Ada empat teori tentang terbentuknya negara, yaitu teori alamiah, teori ciptaan Tuhan,
teori kekuatan, dan teori kontrak sosial. Masing-masing teori itu juga memberikan
penjelasan tentang di mana sumber kewenangan politik.
Teori alamiah menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena kebutuhan
manusia untuk aktualisasi kemanusiaannya. Negara adalah wadah tertinggi untuk
aktualisasi manusia. Selain negara, dua wadah lain yang tingkatnya lebih rendah
adalah keluarga dan desa. Di dalam keluarga, manusia mengakutalisasikan diri di
bidang fisik, karena keluarga menyediakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisik
manusia. Di dalam desa, manusia mengaktualisasi diri di bidang sosial, karena desa
menyediakan pemenuhan hasrat untuk berkawan dan bermasyarakat.
Di dalam negara, manusia mengaktualisasikan diri di bidang moral dan politik untuk
menjadi manusia sepenuhnya karena manusia mampu mengaktualisasikan hasrat
moral dan politik yang tidak bisa terpenuhi di dalam wadah keluarga dan desa. Oleh
karena itu manusia bisa sempurna hanya bila mereka berperan dalam negara.
Teori ciptan Tuhan menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena diciptakan
oleh Tuhan. Penguasa atau pemerintah suatu negara ditunjuk atau ditentukan oleh
Tuhan, sehingga walau pun penguasa atau pemerintah mempunyai kewenangan,
sumber kewenangan tetap adalah Tuhan. Oleh karena sumber kewenangan adalah
Tuhan, penguasa atau pemerintah bertanggungjawab kepada Tuhan, bukan kepada
rakyat yang dikuasai atau diperintah.
Teori kekuatan menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena hasil
penaklukan dan kekerasan antarmanusia. Yang kuat dan mampu menguasai yang lain
membentuk negara dan memaksakan haknya untuk menguasai dan memerintah
negara. Sumber kewenangan dalam teori ini adalah kekuatan itu sendiri, karena
kekuatan itu yang membenarkan kekuasaan dan kewenangan.
Teori kontrak sosial menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena anggota
masyarakat mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara. Dalam teori ini,
sumber kewenangan adalah masyarakat itu sendiri.
Secara garis besar dan untuk keperluan analisis, keempat teori itu seolah-olah berdiri
sendiri secara tegar. Akan tetapi bila dilihat lebih seksama, di dalam masing-masing
teori itu terdapat nuansa-nuansa perbedaan penjelasan dan argumentasi, terutama pada
pengoperasian kewenangan. Bahkan, dari variasi argumentasi itu sering muncul
argumentasi yang bisa menjadi pendukung atau inspirasi dari teori lain. Teori ciptaan
Tuhan, misalnya, mengandung variasi pemikiran tentang pengoperasian kewenangan.
Kongfucu, misalnya, menyatakan bahwa Tuhan memberi mandat (the mandate of
heaven) kepada raja untuk memerintah rakyatnya. Apabila raja dianggap tidak
memerintah dengan baik, maka mandat itu dicabut oleh Tuhan. Tetapi bagaimana dan
kapan mandat harus dicabut, rakyatlah yang mengetahui dengan melihat gejalavgejala alam, seperti adanya bencana banjir, gempa bumi, kelaparan dan sebagainya.
Walau pun secara prinsip Tuhan sumber kewenangan, tampak pula bahwa akhirnya
manusia (baca: rakyat) yang secara praktis mengoperasikannya.
Thomas Aquinas, misalnya pula, mengembangkan pemikiran tentang principium
kewenangan itu adalah pilihan paling masuk akal dari upaya mereka untuk lepas dari
kondisi perang-satu-dengan-lainnya yang mengancam hidup mereka. Di lain pihak,
pemegang kedaulatan mempunyai seluruh hak untuk memerintah dan menjaga
keselamatan yang diperintah itu. Pemegang kedaulatan tidak bisa digugat, karena
pemegang kedaulatan itu tidak terikat kontrak dengan masyarakat. Jelasnya, yang
mengadakan kontrak adalah masyarakat sendiri, sehingga istilahnya adalah kontrak
sosial, bukan kontrak antara pemerintah dengan yang diperintah.
Kontrak Sosial: Locke
Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan
lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia
tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya.
Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip
bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar dan
merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke
sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi
alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena
manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah
dalam pergaulan antara sesama.
Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke,
karena beberapa hal. Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka
tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh
akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi,
sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang
dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum yang
ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk
memaksakan sanksi.
Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power,
tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga
menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju
kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan
cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak
menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara
pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan
kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust). [John
Locke, An Essay Concerning the True Original, Extent and End of Civil
Government, dalam Social Contract, London: Oxford University Press, 1960, h. 84.]
Locke menegaskan bahwa ada tiga pihak dalam hubungan saling percaya itu, yaitu
yang menciptakan kepercayaan itu (the trustor), yang diberi kepercayaan (the trustee),
dan yang menarik manfaat dari pemberian kepercayaan itu (the beneficiary). Antara
trustor dan trustee terjadi kontrak yang menyebutkan bahwa trustee harus patuh pada
beneficiary, sedangkan antara trustee dan beneficiary tidak terjadi kontrak samasekali.
Trustee hanya menerima obligasi dari beneficiary secara sepihak.
Dari pemahaman tentang hubungan saling percaya dan kontraktual itu tampak bahwa
pemegang pemerintahan atau yang diberi kepercayaan mempunyai hak-hak dan
[kewenangan yang sangat terbatas, karena menurut Locke masyarakatlah yang dapat
bertindak sebagai trustor sekaligus beneficiary.
Dari uraian Locke, tampak nyata bahwa sumber kewenangan dan pemegang
kewenangan dalam teori Locke tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan
kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama
pemerintah masih dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus,
pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena
hubungan kepercayaan maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak. Kesimpulan
demikian ini tentu amat bertolak belakang dari kesimpulan yang dihasilkan oleh
Hobbes.
Kontrak Sosial: Rousseau
Seperti halnya Hobbes dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat
manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang
satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi
alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh
situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas. Masing-masing
menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka perlu saling
menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa
mengimbangi alam.
Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi alam, fisik dan moral
menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh beberapa
orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan
sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang punya hak-hak istimewa tersebut
untuk menambah power dan menekan yang lain. Pada gilirannya, kecenderungan itu
menjurus ke kekuasaan tunggal.
Untuk menghindar dari kondisi yang punya hak-hak istimewa menekan orang lain
yang menyebabkan ketidaktoleranan (intolerable) dan tidak stabil, maka masyarakat
mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari semua (the free
will of all), untuk memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Akan
tetapi kemudian Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte
generale) untuk dibedakan dari hanya kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak
bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the
quantity of the subjects), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya (the
quality of the object sought). [Jean Jacques Rousseau, The Social Contract, dalam
Social Contract, London: Oxford University Press, 1960, h. 193-194.]
Kehendak umum (volonte generale) menciptakan negara yang memungkinkan
manusia menikmati kebebasan yang lebih baik daripada kebebasan yang mungkin
didapat dalam kondisi alamiah. Kehendak umum menentukan yang terbaik bagi
masyarakat, sehingga apabila ada orang yang tidak setuju dengan kehendak umum itu
maka perlulah ia dipaksa untuk tunduk pada kehendak umum itu.
Rousseau mengajukan argumentasi yang sulit dimengerti ketika sampai pada
pengoperasian kewenangan dari kehendak umum ke pemerintah. Pada dasarnya
Rousseau menjelaskan bahwa yang memerintah adalah kehendak umum dengan
menggunakan lembaga legislatif, yang membawahi lembaga eksekutif. Walau
demikian Rousseau sebenarnya menekankan pentingnya demokrasi primer
(langsung), tanpa perwakilan, dan tanpa perantaraan partai-partai politik. Dengan
demikian masyarakat, lewat kehendak umum, bisa secara total memerintah negara.
[Rousseau: 231-2.]
Akan tetapi, bila mulai dicoba, tentu ada cara untuk mengukur bekerjanya teori itu
dalam praksis kemasyarakatan. Salah satu cara yang mumngkin bisa digunakan
adalah dengan mengkaji isi pesan-pesan dan semangat di dalam literatur-literatur atau
cerita-cerita yang digemari masyarakat, seperti yang dilakukan oleh David C.
McClelland ketika mencari nAch pelbagai masyarakat.
Sumber : http://www.radhitisme.com/2009/02/teori-kontrak-sosial-dari-hobbeslocke.html
1. Teori Kontrak Sosial
Teori Kontrak Sosial adalah teori mengenai perjanjian masyarakat. Menurut teori ini,
asal mula negara adalah perjanjian sosial. Teori ini banyak dipilih oleh masyarakat,
termasuk di Indonesia. Berbagai tuntutan elemen masyarakat, mulai dari lembaga
swadaya masyarakat, mahasiswa, organisasi sosial, partai politik, para tokoh
masyarakat dan dari kalangan ilmuwan, menghendaki adanya kontrak sosial dan
kontrak politik antara masyarakat dengan para pemimpin bangsa, para penguasa yang
akan memegang kebijakan moneter dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Perjanjian masyarakat merupakan perwujudan kesepakatan terbentuknya negara yang
orisinalitasnya dijamin oleh gerakan politik ketatanegaraan sekaligus sebagai bukti
sejarah mengenai kesepakatan antara masyarakat untuk menghapuskan kekuasaan
yang otoriter, tirani dan feodalistis. Hal ini terutama muncul di tengah kehidupan
masyarakat yang menghantui kekhawatiran terhadap masa depan kehidupan bangsa
dan negara, kenyataan kemiskinan dan kezaliman penguasa terhadap rakyatnya, serta
banyaknya praktik inkonstitusional dari pemegang pemerintahan atau penyelenggara
negara.
Teori kontrak sosial yang dipraktikkan sekarang ini, secara kasat mata bukan
merupakan bagian paling orisinal dari teori kontrak sosial. Hal ini karena secara
filosofis, realitas yang sekarang muncul ke permukaan dari gagasan adanya kontrak
politik antara masyarakat dan penguasa, yaitu ketika negaranya sudah terbentuk dan
spekulasi mengenai teori kontrak sosial seharusnya sebelum negara itu lahir. Karena
berandai-andai adanya negara, pencetus teori kontrak sosial juga tidak berbeda jauh
dengan pandangan mengenai kontrak politik ketika negara sudah ada dan dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat. Jadi, keduanya diposisikan menurut latar belakang
munculnya teori tersebut.
Perbincangan mengenai teori kontrak sosial yang menjelaskan asal mula negara, tidak
terlepas dari pandangan tiga orang sarjana barat yang konsen terhadap pemikiran
politik dan ketatanegaraan, yaitu Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau.
a. Thomas Hobbes
Teori Thomas Hobbes mengenai kontrak sosial berpangkal dari pandangan mengenai
kehidupan manusia yang terpisah dalam dua zaman, yaitu keadaan selama belum ada
negara dan keadaan bernegara. Menurut Hobbes, keadaan bukan keadaan yang aman
sentosa, adil dan makmur, melainkan keadaan sosial yang kacau, suatu inferno
dunia yang tanpa hukum dan tanpa pemerintah, tanpa ikatan-ikatan sosial antara
individu. Dalam keadaan demikian, hukum dibuat atas dasar kekuatan terhebat secara
fisikal. Manusia ibarat binatang dan yang paling kuat dan bengis, itulah hukum bagi
yang lainnya. Manusia saling bermusuhan, yang setiap harinya saling memangsa dan
yang satunya adalah ancaman bagi manusia lain. Oleh karena itu disebut dengan
perang antara semua melawan semua.
Semakin lama manusia menyadari bahwa perang antara manusia hanya akan
menghabiskan generasi kehidupan manusia sendiri. Oleh karena itu diwujudkan
kontrak untuk mengurus dan mengelola kekuasaan dalam negara.
zaman negara. Zaman pranegara adalah zaman tanpa dinamika, zaman keamanan dan
kebahagiaan. Manusia berada dalam keasyikan hidup untuk dan oleh dirinya sendiri.
Masing-masing berada di dalam suasana diri dan hidup mandiri dalam emosi internal
yang terlindungi. Keadaan pranegara menggambarkan kehidupan alamiah manusia
yang sederajat dan tanpa beban yang menekan kebebasan manusia, manusia seperti
berada dalam surga firdaus yang penuh dengan kedamaian dan kenikmatan. Akan
tetapi, keadaan itu berubah karena manusia semakin bertambah kemauannya dan
demikian jugan dengan manusia yang lain, sedangkan alat dan strategi yang dimiliki
manusia tidak mengalami perkembangan. Kesadaran manusia muncul, bahkan dalam
kehidupannya terdapat potensi negatif yang akan menghasilkan dan menghancurkan
kenikmatan yang selama ini diraihnya. Oleh karena itu, keadaan alamiah tidak dapat
dipertahankan selamanya dan manusia dengan penuh kesadaran mengakhiri keadaan
itu dengan membuat kontrak sosial.
Kontrak sosial dipandang dapat menjamin kelangsungan hidup manusia, ketika
kebutuhan manusia semakin bertambah dan bervariasi, sedangkan kemampuan untuk
memperolehnya masih terbatas. Atas dasar itu, kontrak sosial dibuat sebagai upaya
mewujudkan negara, yang juga sebagai awal peralihan kehidupan pranegara kepada
kehidupan manusia bernegara, atau dari kehidupan manusia yang dilahirkan dalam
keadaan bebas menuju kehidupan kehidupan yang serba teratur.
Rousseau hanya mengenal satu jenis perjanjian, yaitu pactum unionis, perjanjian
masyarakat yang sebenarnya. Rousseau tidak mengenal pactum subjectionis yang
membentuk pemerintah yang ditaati. Pemerintah tidak mempunyai dasar kontraktual.
Hanya, organisasi politiklah yang dibentuk dengan kontrak. Pemerintah sebagai
pimpinan organisasi dibentuk dan ditentukan oleh yang berdaulat dan merupakan
wakil-wakilnya. Yang berdaulat adalah rakyat seluruhnya melalui kemauan umumnya.
Negara atau badan korporalif kolektif yang dibentuk itu menyatakan kemauan
umumnya yang tidak dapat keliru atau salah, tetapi yang tidak senantiasa progresif.
Kemauan umum inilah yang mutlak berdaulat. Kemauan umum tidak selalu berarti
kemauan seluruh rakyat. Kadang-kadang terdapat perbedaan-perbedaan antara
kemauan umum dan kemauan seluruh rakyat. Kemauan umum selalu benar dan
ditujukan pada kebahagiaan bersama, sedangkan kemauan seluruh rakyat juga
memerhatikan kepentingan individual dan karena itu merupakan keseluruhan
kemauan-kemauan khusus tersebut.
Dengan memerhatikan gagasan Rousseau mengenai negara yang dibangun melalui
kontrak sosial atas dasar kehendak rakyat, dinamika terbentuknya negara mengalami
tahapan-tahapan teoritis. Hobbes mempertegas bahwa terbentuknya negara berasal
dari kekuatan yang luar biasa dari manusia, yang akan dinobatkan sebagai raja dengan
kekuasaan absolut, sedangkan Locke dengan teori kontrak sosialnya membangun
pandangan bahwa negara diikat oleh perjanjian yang kuat dengan masyarakat untuk
menyelenggarakan pemerintahan secara konstitusional dan mengormati serta menjaga
hak-hak mendasar dari seluruh hak alamiah manusia yang paling fundamental, yaitu
HAM (Hak Asasi Manusia). Rousseau menjadi pelopor utama terbentuknya negara
demokratis yang diwujudkan oleh sistem perwakilan atas nama kepentingan rakyat.
Rakyat bergerak secara dinamis berbagai unsur dan kepentingan partai politik untuk
menempatkan orang-orang yang dipercayainya dapat mewakili kepentingan hidupnya.
Oleh karena itu, Rousseau memahami rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara
dan negara hanya dapat ditegakkan oleh adanya sosial dan politik dengan rakyat.
http://www.informasiahli.com/2015/09/teori-asal-mula-negara-menurut-ahli.html