Anda di halaman 1dari 6

Serambi Akademica, Volume VI, No.

2, November 2018 ISSN : 2337 - 8085

Pemikiran Politik Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rousseau


tentang Perjanjian Sosial
Zulfan

Pendidikan Sejarah Universitas Syiah Kuala


Email: zulfan@gmail.com

ABSTRAK

Ada beberapa persamaan, di samping perbedaan yang menyolok dari pemikiran


tokoh kenegaraan. Hobbes, Locke anatara lain, bertolak dari pengandaian yang
sama, yaitu mendirikan negara berarti melepaskan beberapa hak kepada negara.
Hak mereka yang masih tersisa menjadi pembatas bagi kekuasaan negara. Oleh
karena itu Hobbes dan Locke terkenal sebagai pencetus awal negara hukum
(konstitusi), walaupun bagi Hobbes kelihatan kurang efektif. Tujuan hukum
untuk membatasi wewenang yang berlebihan dari negara yang telah mereka
buat bersama. Perbedaan yang tampak adalah Hobbes menganut paham
absolute power, negara mempunyai kekuasaan mutlak dan menolak adanya
lembaga perwakilan. Sedangkan Locke membenarkan lembaga perwakilan yang
dibaginya dalam tiga badan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sementara
itu Rousseau menganut paham negara totaliter, rakyat melepaskan diri
seluruhnya ke dalam negara. Negara total itu karena identik total dengan rakyat.
Negara adalah kehendak rakyat sendiri, oleh karena negara tidak berhadapan
dengan individu-individu, maka negara Rousseau merancangkan negara dengan
kekuasaan tak terbatas (secera de facto), dan tanpa jaminan nyata apapun bagi
hak-hak rakyat. Keadaan ini mencerminkan kesamaan pendapat antara
Rousseau dengan Hobbes yaitu kekuasaan tanpa batas. Walaupun demikian
Rousseau amat berjasa bagi lahirnya negara republik yang memperhatikan
kehendak bersama (rakyat).
Kata kunci: Perjanjian Sosial, Thomas Habbes, J. Locke, JJ Rousseu

PENDAHULUAN
Hobbes, Locke, dan Rousseau yang akan didiskusikan dalam kesempatan ini
merupakan tiga orang dari sekian banyak tokoh filsafat politik abad 17 dan 18 yang
mempunyai pemikiran kunci dalam legitimasi dan kekuasaan kenegaraan. Sejak
keruntuhan pola masyarakat tradisional dan feodal era reformasi, kekuasaan politik
mulai dilihat sebagai suatu pemikiran yang bersifat pragmatis. Adanya pragmatisasi
dalam politik menunjukkan gejala sekularisme semakin menyusup dalam sendi-sendi
kehidupan masyarakat, yang memungkinkan pula bagi terselenggaranya faham
empirisme, positivisme dalam ilmu pengetahuan. Orang mulai bersikap kritis dan setiap
perkembangan logis harus dapat dibuktikan keabsahannya.
Reformasi menyebabkan perkembangan ilmu pengetahuan dan menghilangkan
kepercayaan tanpa dasar pada hal-hal yang magis, mistis atau tahyul. Perkembangan
pemikiran manusia ini membawa implikasi pula politik bernegara. Kalau pada Abad

30
Serambi Akademica, Volume VI, No. 2, November 2018 ISSN : 2337 - 8085

Pertengahan berkembang aliran nominalisme, dengan Teori Kekuasaan Tuhannya,


maka setelah reformasi lahir teori baru yang dikenal juga dengan Teori Perjanjian
Sosial (Social Contract Theories). Teori Kedaulatan Tuhan begitu mengagungkan
kemahaesaan Allah, sehingga manusia menjadi “anak penurut”, yang patuh pada apa
yang telah ditentukan Yang Kuasa. Sedangkan Teori Kekuasaan Rakyat (Perjanjian
Sosial), anggota masyarakat berhimpun dan kemudian menyerahkan kekuasaan
politiknya pada negara. Jadi mulai ada usaha pemisahan antara agama dan negara.
Sebagai pengantar diskusi, paper ini ingin menunjukkan bahwa di antara
banyak tokoh filsafat politik, tampak sekali bahwa mereka telah menggunakan
pendekatan baru dalam menganalisa masyarakat. Hobbes, Locke dan Rousseau
termasuk dalam membebaskan diri dari tradisi metafisik yang berkembang sebelumnya
dan mulai mendasarkan metodenya yang berkembang sebelumnya dan mulai
mendasarkan metodenya pada hal-hal yang nampak nyata (empiris), atau dapat
dibuktikan melalui eksperimen. Melalui pendekatan baru ini pula mereka
mengkonsepsikan pemikiran tentang negara. Adapun titik tolak dari Teori Perjanjian
Sosial berkisar pada pertanyaan: Kenapa ada negara dan untuk apakah negara itu?
Dalam menjawab permasalahan inilah pemikiran ketiga tokoh ini menjadi menarik
untuk dibahas.

PEMBAHASAN
Hobbes, Locke, Rousseau, dan Teori Perjanjian Sosialnya
a. Thomas Hobbes (1588-1679)
Thomas Hobbes lahir di Inggris pada 5 April 1588 dan meninggal pada 4
Desember 1679. Ia adalah seorang anak pendeta. Hobbes dibesarkan oleh saudara
ayahnya dan pernah belajar di perguruan tinggi Oxford, tetapi ia merasa bahwa
pendidikan di perguruan tinggi ini kurang member manfaat (Deliar Noer, 1982:76).
Waktu Hobbes lahir Ratu Elisabeth I sedang menundukkan golongan Katolik dengan
kejam, Irlandia dan Skotlandia ditaklukkan. Keadaan ini semakin meluas di bawah
pemerintah raja-raja dari keluarga Stuart yang menggantikannya. Inggris semakin
terpecah karena pertentangan antara Gereja Anglikan resmi dan golongan Katolik, dan
antaran raja dengan parlemen ( Magnis Suseno, 1987:201). Keadaan itu dikonstatir
oleh Hobbes, dan sunguh pun ia tidak ikut dalam percaturan politik itu, tetapi
memperagakan kehadirannya dalam bentuk tulisan yang mengandung buah pikiran
tentang masyarakat dan Negara (Deliar Noer, 1982:76)
Pada mulanya Hobbes tidak melibatkan diri dalam pergolakan-pergolakan yang
terjadi. Kedudukannya pada masa itu adalah sebagai sekretaris seorang bangsawan.
Karena itu ia memperoleh kesempatan untuk mengelilingi Eropa dan berkenalan
dengan tokoh-tokoh filsafat dan ilmuan. Kemudian ia terjun dalam percaturan politik,
sebagai seorang pembela dari hak-hak pemerintah raja Inggris. Dalam tahun 1640
ketika kedudukan Charles I sudang goncang, Hobbes terpaksa Hobbes melarikan diri
de Perancis. Selama di Perancis ia menjadi guru Charles, putra Inggris putra Cherles I
yang kemudian menjadi raja Charles II. Di samping itu ia berhasil menulisnya dua
karyanya yang menyebabkan ia terkenal dilapangan filsafat Negara dan ukum yaitu De
Cive, tentang warga Negara pada tahun 1642, Leviatan diterbitkan pada tahun 1651
(J.J. Von Schmid, 1980:134). Leviatan merupakan karya Hobbes yang utama tentang
Negara yang diperluas dari gagasan pokok yang telah dikemukakannya sebilan tahun
31
Zulfan

sebelumnya dalam buku De Cive. Buku tersebut mengandung filsafat Negara yang
paling menantang, konsepnya berani, argumentasinya taat azas dan kesimpulannya
tidak kenal kompromi. Karena itu sangat menarik perhatian para pembaca. Setelah ia
meninggal buku tersebut ditempatkan di daftar buku terlarang baik oleh Gereja Katolik
maupun Gereja Anglikan. Hobbes menggabarkan Negara sebagai makhluk raksasa dan
menakutkan yang menggelitimasikan diri karena hanya kemampuannya untuk
mengancam (Magnis Suseno, 1987:200)
Dalam merekayasa negara Hobbes mempergunakan paham perjanjian oleh
pihak negara. Negara berasal dari suatu perjanjian bebas antara individu-individu
yang belum bermasyarakat. Sebelum perjanjian sosial ada, manusia diandaikan hidup
dalam keadaan pra masyarakat atau state of nature, kondisi di mana terdapat kebebasan
mutlak dari setiap individu (absolute freedom). Manusia berada dalam kedudukan yang
sama, dan melakukan berbagai cara untuk membela haknya. Mereka berada dalam
situasi persaingan. Akibatnya individu-individu saling curiga mencurigai dan bersikap
bagaikan serigala terhadap manusia lainnya (homo homini lupus).
Teori perjanjian sosial ada karena state of nature dianggap tidak layak lagi,
sebab lebih banyak kerugiannya daripada kebaikan. Untuk itu perlu ada negara yang
mengatur kesejahteraan untuk semua. Segera bertugas mengatur masyarakat sehingga
masyarakat tidak lagi punya kebebasan mutlak. Jadi pembatasan kebebasan untuk
kepentingan bersama.
Menurut Hobbes bila tidak ada negara, maka manusia akan punah, negara
didirikan untuk menjamin eksistensi manusia. Akan tetapi setelah tercipta, maka
penguasa politik (negara) mempunyai kekuasaan mutlak (absolute power). Kemutlakan
wewenang negara dimaksudkan agar manusia dapat hidup tentram, teratur dan damai.
Sifat mutlak negara menyebabkan apa yang harus dianggap adil ditentukan
negara. Negara punya wewenang penuh untuk menetapkan apa yang buruk dan apa
yang baik, dan sebagainya. Di samping itu negara tidak punya kewajiban untuk
memberikan pertanggungjawaban tindakannya. Hal ini bisa terjadi karena individu-
individu telah menyerahkan semua haknya pada negara. Adanya absolute power
menjadikan negara Hobbes benar-benar sebagai Sang Leviathan.
Hobbes menggambarkan negara sebagai yang menakutkan untuk menjadikan
masyarakat taat. Ancaman negara sedemikian rupa akan dapat menghentikan
kekacauan antara manusia, sebab taat berarti hidup, sedangkan membangkang berarti
mati. Kelemahan konsepsi negara Hobbes terutama terletak pada tidak adanya lembaga
kontrol, karena pembatalan terhadap penyalahgunaan kekuasaan hanya tergantung dari
kesadaran penguasa. Di samping itu kekuasaan negara hanya berdasarkan perasaan
takut warga negara (rakyat). Negara yang hanya mendasarkan kemampuan untuk
mengancam, secara struktural rapuh sifatnya dan negara mustahil bisa bertahan lama.

b. John Locke (1632-1704)


Locke sebenarnya juga bertolak dari pengandaian keadaan alamiah manusia.
Bagi Locke manusia secara alamiah adalah baik dan bebas untuk menentukan dirinya
dan menggunakan miliknya dengan tidak tergantung pada hak orang lain. Ia percaya
bahwa dalam absolute freedom tersebut tidak ada absolute chaos, dan state of war ala
Hobbes tidak sama dengan state of nature Locke berpendapat bahwa : manusia adalah
makhluk sosial, digerakkan oleh ration bukan nafsu. Manusia punya kalkulasi dengan

32
Serambi Akademica, Volume VI, No. 2, November 2018 ISSN : 2337 - 8085

tidak sembarang membunuh, dan merugikan orang lain. Ada hukum alam, di mana
orang tidak boleh mengambil lebih dari pada apa yang dibutuhkannya.
Setelah lahirnya ekonomi uang, maka bats alamiah tersebut menjadi hilang.
Sifat iri dan memusuhipun muncul. Keadaan alamiah berganti menjadi keadaan perang,
state of war. Masyarakat yang dikuasai ekonomi uang tidak akan dapat bertahan lama,
tanpa pembentukan negara yang akan menjamin milik pribadinya. Dengan demikian
negara didirikan untuk melindungi hak milik pribadi.
Kebebasan yang diciptakan Locke adalah kebebasan hak miliki (materialistis
sekularistis). Oleh karena negara sebagai pelindung makan pengawasan terhadap
penguasa politik sangat penting. Untuk itu, berbeda dengan Hobbes, Locke
mengadakan pembagian kekuasaan dalam negara menjadi tiga Badan, yaitu kekuasaan
legislatif (kekuasaan politik tertinggi yang bertugas membuat Undang-undang).
Pelaksanaan Undang-undang diserahkan kepada Badan eksekutif, dan masalah urusan
luar negara pada kekuasaan federatif.
Kelemahan yang tampak adalah Locke belum mencantumkan Badan pengawas
bagi terselenggaranya Undang-undang dengan baik dan lancar, yang kemudian dikenal
dengan Badan yudikatif. Pemikiran Locke ini disempurnakan kelak oleh Montesqieu
dengan Trias politiknya yang terkenal itu. Fungsi Badan Yudikatif terutama untuk
mencegah salah satu Badan di atas menjadi terlalu kuat dan menghancurkan
masyarakat.
Locke juga memisahkan antara agama dan negara pemisahan ini disebabkan
oleh berbedanya wewenang negara itu dengan wewenang agama. Wewenang negara
adalah bidang kehidupan duniawi, sedangkan wewenang agama adalah membimbing
manusia di jalan keselamatan kekal. Namun persoalannya tidaklah sesederhana
demikian, sebab adakalanya agama turut mengimplikasikan diri pada sikap-sikap dan
tuntutan-tuntutan yang menyangkut segala dimensi kehidupan, termasuk hidup
bernegara. Akibatnya hubungan agama dan negara oleh liberalisme itu menjadi
dangkal, tidak realistik, dan ideologis. Di samping itu, hak asasi dasar yang
dicanangkan Locke pun akhirnya tampak lebih menguntungkan golongan borjuis, agar
kebebasan berusaha dan untuk mengakumulasikan modal terjamin.

c. Roun-Jacques Rousseau (1712-1778)


Rousseau memandang manusia alamiah sebagai orang hidup polos, mencintai
diri secara spontan. Ia bebas dari segala wewenang lain dan secara hakiki sama
kedudukannya. Kepolosan alamiah ini menjadi hilang setelah terjadi proses
pemasyarakatan manusia. Manusia adalah makhluk sosial yang untuk menjamin
kebutuhan hidup bermasyarakat. Adanya dilema tersebut melahirkan pemikiran bagi
Rousseau untuk menunjukkan beragama negara seharusnya supaya manusia di
dalamnya tetap bebas dan alamiah.
Rousseau percaya bahwa negara sebagai kehendak umum (volonte generale),
yaitu kehendak bersama semua individu yang mengarah pada kepentingan bersama,
kepentingan umum. Itu berarti kehendak negara oleh kehendak rakyat. Ketaatan kepada
negara berarti juga menaati diri mereka sendiri. Oleh sebab itu Rousseau menganut
paham negara Republik.
Bagi Rousseau manusia memasukkan diri seluruhnya ke dalam negara. Negara
itu total karena identik total dengan rakyat. Negara adalah kehendak rakyat sendiri, ia
menolak adanya lembaga perwakilan rakyat, berdasarkan pemikiran tersebut, Rousseau
33
Zulfan

merupakan pendukung demokrasi langsung. Undang-undang dibuat dalam pertemuan


seluruh rakyat. Permasalahan yang timbul, adalah bagaimana cara pelaksanaan
demokrasi langsung dalam negara yang berpenduduk banyak. Hal ini ternyata kurang
kesewenangan, yaitu kehendak umum diidentikkan dengan kehendak dan mayoritas,
sehingga tampak golongan minoritas diabaikan dan dicap sebagai orang yang belum
sadar. Minoritas akhirnya dipaksa menyesuaikan diri, dan kalau tidak mau, akan
dihancurkan. Walaupun demikian Rousseau telah berjasa dalam melahirkan negara
republik, sebagai urusan seluruh masyarakat. Kegagalan demokrasinya terutama pada
keinginannya untuk mencapai identitas total antara kehendak rakyat dan negara.
Konsekuensi keinginannya itu membuka kemungkinan bagi kekuasaan total atas
rakyat.

PENUTUP
Kesimpulan
Apa yang sudah terurai dalam paper ini merupakan analisis ringkas dari
pemikiran kenegaraan tiga tokoh filsafat politik abad 17 dan 18. Walaupun demikian,
pengaruh dari ajarannya terasa melampaui zaman di mana ia hidup, bahkan dalam
negara modern sekarang ini sebagian pemikiran tokoh ini semakin disempurnakan.
Ada beberapa persamaan, di samping perbedaan yang menyolok dari pemikiran
mereka. Hobbes, Locke misalnya, bertolak dari pengandaian yang sama, yaitu
mendrikan negara berarti melepaskan beberapa negara. Hak mereka yang masih tersisa
menjadi pembatas bagi kekuasaan negara. Oleh sebab itu Hobbes dan Locke terkenal
sebagai pencetus awal negara hukum (konstitusi), walaupun bagi Hobbes kelihatan
kurang efektif. Tujuan hukum untuk membatasi wewenang yang berlebihan dari negara
yang telah mereka buat bersama. Perbedaan yang tampak adalah Hobbes menganut
paham absolute power, negara mempunyai kekuasaan mutlak dan menolak adanya
lembaga perwakilan. Sedangkan Locke membenarkan lembaga perwakilan yang
dibaginya dalam tiga Badan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Sementara itu Rousseau menganut paham negara totaliter, rakyat melepaskan
diri seluruhnya ke dalam negara. Negara total itu karena identik total dengan rakyat.
Negara adalah kehendak rakyat sendiri, oleh karena negara tidak berhadapan dengan
individu-individu, maka negara Rousseau merancangkan negara dengan kekuasaan tak
terbatas (secera de facto), dan tanpa jaminan nyata apapun bagi hak-hak rakyat.
Keadaan ini mencerminkan kesamaan pendapat antara Rousseau dengan Hobbes yaitu
kekuasaan tanpa batas. Walaupun demikian Rousseau amat berjasa bagi lahirnya
negara republik yang memperhatikan kehendak bersama (rakyat).

34
Serambi Akademica, Volume VI, No. 2, November 2018 ISSN : 2337 - 8085

DAFTAR PUSTAKA

Minogue, K.R, (1986), “Thomas Hobbes dan Filsafat Absolutisme” dalam David
Thomson, Pemikiran-Pemikiran Politik, Jakarta: PT. Aksara Persada Indonesia.
Magnis Suseno, Franz, (1987), Etika Politik, Jakarta: Gramedia.
Noer Deliar, (1982), Pemikiran Politik di Negeri Barat, Jakarta: CV. Rajawali.
Sabine, George H, (1952), A History of Political Theory, Third Edition Revised Ar
Enlarge. London, Toronto Welington Sydney: George G. Harrap da CO. LTD.
The New Encyclopedia Britanica. Chicago: William Beton, Publisher, 1943-1973.
Von Scmid, J.J, (1980), Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Jakarta:
PT. Pembangunan.

35

Anda mungkin juga menyukai