Anda di halaman 1dari 12

AQIDAH

Aliran Murji’ah Dan Jabariyah

Nama : Muhammad Nagib


Kelas : X MIPA 1

MA ALKHAIRAAAT PUSAT
PALU
ALIRAN MURJIAH
Sejarah Aliran Murji’ah
Nama Murji’ah berasal dari kata irja atau arja’a yang berarti penundaan,
penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a juga memiliki arti memberi harapan, yakni
memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat
Allah. Oleh karena itu, murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan
seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing
ke hari kiamat kelak.1
Kaum Murji’ah ditimbulkan oleh persoalan politik sama halnya dengan kaum
Khawarij, tegasnya persoalan kholifah yang membawa perpecahan dikalangan umat
Islam setelah terbunuhnya Usman Ibn Affan. Seperti telah dibahas, kaum Khawarij pada
mulanya adalah penyokong Ali tetapi kemudian menjadi musuhnya. Karena adanya
perlawanan ini, kelompok yang setia pada Ali bertambah keras dan kuat membelanya dan
merupakan satu golongan lain yang disebut Syi’ah. Akan tetapi mereka sama-sama
menentang kekuasaan Bani Umayyah, tetapi dengan motif yang berbeda.2
Dalam permusuhan inilah muncul satu aliran baru yang bersikap netral yang
tidak ikut dalam kafir-mengkafirkan yang terjadi pada golongan tersebut. Bagi merekan
golongan yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak
keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa
yang salah dan benar dan lebih baik menunda penyelesaian hingga hari perhitungan di
depan Allah. Dengan demikian, kaum Murji’ah adalh kaum yang tidak ikut campur
dalam pertentangan tersebut dan mengambil sikap menyerahkan penentuan kafir atau
tidaknya orang-orang yang bertentangan tersebut kepada Allah.
Ada beberapa teori tentang kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa
gagsan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat untuk menjamin persatuan
dan kesatuan umat Isam ketika terjadi pertikaian politik antara Khawarij dan Syi’ah.
Diperkirakan Murji’ah muncul bersamaan dengan kemunculan Khawarij dan Syiah.
1
Rozak Abdul, 2001,Ilmu Kalam (Bandung:CV Pustaka Setia). Hal. 56
2
Nasution Harun,2010,Teologi Islam: Aliran-Airan Sejarah Analisa Perbandingan
(Jakarta:UI-Press). Hal. 24
6
Teori lain mengatakan bahwa Murji’ah muncul pertama kali sebagai gerakan
politik oleh cucu Ali, yaitu Al-Hasn bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695.
Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah,
dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah.
Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, kubu yang pro dan kubu yang kontra. Kubu
yang kontra akhirya keluar dari Ali, yakni kaum Khawarij. Mereka berpendapat bahwa
tahkim merupakan dosa besar dan orang yang melaksanakanya termasuk orang yang
kafir. Pendapat ini ditentang oleh kaum Murj’ah.
1.5 Doktrin-doktrin Murji’ah
Di bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap politik netral atau
nonblok. Adapun di bidang teologis doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika
menanggapi persolan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada perkembangan
berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga
mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, tauhid, tafsir Al-Quran, eskatologi,
pengampunan dosa besar, kemaksuman nabi, hukuman atas dosa, ada yang kafir di
kalangam generasi awal Islam, tobat, hakikat Al-Quran, nama dan sifat Allah, serta
ketentuan Tuhan.3
Doktrin teologi Murji’ah menurut Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokok, yaitu :4
1. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr Bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang
terlibat tahkim dan menyerahkan kepada Allah di hari kiamat kelak.
2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3. Meletakan (pentingnya) iman daripada amal.
4. Memperbaiki pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh
ampunan dan rahmat Allah.
1.6 Sekte-sekte dan Ajaran Dalam Aliran Murji’ah
Sekte dalam aliran Murji’ah tidak jelas jumlahnya karena masing-masing ahli
memiliki pendapat masing-masing. Al-Baghdadi membagi mereka dalam tiga golongan ,
3
Rozak Abdul, 2001,Ilmu Kalam (Bandung:CV Pustaka Setia). Hal. 58
4
Ibid. Hal. 58
7
yaitu al-Murji’ah yang dipengaruhi ajaran-ajaran al-Qodariyah, al-Murji’ah yang yang
dipengaruhi ajaran-ajaran al-Jabariyah, dan al-Murji’ah yang tidak dipengaruhi keduanya.
Golongan ketiga ini terdiri dari lima sekte, yaitu al-Yunusiyah, al-Ghazaniyah, alSaubaniyah,
al-Tumaniyah, dan al-Murisiyah.
Al-Asy’ary membagi menjadi 12 golongan, sedangkan al-Syahrastani membagi
menjadi tiga sekte, yaitu al-Murji’ah al-Khawarij, al-Murji’ah al-Jabariyah, dan alMurji’ah
asli.5
Aliaran murji’ah dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu golongan
moderat dan golongan ekstrem.
Al-Murji’ah moderat disebut juga al-Murji’ah al-Sunnah yang pada umum terdiri dari
para fuquha dan muhditsin.6
Mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukanlah
kafir dan tidak kekal dalam neraka, dia akan dihukuk dalam neraka sesuai dosa yang
telah diperbuatnya dan kemungkinan Allah bisa mengampuni dosanya. Dengan demikian,
Murji’ah moderat masih mengakui keberadaan amal perbuatan dan mengakui pentingnya
amal perbutan manusia, meskipun bukan bagian dari iman. Yang termasuk golongan
alMurji’ah moderat, di antaranya al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Tholib, Abu
Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis.7
Golongan al-Murji’ah yang eksterm adalah mereka yang secara berlebihan
mengadakan pemisahan antara iman dan amal perbuatan.8
Mereka menghargai iman
terlalu berlebihan dan merendahkan amal perbuatab tanpa perhitungan sama sekali. Amal
perbutan tidak ada pengaruhnya terhadap iman. Iman hanya berkaitan dengan Tuhan dan
hanya Tuhan yang mengetahuinya. Oleh karena itu, selagi orang beriman, perbuatan
apapun tidak dapat merusak imanya sehingga tidak menyebabkan kafirnya seseoarang.
Adapun yang termasuk al-Murji’ah eksterm sebagai berikut.9
1. Golongan al-Jahmiyah
Golongan ini merupakan para pengikut Jahm bin Safwan. Mereka berpendapat bahwa
orang Islam yang percaya kepada Tuhan tidak akan menjadi kafir menyatakan kekufuran
5
Nurdin, M. Amin, 2011, Sejarah Pemikiran Islam(Jakarta: Teruna Grafika). Hal. 27
6
Ibid. Hal. 28
7
Ibid
8
Ibid
9
Ibid. Hal. 22
8
secara lisan karena iman dan kufur letaknya dalam hati bukan pada bagian lain dalam
tubuh manusia.
2. Golongan al-Sahiliyah
Golongan ini merupakan pengikut Abu Hasan al-Salahi, berpendapat bahwa iman adalah
mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan
ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti
mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa, dan haji bukanlah ibadah, melainkan
sekedar menggambarkan kepatuhan.
3. Golongan al-Yunusiyah
Golongan ini merupakan pengikut Yunus bin Aun al-Numairi melontarkan penyataan
bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati
dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan – perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah
merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Mutaqil bin Sulaiman berpendapat
bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai
musyrik.
4. Golongan al-Ubaidiyah
Pengikut dari Ubaid al-Muktaib. Berpendirian sebagaimana al-Yunusiyah dengan
menambahkan jika sesorang mati dalam iman, dosa-dosa, dan perbuatan jahat yang
dikerjakan tidak merugikan bagi yang bersangkutan.
5. Golongan al-Ghozaniyah
Golongan al-Ghozaniyah menyebutkan bahwa jika seseorang mengatakan, “saya tahu
Tuhan melarang makan babi, tetapi sayatidak tahu apakah babi yang diharamkan adalah
kambing ini”, maka orang tersebut tetap mukmin bukan kafir. Begitu pula yang
mengatakan, “saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’ba, tetapi saya tidak tahu
apakah Ka’bah di India atau tempat lain.10
BAB III
PENUTUP
1.7. Kesimpulan
10 Nasution, Teologi Islam. (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2002), hlm. 22
9
Kaum Murji’ah ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan Kholifah
setelah terbunuhnya Usman Ibn Affan. Diantara pertikaian antara golongan yang setia
pada Ali dan keluar dari Ali, munculah satu aliran yang bersikap netral yang tidak ikut
dalam kafir-mengkafirkan yang terjadi antara golongan tersebut. Golongan yang bersifat
netral ini disebut Kaum Murji’ah.
Kaum Murji’ah penentuan hukum kafir atau tidaknya orang yang terlibat dalam
pertentangan antara Ali dan Muawiyah kepada Allah kelak di hari akhir.
Kaum Murji’ah dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : Murji’ah Moderat dan
Murji’ah eksterm
ALIRAN JABARIYAH
A. Pengertian Jabariyah
Nama jabariyah berasal dari kata “jabara” yang mengandung arti memaksa. Menurut al-
Syakhrastani bahwa jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat
dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah swt. Faham jabariyah ini diperkenalkan
pertama kali oleh al-Ja‟id bin Dirham di Damaskus yang kemudian disiarkan oleh muridnya
Jahm bin Safwan dari Khurasan. Oleh sebab itu, golongan ini disebut juga dengan golongan
Jahamiyah.1Menurut paham ini, manusia tidak kuasa atas sesuatu. Karena itu, manusia
tidak dapat diberi sifat “mampu” (istitha’ah). Manusia sebagaimana dikatakan, Jahm bin
Shafwan, terpaksa atas perbuatanperbuatannya tanpa ada kuasa (qudrah), kehendak (iradah),
dan pilihan bebas (al-ikhtiyar). Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia,
sebagaimana perbuatan Tuhan atas benda-benda mati.2Dengan kata lain perbuatan manusia
sudah ditentukan sejak semula oleh qadha dan qadhar Tuhan. Sehingga posisi manusia
dalam faham ini tidak memiliki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi terikat kehendak
mutlak Tuhan. Dalam istilah Inggris faham ini disebut fatalisme atau predistination, yaitu
faham bahwa perbuatan manusia ditentukan sejak semula oleh qadha dan qadhar Tuhan.
Maka doktrin aliran jabariyah ini menganut faham bahwa manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, tetapi perbuatannya dalam
keadaan terpaksa.3 Selain ituia juga berpendapat bahwa tuhan tidak memiliki sifat-sifat
yang dimiliki manusia. Karena apabila sifat-sifat yang dimiliki manusia juga disifatkan
kepada tuhan, maka hal ini dipandang amat berbahaya dan dikhawatirkan akan membawa
amat tasybih, seperti keadaan Allah ta‟ala itu tahu dan hidup. 1Mulyono & Bashori, Studi
Ilmu Tauhid/Kalam, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 139-140 2 M. Amin Nurdin,
dkk, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 41 3 Mulyono & Bashori,
Op.Cit, hlm. 140 Al-Baghdadi menuturkan didalam al-Farqu Bainal Firaq, tentang pendapat
Jahm ini bahwa: tuhan adalah Maha Kuasa, Maha Pencipta, yang mematikan dan
menghidupkan. Sifat-sifat yang demikian khusus bagi tuhan saja. Tidak ada tindakan dan
perbuatan bagi seseorang kecuali perbuatan dan tindakan Allah swt. Lebih lanjut M. Laily
Mansur LPH, menganggap bahwa aliran yang berfaham demikian hanya mendasarkan
terhadap penafsiran ayat-ayat dalam al-Quran menurut pemahamannya sendiri sebagaimana
disebutkan dalam alQuran: a. Surah as-Saffah 96 ditegaskan: ّ‫ه الل وَ ونَ ه لَ ْ عمَُ َت َ ما َق هُْ ُك وَ َ خل‬
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS. Ash-
Shaffaat: 96) b. Surah al-Insan 30: َِّ‫ٓل هَ وُناَ وَ ُ أن هُ لالَ َ مُاَت َ شٓآء َي َ شٓآء ج مًيُاَ ِح كمًياِ َ نَ ُ لالََُ َك ن َعلِ ا‬
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana”. (QS. al-Insan: 30)
Sebenarnya ayat-ayat tersebut hanya akan menunjukkan kelemahan terhadap hamba-hamba-
Nya. Dalam pengertian bahwa apabila hamba mengetahui kelemahan iradah-Nya, maka ia
akan tidak mau mengakui kekuasaan Allah swt. Menurut Syahrastani, aliran Jabariyah
dalam menganalisa perbuatan manusia terdapat dua pandangan yaitu: 1) Pandangan ekstrim
yang disebut al-Jabariyah al-Khalish, yaitu jabariyah yang tidak menetapkan perbuatan atau
kekuasaan sedikitpun pada manusia, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Jahm bin
Sofwan. 2) Pandangan moderat yang diberi istilah al-Jabariyah al-Mutawasithah, yaitu
jabariyah yang menetapkan adanya qudrat pada manusia, tetapi qudrat tersebut tidak
mempunyai efek atas perbuatan. 89 pandangan ini pelopornya adalah Husain bin
Muhammad al Najjar dan Dirar bin „Amr.4 Dari paparan sederhana di atas dapatlah
disimpulkan bahwa manusia dalam paham Jabariyah seperti yang diajarkan oleh Jahm bin
Safwan ini adalah manusia yang lemah, terikat dengan kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas. Seluruh tindakan dalam perjalanan
hidupnya adalah tindakan yang tidak boleh keluar dari skenario yang telah ditentukan oleh
Allah sebelumnya. Dengan demikian, terpahami bahwa akibat baik dan buruk yang diterima
manusia dalam perjalanan hidupnya yang panjang itu merupakan ketentuan dari Allah jua.
Bila diperjelas bahwa manusia dalam pandangan Jabariyah ini tak ada bedanya seperti
wayang yang digerakkan oleh dalang. Manusia adalah wayang sedangkan Tuhan adalah
dalangnya. Sama dengan wayang yang tidak bergerak kalau tidak digerakkan oleh dalang,
manusia pun tidak akan bergerak kalau tidak digerakkan oleh Tuhan.5 Dan menurut Najjar
dan Dirar bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia baik perbuatan itu positif
maupun negatif. Namun dalam manusia mempunyai bahagian yaitu daya yang menciptakan
dalam diri manusia mampu melakukan perbuatan itu. Daya yang diperoleh untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang disebut kasb atau acuisition. Maka faham
jabariyah yang dikembangkan oleh Najjar dan Dirar sudah tidak lagi menggambarkan
manusia sebagai wayang, tetapi nampak bahwa di antara manusia dan Tuhan terdapat kerja
sama dalam mewujudkan suatu perbuatan dan manusia tidak semata-mata dipaksa dalam
melaksanakan perbuatannya. Dalam perkembangan berikutnya, sebagaimana aliran
Qaadariyah yang lenyap dari gelanggang sejarah tetapi beberapa ajarannya dimunculkan
oleh para pemikir pembaru, aliran Jabariyah pun mengalami nasib yang sama. Paham
Jabariyah, terutama Jabariyah moderat yang dikembangkan oleh 4Ibid, hlm. 140-143 5Prof.
Dr. M. Yunan Yusuf, Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam, Prenadamedia Group,
Jakarta, Hlm.70 Husein Ibn Muhammad al-Najjar serta Dirar Ibn Amr sungguhpun tidak
dalam bentuk yang sama dimunculkan oleh aliran asy‟ariyah. B. Sejarah Aliran Jabariyah
Pemunculan aliran Jabariyah berpangkal dari persoalan teologis yang kedua, yaitu persoalan
takdir Tuhan dalam kaitannya dengan kehendak dan perbuatan manusia. Bibit perbedaan
paham tentang takdir ini sudah tampak pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin, tetapi
belum meninggalkan perbincangan dan perdebatan yang serius, karena Nabi sendiri pernah
memarahi dan menghentikan perbincangan tentang takdir tersebut. Rasulullah hanya
menganjurkan agar mengimani takdir dan melarang untuk memperbincangkan lebih jauh,
karena dikhawatirkan akan membingungkan dan mendorong timbulnya perpecahan. Namun
selanjutnya setelah daerah-daerah Islam meluas ke negaranegara Syiria, Palestina, Mesir
dan Persia pada masa Khalifah Umar bin Khattab, maka umat Islam bercampur dengan
umat lain dan penganut agama kuno yang membicarakan masalah takdir, ada yang
menerima dan ada yang menolak, maka akhirnya timbullah perdebatan tanpa
memperhatikan lagi larangan Nabi. Akhirnya pada 70 H, muncullah Mabad al-Juhani dalam
pembicaraan tentang hurriah al-irodah dan qudroh yang dimilikimanusia sebagai anugerah
Tuhan untuk melakukan perbuatannya. Pada masa Nabi, benih-benih paham al-Jabariyah itu
sudah ada. Perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah Qadar Tuhan merupakan
salah satu indikatornya. Nabi menyuruh umat Islam beriman kepada takdir, tetapi beliau
melarang mereka membicarakannya secara mendala. Pada masa sahabat kelihatannya sudah
ada orang yang berpikir Jabariyah. Diceritakan bahwa Umar bin al-Khattab pernah
menangkap seorang pencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata, “Tuhan telah
menentukan aku mencuri”. Umar menghukum pencuri itu dan mencambuknya berkali-kali.
Ketika keputusan itu ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: “Hukum potong tangan untuk
keslahan mencurinya, sedang cambuk untuk kesalahannya menyadarkan perbuatan dosa
kepada Tuhan.” Sebagian sahabat memandang iman kepada takdir yang dapat meniadakan
rasa takut dan waspada. Ketika Umar menolak masuk suatu kota yang di dalamnya terdapat
wabah penyakit, mereka berkata: “Apakah anda mau lari dari takdir Tuhan?” Umar
menjawab: “Aku lari dari takdir Tuhan ke takdir Tuhan yang lain”. Perkataan Umar ini
menunjukkan bahwa takdir Tuhan melingkupi manusia dalam segala keadaan. Akan tetapi,
manusia tidak boleh mengabaikan sebab-sebab terjadinya sesuatu karena setiap sesuatu
memiliki sebab berada di bawah kekuasaan manusia(maqdurah). Pada masa pemerintahan
Bani Umayah, pandangan Jabar itu mencuat kepermukaan. Abdullah bin Abbas dengan
suratnya, semakin reaksi keras kepada penduduk Syiria yang diduga berpaham al-Jabariyah.
Hal yang sama dilakukan oleh Hasan Bashri kepada penduduk Bashrah. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang yang berpaham al-Jabariyah.
Dari bukti-bukti di atas dapat dikatakan bahwa cikal bakal paham alJabariyah sudah muncul
sejak awal periode Islam. Namu, al-Jabariyah sebagai suatu pola pikir yang dianut,
dipelajari, dan dikembangkan terjadi pada akhir pemerintahan Bani Umayah.6 Dengan
munculnya pemahaman ini, maka muncul pula pemahaman yang dilontarkan oleh Ja‟ad Ibn
Dirham, yang kemudian disiarkan dengan gigih oleh muridnya Jaham Ibn Sofwan pada
awal abad ke-2 H. Menurut pemahaman mereka bahwa Tuhan telah menakdirkan perbuatan
manusia sejak semula, manusia pada hakikatnya tidak memiliki kehendak dan kudrat,
manusia bekerja tanpa kehendak melainkan bekerja di bawah tekanan dan pemaksaan
Tuhan. Dengan qudrat berarti manusia merupakan orang yang berhak menentukan sendiri,
mengerjakan apa yang disukainya, sedangkan irodat berarti manusia menerima tekanan ijbar
belaka. Gambaran ajaran Jabariyah ini persis seperti yang diungkapkan oleh Jaham Ibn
Sofwan sendiri: “Manusia itu sesungguhnya majbur dalam segala tindakannya, ia tidak
mempunyai ikhtiar dan kekuasaan, ia tidak ubahnya seperti bulu ayam yang 6 Ibid. hlm. 42-
44 terawang di udara, apabila digerakkan ia akan bergerak dan apabila dimantapkan ia akan
mantap, Allah-lah yang berkuasa atas segala tindakan, semuanya bersumber dari Tuhan”.7
C. Tokoh-Tokoh dan Ajaran Jabariyah Al-Syahrastani menampilkan 4 pemuka dari aliran
Jabariyah, yaitu Jaham Ibn Sofwan yang alirannya disebut al-Jahmiah, al-Khusain Ibn
Muhammad al-Najjar yang alirannya disebut al-Najjariyah, Ibn Umar dan Hafash al-Fard
yang alirannyaa disebut al-Diroriah. Dalam hal ini, alSyahrastani tidak memasukkan Ja‟ad
Ibn Dirham, karena paham Jabariyah pada masanya belum banyak pengikutnya, walaupun
Marwan Ibn Muhammad telah menjadi pengikutnya, sehingga ia diberi gelar Marwan
alJa‟di. 1. Ja’ad Ibn Dirham Ja‟ad adalah putra dari Dirham ,seorang tuan dari Bani al-
Hakam. Sebagai pelopor Jabariyah, Ja‟ad Ibn Dirham dibesarkan dalam lingkungan
masyarakat yang selalu membicarakan tentang teologi,ia bertempat tinggal di Damaskus
tempat ini pada mulanya sebagai basis agama Kristen dan latar inilah salah satu faktor
penyebab timbulnya paham Jabariyah di kalangan kaum muslimin. Ajaran yang ia
kemukakan antara lain ialah bahwa al-quran itu adalah makhluk, Allah tidak mempunyai
sifat seperti sifatnya makhluk dan menyatakan adanya takdir. Al-quran sebagai makhluk
artinya bahwa al-Qur‟an itu diciptakan Allah, dan kalau ia di ciptakan berarti baru kalau ia
baru berarti bukan kalamullah. Menurut al-gorobi, munculnya pemahaman ja‟ad tentang
kemakhlukan al-Qur‟an berkembang sebagai akibat dari pengingkarannya terhadap sifat-
sifat Tuhan. Ia mengemukakan alasan tersebut bahwa alQur‟an itu baru dan Allah tidak bisa
di sifati dengan sifat tersebut, alQur‟an juga tidak mungkin qodim, karena tidak ada yang
qodim selain Allah. 7Prof. Dr. H. Ris‟an Rusli, M.Ag.,2014.Teologi Islam,Prenadamedia
Group, Jakarta. Hlm. 30-32 2. Jaham ibn sofwan Jaham Ibn Sofyan digelar oleh Abu
Mahroj dia adalah seorang pemimpin Bani Rosib dari Azd. Ia pandai berbicara dan seorang
orator, karena kepandaianya berbicara serta ke pasihannya, ia di angkat sebagai juru tulis
dan seorang muballig. Di samping itu, ia juga sebagai seorang ahli debat. Akhir hayatnya ia
di bunuh oleh Muslim Ibn Ahwaz Al-Mazini pada akhir masa Bani Marwan. Paham-
pahamnya dalam teologi: a. Bahwa kalamullah (wahyu)Allah itu baru, bukan qodim dan
tidak kekal. b. Tuhan tidak dapat di sifati dengan sifat-sifat yang di miliki makhluknya
karena dengan mensifatinya akan menimbulkan persamaan. c. Iman adalah makrifah,
sedangkan kufur adalah al-jahluh. Oleh sebab itu orang yahudi yang mengetahui sifat-sifat
nabi juga mukmin. d. Surga dan neraka adalah baru, ia akan rusak, karena tidak ada
sesuatupun yang kekal selain Allah, adanya ungkapan al-khulud di dalam Al-Quran adalah
hanya menggambarkan lamanya, bukan kekalnya. Paham Jaham Ibn Sofyan di atas
berkembang di daerah Khurasan dan sekitarnya, setelah ia mati terbunuh selanjutnya
dikembangkan oleh para pengikutnya di nahwan sampai dikalahkan oleh Abu Mansur
alMaturidi. 3. Al-Husain Ibn Muhammad Al-Najjar Pengikut-pengikut Al-Husain Ibn
Muhammad Al-Najjar disebut dengan al-najjariyah, paham-pahamnya yang mereka
kemukakan ialah: a) Kalamuallah bersifat baru b) Orang yang berakal sebelum turunnya
wahyu wajib mengetahui tuhan dengan najhar. c) Tuhanlah yang menciptakan perbuatan
baik dan perbuatan buruk manusia. d) Dalam masalah rukyah, manusia tidak bisa
melakukannya dengan mata kepala, hal ini mustahil terjadi tetapi ia tidak mengingkari
kemungkinan allah memindahkan kekuatan hati untuk makrifat dengan Allah. e) Tingkah
laku manusia yang ditimbulkan oleh iman disebut taat, bukan iman, gabungan dari
keduanya baru disebut iman tetapi bila keduanya berpisah satu sama lain maka tidak bisa
disebut apa-apa. 4. Dharar Ibn Umar Dan Al-Hafash Al-Fard Para pengikut Dharar Ibn
Umar Dan Al-Hafash Al-Fard disebut dhirorish. Paham-paham ynag mereka kemukakan
antara lain: a. Perbuatan manusia di ciptakan tuhan, manusia adalah muktasib. b. Tidak
adanya sifat-sifat tuhan. c. Orang asing yang bukan dari suku Quraisy boleh memegang
imamah, bahkan apabila suku Quraisy berkumpul dengan yang bukan qurais, maka yang
bukan Quraisy harus di dahulukan karena jumlah orang yang bukan Quraisy lebih sedikit.
D. Pokok-Pokok Ajaran Jabariyah Pokok-pokok ajaran aliran Jabariyah ini adalah kebalikan
dari ajaran Qadariyah. Dengan kata lain, Jabariyah ini merupakan garis tolak belakang
dengan ajaran Qadariyah dalam soal takdir. Kalau aliran Qadariyah mengajarkan bahwa
semua takdir buruk dan baiknya adalah terletak pada aktivitas manusia itu sendiri.
Sedangkan Allah tidak turut campur dalam persoalan takdir.8 Menolak adanya kekuasaan
pada diri manusia. Manusia itu tidak memiliki kemauan sendiri, tidak mempunyai pilihan
atas aktivitas sesuatu. Menurutnya Allah yang menjadikan aktivitas manusia sebagaimana
benda mati seperti air mengalir, hawa bergerak. Mereka meniadakan sifat-sifat pada Tuhan
yang mana sifat-sifat itu ada pada manusia. Apabila sifat-sifat manusia juga disifati kepada
Tuhan maka hal itu sangat berbahaya dan akan membentuk tasybih(penyerupaan dengan
makhluk). Tuhan adalah Maha Kuasa, Maha Pencipta, yang Menghidupkan dan Mematikan.
Sifat-sifat ini adalah khusus bagi Tuhan saja. Tidak ada tindakan 8 Drs. M. Noor
Matdawam, 1995. Aqidah Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Lintasan Sejarah Dinamika
Budaya Manusia. Bina Karier, Yogyakarta, Hlm. 69 9 Drs. H. Latief Mahmud, M.Ag.,
2006. Ilmu Kalam.Pamekasan: StainPress dan perbuatan seseorang kecuali perbuatan dan
tindakan Allah SWT. Faham Jabariyah dikategorikan sebagai faham fatalis. Dalam filsafat
Determinisme manusia dianggap sebab segalanya telah di bentuk sebelumnya Determinisme
teologi menganggap bahwa ketentuan itu datang dalam alam mikro dan makro kosmos
sebagaimana yang terdapat dalam filsafat Cina kuno, Filsafat Mesir kuno dan filsafat
Yunani. Dalil-dalil naqli yang digunakan faham Jabariyah adalah seperti dalam firman
Allah SWT: “Wahai Tuhan kami janganlah engkau pikulkan kepada kami apa yang kami
tidak sanggup”.(QS. Al-Baqarah:286). “Allah menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu
perbuat”.(QS. Shaffat:96). “Mereka sebenarnya tidak akan percaya sekiranya Allah
menghendaki”.(QS Al-An‟am:112).9 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan a. Nama
jabariyah berasal dari kata “jabara” yang mengandung arti memaksa. Menurut al-
Syakhrastani bahwa jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat
dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah. b. Pemunculan aliran Jabariyah
berpangkal dari persoalan teologis yang kedua, yaitu persoalan takdir Tuhan dalam
kaitannya dengan kehendak dan perbuatan manusia. Bibit perbedaan paham tentang takdir
ini sudah tampak pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin, tetapi belum meninggalkan
perbincangan dan perdebatan yang serius, karena Nabi sendiri pernah memarahi dan
menghentikan perbincangan tentang takdir tersebut. c. Al-Syahrastani menampilkan 4
pemuka dari aliran Jabariyah, yaitu Jaham Ibn Sofwan yang alirannya disebut al-Jahmiah,
al-Khusain Ibn Muhammad al-Najjar yang alirannya disebut al-Najjariyah, Ibn Umar dan
Hafash al-Fard yang alirannya disebut al-Diroriah. d. Pokok-pokok ajaran aliran Jabariyah
ini adalah kebalikan dari ajaran Qadariyah. Dengan kata lain, Jabariyah ini merupakan garis
tolak belakang dengan ajaran Qadariyah dalam soal takdir.

Anda mungkin juga menyukai