Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

FIKIH SIYASAH

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 9

Moh Randy Sahbana (212032003)


Fidya Butolo (212032021)

Dosen Pengampuh
Dr. Selviyanti Kaawoan, S.Ag, M.Hi.

Mata Kuliah : Fikih Siyasah

HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

IAIN SULTAN AMAI GORONTALO


I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama selalu mengalami perkembangan. Dimulai
ketika lahir, dari yang kecil, hingga tumbuh berkembang menjadi agama
yang besar. Perkembangan itu meliputi berbagai bidang, tidak terkecuali
di bidang politik.
Pergolakan politik islam mulai muncul kepermukaan ketika terjadi
peristiwa tahkim. Yakni, peristiwa perdamaian antara pihak Ali bin Abi
Thalib dengan pihak muawiyah. Dari peristiwa tersebut memunculkan
berbagai golongan sehingga umat islam menjadi terkotak-kotak. Dari
pihak yang mendukung Ali membentuk golongan yang disebut syiah.
Dari pihak yang tidak mendukung Ali membentuk golongan khawarij.
Dari pihak yang lepas (tidak memihak) kedua golongan tersebut
membentuk golongan yang disebut mu’tazilah. Kemudian sunni muncul
akibat banyaknya golongan-golongan dalam islam. Kaum sunni ini
berpendapat bahwa mereka ialah golongan yang lurus. Setelah islam
terpecah-pecah menjadi beberapa golongan, golongan terakhir inilah
yang terbesar hingga sekarang tersebar keberbagai negara.

B. Latar Belakang Masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini, yakni:
1. Apa dan bagaimana pemikiran politik sunni?
2. Apa dan bagaimana pemikiran politik syi’ah?
3. Apa dan bagaimana pemikiran politik khawarij?
4. Apa dan bagaimana pemikiran politik mu’tazilah?
II. Pembahasan
A. Pemikiran Politik Sunni
Menurut Abu Zahroh yang dikutip Suyutih Pulungan, pemikiran
politik sunni terdapat pada empat prinsip umum sebagai berikut.
Pertama, berdasarkan keutamaan keturunan. Bahwa di dalam suatu
hadist mengenai keutamaan bangsa Quraish sebagai berikut;

“diriwayatkan oleh Abu hurairah r.a. katanya, Rosulullah SAW


bersabda, manusia telah mengikuti kaum Quraish, baik di dalam
masalah kebaikan maupun keburukan, keislaman mereka mengikuti
keislaman Quraish dan begitu juga kekufuran mengikuti kekufuran kaum
tersebut”.

Menurut Suyutih Pulungan, hadist di atas menunjukan keutamaan


kaum Quraish. Hal itu berarti tidak seorang pun menjadi kepala negara
selain berasal dari keturunan Quraish.
Kedua, kepala negara di baiat bahwa dengan baiat tersebut
terjadilah kontrak sosial antara kepala negara dengan masyarakat. Hal
ini didasarkan pada beberapa ayat Al-Quran yang berkaitan dengan
baiat, di antaranya ialah Q.S. Al-fath; 10, At-taubah; 111, dan Al-
mumtahannah; 12.
Ketiga, prinsip syura. Bahwa pemilihan kepala negara dilakukan
melalui musyawarah. Hal ini didasarkan pada Al-quran Q.S. As-syura; 38 ,
Ali imran; 159. Dan dapat kita lihat juga dari beberapa contoh
musyawarah yang dilakukan Nabi sendiri.
Keempat, keadilan. Hal ini berdasarkan Q.S. 4;135, 5;8 dan juga
beberapa hadist. Diantaranya yang berbunyi, “penghuni surga adalah
raja yang adil, orang yang lemah lembut hatinya dan tak mau
mengerjakan yang keji serta memperbanyak sedekah”. Suyutih Pulungan
berpendapat bahwa keadilan menurut islam bersifat universal. Baik
dalam suatu peraturan perundang-undangan maupun dalam
prakteknya. Bahkan terhadap musuh sekalipun harus berlaku adil.

B. Pemikiran Politik Syiah


Sebelum merambah lebih jauh mengenai pemikiran politik syiah
terasa tidak sah dan nyaman bila tidak mengetahui sejarah lahirnya
kelompok ini. Mengenai kelahiran kelompok ini banyak sekali
keanekaragamnya. Syiah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok
sunni sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW telah mendominasi dalam
percaturan politik islam.
Selanjutnya Munawir sjadzalih mengatakan titik awal dari lahirnya
Syiah karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifan Abu Bakar
dan berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali. Para
ahli penulis sejarah sebagaimana dijelaskan dalam Enslikopedi islam
sebagian menganggap syiah lahir setelah wafatnya Nabi Muhammad
SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Kaum
Muhajirin dan Anshor di balai pertemuan saqifah bani saidah, yang
diselenggarakan di gedung pertemuan yang dikenal dengan dar Al-
nadwah di Madinah.
Pada perkembangan selanjutnya aliran syiah ini terpecah menjadi
puluhan cabang atau sekte. Hal ini di sebabkan karena cara pandang
yang berbeda di kalangan mereka mengenai sifat imam mashum atau
tidak dan perbedaan di dalam menentukan penganti imam. Kaum syiah
menetapkan bahwa seorang imam;

1. Harus mashum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.


2. Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan.
3. Seorang imam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang
berhubungan dengan syariat.
4. Imam adaLh pembela agama dan pemelihara kemurnian dan
kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.

Terjadinya pengkultusan terhadap diri ali oleh kaum syiah sebagai


mana di jelaskan oleh Suyutih merupakan tidak bisa lepas dari pendapat
khawarij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim. Tentunya untuk
mengimbangi oernyataan dari kaum yang mereka anggap bersebrangan
dengan mereka ini maka kelompok syiah membuat doktrin untuk
menyimbangi hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada
tingkat masum. Dan mendoktrin bahwa ia telah di tetapkan melalui
wasiat nabi sebagai penganti imam untuk penganti Nabi.
Berkembangnya doktrin syiah di pengaruhi oleh beberapa faktor.
Pertama, imam-imam syiah, selain Ali bin Abi Thalib, tidak pernah
memegang kekuasaan politik. Mereka lebih memperlihatkan sosoknya
yang memiliki integritas dan kesalehan yang tinggi. Mereka tidak
memiliki pengalaman praktus dalam memerintah dan menangani
permasalahan politik riil.
Kedua, sebagian pengikut syiah berasal dari persia ikut
membentuk paradigma dalam corak pemikiran syiah. Di ketahui mereka
dahulukannya yakni mengangungkan raja dan menganggapnya sebagai
manusia suci. Hal ini terlihat pada salah satu kelompok ini yang
mempunyai suatu paradigma yaitu imam Ali adlah penjelmaan tuhan
yang tinggi martabatnya bahkan melebihi dari Nabi muhammad sendiri.
Ketiga, pengalaman pahit yang selalu di alami pengikut syiah
dalam percaturan politik ikut mempengaruhi. Di anatara sekian banyak
sekte, terdapat 3 sekte besar dan berpengaruh dalam mazhab syiah
hingga sekarang yaitu, zaidiyyah, ismailiyyah, dan imamiyah.

C. Pemikiran Politik Khawarij


Kelompok khawarij muncul bersama dengan mazhab syiah.
Masing-masing muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan
khalifah Ali bin Abi Thalib. Khawarij adalah kelompok sempalan yang
memisahkan diri dari barisan Ali setelah Tahkim yang mengakhiri
perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Muawiyah di Siffin.
Suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan sebuah
kelompok yang memaksa Ali untuk menerima Tahkim dan menunjuk
orang yang menjadi hakim atas pilihan meraka ketika Ali pada mulanya
hendak mengangkat Abdullah bin Abbas tetapi atas desakan pasuka
khawarij akhirnya mengankat Abu Musa al-Asyari. Belakangan
memandang perbuatan Tahkim sebagai kejahatan besar. Menurut
kelompok ini Ali telah menjadi kafir karena menyetujui Tahkim dan
menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi
mereka telah taubat.
Di bandingkan dengan kelompok sunni dan syiah , khawarij tidak
mengakui hak-hak istimewah orang atau kelompok tertentu untuk
menduduki jabatan khalifah. Mungkin untuk mempertegas masalah ini
kita melihat beberapa prinsip yang di sepakati oleh aliran-aliran
khawarij.
Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan
pemilihan yang benar-benar bebas dan dilakukan oleh semua umat islam
tanpa diskriminasi. Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia
berlaku adil, melaksanakan syariat, serta jauh dari kesalahan dan
penyelewengan. Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang
berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu
bukan monopoli suku Quraish sebagai di anut golongan lain. Bukan pula
khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan
semua bangsa mempunyai hak yang sama.
Ketiga, yang berasal dari aliran najda. Pengangkatan khalifah tidak
diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah-masalah
mereka. Jadi, pengangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah
suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersifat kebolehan.
Kalaupun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban berdasarkan
kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang berdosa adalah orang kafir. Mereka tidak
membedakan antara satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan
dalam berpendapat merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan
dengan kebenaran.

D. Pemikiran Politik Mu’tazilah


Kelompok mu’tazilah ini pada awalnya merupakan gerakan atau
sikap politik para sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat
islam pada masa pemerintahan Ali. Mereka khususnya berusaha
mengambil sikap yang lebih rasional dalam menanggapi terjadinya
konflik dalam internal umat islam mengenai pengangkatannya khalifah
yang keempat.
Penamaan kelompok ini dengan sebutan Mu’tazilah baru terjadi
pada saat terjadinya perbedaan-perbedaan antara Washil ibn Atha
dengan gurunya Hasan al-Bashri, pada abat kedua tentang penilaian
orang yang berbuat banyak dosa. Kelompok ini selanjutnya berkembang
menjadi sebuah aliran teologi rasional. Akan tetapi sesuai dengan situasi
dan perkembangan saat itu pemikiran-pemikiran Mu’tazilah merambah
kelapangan siyasah.
III. Penutup
Kesimpulan
1. Pemikiran politik sunni di antaranya sebagai berikut: Pertama,
berdasarkan keutamaan keturunan. Yakni berasal dari keturuna Quraisy.
Kedua, kepala negara harus di-bai’at. Bahwa dengan bai’at tersebut
terjadilah kontrak sosial antara kepalanegara dengan masyarakat.
Ketiga, prinsip syura. Bahwa pemilihan kepala negaradilakukan melalui
musyawarah. Keempat, keadilan.

2. Pemikiran politik Syi’ah di antaranya sebagai berikut:


bahwa seorang imam harus ma'shum (terpelihara) salah, lupa, dan
maksiat. Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat
kebiasaan. Seorang imam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap
sesuatu yang berhubungan dengan syari'at. Imam adalah pembela
agamadan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari pe
nyelewengan. Syi'ah Zaidiyah tidak menganut paham dan teori imam
bersembunyi. Bagi mereka Imamharus memimpin umat dan berasal dari
keturunan Ali dan Fatimah. Syi'ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi
telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam. Nabi
hanya menetapkan sifat-sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang
akan menggantikan beliau.

3. Pemikiran politik Khawarij di antaranya sebagai berikut: Pertama,


pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang
benar-benar bebas dandilakukan oleh semua umat Islam tanpa
diskriminasi. Kedua, jabatan khalifah bukanhak khusus keluarga Arab
tertentu, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama. Ketiga,
yang berasal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidakdiperlukan
jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah-masalah mereka.
Keempat , orang yang berdosa adalah kafir.

4. Pemikiran politik Mu’tazilah di antaranya sebagai berikut: bahwa


pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’I.
Melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah.
Daftar Pustaka

A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu


Syari’ah, Jakarta: Kencana, 2013.

Iqbal Muhammad, Fiqih Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta:


GayaMedia Persada, 2001.

Anda mungkin juga menyukai