Anda di halaman 1dari 19

NAMA : Ashril Sidq

NPM : 153507076

RESUME

BAB 6

HOBBES:

NEGARA KEKUASAAN SEBAGAI LEVIATHAN

A. PENGANTAR

Hobbes menjuluki negara kekuasaan (machsstaat) sebagai leviathan. Negara ini


menimbulkan rasa takut kepada siapapun yang melanggar hukum negara. Bila warga negara
melanggar hukum, negara leviathan tak segan-segan menjatuhkan vonis hukuman mati. Negara
leviathan harus kuat. Bila lemah, akan timbul anarkhi perang sipil mudah meletus dan dapat
mengakibatkan kekuasaan negara terbelah. Apapun kritik terhadap negara leviathan, Hobbes
berkeyakinan negara seperti itulah bentuk negara yang terbaik. Sebagaimana Plato maupun
banyak pemikir politik lainnya, pemikiran Hobbes merupakan suatu respon intelektual dan
refleksi kritisnya atas proses sosial dan sejarah berlangsung dihadapannya.

B. KONTEKS SOSIO-HISTORIS DAN BIOGRAFI SINGKAT

Hobbes adalah pemikir yang lahir dan mengalami proses intelektualisasi dalam situasi
sosial politik anarkhis abad XVII. Sejak awal kehidupannya sampai akhir hayatnya perang
sipil, konfrontasi raja dan parlemen terjadi terus menerus telah mewarnai kehidupan Hobbes.
Banyak peristiwa sosial politik yang memperngaruhi pemikiran Hobbes. Pada masa perang
Inggris dan Spanyol yang merupakan sebuah luka sejarah di Inggris yang menjadikan Hobbes
terobsesi mencari pemecahan masalah, bagaimana perang dan konflik bisa di hindari dan
terciptanya perdamaian yang hakiki. Melalui kajian serius terhadap persoalan sosial politik
yang dihadapi Eropa, khususnya Inggris, Hobbes menyampaikan kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, salah satu sebab terjadinya perang agama, perang sipil dan konflik-konflik sosial
adalah karena lemahnya kekuasaan negara. Kekuasaan negara terbelah, tidak terpadu. Di
Inggris misalnya, kekuasaan negara terbelah menjadi dua : kekuasaan raja dan kekuasaan
parlemen. Kedua, perang akan dapat terhindari dan perdamaian akan tercipta bila kekuasaan
negara mutlak, tidak terbagi-bagi. Demokrasi dalam pengertian pemisahan kekuasaan negara
bagi Hobbes adalah malapetaka politik yang mesti dihindari.

Hobbes, menurut Magnis, menghadapi kenyataan kontradiktif ketika dihadapkan pada


persoalan perang sipil dan agama. Hobbes terkejut sebab disatu pihak ia melihat raja maupun
kaum agama menegaskan bahwa perjuangan mereka didasarkan pada norma dan nilai-nilai
agama yang luhur. Buku-buku teks keagamaan menunjukan hal itu. Tetapi Hobbes melihat
dalam kenyataan yang terjadi justru kebalikannya. Kaum agama muncul dalam sejarah sebagai
aktor-aktor politik yang bengis dan kejam. Dalam diri mereka tersimpan rasa penuh dendam
dan iri hati kepada manusia lain. Fakta empiris memperlihatkan kaum agama bukanlah
manusia-manusia suci yang tidak dikendalikan hawa nafsu hewani. Dari pengamatan itu
Hobbes menari dua kesimpulan. Pertama, menata masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip
normatif seperti agama dan moralitas tidak mungkin. Menurut Hobbes prinsip-prinsip itu
hanyalah kedok-kedok emosi dan nafsu-nafsu hewani yang paling rendah. Kedua, masyarakat
bisa mewujudkan perdamaian hanya apabila mampu mengenyahkan nafsu-nafsu rendah itu.
Damai bisa diciptakan bila manusia terbebas dari hawa nafsunya.

C. MANUSIA DALAM PANDANGAN HOBBES

Menurut Hobbes, manusia adalah pusat segala persoalan sosial dan politik. Hobbes
dalam hal ini memberikan sumbangan berarti dalam usaha kita memahami manusia. Menurut
Hobbes manusia tidak bisa didekati dengan pendekatan normatif religius, karena pendekatan
seperti ini semakin menjauhkan kita dari realitas sosial. Cara terbaik mendekati manusia
menurut Hobbes adalah dengan melihat manusia sebagai alat mekanis dan memahaminya
melalui pendekatan matematis-geometris. Dalam konteks inil terdapat beberapa tokoh yang
memengaruhi pemikiran Hobbes.

Francis Bacon, beliau adalah salah satu sahabat Hobbes yang menyadarkan Hobbes
akan pentingnya nalar-nalar dan metode-metode eksperimental dalam dunia ilmu
pengetahuan.Hobbes juga terpengaruh gagasan politik otoritarianisme Bacon. Hobbes tidak
selamanya sependapat dengan atau terpengaruh Bacon. Perbedaan itu nampak dari paradigma
keilmuan mereka ; Hobbes adalah seorang rasionalis sementara Bacon adalah seorang empiris.

Rene Descartes, filosof terkemuka Perancis, mempengaruhi Hobbes untuk berpikir


bahwa geometri bisa membentuk suatu model pengetahuan sistematik ideal. Descartes juga
mempengaruhi cara Hobbes memahami manusia. Hobbes terinspirasi dari pemahaman Galileo
Galilei mengenai ilmu pengetahuan dan mendapat sebuah gagasan untuk menggunakan
pendekatan yang sama dalam mempelajari manusia dan masyarakat. Prinsip gerak yang dianut
Galileo untuk memahami alam semesta juga mempengaruhi Hobbes dalam usahanya
memahami masyarakat.

Berdasarkan prinsip gerak dari Galileo William Harvey, penemu sirkulasi darah,
berpendapat bahwa manusia tidak lebih dari mesin-mesin kecil. Hobbes, karena pengaruh
keduanya, berpandangan sama. Menurutnya tubuh manusia memiliki akal, tidak seperti hewan
yang hanya memiliki naluri. Dengan akalnya, maanusia mampu melakukan refleksi,
berkalkulasi dan diperintah oleh sejumlah argumen. Bila hanya menggunakan insting manusia
akan saling menghancurkan. Akal menyebabkan manusia mencari alasan-alasan rasional untuk
tidak saling menghancurkan.

Hobbes mengakui kekuatan akal dan naluri dalam mengendalikan perilaku manusia
adalah sama kuatnya. Maka menurut Hobbes dalam keadaan alamiah, dimana manusia secara
alamiah setara, manusia bisa bertindak semata-mata mengikuti keinginan-keinginan dirinya,
yaitu memuaskan hawa nafsunya. Ia akan selalu berusaha menemukan cara dan jalan untuk
mencapai apa pun yang membuatnya senang. Sebaliknya, karena naluri itu pula ia berusaha
dengan jalan apapun menghindari apa pun yang tidak disukainya. Pada hakikatnya menurut
Hobbes secara alamiah manusia memliki rasa persaingan antara sesama manusia lainnya.
Dalam konteks inilah Hobbes menegaskan bahwa persaingan itu melahirkan rangsangan-
rangsangan alamiah untuk menggunakan kekuasaan dalam diri manusia. Dalam menghadapi
persaingan, manusia terdorrong untuk meenggunakan kekuasaan yang ada padanya.
Kecenderungan itu semakin kuat mengingat manusia adalah makhluk pemburu kekuasaan.
Berdasarkan asumsi ini Hobbes berpendapat bahwa kehidupan manusia akan selalu diwarnai
oleh persaingan dan konflik kekuasaan.

Gagasan mengenai sifat agresif manusia yang dikemukakan Hobbes memberikan


sumbangan berarti bagi para teoritisi perang dan damai, baik dari kalangan realis maupun
idealis. Bagi kaum realis, doktrin Hobbes itu memberikan dasar-dasar teoritis bagi
pembentukan doktrin bahwa perang diperlukan untuk mencapai perdamaian. Hobbes
tampaknya kurang simpatik pada agama, Ia tidak sekedar menganggap agama sebagai pemicu
ketegangan sosial dan konflik, tetapi juga menganggap agama sebagai takhayul-takhayul yang
dibenarkan dan produk rasa takut menurutnya kebanyakan agama yang dianut manusia
merupakan sesuatu yang keliru.
D. STATE OF NATURE DAN TERBENTUKNYA NEGARA

Hobbes melukiskan keadaan manusia sebelum terbentuknya sebuah negara, masyarakat


politik atau kekuasaan bersama sebagai keadaan alamiah. Keadaan alamiah adalah sebuah
konsep hipotesis. Konsep itu sepenuhnya produk rekayasa penalaran Hobbes mengenai
kehidupan manusia sebelum terbentuknya lembaga-lembaga politik. Hobbes mengakui bahwa
keadaan alamiah tidak memiliki pijakan historis sebab konsep itu tidak berdasarkan fakta-fakta
sejarah yang sesungguhnya pernah, sedang atau akan terjadi. Hobbes mempergunakan konsep
alamiah tampaknya hanya sebagai, meminjam istilah Weberian, tipe ideal masyarakat manusia
sebelum memasuki masyarakat politik.Hobbes berpendapat manusia dalam keadaan alamiah
bukanlah sejenis hewan sosial (social animal) seperti yang dikemukakan aristoteles meski
sama-sama memiliki naluri manusia berbeda dengan hewan. Naluri hewan mendorong seekor
semut atau lebah untuk berkompromi dan berdamai. Jadi secara insting, semut dan lebah
memiliki watak sosial.

Sebaliknya, naluri manusia mendorong seseorang untuk berkompetisi atau berperang.


Manusia tidak seperti semut dan lebah, berusaha meraih kebesaran dan hak-hak istimewa.
Watak itu membuat manusia berperang satu sama lainnya. Keadaan seperti itulah yang
kemudian memaksa akal manusia untuk mencari kehidupan alternatif yang lebih baik dimana
manusia dapat mengekang hawa nafsunya. Kehidupan alternatif itu ditemukan Hobbes setelah
manusia mengadakan perjanjian untuk membentuk negara.

Keinginan manusia mempertahankan hidup dan terhindar dari kematian tragis


merupakan motivasi lain yang mendorong manusia untuk meninggalkan keadaan alamiah dan
membentuk masyarakat politik. Disinilah akal berperan. Dalam keadaan alamiah manusia
saling membunuh, sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh manusia. Nalar manusia
menurut Hobbes membimbing orang untuk berdamai. Atas dasar penalaran itulah manusia
merasa membutuhkan kekuasaan bersama yang bisa menghindar dari pertumpahan darah.

Dengan titik tolak argumentasi itu, Hobbes berpendapat bahwa terbentuknya sebuah
negara atau kedaulatan pada hakikatnya sebuah kontrak atau perjanjian sosial. Negara versi
Hobbes memiliki kekuasaan mutlak. Kekuasaanya tidak boleh terbelah. Kekuasaan terbelah
akan mengakibatkan timbulnya anarki, perang sipil atau perang agama dalam negara. Hobbes
tidak menyangkal bahwa kekuasaan absolut bisa melahirkan negara despotis. Negara akan
bertindak sewenang-wenang tanpa ada satupun kekuatan yang mampu mengontrolnya.
Meskipun demikian menurut Hobbes, negara despotis itu masih jauh lebih baik daripada
terjadinya anarki akibat terbelahnya kekuasaan negara. Menurut Hobbes monarki absolut
dengan hanya memiliki seorang penguasa adalah bentuk negara terbaik. Sebab, negara dengan
seorang penguasa akan bisa tetap konsisten dengan kebijakan-kebijakan yang ditetapkannya,
sedangkan bila negara dikuasai oleh sebuah dewan besar kemungkinan kebijakan negara akan
mudah berubah. Keamanan rahasia negara lebih terjamin dibandingkan bila negara dikuasai
oleh dewan rakyat. Negara dengan penguasa sebuah dewan rakyat juga akan mudah mengalami
disintegrasi. Keretakan dalam hubungan antara anggota-anggota dewan dapat mengakibatkan
terjadinya polarisasi kekuatan dalam negara. Ini menurut Hobbes bisa merusak keutuhan
kedaulatan negara. Negara akan mudah mengalami disintegrasi hanya karena terjadinya
disintegrasi dalam dewan.

Untuk menunjang kekuasaanya, seorang penguasa monarki menurut Hobbes memiliki


hak-hak istimewa diantaranya hak menetapkan seorang pengganti kelak bila ia berhalangan
atau meninggal dunia. Ada kesan Hobbes tidak menolak munculnya nepotisme dalam proses
pergantian penguasa konsekuensinya, Hobbes bisa membenarkan pengangkatan seorang
penguasa atas dasar keturunan, suatu prinsip yang dianut raja-raja eropa di abad-abad
pertengahan.
BAB 7

CIVIL SOCIETY DAN KEKUASAAN POLITIK : PERSPEKTIF LOCKE

A. BIOGRAFI SINGKAT

Lock di didik oleh guru-guru yang berhaluan Politik toyalis musuh kaum puritan. Lock
mentyerang gagasan liberalisme. Yang ketika itu Lock masih berfikiran konservatif. Adapun
tokoh yang mempengaruhi Lock adalah Anthony Ashley. Lock sendiri merupakan seorang
filsup yang dimana dia berhenti mengajar filsafat Aristoleles dan mulai mempelajari filsafat
Descartes dan metode Cartesian yang amat berbeda dengan aliran pemikiran yang di ketahui
sebelumnya. Ia mendiskusikan berdasarkan persoalan filsafat dengan Shatresbury dan para
koleganya yang lain. Dan dari diskusi-diskusi tersebut terdorong untuk membuat gagasan-
gagasannya.

B. MONARKI ABSOLUT DAN HAK KETUHANAN RAJA: LOCKE VERSUS


FILMER

Sebelum Lock menuliskan karya-karyanya kehidupan politik Inggris dan Perancis di


dominasi oleh wacana doktrin monarki absolute. Monarki absolute didasarkan pada
kepercayaan bahwa kekuasaan mutlak raja bersifat ilahiah dank arena itu suci. Secara historis
hak-hak kekuasaan raja telah berkembang sejak abad pertengahan atau mungkin jah
sebelumnya. Para teoritis pembelaan hak-hak ketuhanan beranggapan bahwa monarki absolute
merupakan bnetuk pemerintahan paling sesuai dengan kodrat dan hokum alam. Locke adalah
penentang tinggi dan gigih absoulut di Negaranya. Monarki absolute dianggapnya
bertentangan dengan prinsip Civil Society. Disinilah letak permusuhan intelektual antara
Locke dan pemikir Sir Robert Filmer. Locke menentang pendapat Firmer bahwa bahwa
kekuasaan penguasa merupakan hak alamiah patriarki. Kalaupun kekuasaan bersifat patriarkis
menurut Locke aka nada batasannya.

C. STATE OF NATURE

Locke mulai pembahasan karyanya gagasan alamiah Locke tidak lebih orisinil di
bandingkan dengan konsep keadaan alamiah Hobbes yang menggambarkan keadaan itu
sebagai keadaan semua perang semua lawan. Jadi keadaan alamiah Locke itu jauh dari
perlukisan Hobbes mengenai konsep manusia dimana manusia selalu terobsesi untuk
memersngi,melukai, dan membunuhsesamanya.keadaan alamiah berubah setelah manusia
mengenal uang dengan di temukannya uang manusia bias berprodiksi material melebihi
kebutuhannya. Semakin banyak manusia berproduksi barang-barang kebutuhan hidupnya
maka semakin besar akumulasi kapitalnya. Ada dua konsep penting dalam pemikiran Locke
Pertama, prinsip nahwa manusia memeliki kemampuan yang sama untuk mengetahui hokum
moral. Prinsip kedua adalah prinsip kepercayaan akan dalam kompetisi kebajikan merupakan
gagaan Locke yang radikal.

D. SUPREME POWER (KEKUASAAN NEGARA)

Dalam istilah metodologis hak pemilihan merupakan variable bebas terhadap


kekuasaan. Hak pemilihan individu merupakan suatu bentuk hak-hak alamiah yang dimiliki
manusia. Dalam alamiah hak-hak pemilihan belum ada. Hak pemilihan baru muncul manakala
individu berkerja keras mengelola apa yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagian
manusia ada yang kreatif dan bekerja keras mengolah kekayaan alam sebagai anugerah tuhan.
Pada hakikatnya manusia membutuhkan proteksi atas diri dan kekayaan materialnya sementara
keadaan setiap perang setiap saat bias membinasakan hidup dan kekayaannya itu. Disini Locke
mendeklarasikan kekuasaan politik. Ia menjadikan kekuasaan politik sepenuhnya bersifat
secular. Dari sisi ini gagasan Locke memiliki kemiripan dengan gagasan kekuasaan Hobbes.
Negara bias berbuat apa saja sesuai dengan apa yang di kehendakinya tanpa perlu pertimbangan
apakah tindakan dan logika kekuasaannya sesuai atau tidak dengan kehendak dan aspirasi
masyarakat. Negara hanya dibenarkan bertindak dan berbuat sejauh bertujuan untuk
melaksanakan tujuan yang di kehendaki rakyat. Jadi menurut Locke tufas Negara tidak boleh
melebihi apa yang menjadi tujuan rakyat. Dominasi Negara yang dominan dalam mengatur
rakyat menurut Locke hanya akan menyebabkan hilangnya hak-hak rakyat dan
ketidakberdayaan rakyat menghadapi kekuasaan Negara. Untuk mencegah timbulnya Negara
absolute dan terjaminnya kehidupan Civil Society Locke berbicara mengenai peran strategis
konstitusi dalam membatasi kekuasaan Negara. Kemungkinan munculnya Negara totaliter
menurut Locke juga bias dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan Negara.

E. AGAMA DALAM CIVIL SOCIETY

Gagasan Locke mengenai toleransi agama sejalan dengan pandangannya tentang


perjanjian masyarakat dan wewenang kekuasaan Negara yaitu bahwa Negara tidak memiliki
hak mencamouri persoalan keyakinan individual atau kehidupan beragama sesorang. Gagasan
toleransi agama di kemukakan Locke dalam sebuah surat panjang yang di tulisnya. Dalam
suratnya Locke mengemukakan argumentasi mengapa toleransi Agama harus di tegakan
menurut Locke semua manusia secara kodrati bebas merdeka sejak di lahirkan ke dunia ini.
Tuhan tidak mendiskriminasi manusia atas dasar perbedaan agama,keturunan atau pemilik
kekayaan. Karena tujuan hidup manusia adalah penyembahan kepada Allah.
BAB 8

REFLEKSI PEMIKIRAN MONTESQUIEU DALAM BEBERAPA


KARYANYA

Montesquieu adalah pemikir yang seakan di takdirkan Tuhan untuk membaca dan
menulis sepanjang hidupnya. Gagasan-gaasannya mempengaruhi perkembangan pemikiran
Negara dan hokum di berbagai belahan dunia selama berabad-abad. Pengaruh pemikiran
mudah di lacak dalam formulasi ketatanegaraan modern. Gagasannya mengenai Trias Politica
yang memeisahkan kekuasaan Negara ke dalam tiga bentuk kekuasaan(eksekutif,legislative
dan yudikatif) di terapkan di Negara Negara eropa amerika serikat maupun di Indonesia. Di
gunakannya konsep ini sebagai sandi konseptual ketatanegaraan maka dapat disimpilkan
bahwa sangat besar pengaruh Montesquieu terhadap Negara penganut trias Poltiica.

A. SEJARAH KEBESARAN DAN KEJATUHAN ROMAWI

Dari sedikit cendekiawan yang mengagumi dari karya Montesquieu adalah Edward
Gibson. Adapun Montesquieu dan Gibson memfokuskan kajiannya pada
kebangkitan,kebesaran dan sekaligus kejatuhan imperium Romawi. Montesquieu sendiri
menyelidiki sebab dan latar belakang sejarah serta kebesaran dan juga kehancuran imperium
tersebut. Mentesquieu mulai melacak sejarah kebangkitan Romawi dengan pengungkapan
episode-episode sejarah imperium tersebut. Montesquieu berpeendapat adanya hubungan
antara bentuk pemikiran dengan perasaan dan pembentukan lembaga sosisal dan juga politik
oleh karena itu untuk melihat sebab-sebab keruntuhan dan kejayaan Romawi dapat dengan
menentukan factor lain. Adapunlogika sejarah yang mempengaruhi imperium romawi adalah
perang antara tentara Sparta dan rakyat Athena. Montesquieu mengungkapkan bahwa latar
belakang kejayaan dan jatuhnya romawi adalah karena watak mereka yang suka berperang
dan juga membunuh. Dan watak itu di tunjang dengan kegigihan orang romawi berlatih
kemiliterandan memeiliki semangat untuk menaklukan bangsa-bangsa yang berdara di sekitar
imperium. Menurut Montesquieu factor moral juga mempengaruhi kejatuhan Romawi .
kekejaman,kebiadaban dan kebrutalan para jendral militer atau kaisar telah membuat rakyat
tertindas dan rakyat tertindas itu berusaha mencari celah untuk meruntuhkan penguasa.
B. SURAT-SURAT PERSIA

Dalam sejarahnya surat-surat Persia di terbitkan anonym atau tanpa pengarang karena
menghinadari kemungkinan pembredelan atau bahkan ancaman hukuman keras dari kekuasaan
depotisme perancis. Surat-surat Persia atau The Persian Letters merefleksikan pengalaman
Montesquieu ketika mengunjungi Negara tetangga terutama Persia. Karya ini bertujuan untuk
mengkritik dari cermin diri dan juga semangat untuk mengubah diri kepada rakyat dan
penguasa perancis di zamannya. Montesquieu sendiri mengkritik penguasa perancis saat itu
yaitu LOUIS XIV. Raja yang berkuasa mutlak yang di juluki sebaga tukang sulap yang telah
membentuk terjadinya proses pembodohan rakyat.selain itu Montesquieu juga mengkritik Paus
sebagai tukang sulap sebab menurutnya Paus telah menyulap apa yang sebenarnya benar
menjadi salah dan sebaliknya. Montesquieu mencontohkan Paus Bahwa Paus telah menuntun
untuk percaya pada Doktrin Trinitas. Atau tuhan terdiri dari tiga oknum tetapi teteap satu.
Selain penuh dengan kritik karya surat-surat Persia ini juga penuh dengan jenaka dimana
terdapat kisah seorang ahli kimia didalamnya.

C. SEMANGAT HUKUM (SPIRIT OF THE LAWS)

Spirit Of The Law merupakan karya Montesquieu tang selanjutnya dimana buku inilah
yang paling monumental dan banyak membuat gagasan-gagasan. Dalam Spirirt Of Laws
Montesquieu memberikan perhatian khusus terhadap pengaruh iklim dan juga lingkungan fisik
manusia terhadap sifat,bentuk kegiatan dan juga cara bagaimana manusia hiudp bermasyarakat
dan juga lembaga sosial. Montesquieu juga menjelaskan bahwa terbentuknya perbedaan
tingkah laku dan perilaku sosial di sebabkan oleh faltor iklim dan letak geografis. Dalam bidang
pemikiran politiknya Montesquieu telah memberikan sumbangan yang cukup berarti yaitu
gagasannya mengenai teori Trias Politika inti dari teori ini adalah agar tidak adanya pemusatan
kekuasaan dan terbentuknya kekuasaan mutlak yang sewenang-wenang. Sama seperti Locke
lembaga atau kekuasaan legislative adalah lembaga yang tugas utamanya merumuskan undang-
undang atau peraturan Negara. Lembaga legislative merupakaan refleksi kedaulatan rakyat
dengan adanya legislative kepentingan rakyat dapat tertwakili secara baik. Lembaga ini
merupakaln cermin dari kedaulatan rakyat kekeuasaan Negara merupakan anti kritik naka
kekuasaan Negara harus di batasi karena merupakan keharusan untuk menghindari
kemungkinan terbentuknya kekuasaan mutlak.

Dalam pemikirannya Montesquieu memandang hokum sebagai sesuatu yang amat


komplreks dans elalau berubah dinamik,tidak statis. Hokum merupakan fenomena yang
kompleks dan tidak hanya terdapat dalam dinia manusia atau dunia sosial melainkan terdapat
juga dalam kehidupan benda-benda alamiah lainnya. Gagasan lain alama karyanya inilaha
berbagai macam bentuk Negara yaitu republic monarki dan juga depotis. Republic adalah
bentuk Negara yang baik Negara republic di perintah oleh rakyat yang banyak. Rakyat
memegang kedaulatan dan memberikan mandate serta legitimasi kepada orang-orng yang di
percaya untuk memerintah Negara. Monarki berdasarkan hakikatnya adalah sebuah Negara
yang di perintah beberapa orang aristocrat atau bias juga di sebut penguasa. Dalam
pandanganya bentuk Negara monarki tidak buruk asalsaja penguasa-penguasa Negara
bersangkutan mematuhi hokum,menghormati rakyat yang di kuasai dan menghormati hak-hak
kaum bangsawan. Menrutu pandangannya Negara monarki bias saja hancur apabila penfuasa
melakukan perubahan-perubahan tradisi yang tekah mapan. Berlanjut ke Negara depotia
menurut Montesquieu depotis merupakan Negara yang buruk depotis sendiri adalah Negara
yang di perintah oleh satu orang yang menentukan serta mengatur segala sesuatu berdasaarkan
kemauan dan kehendaknya sendiri. Negara depotis sendiri mirip dengan Negara Leviathan
yang dimana lembaga politiknya bersifat ganas,menakutkan dan bertindak sesuai dengan
keinginnanya sendiri.
BAB 9

JEAN JACQUES ROUSSEAU STATE OF NATURE

DAN TEORI KONTRAK SOSIAL

A. RIWAYAT HIDUP ROUSSEAU

Ketika dewasa Rousseau dikenal sebagai pembangkan kepada penguasa dinegara yang
ditempatinya. Akibatnya, ia harus melarikan diri ke Paris menghindari kejaran aparat
keamanan. Di Paris ia berkenalan dengan Diderot dan DAlembert serta Voltaire. Oleh
Voltaire, ia dimintai menulis artikel tentang musik untuk ensiklopedia yang ditulisnya. Tahun
1765 Rousseau diundang David Hume ke Inggris, tapi setahun kemudian kembali ke Perancis.
Lagi-lagi ia dikejar-kejar musuhnya. Tahun 1762 ia menyerang agama khatolik dan protestan
dalam karyanya Profession de foi du vicare savoyard yang kemudian menyebabkan ditahan
penguasa. Tahun 1778 meninggal di desa ErmenonVille. Kehidupan intelektualnya yang paling
produktif adalah ketika ia tinggal di Montmorency tahun 1757. Ketika meninggal Rousseau
meninggalkan karya-karya monumental, diantaranya : Du Contrat Social, Discours sur lorigin
et les fondements de linegalite parmi les hommes, considerations sur le gouvernement de
pologne. Dalam edisi terbitan garnier freres Paris tahun 1962 ketiga karya ini disatukan
dengan judul du contrat social. Disamping itu, rousseau juga menulis Emile:ou de leducation,
the confessions dan sebuah roman, Julie ou les nouvelle heloise serta beberapa karya lainnya.

B. PEMBERONTAK ABAD PENCERAHAN

Pemikiran rousseau merupakan sebuah pemberontakan intelektual terhadap zaman itu.


Di abad ini, perkembangan sains dan teknologi yang begitu cepat telah mengakibatkan manusia
mengalami perubahan orientasi nilai secara radikal. Manusia pencerahan berjuang gigih
menaklukan alam semesta dengan ilmu pengetahuan, serta amat mendewakan akal dan rasio.
Segala sesuatu, termasuk kebenaran harus diukur dengan parameter sains dan teknologi.
Agama, atau sesuatu yang tidak masuk akal atau tidak bisa dipahami dengan panca indra
dinaggap mitos atau khayalan. Cara berfikir rasional dan logis (sesuai panca indra) yang
berkembag dengan pesat di abad itu menyebabkan manusia abad itu menjadi makhluk rasional.
Perasaan-perasaan atau emosi, kepekaan jiwa yang juga merupakan bagian inheren dalam diri
manusia terabaikan. Unsur-unsur non-material manusia itu mengalami pengikisan. Akbiatnya
manusia abad pencerahan cenderung melihat manusia sebagai makhluk yang tak memiliki
perasaan atau emosi. Ia seakan-akan makhluk yang digerakan oleh rasionya belaka.

Perkembanganb sains dan teknologi menimbulkan revolusi berbagai bidang kehidupan


masyarakat. Industrialisasi berkembang pesat, teknologi perkapalan semakin canggih sehingga
memungkinkan manusia menaklukan samudra dan melakukan penjelajahan ke negeri-negeri
asing yang sebelumnya tak mungkin dilakukan.

Kecenderungan-kecenderungan abad itulah yang di kritik Rousseau. Ia membalikan


optimisme pencerahan menjadi pesimisme total. Apa yang dianggap baik bagi pemikir
pencerahan, justru buruk bagi rousseau. Perkembangan sains, teknologi dan seni yang
dibanggakan Perancis menyebabkan kerusakan akhlak dan dekadensi kebudayaan.
Perkembangan sains dan teknologi, misalnya, membuat manusia menjadi makhluk yang rakus
dan tamak dalam menguasai sumber-sumber alam. Dengan sains dan teknologi manusia
mampu melakukan eksploitasi alam secara besar-besaran yang tak pernah dilakukan
sebelumnya. Kehidupan alam yang patut dilestarikan terancam. Tidak hanya itu, ras manusia
pun kelak mengalami kehancuran akibat perkembangan sains dan teknologi. Dengan
ditemukannya besi, rousseau memberi contoh, manusia berhasil menjadi makhluk beradab.
Tetapi dengan penemuan benda itu ras manusia mengalami kehancuran.

Pengagungan terhadap rasio atau akal juga dikritik Rousseau. Ia menolak ras
rasionalisme Perancis abad XVIII. Rasionalisasi, rasionalisme dan pengandalan persepsi
inderawi sebagai tolak ukur kebenaran menyebabkan manusia kehilangan perasaanya, dalam
istilah Rousseau, la sensibilite. Dalam konteks inilah bisa dipahami mengapa ia ingin
mengembalikan manusia ke fitrahnya ; manusia yang mementingkan emosi, perasaan yang
tidak mendewakan rasio serta tidak menganggap manusia sekedar jasad tanpa ruh. Gagasan
inilah yang kemudian menjadi cikal bakal aliran Romantisme di Eropa. Rousseau juga menolak
produk-produk peradaban nasional abad pencerahan yang dinilainya telah merusak tatanan
sosial tradisional. Pemikiran mengenai hak kepemilikan yang dikembangkan tokoh-tokoh
pencerahan seperti John Locke, menurut Rousseau telah menciptakan ketimpangan-
ketimpangan sosial. Manusia menjadi tidak sederajat dengan manusia lainnya. Sebagai
manusia ada yang memiliki kekayaan yang jauh lebih besar dari sebagian (besar) manusia
lainnya.
C. STATE OF NATURE, MANUSIA ALAMIAH DAN KEBEBASAN

Rousseau menganggap siapapun yang membaca karya-karyanya akan memahami


konsep keadaan alamiah yang digunakannya. Meskipun ternyata tidak demikian. Konsep yang
dianggap jelas baginya ternyata merupakan sumber kebingungan. Hal ini disebabkan karena
Rousseau menggunakan konsep keadaan alamiah untuk tiga maksud : menjelaskan keadaan
asli atau primitif ras manusia; mengidentifikasi prinsip-prinsip dasar hakikat manusia yang ada
dalam keadaan asali atau primitif itu; menjelaskan keadaan manusia yang hidup dalam
masyarakat modern. Yang lebih membingungkan, seperti ditulis dalam The Social Contract
Rousseau berpendapat bahwa keadaan alamiah tidak akan pernah ada lagi, mungkin tidak
pernah ada dan tidak akan pernah ada. Jadi konsep keadaan alamiah bukanlah konsep historis,
melainkan konsep hipotetis. Dalam keadaan alamiah manusia pada dasarnya baik. Ia memiliki
apa yang disebut Rousseau kebaikan-kebaikan alamiah manusia dalam keadaan alamiah
bukanlah manusia yang suka perang, sebab tidak terdapat rasa benci, dendam, dan iri hati pada
dirinya. Kalau pun terjadi konflik, manusia cenderung menghindari perang. Maka, perang
menurut Rousseau bukanlah fenomena alamiah (natural phenomenon) melainkan fenomena
sosial (social phenomenon). Artinya perang akan meletus apabila terjadi pergeseran dan
kehidupan alamiah ke kehidupan sosial. Perang adalah sesuatu yang secara sosial
dikonstruksikan.

Untuk menjadi manusia alamiah dan konteks masyarakat modern, Rousseau mencoba
memberikan pemecahan masalah. Manusia menurutnya harus dididik sejak kanak-kanak.
Janganlah anak-anak dididik dalam struktur sosial dunia modern dengan segala etika dan nilai-
nilai moralitasnya. Anak-anak harus dibiarkan bebas menentukan watak dan kepribadiannya
sesuai dengan kehendak alam. Dalam roman, Emile : ouleducation, karya yang syarat dengan
filsafat pendidikan, Rousseau mengemukakan bahwa pendidikan yang baik bukanlah membuat
anak belajar segala tatakrama sopan santun, terikat oleh norma atau nilai-nilai etika, melainkan
membiarkannya sepenuhnya berkembang dengan naluri kemanusiaan dan insting
kemanusiaanya.

Manusia yang alamiah adalah manusia dalam keadaan bebas sejak dilahirkan. Rousseau
menekankan m=pentingnya nilai-nilai kebebasan dalam karya-karyanya terutama du contrat
social, tetapi itu bukanlah berarti Rousseau menghendaki kebebasan yang tanpa batas yang
dapat menimbulkan anarki sosial. Kebebasan tidak boleh menjadikan manusia anarkis.
Rousseau berkata bahwa orang yang merdeka (bebas) adalah orang yang patuh terhadap hukum
dan peraturan, tetapi ia tidak menjadikan dirinya budak. Ia mematuhi kekuatan hukum tetapi
bukan mematuhi manusia yang membuat hukum. Manusia bebas, adalah juga orang
mempunyai hak seorang tuan, tetapi ia bukanlah tuan. Rousseau menolak tesis Hobbes bahwa
hanya ada dua pilihan bagi manusia : kebebasan atau menjadi objek kekuasaan atau dikuasai.

D. TEORI KONTRAK SOSIAL

Rousseau memperoleh gagasan tentang keadaan masyarakat sebelum terbentuknya


negara atau keadaan alamiah, suatu utang yang tidak dinyatakan secara jelas oleh Rousseau.
Demikian pula Rousseau kurang mengakui utang intelektualnya kepada Burlamaqui. Dalam
karya Burlamaqui, principe du droit politique (prinsip hak-hak politik). Utang intelektual
seharusnya dikemukakan, karena istilah itu merupakan konsep pokok dalam karya-karya
Rousseau, khususnya Du contrat social . Menurut Rousseau, negara merupakan sebuah produk
perjanjian sosial. Individu-individu dalam masyarakat sepakat untuk menyerahkan sebagian
hak-hak, kebebasan dan kekuasaan yang dimilikinya kepada sesuatu kekuasaan bersama.
Kekuasaan bersama ini dinamakan negara, kedaulatan rakyat, kekuasaan negara, atau istilah-
istilah lain yang identik dengannya, tergantung darimana kita melihatnya. Dengan
menyerahkan hak-hak itu individu-individu itu tidak kehilangan kebebasan atau kekuasaannya.
Mereka tetap dalam keadaan sedia kala. Gagasan Rousseau mengenai negara dan kekuasaan
merupakan refleksi kritisnya atas sistem kenegaraan yang berlaku pada masa itu. Tidak sulit
untuk memahami mengapa demikian. Penguasa mengklaim Geneva sebagai sebuah republik,
negara yang amat mementingkan kedaulatan rakyat dan rakyat sebagai sumber legitimasi
kekuasaanya, tetapi dalam praktik nyata negara Geneva adalah sebuah negara yang dikuasai
oleh segelintir keluarga bangsawan (aristokrat) dan kekuasaanya bersifat turun-temurun.

Rousseau mendambakan suatu negara atau sistem pemerintahan yang memberlakukan


demokrasi langsung, yaitu suatu sistem kenegaraan dimana setiap warga negara yang
jumlahnya tidak begitu banyak menjadi pembuat keputusan dalam suatu wilayah yang tidak
terlalu luas. Rousseau mendambakan negara-negara kota seperti zaman Romawi kuno, atau
sistem pemerintahan di desa-desa di Swiss ketika ia masih kanak-kanak. Di negara-negara kota
seperti itu, rakyat dapat menjadi subjek pemerintahan sekalipun berada dibawah kekuasaan
negara. Dengan kata lain, rakyat diperintah tetapi pada saat yang sama juga memerintah.
Gagasan Rousseau ini menarik, tetapi juga sekaligus menafikan kenyataan perkembangan
penduduk dan semakin kompleksnya struktur social politik.
E. BENTUK-BENTUK PEMERINTAHAN

Mengenai pemerintahan, Rousseau lebih lanjut mengatakan : Pemerintah menerima


dari para penguasa perintah-perintah yang diberikannya kepada rakyat; dan jika negara harus
dalam keseimbangan yang baik, penting, semua hal untuk dipertimbangkan, bahwa produk dan
kekuasaan pemerintah yang ada pada dirinya sama dengan produk dan kekuasaan warga negara
yang berkuasa dalam satu sisidan menjadi subjek dalam sisi yang lain. Rousseau menganggap
adanya kaitan erat antara pemerintahan negara, rakyat, dan kedaulatan. Rousseau melihat
keaneka ragaman sistem pemerintahan di dunia adalah baik. Selain tidak monolitik, bermacam
sistem pemerintahan juga baik karena bisa mengakomodasikan kepentingan aneka ragam
bentuk.

Dalam konteks inilah Rousseau membahas klasifikasi pemerintahan dan kriteria tolok-
ukurnya. Menurutnya bentuk-bentuk pemerintahan bisa dilihat berdasarkan berapa banyak
jumlah mereka yang berkuasa. Rousseau mengingatkan klasifikasi bentuk negara itu tidak
bersifat kaku. Ia bersifat luwes dan bahkan bukan tidak mungkin saling tumpang tindih. Ia
mencontohkan demkrasi. Demokrasi bisa diperintah oleh masyarakat dan sebagian masyarakat
seperti halnya aristokrasi yang juga bisa diperintah oleh sebagian masyarakat. Bahkan, menurut
Rousseau, pemerintahan kaum bangsawan yang biasanya dikuasai seorang raja, bisa saja tidak
selalu demikian. Itu ditunjukan dalam sejarah negara Sparta dan imperium Romawi. Negara
Sparta, dengan konstitusinya, selalu memiliki dua orang raja dan imperium Romawi memiliki
delapan kaisar pada saat yang sama tanpa bisa dikatakan imperium itu terpecah belah.
BAB 10

HEGEL DAN KONSEP NEGARA INTEGRALISTIK

A. PEMIKIRIAN HEGEL TENTANG NEGARA

Negara dalam pemikiran Hegel merupakan penjelmaan roh absolut (Greatz Spirit atau
Absolut Idea). Karena itu negara bersifat absolut yang dimensi kekuasaanya melampaui hak-
hak transendental individu. Mengikuti logika dialektika Hegel, negara merupakan suatu tahap
perkembangan ide mutlak. Perkembangan ini ditandai oleh proses gerak yang terjadi antara
tesis-antitesis yang kemudian melahirkan sintesis. Gagasan Hegel tentang roh absolut
nampaknya merupakan produk pengaruh pemikiran kristiani (Baca:protestanisme) pada diri
filosof ini. Yaitu tentang oknum roh kudus dalam doktrin trinitas. Sama seperti perspektif
kristiani yang menganggap roh atau spirit sebagai sesuatu yang suci (sakral), Hegel pun melihat
negara karena ia perwujudan roh sebagai organ politik yang suci pula. Hegel mensakralisasi
negar.

Hegel mengakui adanya sistem parlementer tetapi itu tidak mengikat karena kekuasaan
kepala negara mutlak. Berbeda dengan J.J Rousseau dan John Locke maupun kalangan Marxis
yang melihat negara sebagai alat kekuasaan, Hegel justru berpendapat bahwa negara itu bukan
alat melainkan tujuan itu sendiri. Karena itu dalam logika Hegel, bukan negara yang harus
mengabdi kepada rakyat atau individu maupun golongan masyarakat melainkan sebaliknya,
merekalah yang harus mengabdi dan diabdikan demi negara. Mereka harus menjadi abdi
negara. Tetapi hal itu dilakukan, Hegel berdalih, adalah jurstru untuk kebaikan dan
kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

Hegel mempunyai interpretasi sendiri tentang kebebasan, konsep paling sentral dalam
diskursus demokrasi itu. Ia berargumentasi bahwa karena manusia itu makhluk rasional dan ia
memiliki kesadaran diri, maka ia akan sangat mengkultuskan kebebasan, tetapi disisi lain,
nampaknya hegel menyangsikan kemampuan manusia untuk mengekang dan menguasai hawa
nafsunya andai kata sejati diberikan sepenuhnya kepada manusia. Hegel berpendapat bahwa
negara bersifat unik karena ia memiliki logika, nalar sistem berfikir dan perilaku tersendiri
yang beda dengan yang ia miliki yang dimiliki organ politik apapun. Ia harus lebur dalam
kesatuan negara. Dalam perspektif semacam ini individu tidak mungkin bisa menjadi kekuatan
oposisi berhadapan dengan negara. Tetapi eksistensi kebebasan individu. Ia mengakuinya
meski anehnya, kebebasan tidaklah harus selalu berkonotasi demokrasi.
Hegel juga menganut prinsip keharmonisan sosial atau meminjam konsep parsonians,
social equilibrium (keseimbangan sosial). Dalam kerangka berfikir itu, hegel menilai bahwa
manusia akan meraih kebebasannya manakala apa yang diinginkan dan dituntutnya sesuai
dengan keinginan dan tuntunan manusia-manusia lainnya. Ada keselarasan aspirasi individual
dengan aspirasi sosial Dan, yang lebih penting lagi, tidak boleh ada kontradiksi antara
kepentingan individu dengan etika dan tatanan sosial.

B. KONSEP NEGARA INTEGRALISTIK PROF. SOEPOMO

Negara integrialistik menurut Prof. Soepomo dalam pidatonya mengacu pada


pengertian suatu tatanan integral dimana semua kelompok sosial dan individu secara organis
terkait satu dengan yang lainnya. Negara integralistik ini juga didasarkan pada premis bahwa
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan terpatri dalam suatu totalitas. Negara tidak boleh
berpihak pada kelompok terkuat atau mayoritas dan menindas kelompok yang lemah dengan
minoritas, apalagi hanya membela kepentingan segelintir individu. Tidak boleh ada
diskriminasi dalam bentuk apapun dalam kehidupan bernegara. Dalam pidatonya itu juga
Soepomo mengusulkan tiga perspektif tentang hubungan antara masyarakat dengan negara.
Pertama, teori individualistik dari Thomas Hobbes, John Locke, J.J Rousseau, Herbert Spenser
dan Harold J Laski. Inti teori ini adalah bahwa negara merupakan suatu masyarakat hukum
(legal society) yang disusun atas kontrak sosial (du contrat social).

Teori kontrak sosial ini dianut Eropa barat dan Amerika. Kedua, teori kelas (class
theory) dari Marx, Angels dan Lenin. Negara, dalam teori ini diasumsikan sebagai alat
penindas kaum borjuis kapitalis. Ketiga, teori negara integralistik dari Spinoza, Adam Muller
dan Hegel. Menurut para teoritisinya, negara integralistik dibentuk bukan untuk membela
segelintir segmen sosial Atau golongan masyarakat tertentu saja, melainkan untuk semua
masyarakat. Diberbagai kepulauan nusantar seperti Jawa dan Sumatera, menurut beliau
terdapat banyak desa yang struktur administratifnya masih kuat dipengaruhi ajaran-ajaran
spiritual dan bercorak kekeluargaan. Kepala desa secara spiritual dianggap bersatu dengan
rakyat. Keharmonisan sosial dijaga benar lewat penegakan hukum adat. Kepala desa secara
sosial diituntut membela rasa keadilan, merealisasikan cita-cita rakyat dan harus senantiasa
bermusyawarah dengan rakyat dan kepala-kepala keluarga. Jadi ada pertalian batin antara
pemimpin dan rakyat.

Cara kekerasan sebisa mungkin di hindari. Persatuan antara rakyat dan pemimpin
semata-mata dijiwai oleh semangat gotong royong dan kekeluargaan dalam konteks negara
integralistik, kepala negara dan badan-badan pemerintah lainnya harus bersifat badan
penyelenggara. Badan pencipta hukum yang timbul dari hati sanubari seluruh rakyat. Jadi,
negara betul-betul merupakan perwujudan seluruh rakyat. Dan tidak dibenarkan apabila
kemudian negara menjadi seperti individu yang berkuasa mutlak lepas dari kepentingan rakyat.
Ditegaskan oleh Prof. Soepomo bahwa tidak boleh ada dualisme antara negara dan masyarakat.
Tidak diakui adanya kontradiksi antara susunan hukum individu dengan susunan kenegaraan,
oleh karena seperti dijelaskan berulang-ulang individu merupakan bagian organik dari negara

C. TESIS BUYUNG NASUTION

Yang menjadi concern utama Buyung Nasution adalah, seperti terefleksi dalam
disertasinya, keberatan-keberatannya terhadap konsep negara integralistik yang dikemukakan
Prof. Soepomo. Pertama, berkaitan dengan masalah hubungan antara negara dan masyarakat.
Kontradiktif dengan pandangan Prof Soepomo, Buyung berargumentasi bahwa paling tidak
secara teoretis perlu ada dualisme anatara negara dan masyarakat. Sebab kalau tidak,
masyarakat tidak akan menjadi entitas yang bebas. Masyarakat akan cenderung selalu diatur
dan berada dalam kontrol kekuasaan negara. Dan, tidak akan ada pertarungan substansial antara
struktur negara dengan struktur legal yang menyangkut kepentingan individual. Ini akan
membuat negara bersifat totaliter dan anti demokrasi. Dan ini juga penting, bila negara
melakukan penyimpangan tidak ada kekuatan oposisi yang menentangnya. Situasi seperti ini
juga menimbulkan kultus terhadap pengelola negara. Mereka akan selalu dianggap sebagai
manusia yang bermoral tinggi, bijak dan tidak memiliki veested interest dalam struktur
kekuasaan. Padahal, seringkali fakta menunjukan kebalikannya.

Kedua, konsep negara integralistik berdampak negatif pada HAM. Menurut Buyung
negara model ini melihat negara bersifat superfluous. Tidak adanya jaminan HAM bagi warga
negara. Sebab, menurut model ini individu merupakan bagian integral organis dari negara. Jadi
bisa saja HAM dinegasikan sedemikian rupa demi kepentingan negara.

Ketiga, negara integralistik bertentangan dengan prinsip individualisme (yang terkait


erat dengan HAM). Dalam negara integralistik menurut Buyung, yang paling esensial adalah
bukan pertanyaan apa saja hak-hak saya tetapi apa tugas dan kewajiban saya sebagai anggota
keluarga besar. Ada tendensi dalam pandangan Buyung bahwa individualisme (yang kurang
dijabarkan secara transparan apa maksudnya) akan melahirkan kompetesi yang sehat. Manusia
dengan menganut prinsip ini, akan bisa mengembangkan potensi kemanusiaan sesuai dengan
fitrahnya.

Anda mungkin juga menyukai