Dosen Pengampuh Dr. Selviyanti Kaawoan, S.Ag, M.Hi.
Mata Kuliah : Fikih Siyasah
HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
I. Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Islam sebagai agama selalu mengalami perkembangan. Dimulai ketika lahir, dari yang kecil, hingga tumbuh berkembang menjadi agama yang besar. Perkembangan itu meliputi berbagai bidang, tidak terkecuali di bidang politik. Pergolakan politik islam mulai muncul kepermukaan ketika terjadi peristiwa tahkim. Yakni, peristiwa perdamaian antara pihak Ali bin Abi Thalib dengan pihak muawiyah. Dari peristiwa tersebut memunculkan berbagai golongan sehingga umat islam menjadi terkotak-kotak. Dari pihak yang mendukung Ali membentuk golongan yang disebut syiah. Dari pihak yang tidak mendukung Ali membentuk golongan khawarij. Dari pihak yang lepas (tidak memihak) kedua golongan tersebut membentuk golongan yang disebut mu’tazilah. Kemudian sunni muncul akibat banyaknya golongan-golongan dalam islam. Kaum sunni ini berpendapat bahwa mereka ialah golongan yang lurus. Setelah islam terpecah-pecah menjadi beberapa golongan, golongan terakhir inilah yang terbesar hingga sekarang tersebar keberbagai negara.
B. Latar Belakang Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini, yakni: 1. Apa dan bagaimana pemikiran politik sunni? 2. Apa dan bagaimana pemikiran politik syi’ah? 3. Apa dan bagaimana pemikiran politik khawarij? 4. Apa dan bagaimana pemikiran politik mu’tazilah? II. Pembahasan A. Pemikiran Politik Sunni Menurut Abu Zahroh yang dikutip Suyutih Pulungan, pemikiran politik sunni terdapat pada empat prinsip umum sebagai berikut. Pertama, berdasarkan keutamaan keturunan. Bahwa di dalam suatu hadist mengenai keutamaan bangsa Quraish sebagai berikut;
“diriwayatkan oleh Abu hurairah r.a. katanya, Rosulullah SAW
bersabda, manusia telah mengikuti kaum Quraish, baik di dalam masalah kebaikan maupun keburukan, keislaman mereka mengikuti keislaman Quraish dan begitu juga kekufuran mengikuti kekufuran kaum tersebut”.
Menurut Suyutih Pulungan, hadist di atas menunjukan keutamaan
kaum Quraish. Hal itu berarti tidak seorang pun menjadi kepala negara selain berasal dari keturunan Quraish. Kedua, kepala negara di baiat bahwa dengan baiat tersebut terjadilah kontrak sosial antara kepala negara dengan masyarakat. Hal ini didasarkan pada beberapa ayat Al-Quran yang berkaitan dengan baiat, di antaranya ialah Q.S. Al-fath; 10, At-taubah; 111, dan Al- mumtahannah; 12. Ketiga, prinsip syura. Bahwa pemilihan kepala negara dilakukan melalui musyawarah. Hal ini didasarkan pada Al-quran Q.S. As-syura; 38 , Ali imran; 159. Dan dapat kita lihat juga dari beberapa contoh musyawarah yang dilakukan Nabi sendiri. Keempat, keadilan. Hal ini berdasarkan Q.S. 4;135, 5;8 dan juga beberapa hadist. Diantaranya yang berbunyi, “penghuni surga adalah raja yang adil, orang yang lemah lembut hatinya dan tak mau mengerjakan yang keji serta memperbanyak sedekah”. Suyutih Pulungan berpendapat bahwa keadilan menurut islam bersifat universal. Baik dalam suatu peraturan perundang-undangan maupun dalam prakteknya. Bahkan terhadap musuh sekalipun harus berlaku adil.
B. Pemikiran Politik Syiah
Sebelum merambah lebih jauh mengenai pemikiran politik syiah terasa tidak sah dan nyaman bila tidak mengetahui sejarah lahirnya kelompok ini. Mengenai kelahiran kelompok ini banyak sekali keanekaragamnya. Syiah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok sunni sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW telah mendominasi dalam percaturan politik islam. Selanjutnya Munawir sjadzalih mengatakan titik awal dari lahirnya Syiah karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifan Abu Bakar dan berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali. Para ahli penulis sejarah sebagaimana dijelaskan dalam Enslikopedi islam sebagian menganggap syiah lahir setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Kaum Muhajirin dan Anshor di balai pertemuan saqifah bani saidah, yang diselenggarakan di gedung pertemuan yang dikenal dengan dar Al- nadwah di Madinah. Pada perkembangan selanjutnya aliran syiah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte. Hal ini di sebabkan karena cara pandang yang berbeda di kalangan mereka mengenai sifat imam mashum atau tidak dan perbedaan di dalam menentukan penganti imam. Kaum syiah menetapkan bahwa seorang imam;
1. Harus mashum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
2. Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan. 3. Seorang imam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubungan dengan syariat. 4. Imam adaLh pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.
Terjadinya pengkultusan terhadap diri ali oleh kaum syiah sebagai
mana di jelaskan oleh Suyutih merupakan tidak bisa lepas dari pendapat khawarij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim. Tentunya untuk mengimbangi oernyataan dari kaum yang mereka anggap bersebrangan dengan mereka ini maka kelompok syiah membuat doktrin untuk menyimbangi hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat masum. Dan mendoktrin bahwa ia telah di tetapkan melalui wasiat nabi sebagai penganti imam untuk penganti Nabi. Berkembangnya doktrin syiah di pengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, imam-imam syiah, selain Ali bin Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuasaan politik. Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang memiliki integritas dan kesalehan yang tinggi. Mereka tidak memiliki pengalaman praktus dalam memerintah dan menangani permasalahan politik riil. Kedua, sebagian pengikut syiah berasal dari persia ikut membentuk paradigma dalam corak pemikiran syiah. Di ketahui mereka dahulukannya yakni mengangungkan raja dan menganggapnya sebagai manusia suci. Hal ini terlihat pada salah satu kelompok ini yang mempunyai suatu paradigma yaitu imam Ali adlah penjelmaan tuhan yang tinggi martabatnya bahkan melebihi dari Nabi muhammad sendiri. Ketiga, pengalaman pahit yang selalu di alami pengikut syiah dalam percaturan politik ikut mempengaruhi. Di anatara sekian banyak sekte, terdapat 3 sekte besar dan berpengaruh dalam mazhab syiah hingga sekarang yaitu, zaidiyyah, ismailiyyah, dan imamiyah.
C. Pemikiran Politik Khawarij
Kelompok khawarij muncul bersama dengan mazhab syiah. Masing-masing muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib. Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah Tahkim yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Muawiyah di Siffin. Suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan sebuah kelompok yang memaksa Ali untuk menerima Tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim atas pilihan meraka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah bin Abbas tetapi atas desakan pasuka khawarij akhirnya mengankat Abu Musa al-Asyari. Belakangan memandang perbuatan Tahkim sebagai kejahatan besar. Menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir karena menyetujui Tahkim dan menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka telah taubat. Di bandingkan dengan kelompok sunni dan syiah , khawarij tidak mengakui hak-hak istimewah orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah. Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang di sepakati oleh aliran-aliran khawarij. Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar-benar bebas dan dilakukan oleh semua umat islam tanpa diskriminasi. Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syariat, serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan. Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh. Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu bukan monopoli suku Quraish sebagai di anut golongan lain. Bukan pula khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama. Ketiga, yang berasal dari aliran najda. Pengangkatan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah-masalah mereka. Jadi, pengangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersifat kebolehan. Kalaupun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan. Keempat, orang yang berdosa adalah orang kafir. Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapat merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.
D. Pemikiran Politik Mu’tazilah
Kelompok mu’tazilah ini pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik para sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat islam pada masa pemerintahan Ali. Mereka khususnya berusaha mengambil sikap yang lebih rasional dalam menanggapi terjadinya konflik dalam internal umat islam mengenai pengangkatannya khalifah yang keempat. Penamaan kelompok ini dengan sebutan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan-perbedaan antara Washil ibn Atha dengan gurunya Hasan al-Bashri, pada abat kedua tentang penilaian orang yang berbuat banyak dosa. Kelompok ini selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional. Akan tetapi sesuai dengan situasi dan perkembangan saat itu pemikiran-pemikiran Mu’tazilah merambah kelapangan siyasah. III. Penutup Kesimpulan 1. Pemikiran politik sunni di antaranya sebagai berikut: Pertama, berdasarkan keutamaan keturunan. Yakni berasal dari keturuna Quraisy. Kedua, kepala negara harus di-bai’at. Bahwa dengan bai’at tersebut terjadilah kontrak sosial antara kepalanegara dengan masyarakat. Ketiga, prinsip syura. Bahwa pemilihan kepala negaradilakukan melalui musyawarah. Keempat, keadilan.
2. Pemikiran politik Syi’ah di antaranya sebagai berikut:
bahwa seorang imam harus ma'shum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat. Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan. Seorang imam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubungan dengan syari'at. Imam adalah pembela agamadan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari pe nyelewengan. Syi'ah Zaidiyah tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi. Bagi mereka Imamharus memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fatimah. Syi'ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam. Nabi hanya menetapkan sifat-sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau.
3. Pemikiran politik Khawarij di antaranya sebagai berikut: Pertama,
pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar-benar bebas dandilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi. Kedua, jabatan khalifah bukanhak khusus keluarga Arab tertentu, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama. Ketiga, yang berasal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidakdiperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah-masalah mereka. Keempat , orang yang berdosa adalah kafir.
4. Pemikiran politik Mu’tazilah di antaranya sebagai berikut: bahwa
pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’I. Melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah. Daftar Pustaka
A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu
Syari’ah, Jakarta: Kencana, 2013.
Iqbal Muhammad, Fiqih Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: