Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kaum muslimin terpecah menjadi beberapa kelompok yang mengusung beragam


pemikiran. Hal ini, tidak lain karena kaum muslimin jauh dari ajaran Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jauh dari pemahaman para sahabatnya dalam
beragama. Mengenai perpecahan ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah
mensinyalir dalam sebuah hadits yang berarti:

“Sesungguhnya, barangsiapa di antara kalian yang hidup, maka ia akan melihat


perselisihan yang banyak. Dan berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru, karena ia
adalah kesesatan. Barang siapa di antara kalian yang mendapatinya, maka wajib
berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafa-ur rasyidin al-mahdiyin;
gigitlah ia dengan gigi gerahammu” [HR At-Tirmidzi]

Al- Asy’ari menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Prinsip-prinsip Dasar Aliran
Theologi Islam, bahwa perpecahan dalam masyarakat muslim secara implisit muncul
sejak pemberontakan terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan. Kemudian terjadi
perlawanan Mu’awiyah, Talha dan Zubair terhadap Ali karena perebutan kekuasaan
politik.

Pemberontakan melawan Utsman dipimpin oleh khawarij. Pemberontakan dan


perang saudara ini mengakibatkan reaksi keras umat muslim. Reaksi ini menimbulkan
dukungan masyarakat yang dikenal dengan irja’. Sikap pragmatis ini, kemudian
dirumuskan sebagai ajaran.

Untuk mengenal dan memahami pemikiran aliran ini, maka pemakalah memaparkan
sejarah, pokok ajaran dan sekte-sekte yang muncul dalam aliran Murji’ah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah munculnya aliran Murji’ah?
2. Apa ajaran pokok dalam aliran Murji’ah?
3. Apa dan berapa sekte dalam aliran Murji’ah?
C. Tujuan
1. Untuk menguraikan sejarah munculnya aliran Murji’ah.
2. Untuk menguraikan ajaran pokok dalam aliran Murji’ah.
3. Untuk mengulas sekte-sekte dalam aliran Murji’ah.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya Murji’ah
1. Pengertian Murji’ah
Kata al-Murji’ah adalah bentuk isim fa’il yang mendapat ta’ marbutah (murji’un-
murji’atun). Fi’il madhinya (arja’a)-yurji’u-irja’a, artinya bisa bermacam-macam yaitu
menunda (menangguhkan), memberi harapan dan mengesampingkan.Nurdin menguraikan
ketiga makna tersebut sebagai berikut:
a. Menunda (menangguhkan) maksudnya ialah dalam menghadapi sahabat-sahabat
yang bertentangan, mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa yang bersalah.
Sikap mereka adalah menunda dan menangguhkan penyelesaian persoalan
tersebut di hari akhirat kelak di hadapan Allah.
b. Memberi harapan maksudnya ialah orang-orang Islam yang berbuat dosa besar
tidak mrnyeabkan mereka menjadi kafir. Mereka tetap mukmin dan tetap
mendapatkan rahmat Allah meskipun mereka harus masuk lebih dahulu dalam
neraka karena perbuatan dosanya. Nama al-Murji’ah diberikan untuk golongan ini
karena mereka memberi pengharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk
surga.
c. Mengesampingkan maksudnya ialah golongan ini menganggap yang penting dan
diutamakan adalah iman, sedang amal perbuatan hanya merupakan soal kedua,
yang menentukan mukmin atau kafirnya seseorang adalah imannya bukan
perbuatannya. Dengan kata lain perbuatan itu berada di belakang setelah iman
dalam pengertian kurang penting atau dikesampingkan.

Sedangkan Dr. Abdul Mun’im Al-Hafni menjelaskan bahwa irja’ memiliki dua makna;
yang pertama adalahta’khir (mengakhirkan, maksudnya; kelompok ini sepakat untuk
mengakhirkan amal setelah iman). Sedangkan makna kedua adalah i’tha’u ar-raja’a
(memberikan harapan; pengikut kelompok ini sepakat memberi harapan bagi pelaku dosa
besar, tetap mendapatkan pahala atas keimanannya).

Belum ada bukti yang pasti mengenai siapa yang menamai golongan ini, Nurdin
menyatakan bahwa terdapat kecenderungan golongan mereka sendiri yang menamainya.
Penamaan tersebut diilhami oleh ayat Al-Qur’an, QS. At-Taubah (9): 106;

َ ‫علَ ْي ِه ْم وهللا‬
)106( ‫ع ِلي ٌم َح ِكي ٌم‬ ُ ُ ‫ألم ِر هللا إ َّما يَت‬
َ ‫وب‬ َ ‫َوآ َخ ُر‬
ْ ‫ون ُم ْر َج ْو َن‬
“Dan ada (pula)orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah;
adakalanya Allah akan mengazab mereka dan adakalanya Allah akan menerima taubat
mereka. Dan Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”(QS. At-Taubah (9): 106 ).

2. Asal-usul Aliran Murji’ah


Lahirnya al-Murji’ah sebagai suatu aliran teologi dalam Islam, merupakan reaksi
terhadap paham-paham yang dilontarkan oleh aliran al-Khawarij, suatu paham dalam teologi
Islam yang dikembangkan oleh segolongan pengikut Ali bin Abi Thalib, yang tidak
menyetujui gencatan senjata dalam perang Shiffin melawan Muawiyah. Hal ini sama dengan
pernyataan Fazlu Rahman bahwa reaksi atas Khawarij ini menimbulkan dukungan terhadap
sikap para pasif atau minimal non-aktivis di masyarakat yang dikenal sebagai irja’.
Aliran teologi al-Murji’ah sebagaimana juga al-Khawarij, pada mulanya ditimbulkan
oleh kasus politik, tegasnya, persoalan khilafah yang membawa perpecahan di kalangan umat
Islam setelah Utsman bin Affan mati terbunuh. Muncullah kaum al-Khawarij yang berbalik
memusuhi Ali. Perlawanan mereka ini memperkuat pendukung-pendukung yang bertambah
keras membela Ali dan akhirnya mereka membentuk golongan tersendiri dalam Islam yang
dikenal dengan nama Syi’ah (Syi’atu Aliyin). Meskipun Syi’ah dan al-Khawarij bermusuhan,
namun mereka sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayah dengan motif yang berlainan.
Al-Khawarij menentang Bani Umayah karena mereka manganggap Bani Umayah telah
menyeleweng dari ajaran Islam, sedang Syi’ah menentang Bani Umayah karena memandang
mereka telah merampas kekuasaan dari Ali dan keturunannya.
Pemimpin Murji’ah ini adalah Hasan bin Bilal Al-Muzni, Abu Salat as-Saman,
Tsauban Dliror bin Umar. Penyair Murji’ah yang terkenal pada pemerintahan Bani Umayah
ialah Tsabit bin Quthanah, mengarang syair kepercayaan-kepercayaan kaum Murji’ah.
Abu Zahirah dalam Nurdin menjelaskan bahwa dalam suasanan pertentangan semacam
inilah muncul golongan al-Murji’ah yang ingin bersikap netral dan tidak mau turut dalam
praktik kafir mengkafirkan di antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka, sahabat-
sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercaya dan tidak keluar
dari jalan yang benar. Oleh karena itu, kaum al-Murji’ah tidak mengeluarkan pendapat
tentang siapa yang sebenarnya bersalah. Mereka memandang lebih baik menunda
penyelesaian persoalan mereka kepada Tuhan di akhirat kelak.
Dengan sikap tersebut, Murji’ah tidak mengalami tekanan dari Bani Umayah seperti
yang dialami oleh Khawarij dan Syiah serta secara tidak langsung Murji’ah mendukung
kekuasaan dinasti Umayah. Sehingga reduplah nama Murji’ah seiring lenyapnya kekuasaan
dinasti Umayah dikemudian hari.
Selain teori yang diungkapkan oleh Nurdin di atas, terdapat beberapa teori lain tentang
asal-usul al-Murji’ah seperti yang tertulis dalam buku Rosihon Anwar yang berjudul Ilmu
Kalam, sebagai berikut:
a. Teori pertama mengatakan bahwa gagasanirja’ atau arja dikembangkan oleh
sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika
terjadi pertikaian politik dan juga menghindari sektarianisme. Murji’ah, baik sebagai
kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan
kemunculan Syi’ah dan Khawarij, kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.

Teori kedu mengatakan bahwa, gagasan irja’, yang merupakan basis doktrin Murji’ah,
muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib,
Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah sekitar tahun 695 H. Penggagas teori ini
menceritakan bahwa 20 tahun setelah kematian Muawiyah , pada tahun 680 H dunia Islam
dikoyak oleh pertikaian sipil. Al-Mukhtar membawa paham Syi’ah ke Kufah dari tahun 685-
687 H; Ibn Zubayr mengklaim kekhalifahan di Mekah hingga yang berada di bawah
kekuasaan Islam. Sebagai respon dari keadaan ini, muncul gagasan irja’atau penangguhan
(postponenment). Gagasan ini pertama kali dipergunakan oleh cucu Ali dalam surat
pendeknya. Dalam surat itu, Al-Hasan menunjukkan sikap politiknya dengan mengatakan,
“Kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang
terjadi pada konflik sipil pertama yang melibatkan Utsman, Ali dan Zubayr”. Dengan sikap

b. politik ini al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia kemudian


mengelak berdampingan dengan kelompok Syiah revolusioner yang terlampau
mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang
menolak mengakui kekhalifahan Muawiyah dengan alasan bahwa ia adalah
keturunan si pendosa Utsman.
c. Teori ketiga menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan
Muawiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki
tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, pro dan kontra.
Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu Khawarij.
Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an, dalam
pengertian, tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, mereka
berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar dan pelakunya dihukumi kafir.
Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat bernama Murji’ah, yang mengatakan
bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, sementara dosanya diserahkan kepada
Allah, apakah Dia akan mengampuni atau tidak.
Dari seluruh uraian di atas, dapat diketahui bahwa Murji’ah lahir dengan membawa
paham yang sama sekali bertentangan dengan paham Khawarij.

B. Ajaran dalam Murji’ah


1. Ajaran Pokok Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja’ yang
diaplikasikan dalam banyak persoalan baik persoalan politik atau teologis. Di bidang politik,
doktrin irja’ diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu
diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai
the queietists (kelompok bungkam).
Sedangkan dalam bidang teologi, menurut Ahmad Amin dalam Nurdin, persoalan yang
dibicarakan dalam aliran ini berkisar pada pembahasan tentang iman, kufur, mukmin dan
kafir. Persoalan tersebut dibahas dalam aliran ini, karena melihat golongan Khawarij yang
mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar, dan Syi’ah memasukkan ketaatan kepada
imam sebagai salah satu rukun iman.
Kemudian muncullah pendapat Murji’ah mengenai iman, seperti yang ditulis oleh
Nurdin bahwa iman adalah mengetahui Allah dan rasul-rasul-Nya. Barangsiapa yang
mengetahui bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah, mereka adalah
mukmin. Hanya imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidaknya
seseorang, perbuatan tidak berpengaruh dalam hal ini. Dengan demikian, ucapan dan
perbuatan seseorang tidak merusak iman seseorang.
Oleh karena itu, bagi kaum Murji’ah, seorang yang melakukan dosa besar dengan
iman dalam hatinya tidak dihukumi kafir. Sebaliknya, Khawarij menghukumi kafir pendosa
besar, walaupun masih terdapat iman dalam hatinya. Dengan demikian, jelas bahwa iman
bagi Murji’ah hanya keyakinan dalam hati yang tidak berkaitan dengan amal atau
perbuatan.Dasar teologi yang dibangun oleh Murji’ah tersebut sangat menguntungkan bagi
Bani Umayah.
Secara politis, berarti penguasa Bani Umayah tidak putus kedudukannya sebagai
anggota masyarakat karena melakukan sesuatu yang dianggap dosa oleh orang Islam.
Konsekuensinya pendapat demikian ialah bahwa pemberontakan terhadap Bani Umayah
tidak sah menurut hukum. Dengan demikian maka kaum Murji’ah merupakan golongan
pertama dan utama yang mendukung Bani Umayah atas dasar agama.
Dengan lindungan dinasti Umayah inilah Murji’ah berkembang, sehingga timbul
perbedaan pendapat antar tokoh didalamnya yang akhirnya memunculkan sekte-sekte dalam
aliran ini. Jumlah sekte dalam aliran ini belum diketahui secara pasti karena terdapat
perbedaan pendapat dari para ahli yang akan dibahas lebih lanjut pada bagian C.

Anda mungkin juga menyukai