Anda di halaman 1dari 3

A.

Bagaimana Kekuasaan Dianggap Memiliki Legitimasi Yang Harus Dipatuhi dan Hak
Hak Rakyat Untuk Mengingkari Kekuasaan

Thomas Hobbes seorang yang hidup bertepatan dengan kondisi korup Inggris pada saat
itu, tepatnya abad ke-17. Ia merupakan seorang filsuf politik yang terkemuka. Tidak semacam
Locke, ia merupakan seseorang filsuf yang susah untuk kita klasifikasikan pada kelompok
tertentu. Ia ialah seseorang empiris namun ia sangat berbeda dengan para empiris yang lain. Ia
begitu sangat mengagumi tata cara matematis baik matematika murni ataupun aplikasinya. Hal
tersebut yang menyebabkan seorang Hobbes dipandang sebagai orang yang sangat rasionalis.
Hobbes mulai untuk menganalogikan manusia seperti pada kehidupannya sehari-sehari. Dia
menganalogikan manusia seperti jam tangan karena manusia adalah sejatinya bergerak dan
merupakan perangkat alat yang mekanis. Namun Hobbes mulai berfikir kembali bahwa manusia
itu digerakkan oleh hawa nafsunya. Hobbes merasakan bahwa nafsu yang paling kuat adalah
nafsu untuk mempertahankan diri.1 Galileo mengasumsikan bahwa alam semesta itu seperti
sebuah mesin raksasa juga William Harvey yang memiliki pemikiran sejalan dengan Galileo, dia
mengatakan bahwa manusia juga tidak lebih dari sebuah mesin-mesin kecil. Ini berarti sejalan
juga dengan Hobbes bahwa manusia merupakan alat mekanis yang selalu bergerak. Disisi
lainnya Hobbes juga menambahkan bahwa manusia merupakan mesin-mesin yang berpikir
karena telah diberi keniscayaan akal dan bukan seperti hewan yang hanya memiliki sebuah naluri
atau insting nya. Berangkat dari akal, manusia bisa mempunyai sebuah argumen-argumen yang
rasional. Kekuatan didalam sebuah akal dan naluri ini akan menjadi sosok manusia memiliki
peranan yang kuat. Seperti yang dikatakan sebelumnya manusia akan selalu bertindak dengan
hawa nafsunya. Ini semua berangkat dari keadaan alamiah seorang manusia yang ingin setara
dan mengikuti keinginan-keinginannya. Manusia menurutnya adalah makhluk yang selalu
berusaha dan sulit menyerah jika itu yang membuatnya menjadi bahagia atau menemukan
kesenangannya. Naluri akan dijadikan sebuah alat dalam menghindar dari sebuah hal yang tidak
disukainya. Manusia pada hakikatnya akan terus bersaing antara manusia dengan manusia
lainnya. Manusia akan terus mempersiapkan hal untuk mendapatkan yang dia inginkan dengan
tidak lain hanya untuk mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan. Pasti dalam sebuah
1
Wijaya, Daya Negeri, “Kontrak Sosial Menurut Thomas Hobbes dan John Lock”, Jurnal Sosiologi
Pendidikan HumanisI Volume 1, Nomor 2 (Desember 2016): 186-187.
persaingan ada yang berdiri sebagai pemenang dan ada juga yang tersingkirkan, itu semua sudah
menjadi alamiah dalam bersaing. Tentu pemenang akan mempunyai kekuasaan besar. Kekuasaan
akan terus diperjuangkan oleh seorang manusia agar memiliki sebuah letigimasi didalamnya.
Nantinya manusia yang memiliki kekuasaaan akan merasa bahwa dia telah mempunyai hak yang
harus dijalankan karena pada hakikatnya manusia adalah pemburu kekuasaan.2

Manusia juga tidak akan pernah terlepas dari sebuah pertarungan. Jelas disini manusia itu
seperti sebuah serigala yang akan memangsa manusia lainnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa
rasa kemanusiaan itu akan hilang karena pertarungan ini. Menurut Ahmad Suhelmi didalam buku
Pemikiran Politik Barat mengatakan, Pertarungan sesama manusia itu terus menjadi besar oleh 3
aspek, Pertama ini adalah kecenderungan alamiah seorang manusia buat mencapai kebesaran
diri. Untuk manusia, kebesaran diri bagaikan wujud kebahagiaan paling tinggi. Manusia sangat
suka dipuji, dibesarkan, dihargai, apalagi disanjung. Ia hendak gampang tersinggung serta marah
apabila harga dirinya direndahkan. Apalagi, buat sebagian manusia terdapat yang bersedia mati
cuma demi mempertahankan harga diri. Pula demi harga diri serta kebesaran diri manusia rela
berperang, menaklukkan serta menewaskan bangsa- bangsa lain. Sifat ini semacam dikatakan
Hobbes seluruhnya bertabiat anti sosial. Tetapi, inilah kenyataan yang ditemui dalam kehidupan
manusia. Kedua, ada juga faktor kesetaraan manusia yang berarah pada kekuatan dan kelemahan
manusia. Maksudnya adalah, manusia siapapun mempunyai kekuatan dan kelemahan. Manusia
yang kuat sekalipun akan memiliki peluang untuk dapat dilemahkan. Itu semua adalah sifat
alamiah. Tidak ada seorang manusia yang dapat kuat sepenuhnya dan tidak bisa terkalahkan oleh
siapapun. Dari sini Hobbes menilai bahwa manusia memiliki sebuah ketakutan dan kecemasan
didalam hidupnya. Ketakutan itu tidak lain adalah kepada manusia lainnya. Dari sini yang paling
menyeramkan dari gagasan Hobbes adalah jika ingin selamat maka harus membunuh yang
dianggap berpeluang melemahkan. Ketiga, adanya faktor agama yang memperuncing konflik.
Agama menurut Hobbes menjadi sebuah pemicu atau sumber dari segala konflik yang ada
terlihat dari kejadian yang ada di Inggris. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa manusia
sifatnya adalah agresif. Dari sifat yang agresif ini manusia memperjuangkan sebuah agamanya
didalam sebuah peperangan dengan dasar membela atas nama tuhan dan kebenaran. Berarti dapat
dikatakan bahwa agama memiliki kepentingan politik dan ingin berkuasa. Agama menurut

2
Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), 168-171
Hobbes ini menjadi sebuah sumber dari ketegangan sosial yang terjadi karena memberikan rasa
takut.3

Dari asumsi Hobbes mengenai konflik manusia yang terus-menerus hadir menjadikan dia
menginginkan sebuah perdamaian yang diatur oleh satu penguasa. Bagaimana pada saat itu
manusia meninggalkan kondisi yang diangap primitif. Manusia bisa menjadi terjaga karena
adanya perjanjian yang menghapus hak alamiah absolut mereka dalam semua aspek kehidupan.
Namun yang kita tahu bahwasannya manusia memiliki sifat yang mementingkan diri sendiri.
Menurut Hobbes manusia itu sangat sulit dipercaya atau dipegang dari janji-janjinya atau
perkataanya. Solusi semacam ini menciptakan sebuah otoritas publik yang memiliki kekuatan
dalam memberikan jaminan keselamatan manusia. Narasi ini dibangun untuk persemakmuran.
Definisi dari persemakmuran itu seperti tindakan yang representatif dengan sebuah perjanjian
yang timbal balik. Penguasa menjadi sumber dari sebuah tujuan yang bisa menjadi kekuatan
demi terciptanya perdamaian dan pertahanan. Perjanjian ini ditekankan oleh Hobbes dalam
kontrak sosialnya bukanlah perjanjian antara penguasa dan rakyat melainkan perjanjian antara
individu dengan individu dengan maksud untuk meredakan ketegangan yang selama ini terjadi
antara manusia dengan manusia atau lebih tepatnya mengakhiri keadaan alamiah itu dan
membentuk masyarakat sipil. Dalam kontrak sosial ini menjadikan sebuah kekuasaan memiliki
legitimasi yang harus dipatuhi oleh segenap masyarakat yang telah membuat perjanjian-
perjanjian itu. Tidak ada kebulatan suara didalamnya hanya menciptakan kedaulatan yang kuat
dalam menjalankan tatanan internal agar tidak diintervensi oleh luar. Bagi orang yang
minoritaspun harus tunduk pada pemimpin yang memiliki kekuatan lebiih besar. Mereka yang
kontra dengan peprjanjian tetap berada dalam keadaan yang alamiah dan karenanya tunduk pada
tindakan apa saja yang mungkin dilakukan oleh penguasa demi melindungi lembaga sipil yang
berkaitan.4

3
Ibid, 171-174.
4
J. Schmandt, Henry, Filsafat Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), 313-319

Anda mungkin juga menyukai