A. PENDAHULUAN
Suatu hal yang perlu mendapat catatan dalam dunia pepolitikan Nabi Muhammad SAW dalam
praktiknya baik mengenai mendirikan dan sekaligus memimpin Negara Madinah merupakan
sebuah isyarat bahwasannya keberadaan sebuah negara sangatlah penting.Namun satu hal lagi
mengenai Piagam Madinah yang menjadi sebuah kostitusi di era kepemimpinan Nabi
Muhammad SAW tidak menyebutkan agama negara.
Dengan berbagai macam pikiran politik yang akan dibahas kali ini sekiranya kita dapat
mengetahui beberapa pandangan – pandangan masing – masing kelompok sehingga dapat
menemukan apa inti dari pemikiran berbagai kelompok ini.
B. PEMBAHASAN
PEMIKIRAN POLITIK SUNNI
Sebagai kelompok mayoritas, pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro kepada
pemerintah yang berkuasa.Pemikiran – pemikiran dari ahli – ahli politik Sunni cenderung
membela dan mempertahankan kekuasaan.Tidak jarang pula pemikiran politik dan kenegaraan
mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintahkan , namun atas
pendapat ini Mujar Ibnu Syarif memberikan sebuah solusi ketika makalah ini dipresentasikan
bahwasannya pendapat diatas merupakan suatu hal yang darurat.
Ibnu Taimiyah sebagaimana dijelaskan Iqbal, telas merumuskan bahwa enam puluh tahun
berada di bawah rezim penguasa zalim lebih baik daripada sehari hidup tanpa
pemimpin.Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara mengemukakan pendapat
Ghazali, Ibnu Ali Rabi’ dan Ibnu Taimiyah yang telah menyatakan dengan tegas bahwasannya
kekuasaan kepada negara atau raja itu merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada
hamba – hamba pilihan – Nya, dan disebutkan pula bahwa ketiga pemikir itu berpendirian bahwa
khalifah itu adalah Ghazali adalah muqaddas atau suci, tidak dapat diganggu gugat. Ibnu Abi
Rabi’ mencari dasar lagi legitimasi keistimewaan hak – hak khalifah atas rakyatnya dalam ajaran
agama, yaitu
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa – penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa erajat.Untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan – Nya kepadamu.Sesunguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan – Nya, dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampuan lagi Maha Penyayang.(QS.Al – An’am, 6:165).
Hai orang –orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara
kamu.Kemudian jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al – Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar – benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS.Al – Nisa’,4:59).
Menurut Ibn Abi Rabi’, kedua ayat diatas merupakan penegasan Allah bahwa Ia telah memberi
keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan dan memperkokoh kedudukan
mereka di bumi – Nya.Disamping itu Allah SWT mewajibkan kepada para ulama untuk
menghormati, mengagungkan dan mentaati perintah mereka.Pandangan hampir serupa
dikemukakan oleh al – Ghazali sumber kekuasaan adalah Tuhan, dan lebih jauh dikatakan
bahwa pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan
perintah syar’i, menurutnya, mustahil ajaran – ajaran agama dapat terlaksana dengan baik kalau
kondisinya tidak mendukung, sedang pendukungnya adalah negara.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan umat Islam tidak hanya
sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin jalannya hukum –
hukum Tuhan.Sebagai konsekwensi dari kekuasaan kepala negara yang sakral, baik Ibn Abi
Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk melakukan pemberontakan terhadap
kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh
berbuat maksiat kepada Allah.
Mawardi berpendapat bahwa sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian
antara agama dan rakyatnya atau adanya kontrak sosial.Dari pendapat Mawardi ini lahirlah hak
dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak yakni rakyat dan penguasa.Suatu hal
yang perlu mendapat perhatian dari al – Mawardi yakni menekankan kepatuhan terhadap kepala
negara (pemimpin) yang telah terpilih.
Kepatuhan ini tidak hanya kepada pemimpin yang adil, tetapi juga kepada pemimpin yang jahat.
Ciri lain didalam pemikiran politik golongan Sunni ini adalah penekanan mereka terhadap suku
Quraisy sebagai kepala negara walaupun Ibn Abi Rabi’ tidak menyinggungnya secara tegas, dan
Muhammad Iqbal memasukkan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha yang hidup dimasa modern
yang masih menekankan suku Quraisy di dalam pemikiran politiknya.
Namun sebagai mana disinggung Iqbal pula yang memasukkan pola pemikiran Ibnu Khaldun
yang menyatakan bahwa syarat Quraisy bukanlah sebuah harga mati.
Kelompok Khawarij muncul bersama dengan mazhab Syi’ah.Masing – masing muncul sebagai
sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.Pada awalnya kelompok ini adalah
para pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran kelompok ini lebih dahulu dari pada
mazhab Syi’ah.
Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitase atau
tahkim yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Mu’awiyah di Siffin. Dan
suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan sebuah kelompok yang memaksa Ali
untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka ketika Ali
pada mulanya hendak mengangkat Abdullah Ibn Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang
keluar (Khawarij) akhirnya mengangkat Abu Musa al – Asy’ari, belakangan memandang
perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar, menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana
menyetujui tahkim dan menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi
mereka telah bertaubat.Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara
berfikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit menerima perbedaan pendapat
dan diterangkan oleh Abu Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok Khawarij pada
umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal, beberapa
sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpecah – pecah menjadi beberapa kelompok.
Menurut mereka, hak untuk menjadi kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau kabilah tertentu
dari kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua manusia. Meskipun
mereka cenderung ekstrim dan sulit menerima perbedaan sebagaimana dikatakan oleh
Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan mereka yang lebih maju dari pada Sunni maupun
Syi’ah.Mereka dapat menerima pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman pada enam tahun
pertama dan Ali sebelum menerima arbitase dengan alasan pemerintahan mereka pada masa
sesuai dengan ketentuan syari’at.
Suatu hal yang lebih jauh Iqbal membandingkan dengan kelompok Sunni dan Syi’ah, Khawarij
tidak mengakui hak – hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan
khalifah.Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy sebagaimana pandangan Sunni
misalkan saja pandangan al – Ghazali, al – Juwaini, al – Asqolani, al – Maududi dan Ibnu
Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada pandangan Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad
Rasyid Ridho yang hidup pada masa modern, juga bukan hak khusus Ali dan keluarga
sebagaimana pandangan kaum Syi’ah.Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat
beberapa prinsip yang disepakati oleh aliran – aliran Khawarij.
Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar – benar
bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi.Seorang khalifah tetap pada
jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at , serta jauh dari kesalahan dan
penyelewengan.Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang berupa dijatuhkan dari
jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy
sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa
lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij bahkan mengutamakan Non
Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya, apabila seorang khalifh melakukan
penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang
akan mempertahankannya atau keturunan keluarga yang akan mewariskannya.
Ketiga, yang bersal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat
dapat menyelesaikan masalah – masalah mereka.Jadi pengangkatan seorang imam menurut
mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersift kebolehan.Kalau pun
pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan
dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika pendapat itu
bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan Thalhah, al
– Zubair, dan para tokoh sahabt lainnya, yang jelas tentu semua itu berpendapat yang tidak
sesuai dengan pendapat khawarij.
Dari keterangan diatas, menurut mereka siapa saja berhak menduuki jabatan khalifah bahkan
mereka mengutamakan orang selain dari Non Arab.Dan dari pemikiran diatas, pengikut khawrij
berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan
manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara sebagi seorang yang sempurna, Iqbal
menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan mekanisme syura untuk mengontrol
pelaksanaan tugas – tugas pemerintahan, hal ini menujukkan kedemokrasian klompok ini.
C. PENUTUP
Dari pembahasan diatas sebagai pelengkap dari makalah ini ada tiga pemikiran politik
kenegaraan dalam Islam.Pertama, aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili oleh kelompok
Sunni.Kedua, aliran teokrasi yang diwakili oleh Syi’ah kecuali Syi’ah Zaidiyah.Ketiga, aliran
demokrasi yang dianut oleh Khawarij.
Dengan mengetahui pemikiran politik masing – masing golongan ini semoga kita paham apa arti
sebuah perbedaan yang inti dari perbedaan diatas adalah betapa pentingnya sebuah negara,
terlepas apakah disana terdapat perbedaan – perbedaan.
DAFTAR PUSTAKA
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media
Persada, 2001.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press,
1986.
Pulungan, Suyuti, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 1997.
Redaksi Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, Januari 1999, jilid keenam.
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cetakan kedua.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press,
1990.
Zahrah, Imam Muhammad, Tarikh al – Madzahib al – Islamiyyah, terjemahan Abd.Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta: Logos, 1996, cetakan
kesatu.s
DOSEN PEMBIMBING
DISUSUN OLEH
ACHMAD NAUFA KHOIRUL FAIZUN
MUHAMMAD GIE YONO