaan yang aman
sentosa, adil dan makmur, melainkan keadaan sosial yang kacau, suatu inferno
dunia yang tanpa hukum dan tanpa pemerintah, tanpa ikatan-ikatan sosial antara
individu. Dalam keadaan demikian, hukum dibuat atas dasar kekuatan terhebat secara
fisikal. Manusia ibarat binatang dan yang paling kuat dan bengis, itulah hukum bagi
yang lainnya. Manusia saling bermusuhan, yang setiap harinya saling memangsa dan
yang satunya adalah ancaman bagi manusia lain. Oleh karena itu disebut dengan
perang antara semua melawan semua.
Semakin lama manusia menyadari bahwa perang antara manusia hanya akan
menghabiskan generasi kehidupan manusia sendiri. Oleh karena itu diwujudkan
kontrak untuk mengurus dan mengelola kekuasaan dalam negara.

Kontrak yang dimaksud adalah perjanjian pemerintahan dengan jalan segenap


individu berjanji menyerahkan semua hak kodratinya yang dimiliki ketika hidup
dalam keadaan alamiah kepada seseorang atau sekelompok orang yang ditunjuk untuk
mengatur kehidupan mereka. Orang yang akan mengatur kehidupan tersebut
kemudian diberi wewenang dan kekuasaan, yang kemudian disebut dengan negara.
Negara diibaratkan binatang buas (raja hutan) yang menguasai dan mempin semua
binatang. Istilah tersebut oleh Hobbes diabadikan dengan konsep Leviathan. Sebagai
binatang terbuas, negara harus memiliki kekuasaan absolut dan menguasai semua
kekuatan yang lain, selain negara itu. Semua harus tunduk mutlak kepada negara
karena semua sudah menyerahkan kodrat alamiahnya kepada negara.
Pandangan Hobbes menjelaskan keharusan dibentuknya negara kerajaan absolut atau
monarki absolut karena kelahiran negara dalam konteks teori kontrak sosial adalah
penyerahan kodrat alami manusia pada kekuatan tertinggi, yaitu negara yang selama
ini berada di dalam kehidupan mirip binatang yang saling memangsa.
b. John Locke
Dalam pandangan John Locke, keadaan hidup manusia yang hanya mampu mengelola
kehidupannya sendiri dapat merugikan orang lain karena menimbulkan arogansi
kekuasaan. Potensi konflik dengan mudah akan muncul ke permukaan karena
manusia hanya sibuk mengurusi dan mendahulukan kepentingan dirinya sendiri. Oleh
karena itu diperlukan kontrak sosial yang mengatur kehidupan bersama dan sistem
ketatanegaraan yang mengatur dan mengelola hak-hak pribadi dan hak publik secara
proporsional.
Dalam pandangan Locke, perjanjian manusia dalam membentuk negara tidak
menyerahkan semua hak yang dimiliki manusia karena terdapat hak-hak asasi yang
tidak dimiliki manusia karena terdapat hak-hak asasi yang tidak boleh diserahkan
kepada siapa pun, termasuk negara, bahkan sebaliknya negara berkewajiban
melindungi hak-hak asasi yang dimiliki manusia, seperti hak hidup dan hak berpikir.
Menurut Locke, permufakatan yang dibuat berdasarkan suara terbanyak dapat
dianggap sebagai tindakan seluruh masyarakat karena persetujuan individu-individu
untuk membentuk negara mewajibkan individu-individu lain untuk taat pada negara
yang dibentuk dengan suara terbanyak. Negara yang dibentuk dengan suara terbanyak
tidak dapat mengambil hak-hak milik manusia dan hak-hak lainnya yang tidak dapat
dilepaskan. Pandangan ini menunjukkan bahwa Locke berpijak dari pactum unionis
dilengkapi dengan pactum subjectionis, artinya negara diberikan wewenang untuk
menjalankan kekuasaannya menurut perjanjian yang dibuat bersama masyarakat
melalui kesepakatan suara terbanyak, tetapi negara dibatasi oleh hak-hak masyarakat
sebagai individu untuk tidak ikut campur mengurus hak-hak paling asasi dari
manusia. Sebaliknya, negara berkewajiban menjaga dan memelihara hak-hak kodrati
manusia, sehingga kehidupan manusia secara alamiah tidak terganggu atau dirusak
oleh kepentingan negara yang menyimpang dari kotrak bertatanegara.
Pandangan Locke mengenai negara yang dibangun oleh kontrak sosial terbatas adalah
pandangan yang menyatakan bahwa pembatasan kekuasaan negara ada ditangan
rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara. Oleh karena itu, negara tidak boleh
bersifat absolut dan sewenang-wenang kepada masyarakat. Pandangan itulah yang
mengisyaratkan perlunya konstitusi dalam ketatanegaraan, yang dalam konstitusi
negara itu juga diatu mengenai HAM (Hak Asasi Manusia) yang harus dipelihara,
dijaga dan dihormati oleh negara. Dengan pandangannya, Locke dinyatakan sebagai
filsuf yang menggagas negara konstitusionalistis dan bapak hak asasi manusia.
c. Rousseau
Menurut Rousseau, manusia berada pada dua zaman, yaitu zaman pranegara dan

zaman negara. Zaman pranegara adalah zaman tanpa dinamika, zaman keamanan dan
kebahagiaan. Manusia berada dalam keasyikan hidup untuk dan oleh dirinya sendiri.
Masing-masing berada di dalam suasana diri dan hidup mandiri dalam emosi internal
yang terlindungi. Keadaan pranegara menggambarkan kehidupan alamiah manusia
yang sederajat dan tanpa beban yang menekan kebebasan manusia, manusia seperti
berada dalam surga firdaus yang penuh dengan kedamaian dan kenikmatan. Akan
tetapi, keadaan itu berubah karena manusia semakin bertambah kemauannya dan
demikian jugan dengan manusia yang lain, sedangkan alat dan strategi yang dimiliki
manusia tidak mengalami perkembangan. Kesadaran manusia muncul, bahkan dalam
kehidupannya terdapat potensi negatif yang akan menghasilkan dan menghancurkan
kenikmatan yang selama ini diraihnya. Oleh karena itu, keadaan alamiah tidak dapat
dipertahankan selamanya dan manusia dengan penuh kesadaran mengakhiri keadaan
itu dengan membuat kontrak sosial.
Kontrak sosial dipandang dapat menjamin kelangsungan hidup manusia, ketika
kebutuhan manusia semakin bertambah dan bervariasi, sedangkan kemampuan untuk
memperolehnya masih terbatas. Atas dasar itu, kontrak sosial dibuat sebagai upaya
mewujudkan negara, yang juga sebagai awal peralihan kehidupan pranegara kepada
kehidupan manusia bernegara, atau dari kehidupan manusia yang dilahirkan dalam
keadaan bebas menuju kehidupan kehidupan yang serba teratur.
Rousseau hanya mengenal satu jenis perjanjian, yaitu pactum unionis, perjanjian
masyarakat yang sebenarnya. Rousseau tidak mengenal pactum subjectionis yang
membentuk pemerintah yang ditaati. Pemerintah tidak mempunyai dasar kontraktual.
Hanya, organisasi politiklah yang dibentuk dengan kontrak. Pemerintah sebagai
pimpinan organisasi dibentuk dan ditentukan oleh yang berdaulat dan merupakan
wakil-wakilnya. Yang berdaulat adalah rakyat seluruhnya melalui kemauan umumnya.
Negara atau badan korporalif kolektif yang dibentuk itu menyatakan kemauan
umumnya yang tidak dapat keliru atau salah, tetapi yang tidak senantiasa progresif.
Kemauan umum inilah yang mutlak berdaulat. Kemauan umum tidak selalu berarti
kemauan seluruh rakyat. Kadang-kadang terdapat perbedaan-perbedaan antara
kemauan umum dan kemauan seluruh rakyat. Kemauan umum selalu benar dan
ditujukan pada kebahagiaan bersama, sedangkan kemauan seluruh rakyat juga
memerhatikan kepentingan individual dan karena itu merupakan keseluruhan
kemauan-kemauan khusus tersebut.
Dengan memerhatikan gagasan Rousseau mengenai negara yang dibangun melalui
kontrak sosial atas dasar kehendak rakyat, dinamika terbentuknya negara mengalami
tahapan-tahapan teoritis. Hobbes mempertegas bahwa terbentuknya negara berasal
dari kekuatan yang luar biasa dari manusia, yang akan dinobatkan sebagai raja dengan
kekuasaan absolut, sedangkan Locke dengan teori kontrak sosialnya membangun
pandangan bahwa negara diikat oleh perjanjian yang kuat dengan masyarakat untuk
menyelenggarakan pemerintahan secara konstitusional dan mengormati serta menjaga
hak-hak mendasar dari seluruh hak alamiah manusia yang paling fundamental, yaitu
HAM (Hak Asasi Manusia). Rousseau menjadi pelopor utama terbentuknya negara
demokratis yang diwujudkan oleh sistem perwakilan atas nama kepentingan rakyat.
Rakyat bergerak secara dinamis berbagai unsur dan kepentingan partai politik untuk
menempatkan orang-orang yang dipercayainya dapat mewakili kepentingan hidupnya.
Oleh karena itu, Rousseau memahami rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara
dan negara hanya dapat ditegakkan oleh adanya sosial dan politik dengan rakyat.
http://www.informasiahli.com/2015/09/teori-asal-mula-negara-menurut-ahli.html

Anda mungkin juga menyukai