Anda di halaman 1dari 3

A.

Biografi Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah dengan nama lengkapnya yakni Taqiyudin Ahmad bin Abdul
Halim bin Taimiyah. Beliau dilahirkan di Haran, Turki tepatnya pada tanggal 10 Rabiul
Awal 661 H dan bertepatan pada 22 Januari 1263 M. Beliau juga menghembuskan nafas
terakhirnya pada tanggal 20 Dzulhijjah 728 H dan bertepatan pada 16 September 1328 M.
Ibnu Taimiyah hidup ketika banyak sekali gejolak-gejolak dilingkungan sekitarnya.
Ketika pada saat itu, dunia islam mengalami kemunduran, perpecahan terjadi,
permusuhan dengan bangsa barat atau Kristen, serta sebuah serbuan tentara mongol.1
Keluarga Ibnu Taimiyah berasal dari keluarga yang sangat Religius, dilihat dari ayahnya
yang merupakan seorang Syaikh, hakim, dan khatib. Ayahnya bernama Syihabuddin bin
Taimiyah. Hal tersebut dilihat juga karena memang turun temurun dari kakeknya yang
berlatarbelakang religius, yakni Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin
Taimiyah al Harrani yang merupakan seorang ulama yang menguasai fiqih, Hadits, tafsir,
ilmu ushul dan penghafal Al-Qur’an. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa Ibnu
Taimiyah ketika lahir ketika terjadi gejolak-gejolak yang terdapat dilingkungannya, salah
satunya serangan tentara Mongol yang pada saat itu ayahnya membawa Ibnu Taimiyah ke
Damaskus pada usianya yang masih sekitar tujuh tahun. Di usianya yang sangat terbilang
muda, Ibnu Taimiyah berhasil menyelesaikan pendidikannya dalam berbagai bidang
diantaranya Fiqh, hadits, tafsir Al-Qur’an, matematika, dan filsafat. Sejak kecil juga
beliau sudah terlihat secara kontras kecerdasan yang dimilikinya.2
Ibnu Taimiyah sering sekali bergabung pada pengajian dan kuliah umum
bersamaan dengan para orang tua. Dia sering sekali mengambil kesempatan yang
tersedia. Sering sekali orang menulis riwayat hidup dari Ibnu Taimiyah karena
kecerdasaannya dan tidak jarang orang memujinya karena kegigihannya berjuang untuk
mencari berbagai cabang ilmu. Aktivitas yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah diantaranya
mengajar dan memberi fatwa-fatwa yang selalu ia tekuni. Kematian ayahnya juga
menjadi pendorong Ibnu Taimiyah untuk lebih semangat lagi dalam mewujudukan cita-
cita ayahnya dalam mengajar dan memberi fatwa-fatwa untuk umat. Ibnu Taimiyah
merupakan figur dari ulama yang terkenal akan kesabaran, keberanian, dan hati yang
selalu lapang atau pemaaf. Sejarah mencatat perihal keberanian yang dimiliki Ibnu
Taimiyah dalam memberantas bid’ah dan khurafat.3
Kondisi politik pada saat Ibnu Taimiyah masih terbilang cukup muda usianya,
keadaannya sangat genting. Tidak adanya stabilitas politik akibat dari disentegrasi dan
perpecahan dalam aspek kehidupan sosial politik. Tidak adanya ketetapan hukum (hukum
fiqh) atau undang-undang yang mengatur pada saat itu. Bisa dibilang bahwa kondisi
politik pada saat itu tidak jauh lebih baik dari para pendahulunya. Hal tersebut
1
Syarjaya, H. E. Syibli, “Corak Pemikiran Tafsir Ibn Taimiyah: Telaah Terhadap Metodologi Tafisr”, Jurnal
Al-Qalam, Volume 19, No.93 (April-Juni 2002), 37.
2
Salim, Amir, Muharir, Alda Hermalia, “Pemikiran Ibnu Taimiyah Dalam Harga, Pasar, dan Hak Milik”,
Economica Sharia: Jurnal Pemikiran dan Pengembangan Ekonomi Syariah, Volume 6, Nomor 2 (Februari 2021),
157.
3
Syaikhon, Muhammad, “Pemikiran Hukum Islam Ibnu Taimiyah”, Jurnal Lisan Al-Hal, Volume 7, No.2
(Desember 2015), 334-335.
disebabkan dari dampak permasalahan-permasalahan yang terjadi kepada Dinasti
Abbasiyah.4

B. Pentingnya Otoritas Kekuasaan Menurut Ibnu Taimiyah


Menurut Ibnu Taimiyah, pentingnya untuk memikirkan bagaimana otoritas
kekuasaan atau terbentuknya pemerintahan, adalah untuk memperlancar dakwah-dakwah
agama Islam. Selain itu, urusan umat juga merupakan kewajiban dari agama yang paling
agung. Tentu saja itu semua tidak bisa dihindarkan dari sifat manusia yang sosial atau
dalam arti luas membutuhkan bantuan orang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Hal tersebut tentu saja perlu adanya kepala negara agar bisa memenuhi
kebutuhan hidup daripada umat atau masyarakatnya. Pendapat itu sebetulnya sudah
diutarakan bagi para pendahulu Ibnu Taimiyah tentang pentingnya bermasyarakat.
Bahkan hal tersebut disabdakan oleh Nabi Muhammad tentang pentingnya seorang
pemimpin walauapun dengan kapasitas komunitas yang kecil. Hal tersebut yang
mengindikasikan bahwa pentingnya pemimpin untuk organisasi yang lebih besar apalagi
sebesar Negara. Pentingnya mengangkat seorang pemimpin disuatu kaum atau negara
menurut Ibnu Taimiyah diantaranya juga ialah untuk menjalankan misi dari apa yang
diperintahakan oleh Allah yakni dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang berartikan
menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Dengan hal tersebut tidak
mungkin jika kita tidak memiliki seorang pemimpin atau kepala yang mengkordinir misi
tersebut agar terjalan dengan baik. Bahkan terdapat kesamaan yang terlihat antara Ibnu
Taimiyah dan Al-Ghazali menurut Munawir Sjadzali tentang keberadaan kepala negara
dalam menjamin terlaksananya semua perintah Allah.5
Terlihat secara kontras, sebetulnya Ibnu Taimiyah bukan seorang pemikir seperti
para tokoh filsafat sebelumnya tentang konsep negara, konsep pemimpin, dan lain
sebagainya. Tetapi Ibnu Taimiyah lebih mengedepankan apa yang diajarkan di Agama
Islam atau lebih tepatnya menjalankan apa yang Allah Perintahkan seperti para
pendahulunya yang juga memberikan pandangannya merujuk pada perintah Allah. Para
pemimpin yang ada dimuka bumi ini menurutnya wajin dan bertanggung jawab atas
undang-undang yang ditetapkan oleh Allah dan merealisasikannya. Ajang ini menjadi
ajang politik dalam menjalankan misi Agama dalam menyebarkan dakwah kepada
masyarakat. Bahkan saking pentingnya pemimpin, menurut Ibnu Taimiyah lebih baik
suatu organisasi atau negara dipimpin oleh pemimpin yang zalim daripada tidak ada
pemimpinnya sama sekali yang berakibat terganggunya stabilitas negara. Namun hal
tersebut dia katakana karena merujuk pada realitas yang terjadi pada masa ia kecil, saat
gejolak konflik yang terjadi.6
Wajib bagi kita untuk menghindari sikap dan perilaku yang ambisius terhadap
kekuasaan dan harta kekayaan. Hal tersebut demi menghindari sifat-sifat tercela yang

4
Sirojuddin Aly, Pemikiran Politik Islam: Sejarah, Praktik, dan Gagasan (Depok: Rajawali Pers, 2018), 492-
494.
5
Ibid, 494-495.
6
Ibid, 496-497.
dapat merusak agama dan menyengsarakan rakyat. Karena jika ambisi yang memenuhi
diri seseorang, maka akan menjadikan manusia itu tertutup hati nuraninya dan tidak akan
memperdulikan bagaimana dia caranya mendapatkan kekuasaan itu atau apa yang dia
inginkan.7

7
Ibid, 497-498.

Anda mungkin juga menyukai