Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUA

A. Latar Belakang Masalah

Persoalan yang pertama-tama timbul dalam teologi Islam adalah masalah iman dan kufur.
Persoalan itu pertama kali dimunculkan oleh kaum Khawarij ketika mencap kafir sejumlah tokoh
sahabat Nabi saw yang dianggap telah berbuat dosa besar, antara lain Ali bin Abi Thalib,
Mu’awiyah bin Abi Sofyan, Abu Hasan al-Asy’ari, dan lain-lain. Masalah ini lalu dikembangkan
oleh Khawarij dengan tesis utamanya bahwa setiap pelaku dosa besar adalah kafir.

Aliran lain seperti Murji’ah, Mu’tajilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah turut ambil bagian
dalam masalah tersebut bahkan tidak jarang terdapat perbedaan pandangan di antara sesama
pengikut masing-masing aliran.

Perbincangan konsep iman dan kufur menurut tiap-tiap aliran teologi Islam, di dalam
makalah ini akan dijelaskan beberapa aspek yaitu iman atau kufur dan pelaku dosa besar. Lebih
jelasnya akan dibahas dalam makalah.

B. Rumusan masalah
1. Konsep iman dan kufur menurut aliran ilmu kalam
2. Pelaku dosa besar menurut aliran ilmu kalam

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui konsep iman dan kufur menurut aliran ilmu kalam
2. Untuk mengetahui pelaku dosa besar menurut aliran ilmu kalam

1
BAB II

PEMBAHASA

A. Konsep Iman dan Kufur Menurut Aliran Ilmu Kalam

Akibat dari perbedan pandangan mengenai unsur-unsur iman, maka timbulah aliran-
aliran teologi yang mengemukakan persoalan siapa yang beriman dan siapa yang kafir. Dapaun
aliran-aliran tersebut adalah Khawarij, Murji’ah, Mu’tajilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan Ahlus
Sunnah.

1. Khawarij

Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah, mengerjakan
segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang
berbau religius, termasuk di dalamnya masalah kekeuasaan adalah bagian dari keimanan (al-
amal juz’un al-iman).

Menurut Khawarij, orang yang tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat dan lain-lain, maka
orang itu kafir.

Tegasnya sekalian orang mukmin yang berbuat dosa, baik besar maupun kecil, maka
orang itu kafir.

Tegasnya sekalian orang mukmin yang berbuat dosa, baik besar maupun kecil, maka
orang itu kafir, wajib diperangi dan boleh dibunuh, oleh dirampas hartanya. Demikianlah
menurut faham Khawarij.

Aliran Khwarij berpegang pada semboyan la hukma illa lillah menjadi asas bagi mereka
dalam mengukur apakah seseorang masih mukmin atau sudah kafir. Asas itu membawa mereka
kepada paham, setiap orang yang melakukan perbuataun dosa adalah kafir, akrena tidak sesuai
dengan hukum yang ditetapkan Allah. Dengan demikian, orang Islam yang berzina, membunuh
sesama manusia tanpa sebab yang sah, memakan harta anak yatim, riba, dan dosa-dosa lainnya
bukan lagi mukmin, ia telah kafir. Perbuatan dosa yang membawa kepada kafirnya seseorang
menurut golongan ini terbatas pada dosa.

` 2. Murji’ah

Aliran Murji’ah berpendapat, orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun
soal dosa besar yang mereka lakukan ditunda penyelesaiannya pada hari kiamat. Mereka
berpendapat bahwa iman hanya pengakuan dalam hati sehingga orang tidak menjadi kafir karena
melakukan dosa besar.
2
Berdasarkan pandangan mereka tentang iman, Abu-Hasan Al-Asy’ary
mengklasifikasikan aliran teologi Murji’ah menjadi 12 subsekte, yaitu Al-Jahmiyah, Ash-
Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Asy-Syimriya, As-Saubaniyah, Ash-Salihiyah, AL-Yunusiyah, Asy-
Syimriyah, As-Saubaniyah, An-Najjariyah, Al-Kailaniyah bin Syabib dan pengikutnya, Abu
Hanifah dan pengikutnya, At-Tumaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karramiyah. Sementara itu,
harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan Murji’ah menjadi dua kelompok utama, yaitu
Murji’ah moderat (Murji’ah Sunnah) dan Murji’ah ekstrim (Murji’ah Bid’ah).

Namun kedua belas kelompok tersebut masing-masing memiliki pendapat mengenai


Iman dan kufur. Dan aliran Mur’jiah ini kemudian berbeda anggapan tentang batasan kufur yang
terpecah dalam tujuh kelompok.

a. Kelompok pertama ini beranggapan: kufur ini beranggapan: kufur itu merupakan sesuatu hal
yang berkenaan dengan hati, dimana hati tidak mengenal (jahl) terhadap Allah swt. Adapun
mereka yang beranggapan seperti ini ialah para pengikut kelompok Jahamiyyah.
b. Kelompok kedua ini beranggapan: kufur itu merupakan banyak hal yang berkenaan dengan
hati ataupun selainnya, seperti tidak mengenal (Jahl) terhadap Allah swt, membenci dan
sombong atas-Nya, mendustakan Allah dan rasul-Nya, menyepelekan Allah dan rasul-Nya,
tidak mengakui Allah itu Esa dan menganggap-Nya lebih dari satu. Karena itu mereka pun
menganggap bisa saja terjadi kekufuran tersebut, baik dengan hati ataupun lisan, tetapi
bukan dengan perbuatan, dan begitupun iman.
a. Mereka pun beranggapan bahwa sesorang yang membunuh ataupun hanya menyakiti nabi
dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya karena membunuh ataupun menyakiti itu
semata, niscaya dia tidaklah disebut kufur. Begitupun seseorang yang meninggalkan
kewajiban agama seperti halnya salah dengan tidak karena menghalalkannya, tetapi hanya
karena meninggalkan salat itu semata, niscaya dia pun tidaklah disebut kufur.
b. Tetapi mereka beranggapan: kalau seseorang menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah,
rasul-Nya dan juga orang-orang muslim, niscaya dia pun disebut kufur. Begitupun kalau
seseorang beritikad dengan itikad yang menurut kesepakatan segenap orang muslim
merupakan suatu kekufuran, atau berbuat dengan perbuatan yang merupakan suatu
kekufuran. Niscaya dia pun disebut sebagai orang kafir.
c. Kelompok ketiga ini tidak dijelaskan.
d. Kelompok keempat itu beranggapan: Kufur terhadap Allah itu mendustakan-Nya,
membangkang terhadap-Nya dan mengingkari-Nya secara lisan. Karena itu tidaklah
kekufuran, kecuali dengan lisan dan bukan dengan selainnya. Adapun anggapan ini
dikemukakan oleh Muhammad ibn karam dan para pengikutnya.
e. Kelompok kelima ini beranggapan: kufur itu membangkang melawan dan mengingkari
Allah, baik sepenuh hati ataupun secara lisan.

3
f. Kelompok keenam ini ialah para pengikut Abu Syamr, dimana anggapan-anggapan mereka
tentang kufur ini telah di kemukakan dalam uraian yang terdahulu, yang menyangkut
anggapannya tentang tauhid dan qadar.
g. Kelompok ketujuh ini ialah para pengikut Muhammad ibn Syabib di mana anggapan-
anggapan mereka tentang kufur ini pun telah dikemukakan dalam uraian yang terdahulu,
yang menyangkut anggapannya tentang iman.

Adapun kebanyakan pengikut aliran Murji’ah tidak mengkufurkan seseorang yang


mentakwilkan al-Quran, bahkan tidak pula mengkufurkan siapa pun selain yang kekufurannya
itu telah disepakati orang-orang muslim.

3. Mu’tajilah

Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi,


orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya,
tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman
adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif
karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.

Kaum Mu’tajilah berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan
mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasiq.

Di akhirat ia dimasukkan ke neraka untuk selama-lamanya, tetapi nerakanya agak dingin


tidak seperti nerakanya orang kafir. Dan tidak pula berhak masuk surga. Jelasnya menurut kaum
Mutazilah, orang mu’min yang berbuat dosa besar dan mati sebelum tobat, maka menempati
tempat diantara dua tempat, yakni antara neraka dan surga (manzilatan bainal manzilatain).

4. Asy’ariyah

Kaum Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah


memaksakan paham khalq al-Quran – banyak membicarakan persoalan iman dan kufur.
Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia
dapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui
kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus
menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq.
Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tajilah tapi dekat dengan kaum Jabariyah.

Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung


ma’rifah terhadap Allah (qaulun bi al-nafs ya tadhammanu a’rifatullah).

4
Mengenai penuturan dengan lidah (iqrar bi al-lisan) merupakan syarat iman, tetapi tidak
termasuk hakikat iman yaitu tashdiq . argumentasi mereka istilah al-nahl, ayat 106.

‫من كفر باهلل من بعد أيمانه األمن أكره و قلبه مطمئن باإليمان‬

Seseorang yang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam keadaan terpaksa,


sedangkan hatinya tetap membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, ia tetap dipandang mukmin.
Karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang berada di luar juzu’iman. Seseorang
yang berdosa besar tetap mukmin karena iman tetap berada dalam hatinya.

5. Al-Maturidiyah

Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah
tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-
Maturidi sebagai bantahan terhadap al-Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia
berargumentasi dengan ayat al-Quran surat al-Hujurat 14.

Ayat tersebut dipahami al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak
cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh
lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah. Al-
Maturidi tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya, tashdiq, seperti yang dipahami di atas, harus
diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan
sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli
surat Al-Baqarah ayat 260. Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim
meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan Nabi Ibrahim meminta kepada
Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan
Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi,
Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil
ma’rifah. Jadi, menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun
demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab
kehadiran iman. Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan
oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan
rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud demgan
tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat
ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiq
sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.

6. Ahlus Sunnah

5
Menurut Ahlus Sunnah, Iman ialah mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan dengan
hati. Iman yang sempurna ialah mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan
mengerjakan dengan anggota.

Orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum tobat, maka orang itu tetap
mukmin. Bila orang itu tidak mendapat ampunan dari Allah dan tidak pula mendapat syafa’at
Nabi Muhammad saw untuk mendapatkan ampunan dari Allah swt maka orang itu dimasukkan
ke neraka buat sementara, kemudian dikeluarkan dari neraka untuk dimasukkan ke surga.

Orang mukmin bisa menjadi kafir (murtad), karena mengingkari rukun iman yang enam,
misalnya: ragu-ragu atas adanya Tuhan, menyembah kepada makhluk, menuduh kafir kepada
orang Islam.

B. Pelaku Dosa Besar Menurut Semua Aliran Dalam Ilmu Kalam

1. Menurut khawarij tentang pelaku dosa besar


Ciri yang menonjol dari aliran khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan
persoalan-persoalan kalam. Kaun khawarij umunya terdiri dari orang-orang arab badawi.sebagai
orang badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran islam sebagai terdapat
dalam alquran dan hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya.
Oleh karna itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang yang sederhana dalam
pemikiran lagi sempit dan fanatik. Kaum khawarij memasuki persoalan kufr: siapakah yang kafir
dan keluar dari islam.dan siapakah yang disebut mukmin dan dengan demikian tidak keluar dari,
tetapi tetap dalam, islam. Pendapat tentang siapa yang sebenarnya masih Islam dan siapa yang
telah keluar dari islam dan menjadi kafir serta soal-soal yang bersangkut-paut dengan hal ini
tidak selamanya sama, sehingga timbullah berbagai golongan dalam kalangan khawarij. a.Al-
muhakkimah
Golongan ini adalah golongan asli pengikut-pengikut asli yang memisahkan diri dan yang
menganggap bahwa semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Orang
yang melakukan hal yang keji seperti membunuh, memperkosa dsb, menurut faham mereka
orang yang melakukan itu dianggap keluar dari Islam dan menjadi kafir.
b.Al-azaqirah
sub sekte tentang pelaku dosa golonagan ini menggunakan istilah yang lebih mengerikan
dari pada kafir yaitu polytheist atau musyrik. Dan di dalam Islam syirik atau polytheist
merupakan dosa yang terbesar, lebih dari kufr.
c.Al-Najdat
Mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar menjadi kafir dan kekal di dalam neraka
hanyalah orang Islam yang tidak sefaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya, jika
mengerjakan dosa besar tetap mendapatkan siksaan di neraka, tetapi pada akhirnya akan masuk

6
surga juga.4 Dosa kecil baginya akan menjadi dosa besar, kalau dikerjakan terus-menerus dan
yang mengerjakannya sendiri menjadi musyrik.

d.Al-Sufriah
Subsekte Al-Sufriah membagi dosa besar dalam dua bagian, yaitu dosa yang ada
sanksinya di dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tidak ada sanksinya di dunia,
seperti meninggalkan shalat dan puasa. Orang yang berbuat dosa kategori pertama tidak
dipandang kafir, sedangkan orang yang melaksanakan dosa kategori kedua dipandang kafir.6

e.Al-Ibadah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan Khawarij.
Menurut mereka orang islam yang tidak se faham dengan mereka bukanlah mukmin dan
bukanlah musyrik, tetai kafir. Sedangkan orang islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid,
yang meng-Esa-kan Tuhan, tetapi bukian mukmin dan kalaupun kafir hanya merupakan kafir al-
ni mah dan bukan kafir al-millah, yaitu kafir agama. Dengan kata lain, mengerjakan dosa besar
tidak membuat orang ke luar dari Islam.

2. Menurut Murji’ah tentang pelaku dosa besar


Pandangan aliran murji’ah tentang status pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari defimisi
iman yang dirumuskan oleh mereka. Tiap-tiap sekte murji’ah berbeda pendapat dalam
merumuskan definisi iman itu sehingga pandangan tiap-tiap subsekte tentang status pelaku dosa
besar pun berbeda-beda pula. Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak
mau menjadi bahan perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum khawarij
menjatuhkan hukum kafir bagi orang berbuat dosa besar, kaum murji’ah menjatuhkan hukum
mukmin bagi orang yang serupa itu. Adapun soal dosa besar yang mereka buat, itu ditunda
(arja’a) penyelesaiannya kehari perhitungan kelak. Argumentasi yang mereka majukan dalam
hal ini ialah bahwa orang Islam yang berdosa besar itu tetap mengucapkan kedua syahadat yang
menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang Berdosa besar menurut pendapat
golongan ini, tetap mukmin dan bukan kafir.
Arja’a selanjutnya, juga mengandung arti memberi pengharapan. Orang yang
berpendapat bahwa orang islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi tetap mukmin
dan tidak akan kekal dalam neraka, memang memberi pengharapan bagi yang berbuat dosa
besar untuk mendapat rahmat Allah.
Pada umumnya kaum murji’ah dapat dibagi dalam dua golongan besar, golongan moderat
dan golongan ekstrim
Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak
kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang
dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena

7
itu tidak akan masuk neraka sama sekali. Dalam golongan Murji’ah moderat ini termasuk al-
Hasan Ibn ’Ali Ibn Abi Talib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli Hadis. Jadi bagi
golongan ini orang Islam yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin.
Di antara golongan ekstrim yang dimaksud ialah al-Jahmiah, pengikut-pengikut Jahm Ibn
Safwan. Menurut golongan ini orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan
kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir , karena iman dan kufr tempatnya hanyalah dalam
hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia. Bahkan orang demikian juga tidak menjadi
kafir, sungguhpun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran–ajaran agama Yahudi atau agama
Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya kepada trinity, dan kemudian mati.
Orang yang demikian bagi Allah tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.
Golongan ini berpendapat bahwa, jika seseorang mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-
perbuatan jahat yang dikerjakannya tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan. Karena itu
perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusakkan iman seseorang, dan sebaliknya pula
perbuatan baik tidak akan merubah kedudukan seseorang musyrik atau politheist.

3. Menurut Mu’tazilah tentang pelaku dosa besar


Kemunculan aliran Mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam diawali oleh masalah yang
hampir sama dengan Khawarij dan Murji’ah, yaitu mengenai status dosa besar; apakah masih
beriman atau telah menjadi kafir. Perbedaanya, bila Khawarij mengafirkan pelaku dosa besar
dan Murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan status dan
predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan
sebutan yang sangat terkenal, yaitu al-manzilah bain almanzilataini. Setiap pelaku dosa besar,
menurut Mu’tazilah, berada di posisi tengah di antara posisi mukmin dan kafir. Posisi menengah
bagi berbuat dosa besar, juga erat hubungannya dengan keadilan tuhan. Pembuat dosa besar
bukanlah kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad; tetapi bukanlah
mukmin, karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin, ia tidak dapat masuk
surga, dan karena bukan kafir pula, ia sebenarnya tidak mesti masuk neraka. Ia seharusnya
ditempatkan di luar surga dan di luar neraka. Tetapi karena di akhirat tidak ada tempat selain
dari surga dan neraka, maka pembuat dosa harus dimasukan ke dalam salah satu tempat ini.
Penentuan tempat itu banyak hubungannya dengan faham Mu’tazilah tentang iman. Iman bagi
mereka, digambarkan, bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan, tetapi juga oleh
perbuatan-perbuatan. Dengan demikian pembuat dosa besar tidak beriman dan oleh karena itu
tidak dapat masuk surga. Tempat satu-satunya ialah neraka. Tetapi tidak adil kalau ia dalam
neraka mendapat siksaan yang sama berat d4engan orang kafir. Oleh karena itu pembuat dosa
besar, betul masuk neraka, tetapi mendapat siksaan yang lebih ringan.
Dosa besar menurut pandangan Mu’tazilah adalah segala perbuatan yng ancamannya disebutkan
secara tegas dalam nas, sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya, yaitu segala ketidakpatuhan

8
yang ancamannya tidak tegas dalam nas. Tampaknya Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai
kreteria dasar bagi dosa besar maupun kecil.

1. Menurut Asyariyah tentang pelaku dosa besar


Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari, sebagai wakil Ahl As-Sunnah, tidak
mengafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah (ahl-Qiblah) walaupun melakukan dosa besar,
seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman
dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi, jika dosa besar
itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal itu dibolehkan (halal) dan tidak menyakini
keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak
sempat bertobat, maka menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang
Maha Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu
mendapaat syafaat Nabi SAW. Sehingga terbebas dari siksaan neraka atau kebalikannya, yaitu
tuhan memberikan siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun
begitu, ia tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir.

2. Menurut Maturidiyah tentang pelaku dosa besar


Mengenai soal dosa besar al-Maturidi sefaham dengan al-Asy’ari yaitu: bahwa orang
yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di
akhirat. Ia pun menolak faham posisi menengah kaum Mu’tazilah. Al-
Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak kafir dan tidak kekal di dalam
neraka walaupun ia mati sebelim bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan
memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah
balsan bagi orang yang berbuat dosa syirik. Karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik)
tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Aliran Maturidyah terdapat dua golongan,
yaitu golongan Samarkand dan golongan Bukhara. Aliran maturidyah adalah teologi yang
banyak dianut oleh umat Islam yang memakai mazhab Hanafi.

6. Menurut Syiah Zaidiyah tentang pelaku dosa besar


Penganut Syi’ah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal
dalam neraka, jika dia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah
Zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan aneh mengingat Wasil bin Atha, salah
seorang pemimpin Mu’tazilah, mempunyai hubungan dekat dengan Zaid. Moojan Momen
bahkan mengatakan bahwa Zaid pernah belajar kepada Wasil bin Atha. Selain itu, secara etis
mereka boleh dikatakan anti-Murjiah.

9
BAB III

PENUTUP

Berdasarkan paparan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa dalam konsep Iman dan
kufur terdapat perbedaan pendapat diantara aliran-aliran teologi Islam. Seperti yang
dikemukakan aliran khawarij bahwa segala sesuatu yang berhubungan atau berbau religious
adalah bagian dari iman, sehingga apabila orang melakukan dosa baik itu dosa maupun kecil
maka dia disebut kafir. Berbeda halnya dengan aliran Murji’ah mereka berpendapat bahwa orang
yang melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun soal dosa mereka di tudna penyelesaiannya
diakherat. Hal ini karena mereka beranggapan bahwa iman hanya pengakuan dalam hati.

Aliran Mu’tajilah berpendapat bahwa jika seorang mukmin berbuat dosa besar dan
kemudian meninggal sebelum bertobat disebut fasiq. Dan diakhirat kelak menempati tempat
diantara surga dan neraka. Aliran Asy’ariyah dan Maturidiyyah beranggapan bahwa iman tidak
hanya diungkapkan dengan lisan tetapi juga harus diyakini di dalam hati sehingga jika ada
seseorang yang mengaku kafir, namun hatinya tetap beriman maka ia tetap dianggap sebagai
mukmin. Sedangkan alirna ahli sunnah berpendapatbahwa iman itu mengikrarkan dengan lisan,
meyakini dalam ahti dan mengenjrkana dengan anggota.

Tidak hanya dalam konsep iman dan kufur, tetapi di dalam kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan juga terdapat perbedaan pendapat diantara lairna-aliran teologi Islam. Aliran
Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya karena kekuasaanya
dibatasi oleh beberapa hal yang diciptakannya sendir.

Pendapat Mu’tazilah tersebut kemudian bertolak belakang dengna pendapat Asy’ariyah.


Kerena menurut mereka Tuhan berkuasa mutlak atas segala-galanya. Demikian pula pendapat
alirna Maturidiyah, mereka berpendapat bahwa Tuhan berkuasa mutlak atas segala-galanya
namun kemutlakannya tidak semutlah paham yang dianut aliran Asy=ariyah.

Aliran yang berpandangan bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, menjelaskan
bahwa andai kata pelaku dosa besar dimasukan kedalam neraka, ia tak akan kekal di dalamnya.
Sebaliknya aliran yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar bukan lagi mukmin berpendapat
bahwa di akhirat ia akan dimasukan ke neraka dan kekal di dalamnya. Ini diwakili oleh Khawarij
dan Mu’tazilah,meskipun antara keduanya terdapat perbedaan yang tegas. Bahwa Khawarij
memandang pelaku dosa besar adalah kafir bahkan dikatakan musyrik, dan akan dimasukkan
didalam neraka untuk selamanya sebagaimana hukuman yang serupa untuk orang-orang kafir,
sementara Mu’tazilah memandang pelaku dosa besar sebagai fasik yaitu diantara mu’min dan
kafir dan akan dimasukkan kedalam neraka untuk selama-lamanya namun hukumannya tak
seberat, tak sepedih yang dialami oleh orang-orang kafir.

10
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun, Prof. Dr. 2010, Teologi Islam, Jakarta, UI Press

Rozak, Abdul, Dr. M.Ag, Anwar, Rosihon, Dr. M.Ag, Ilmu Kalam, 2009, Bandung, CV
PUSTAKA SETIA

Muhammad, Al-Fudholi, Syaikh, 1997, Terjemah Kifayatul Awam, Surabaya,


MUTIARA ILMU

Abbas, Siradjuddin, KH, 2006, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah, Jakarta, Pustaka Tarbiyah

11
TUGAS ILMU KALAM
KONSEP IMAN DAN KUFUR MENURUT ALIRAN ILMU KALAM
DAN PELAKU DOSA BESAR MENURUT ALIRAN ILMU KALAM

DISUSUN

KELOMPOK IX

FILZA

NURAZIZAN

MIFTAHUL KHOIRINA.

NST NUR AINI

SITI RENITA RAHMA

KELAS XII AGAMA-3

MAN 2 TANJUNG PURA


TAHUN AJARAN
2017/2018

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................... i

BAB I: PENDAHULUAN................................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1

C. Tujuan makalah..................................................................................................... 1

BAB II: PEMBAHASAN ................................................................................................. 2

1. Konsep iman dan kufur menurut aliran ilmu kalam ............................................. 2

2. Pelaku dosa besar menurut aliran ilmu kalam ...................................................... 6

BAB III: PENUTUP ......................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 11

i
1

Anda mungkin juga menyukai