Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aliran Murji’ah merupakan salah satu aliran yang dipelajari dalam Teologi
Islam.Munculnya aliran ini dilatarbelakangi oleh persoalan politik, yaitu soal khalifah
(kekhalifahan).Setelah terbunuhnya khalifah Usman ibn Affan, umat Islam terpecah kedalam
dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali dan Mu’awiyah. Kelompok Ali lalu terpecah pula
kedalam dua golongan yaitu golongan yang setia membela Ali (disebut Syiah) dan golongan
yang keluar dari barisan Ali (disebut Khawarij).
Ketika berhasil mengungguli dua kelompok lainnya, yaitu Syiah dan Khawarij dalam
merebut kekuasaan, kelompok Mu’awiyah lalu membentuk dinasti Umaiyah. Syiah dan
Khawarij bersama-sama menentang kekuasaannya. Syiah menentang Mu’awiyah karena
menuduh Mu’awiyah merebut kekuasaan yang seharusnya milik Ali dan keturunannya.
Sementara itu Khawarij tidak mendukung Mu’awiyah karena ia dinilai menyimpang dari
ajaran Islam. Dalam pertikaian antara ketiga golongan tersebut, terjadi ditengah-tengah
suasana pertikaian ini, muncul sekelompok orang yang menyatakan diri tidak ingin terlibat
dalam pertentangan politik yang terjadi.Kelompok inilah yang kemudian berkembang
menjadi golongan “Murji’ah”.
Munculnya berbagai kelompok teologi dalam Islam tidak terlepas dari faktor historis
yang menjadi landasan kajian. Bermula ketika Nabi Muhammad saw. wafat, riak-riak
perpecahan di antara kaum Muslim timbul kepermukaan. Perbedaan pendapat dikalangan
sahabat tentang siapa pengganti pemimpin setelah Rasul, memicu pertikaian yang tidak bisa
dihindari. Semua terbungkus dalam isu-isu yang bernuansa politik, dan kemudian
berkembang pada persoalan keyakinan tentang tuhan dengan mengikut sertakan kelompok-
kelompok mereka sebagai pemegang “predikat kebenaran”. Perpecahan semakin meruncing
ketika pada masa pemerintahan Ali, hal yang sentral diperdebatkan adalah masalah
”Imamah” atau kepemimpin. Golongan Syi‟ah yang pro terhadap Ali sangat mendukung
bahwa imamah harus diserahkan kepada Ali dan keturunannya. Sedangakan Khawarij dan
Mu‟tazilah menentang dengan pendapat mereka, bahwa siapapun berhak menduduki kursi
kepemimpinan, termasuk budak. Jika ia memang dari kaum Muslim yang cakap dan
berkualitas.
Terjadinya pembunuhan Utsman ra. (17 Juni 656 M), oleh pemberontak dari Mesir.
Merupakan fase kedua sengitnya perdebatan mengenai siapa yang benar dan siapa yang
salah. Tidak berhenti sampai di situ perdebatan semakin meluas tentang persoalan “dosa
kecil” sampai pada “dosa besar”. Bahkan pada ranah “keimanan”. Dan penentuan siapa yang
dianggap “mu’min”, “kafir”, “fasik”, dan bagaimana kedudukan mereka di akhirat nanti,
serta tindakan Tuhan bagi perbuatan mereka. Yang kemudian menjadi tema sentral dalam
pembahasan makalah ini adalah Aliran Jabariyah, sebagai salah satu aliran yang pernah eksis
dan menjadi bahan perbincangan oleh banyak orang. Dan untuk memfokuskan bagi para
pembaca, maka rumusan masalah yang akan menjadi pemaparan penulis sebagai berikut

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah asal-usul munculnya Aliran Murji’ah?
2. Doktrin-doktrin apa saja yang terdapat pada Aliran Murji’ah?
3. Bagaimana sekte-sekte pada Aliran Murji’ah?
4. Bagaimana perkembangan Aliran Murji’ah?
5. Apa Kelebihan dan kekurangan Aliran Murji’ah?
6. Apa yang dimaksud dengan jabariyah?
7. Bagaimana sejarah aliran jabariyah?
8. Bagaimana tokoh-tokoh dan ajaran jabariyah?
9. Apa saja pokok-pokok ajaran jabariyah?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Asal-Usul Kemunculan Aliran Murji’ah
Asal-usul kemunculan kelompok Murji’ah dapat dibagi menjadi 2 sebab yaitu :
A. Permasalahan Politik
Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim
(arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah.Kelompok Ali
terpecah menjadi 2 kubu, yang pro dan kontra.Mereka memandang bahwa tahkim
bertentangan dengan Al-Qur’an, dengan pengertian, tidak ber-tahkim dengan hukum
Allah. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim adalah dosa
besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar yang
lain.
Seperti yang telah disebutkan di atas Kaum khawarij, pada mulanya adalah
penyokong Ali bin Abi thalib tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena
ada perlawanan ini, pendukung-pendukung yang tetap setia pada Ali bin Abi Thalib
bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan golongan
lain dalam islam yang dikenal dengan nama Syi’ah.
Dalam suasana pertentangan inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin
bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara
golongan yang bertentangan ini.Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan ini
merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar.
Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa sebenarnya yang salah,
dan lebih baik menunda (arja’a) yang berarti penyelesaian persoalan ini di hari
perhitungan di depan Tuhan.
Gagasan irja’ atau arja yang dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan
tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik
dan juga bertujuan menghindari sekatrianisme.

B. Permasalahan Ke-Tuhanan
Dari permasalahan politik, mereka kaum Mur’jiah pindah kepada
permasalahan ketuhanan (teologi) yaitu persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum
khawarij, mau tidak mau menjadi perhatian dan pembahasan pula bagi mereka.Kalau
kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang membuat dosa besar, kaum
Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin. Pendapat penjatuhan hukum kafir pada orang
yang melakukan dosa besar oleh kaum Khawarij ditentang sekelompok sahabat yang
kemudian disebut Mur’jiah yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap
mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan
mengampuninya atau tidak. Aliran Murji’ah menangguhkan penilaian terhadap orang-
orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan, karena hanya
Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin
yang melakukan dosa besar masih di anggap mukmin di hadapan mereka. Orang
mukmin yang melakukan dosar besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa orang
mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kalimat
syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang tersebut masih
tetap mukmin, bukan kafir.
Pandangan golongan ini dapat dilihat terlihat dari kat aMurji’ah itu sendiri
yang berasal dari kata arja’a yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan
dan memberikan pengaharapan. Menangguhkan berarti bahwa mereka menunda soal
siksaan seseorang di tangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan ia akan
langsung masuk surga, sedangkan jika tidak, maka ia akan disiksa sesuai dengan
dosanya, setelah ia akan dimasukkan ke dalam surga. Dan mengakhirkan
dimaksudkan karena mereka memandang bahan perbuatan atau amal sebagai hal yang
nomor dua bukan yang pertama.Selanjutnya kata menangguhkan, dimaksudkan
karena mereka menangguhkan keputusan hukum bagi orang-orang yang melakukan
dosa di hadapan Tuhan. Disamping itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa
nama Murji’ah yang diberikan pada golongan ini, bukan karena mereka menundakan
penentuan hukum terhadap orang islam yang berdosa besar kepada Allah di hari
perhitungan kelak dan bukan pula karena mereka memandang perbuatan mengambil
tempat kedua dari iman, tetapi karena mereka memberi pengharapan bagi orang yang
berdosa besar untuk masuk surga. Golongan Murji’ah berpendapat bahwa yang
terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dan kemudian amal. Jika
seseorang masih beriman berarti dia tetap mukmin, bukan kafir, kendatipun ia
melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan,
akan ia ampuni atau tidak. Pendapat ini menjadi doktrin ajaran Murji’ah.
Nama murji’ah di ambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan, dan pengharapan.Yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar
untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah.Selain itu, arja’a berarti pula
meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal
dari iman. Oleh karena itu murji’ah, artinya orang yang menunda penjelasan
kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya
masing-masing ke hari kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan
murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja dikembangkan oleh
sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika
terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme.
Diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan syiah dan khawarij, kelompok ini
merupakan musuh berat khawarij.
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan basis doktrin
murji’ah. Muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang di perlihatkan oleh cucu
Ali bin Abi Thalib. Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695.
Penggagas teori ini menceritakan bahwa 20 tahun setelah kematian Muawiyah, pada
tahun 680, dunia islam dikoyak oleh pertikaian sipil. Teori lain menceritakan bahwa
ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas
usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah.Kelompok Ali terpecah menjadi
dua kubu, yang pro dan yang kontra.Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan
keluar dari Ali, yakni kubu khawarij.Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan
dengan Al-Qur’an, dalam pengertian, tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah. Oleh
karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan
pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina,
riba, membunuh tanpa alasan yang benar durhaka kepada orang tua, serta memfitnah
wanita baik-baik. Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat yang kemudian di sebut
murji’ah. Yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir,
sementara dosanya diserahkan kepada Allah.
C. Doktrin-Doktrin Murji’ah
Di bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap politik netral
atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya,
kelompok murji’ah dikenal pula sebagai the queietists( kelompok bungkam). sehingga
membuat murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.Adapun di bidang teologi,
doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan-persoalan teologis
yang muncul pada saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang
di tanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga mencakup iman, kufur, dosa
besar dan ringan, tauhid, tafsir Al-Qur’an, eskatologi, pengampunan atas dosa besar,
kemaksuman nabi, hukuman atas dosa(punishment of sins), ada yang kafir (infidel)
dikalangan generasi awal islam, tobat (redress of wrongs).
Berkaitan dengan doktrin teologi murji’ah, W. Montgomery watt merincinya sebagai
berikut;
1. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah
memutuskannya di akhirat kelak.
2. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-khalifah
Ar-Rasyidun.
3. Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh
ampunan dan rahmat dari Allah.
4. Doktrin-doktrin murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptic dan
empiris dari kalangan Helenis.
D. Perkembangan Aliran Murjiah
Aliran Murji’ah ini sangat berkembang sangat subur pada masa pemerintahan
Dinasti Bani Umayyah. Aliran ini tidak memberontak pada pemerintah, karena
bersifat netral dan tidak memusuhi pemerintah yang sah. Dalam perkembangan yang
berikutnya, lambat laun aliran ini tidak mempunyai bentuk lagi. Bahkan beberapa
jajarannya diakui oleh aliran kalam yang berikutnya. Sebagai aliran yang berdiri
sendiri, gologngan Murji’ah modern telah hilang dalam sejarah dan ajaran-ajaran
mereka mengenai iman, kufr, dan dosa besar masuk ke dalam aliran Ahli Sunnah Wal
Jama’ah. Sementara itu, golongan Murji’ah ekstrim pun sudah hilang dan tidak
ditemui lagi sekarang. Namun ajaan-ajarannya yang ekstrim itu masih didapati pada
sebagaian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajarannya. Kemungkinan merek tidak
sadar bahwa mereka sebenarnya mengikuti ajaran-ajaran golongan Murji’ah
E. Kelebihan dan Kekurangan Aliran Murji’ah
Kelebihan dari aliran ini adalah golongan ini tidak akan memudaratkan
perbuatan maksiat itu terhadap keimanan. Demikian juga sebaliknya, “tidaklah akan
memberi manfaat dan memberi faedah ketaatan seseorang terhadap kekafirannya”.
Artinya, tidaklah akan berguna dan tidaklah akan diberi pahala perbuatan baik yang
dilakukan oleh orang kafir. Maka dari itu, mereka tidak mau mengkafirkan seseorang
yang telah masuk Islam, sebab golongan ini sagat mementingakan kewajiban sesama
manusia.
Kekurangan aliran ini adalah lebih mementingkan urusan dunia dari pada
akhirat.Karena menurut mereka, iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang
menurut akal wajib dikerjakan.Berarti, kelompok ini mengakui adanya kewajiban-
kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syariat.
Firman Allah SWT dalam surat Ar Ra’du ayat 28 :
ّ
‫تطمئن القلوب‬ ّ
‫وتطمئن قلوبهم بذكر هللا قلى اال بذكر هللا‬ ‫الّذين امنوا‬
Artinya :
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah.Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi
tenteram”.
Apabila seseorang sudah mempercayai Allah SWT dan rasul-rasul-Nya dan segala
sesuatu yang datang dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan
dalam perbuatannya hal-hal yang bertentangan dengan imannya. Seperti berbuat dosa,
menyembah berhala, dan minum-minuman keras.Golongan ini juga meyakini bahwa
surga dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi Allah SWT semata.
F. Pengertian Jabariyah
Nama jabariyah berasal dari kata “jabara” yang mengandung arti memaksa.
Menurut al-Syakhrastani bahwa jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari
hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah swt.
Faham jabariyah ini diperkenalkan pertama kali oleh al-Ja‟id bin Dirham di
Damaskus yang kemudian disiarkan oleh muridnya Jahm bin Safwan dari Khurasan.
Oleh sebab itu, golongan ini disebut juga dengan golongan Jahamiyah.1Menurut
paham ini, manusia tidak kuasa atas sesuatu. Karena itu, manusia tidak dapat diberi
sifat “mampu” (istitha’ah). Manusia sebagaimana dikatakan, Jahm bin Shafwan,
terpaksa atas perbuatan- perbuatannya tanpa ada kuasa (qudrah), kehendak (iradah),
dan pilihan bebas (al-ikhtiyar). Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia,
sebagaimana perbuatan Tuhan atas benda-benda mati.2Dengan kata lain perbuatan
manusia sudah ditentukan sejak semula oleh qadha dan qadhar Tuhan. Sehingga
posisi manusia dalam faham ini tidak memiliki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi
terikat kehendak mutlak Tuhan. Dalam istilah Inggris faham ini disebut fatalisme atau
predistination, yaitu faham bahwa perbuatan manusia ditentukan sejak semula oleh
qadha dan qadhar Tuhan. Maka doktrin aliran jabariyah ini menganut faham bahwa
manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan
perbuatannya, tetapi perbuatannya dalam keadaan terpaksa.3
Al-Baghdadi menuturkan didalam al-Farqu Bainal Firaq, tentang pendapat
Jahm ini bahwa: tuhan adalah Maha Kuasa, Maha Pencipta, yang mematikan dan
menghidupkan. Sifat-sifat yang demikian khusus bagi tuhan saja. Tidak ada tindakan
dan perbuatan bagi seseorang kecuali perbuatan dan tindakan Allah swt.
Dalam perkembangan berikutnya, sebagaimana aliran Qaadariyah yang lenyap
dari gelanggang sejarah tetapi beberapa ajarannya dimunculkan oleh para pemikir
pembaru, aliran Jabariyah pun mengalami nasib yang sama. Paham Jabariyah,
terutama Jabariyah moderat yang dikembangkan oleh Husein Ibn Muhammad al-
Najjar serta Dirar Ibn Amr sungguhpun tidak .dalam bentuk yang sama dimunculkan
oleh aliran asy‟ariyah.

G. Sejarah Aliran Jabariyah


Pemunculan aliran Jabariyah berpangkal dari persoalan teologis yang kedua,
yaitu persoalan takdir Tuhan dalam kaitannya dengan kehendak dan perbuatan
manusia. Bibit perbedaan paham tentang takdir ini sudah tampak pada masa Nabi dan
Khulafaur Rasyidin, tetapi belum meninggalkan perbincangan dan perdebatan yang
serius, karena Nabi sendiri pernah memarahi dan menghentikan perbincangan tentang
takdir tersebut.
Rasulullah hanya menganjurkan agar mengimani takdir dan melarang untuk
memperbincangkan lebih jauh, karena dikhawatirkan akan membingungkan dan
mendorong timbulnya perpecahan.
Namun selanjutnya setelah daerah-daerah Islam meluas ke negara- negara
Syiria, Palestina, Mesir dan Persia pada masa Khalifah Umar bin Khattab, maka umat
Islam bercampur dengan umat lain dan penganut agama kuno yang membicarakan
masalah takdir, ada yang menerima dan ada yang menolak, maka akhirnya timbullah
perdebatan tanpa memperhatikan lagi larangan Nabi. Akhirnya pada 70 H, muncullah
Mabad al-Juhani dalam pembicaraan tentang hurriah al-irodah dan qudroh yang
dimilikimanusia sebagai anugerah Tuhan untuk melakukan perbuatannya.
Pada masa Nabi, benih-benih paham al-Jabariyah itu sudah ada. Perdebatan di
antara para sahabat di seputar masalah Qadar Tuhan merupakan salah satu
indikatornya. Nabi menyuruh umat Islam beriman kepada takdir, tetapi beliau
melarang mereka membicarakannya secara mendala. Pada masa sahabat kelihatannya
sudah ada orang yang berpikir Jabariyah. Diceritakan bahwa Umar bin al-Khattab
pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata, “Tuhan
telah menentukan aku mencuri”. Umar menghukum pencuri itu dan mencambuknya
berkali-kali. Ketika keputusan itu ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: “Hukum
potong tangan untuk keslahan mencurinya, sedang cambuk untuk kesalahannya
menyadarkan perbuatan dosa kepada Tuhan.”

H. Tokoh-Tokoh dan Ajaran Jabariyah


Al-Syahrastani menampilkan 4 pemuka dari aliran Jabariyah, yaitu Jaham Ibn
Sofwan yang alirannya disebut al-Jahmiah, al-Khusain Ibn Muhammad al-Najjar yang
alirannya disebut al-Najjariyah, Ibn Umar dan Hafash al-Fard yang alirannyaa disebut
al-Diroriah. Dalam hal ini, al- Syahrastani tidak memasukkan Ja‟ad Ibn Dirham,
karena paham Jabariyah pada masanya belum banyak pengikutnya, walaupun Marwan
Ibn Muhammad telah menjadi pengikutnya, sehingga ia diberi gelar Marwan al- Ja‟di.
1. Ja’ad Ibn Dirham
Ja‟ad adalah putra dari Dirham ,seorang tuan dari Bani al-Hakam. Sebagai
pelopor Jabariyah, Ja‟ad Ibn Dirham dibesarkan dalam lingkungan masyarakat yang
selalu membicarakan tentang teologi,ia bertempat tinggal di Damaskus tempat ini
pada mulanya sebagai basis agama Kristen dan latar inilah salah satu faktor penyebab
timbulnya paham Jabariyah di kalangan kaum muslimin. Ajaran yang ia kemukakan
antara lain ialah bahwa al-quran itu adalah makhluk, Allah tidak mempunyai sifat
seperti sifatnya makhluk dan menyatakan adanya takdir. Al-quran sebagai makhluk
artinya bahwa al-Qur‟an itu diciptakan Allah, dan kalau ia di ciptakan berarti baru
kalau ia baru berarti bukan kalamullah.
Menurut al-gorobi, munculnya pemahaman ja‟ad tentang kemakhlukan al-
Qur‟an berkembang sebagai akibat dari pengingkarannya terhadap sifat-sifat Tuhan.
Ia mengemukakan alasan tersebut bahwa al- Qur‟an itu baru dan Allah tidak bisa di
sifati dengan sifat tersebut, al- Qur‟an juga tidak mungkin qodim, karena tidak ada
yang qodim selain Allah.
2. Jaham ibn sofwan
Jaham Ibn Sofyan digelar oleh Abu Mahroj dia adalah seorang pemimpin Bani
Rosib dari Azd. Ia pandai berbicara dan seorang orator, karena kepandaianya
berbicara serta ke pasihannya, ia di angkat sebagai juru tulis dan seorang muballig. Di
samping itu, ia juga sebagai seorang ahli debat. Akhir hayatnya ia di bunuh oleh
Muslim Ibn Ahwaz Al-Mazini pada akhir masa Bani Marwan. Paham-pahamnya
dalam teologi:
 Bahwa kalamullah (wahyu)Allah itu baru, bukan qodim dan tidak kekal.
 Tuhan tidak dapat di sifati dengan sifat-sifat yang di miliki makhluknya karena
dengan mensifatinya akan menimbulkan persamaan.
 Iman adalah makrifah, sedangkan kufur adalah al-jahluh. Oleh sebab itu orang
yahudi yang mengetahui sifat-sifat nabi juga mukmin.
 Surga dan neraka adalah baru, ia akan rusak, karena tidak ada sesuatupun yang
kekal selain Allah, adanya ungkapan al-khulud di dalam Al-Quran adalah hanya
menggambarkan lamanya, bukan kekalnya.
Paham Jaham Ibn Sofyan di atas berkembang di daerah Khurasan dan
sekitarnya, setelah ia mati terbunuh selanjutnya dikembangkan oleh para pengikutnya
di nahwan sampai dikalahkan oleh Abu Mansur al- Maturidi.
3. Al-Husain Ibn Muhammad Al-Najjar
Pengikut-pengikut Al-Husain Ibn Muhammad Al-Najjar disebut dengan al-
najjariyah, paham-pahamnya yang mereka kemukakan ialah:
 Kalamuallah bersifat baru
 Orang yang berakal sebelum turunnya wahyu wajib mengetahui tuhan dengan
najhar.
 Tuhanlah yang menciptakan perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia.
Dalam masalah rukyah, manusia tidak bisa melakukannya dengan mata
kepala, hal ini mustahil terjadi tetapi ia tidak mengingkari kemungkinan allah
memindahkan kekuatan hati untuk makrifat dengan Allah
Tingkah laku manusia yang ditimbulkan oleh iman disebut taat, bukan iman,
gabungan dari keduanya baru disebut iman tetapi bila keduanya berpisah satu sama
lain maka tidak bisa disebut apa-apa.
4. Dharar Ibn Umar Dan Al-Hafash Al-Fard
Para pengikut Dharar Ibn Umar Dan Al-Hafash Al-Fard disebut dhirorish.
Paham-paham ynag mereka kemukakan antara lain:
Perbuatan manusia di ciptakan tuhan, manusia adalah muktasib.
Tidak adanya sifat-sifat tuhan.
Orang asing yang bukan dari suku Quraisy boleh memegang imamah, bahkan apabila
suku Quraisy berkumpul dengan yang bukan qurais, maka yang bukan Quraisy harus
di dahulukan karena jumlah orang yang bukan Quraisy lebih sedikit.
I. Pokok-Pokok Ajaran Jabariyah
Pokok-pokok ajaran aliran Jabariyah ini adalah kebalikan dari ajaran
Qadariyah. Dengan kata lain, Jabariyah ini merupakan garis tolak belakang dengan
ajaran Qadariyah dalam soal takdir.
Kalau aliran Qadariyah mengajarkan bahwa semua takdir buruk dan baiknya
adalah terletak pada aktivitas manusia itu sendiri. Sedangkan Allah tidak turut campur
dalam persoalan takdir.8
Menolak adanya kekuasaan pada diri manusia. Manusia itu tidak memiliki
kemauan sendiri, tidak mempunyai pilihan atas aktivitas sesuatu. Menurutnya Allah
yang menjadikan aktivitas manusia sebagaimana benda mati seperti air mengalir,
hawa bergerak. Mereka meniadakan sifat-sifat pada Tuhan yang mana sifat-sifat itu
ada pada manusia. Apabila sifat-sifat manusia juga disifati kepada Tuhan maka hal itu
sangat berbahaya dan akan membentuk tasybih(penyerupaan dengan makhluk).
Tuhan adalah Maha Kuasa, Maha Pencipta, yang Menghidupkan dan
Mematikan. Sifat-sifat ini adalah khusus bagi Tuhan saja. Tidak ada tindakan
Sebagian sahabat memandang iman kepada takdir yang dapat meniadakan rasa
takut dan waspada. Ketika Umar menolak masuk suatu kota yang di dalamnya
terdapat wabah penyakit, mereka berkata: “Apakah anda mau lari dari takdir Tuhan?”
Umar menjawab: “Aku lari dari takdir Tuhan ke takdir Tuhan yang lain”. Perkataan
Umar ini menunjukkan bahwa takdir Tuhan melingkupi manusia dalam segala
keadaan. Akan tetapi, manusia tidak boleh mengabaikan sebab-sebab terjadinya
sesuatu karena setiap sesuatu memiliki sebab berada di bawah kekuasaan
manusia(maqdurah).
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, pandangan Jabar itu mencuat
kepermukaan. Abdullah bin Abbas dengan suratnya, semakin reaksi keras kepada
penduduk Syiria yang diduga berpaham al-Jabariyah. Hal yang sama dilakukan oleh
Hasan Bashri kepada penduduk Bashrah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada
waktu itu sudah mulai banyak orang yang berpaham al-Jabariyah.
Dari bukti-bukti di atas dapat dikatakan bahwa cikal bakal paham al- Jabariyah sudah
muncul sejak awal periode Islam. Namu, al-Jabariyah sebagai suatu pola pikir yang
dianut, dipelajari, dan dikembangkan terjadi pada akhir pemerintahan Bani Umayah.6
Dengan munculnya pemahaman ini, maka muncul pula pemahaman yang
dilontarkan oleh Ja‟ad Ibn Dirham, yang kemudian disiarkan dengan gigih oleh
muridnya Jaham Ibn Sofwan pada awal abad ke-2 H. Menurut pemahaman mereka
bahwa Tuhan telah menakdirkan perbuatan manusia sejak semula, manusia pada
hakikatnya tidak memiliki kehendak dan kudrat, manusia bekerja tanpa kehendak
melainkan bekerja di bawah tekanan dan pemaksaan Tuhan.
Dengan qudrat berarti manusia merupakan orang yang berhak menentukan sendiri,
mengerjakan apa yang disukainya, sedangkan irodat berarti manusia menerima
tekanan ijbar belaka.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
 Kesimpulan
Dari beberapa pendapat yang telah disampaikan diatas bahwa aliran Murji’ah
yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dan kemudian amal.
Jika seseorang masih beriman, berarti dia tetap mukmin, bukan kafir walaupun ia
melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan,
akan diampuni atau tidak. Dan dikatakan Murji’ah karena ada sekelompok orang yang
menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi antara Ali
dan Mu’awiyah.
Nama jabariyah berasal dari kata “jabara” yang mengandung arti memaksa.
Menurut al-Syakhrastani bahwa jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari
hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah.Pemunculan
aliran Jabariyah berpangkal dari persoalan teologis yang kedua, yaitu persoalan takdir
Tuhan dalam kaitannya dengan kehendak dan perbuatan manusia. Bibit perbedaan
paham tentang takdir ini sudah tampak pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin,
tetapi belum meninggalkan perbincangan dan perdebatan yang serius, karena Nabi
sendiri pernah memarahi dan menghentikan perbincangan tentang takdir tersebut. Al-
Syahrastani menampilkan 4 pemuka dari aliran Jabariyah, yaitu Jaham Ibn Sofwan
yang alirannya disebut al-Jahmiah, al-Khusain Ibn Muhammad al-Najjar yang
alirannya disebut al-Najjariyah, Ibn Umar dan Hafash al-Fard yang alirannya disebut
al-Diroriah.

 Saran
Pada hakikatnya semua aliran tersebut tidaklah keluar dari Islam, tetapi tetap
Islam.Dengan demikian tiap umat Islam bebas memilih salah satu aliran dari aliran-
aliran teologi tersebut, yaitu mana yang sesuai dengan jiwa dan pendapatnya.Hal ini
tidak ubahnya pula dengan kebebasan tiap orang Islam memilih madzab fikih mana
yang sesuai dengan jiwa dan kecenderungannya. Disinilah hikmah sabda Nabi
Muhammad SAW: “perbedaan paham dikalangan umatku membawa rahmat”.
Memang rahmat besarlah kalau kaum terpelajar menjumpai dalam Islam aliran-aliran
yang sesuai dengan jiwa dan pembawaannya, dan kalau pula kaum awam memperoleh
dalamnya aliran-aliran yang dapat mengisi kebutuhan rohaninya.

Anda mungkin juga menyukai