Anda di halaman 1dari 18

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

(Ilmu Kalam) (Muhammad Noor ‘Ashry, S.Ag., M.Ag)

ARGUMEN-ARGUMEN TEOLOGIS DALAM ALIRAN ILMU


KALAM

Disusun Oleh:
Akhmad Dwi Zhafirin : 230103020000
Ahmad Shadiq Mushaffa : 230103020050
Muhammad Zaini Arifin : 230103020082

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
BANJARMASIN
2024
PENDAHULUAN
Ilmu Kalam adalah cabang teologi Islam yang bertujuan untuk membela
keyakinan-keyakinan agama melalui argumen-argumen rasional, logis, dan
filosofis. Istilah "Kalam" sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti "bicara" atau
"penyampaian", dan dalam konteks ilmu Kalam, mengacu pada diskusi dan debat
teologis yang menggunakan akal dan argumen-argumen rasional untuk memahami
dan memperkuat keyakinan-keyakinan agama, terutama dalam Islam.
Beberapa tokoh terkenal dalam sejarah ilmu Kalam termasuk al-Ghazali, al-
Ash'ari, dan al-Maturidi. Masing-masing dari mereka menyumbangkan kontribusi
yang signifikan dalam pengembangan dan formulasi doktrin-doktrin teologis Islam
yang menjadi landasan bagi ilmu Kalam.
Dalam perdebatan filosofi dan teologi, argumen-argumen teologis
memainkan peranan penting dalam memperkuat keyakinan dan membangun
pemahaman tentang eksistensi serta sifat Tuhan. Salah satu aliran pemikiran
teologis yang telah lama menjadi subjek kajian adalah aliran Kalam. Aliran ini
memiliki akar yang dalam dalam tradisi intelektual Islam, yang menyoroti
hubungan antara iman dan akal, serta upaya untuk mengembangkan argumen-
argumen rasional untuk mendukung keyakinan agama.
Makalah ini, bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik
tentang landasan argumen-argumen teologis dalam aliran Kalam, serta relevansinya
dalam konteks filosofi dan teologi pada masa kini. Dengan demikian, diharapkan
makalah ini dapat memberikan kontribusi pada pembahasan yang lebih luas tentang
peran rasionalitas dalam memperkuat keyakinan agama dan memahami hubungan
antara iman dan akal.

1
A. Perbandingan Antar Aliran : Pelaku Dosa Besar
1) Aliran Khawarij
Sudah kita ketahui bahwa Aliran Khawarij merupaka sebuah sekte,
kelompok atau aliran Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisan karena ketidak
sepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbiratse (tahkim), dalam perang
siffin pada tahun 37 H/548 M1. Salah satu ciri yang menonjol pada aliran Khawarij
adalah sikap yang ekstrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam.
Mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat pada peristiwa tahkim, yakni
Ali, Mu’awwiwyah, Amr bin Al-Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah Adapun dalil
yang mereka pakai yaitu pada surah Al-Maidah ayat 44:

ٰۤ ٰۤ
‫م‬ ‫ه‬
)44 :5/‫ ﴾ ( املائدة‬٤٤ ‫ك ُه ُم الْكف ُرْو َن‬ ‫ه‬ ‫م‬
ٰ‫……ۗ َوَم ْن مَّلْ ََْي ُك ْم ِبَآ اَنْ َزَل ه‬. ﴿
َ ‫اّللُ فَاُول ِٕى‬

Artinya:
“…… Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang
diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir
(Q.S. Al-Ma'idah [5]: 44)
Dikarenakan oleh watak kerasnya akibat kondisi geografis gurun pasir dan
juga dibangun atas dasar pemahaman-pemahaman tekstualitas mengenai Al-Qur’an
dan Hadis. Semua pelaku dosa besar menurut subsekte khawarij, adalah kafir dan
akan disiksa dineraka selamanya kecuali subsekte najdah. Berikut adalah beberapa
pandangan beberapa subsekte aliran Khawarij :
a. Subsekte Azariqah, mereka merupakan subsekte yang sangat ekstrim karena mereka
menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari pada kafir, yaitu musyrik. Mereka
memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak ingin bergabung dibarisan mereka.
Dan pelaku dosa besar dalam pandangan mereka beralih status keimanannya
menjadi kafir millah (agama), yang berarti mereka telah keluar dari Islam dan kekal
dineraka dengan orang-orang kafir lainnya.
b. Subsekte Najdah, Mereka menganggap musyrik apa bila seseorang melakukan dosa
kecil secara terus-menerus. Adapun dosa besar, jika mereka tidak melakukan dosa
secara kontinu, maka orang tersebut tidak dipandang musyrik, hanya kafir. Namun
jika dilaksakan secara terus menerus maka ia menjadi musyrik.

1
Abdul Rozak, Rosihun Anwar, Ilmu Kalam, Cet. VI (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal.
5

2
c. Subsekte Azaqirah, mereka manganggap kafir tidak hanya pada orang-orang yang
telah berbuat hina, seperti membunuh, berzina, dan sebagainya, tetapi kepada
semua orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Bahkan orang Islam yang
sepaham dengan mereka namun tidak mau ikut hijrah bersama mereka, bahkan
mereka disebut musyrik.
d. Subsekte An-Najdat, mereka menganggap bahwa orang yang berdosa besar menjadi
kafir hanyalah orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka. Adapun dengan
pengikutnya, jika mereka berbuat dosa besar mereka tetap masuk neraka tetapi pada
akhirnya mereka akan tetap masuk surga.
e. Subsekte As-Sufriyah, mereka membagi dosa besar dalam dua bagian, yaitu dosa
besar yang ada sanksinya di dunia seperti berzina, dan dosa yang tidak ada
sanksinya di dunia seperti shalat, puasa, dan sebagainya. Dalam kategori yang
pertama mereka tidak dipandang kafir, sedangkan dalam kategori yang kedua di
pandang kafir.
2) Aliran Murji’ah
Secara umum pandangan kaum Murji’ah dalam mensikapi. pelaku dosa besar
adalah menunda atau menanguhkan persoalan dihadapan Allah nanti dihari
pembalasan2. Argumen yang mereka gunakan dalam mensikapi hal tersebut ialah.
Bahwa orang yang melakukan dosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan bahwa nabi Muhammmad adalah utusan Allah, dengan kata lain
mereka masih mengakui bahwa orang muslim yang melakukan dosa besar tetap
mu’min karena masih mengucapkan dua kalimat syahadad yang menjadi dasar
utama dari iman, oleh karena itu pelaku dosa besar tetap mu’min dan bukan kafir3.
Untuk lebih jelasnya golongan ini memberi hukum pada status pelaku dosa besar,
kami akan menyebutkan rincian bagaimana golongan ekstrim dan golongan
moderat memberi satatus pada pelaku dosa besar.
a. Golongan Ekstrim, mereka berpendapat bahwa iman terletak pada hati. Sehingga
ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di
dalam kalbu. Oleh karena itu jika mereka telah beriman hatinya, seseorang akan
tetap dipandang sebagai seorang mukmin, walaupun mereka menunjukkan sikap
seperti orang Nasrani atau Yahudi. Keyakinan kelompok ini yang terkenal yaitu
adalah perbuatan maksiat tidak menggugurkan keimanan, sebagaimana ketaatan
tidak dapat membawa manfaat bagi kekufuran.
b. Golongan Murjiah Moderat, mereka berpendapat bahwa seseorang pelaku dosa
besar tidak di anggap kafir, mereka akan disiksa dineraka tetapi tergantung pada

2
Harun Nasution, Teologi Islam. .hal. 26.
3
Faisol Nasar Bin Madi, Ilmu Kalam, Cet. 1 (Jember: Press, 2015), Hal. 115

3
ukuran dosa mereka. Meskipun demikian masih terbuka atas mereka
kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosa mereka. Diantara subsekte
murjiah yang dikategorikan dalam hal ini yaitu abu hanifah dan pengikutnya.

3) Aliran Mu’tazilah
Perbedaan aliran Mu’tazilah dengan golongan yang lainnya yaitu bila aliran
Khawarij memberi status kafir kepada pelaku dosa besar, dan Murji’ah
menangguhkan status orang yanng melakukan dosa besar dihadapan Allah kelak
dihari pembalasan, sedangkan Mu’tazilah tidak menentukan status atau predikat
yang pasti bagi pelaku dosa besar.4 Jika pelakunya tidak sempat bertaubat sebelum
meninggal maka ia akan disiksa dineraka selama-lamanya namun, siksaan yang
diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang kafir.5 Adapun yang dimaksud
dosa besar menurut pandangan Mu’tazilah adalah segala perbuatan yang
ancamannya disebutkan secara tegas dalam nas, sedangkan dosa kecil yang
sebaliknya.
4) Aliran Asy’ariyah
Dalam menghukumi pelaku dosa besar, aliran Asy’ariyah tidak mengkafirkan
orang-orang yang sujud kebaitulloh walupun dia melakukan dosa seperti,
membunuh tanpa adanya alasan yang mengesahkan. Menurut aliran ini pelaku dosa
besar itu masih tetap sebagai orang yang mu’min dengan keimanan yang mereka
miliki, sekalipun dia berbuat dosa besar. Tetapi jika perbuatan dosa itu dilakukan
dengan anggapan bahwa perbuatan dosa itu dibolehkan atau dihalalkan dan tidak
meyakini keharaman perbuatan tersebut maka yang demikian itu dihukumi kafir.
Orang mu’min yang mengerjakan dosa besar dan meninggal sebelum taubat,
maka orang tersebut masih dianggap mu’min, dalam urusan hak saudara muslim,
seperti memandikan, mengkafani, dan mensholatkan jenazah orang mu’min yang
melakukan dosa besar tersebut, dan mengkuburkan secara mu’min adalah
kewajiban kita. Tapi secara hakikat dia adalah orang mu’min yang durhaka.
Mu’min pelaku dosa besar, diakhirat nanti akan mendapat beberapa kemungkinan:
a. Boleh jadi Tuhan mengampuni dosanya dengan sifat pemurahNya Tuhan, karena
Tuhan Maha Pemurah, dan ia langsung dimasukkan kedalam surga tanpa hisab.

4
Pulungan Suyuti, Fiqih Siyasah, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, 1997: 209
5
Ady-Syahrastani, op. cit., hal. 26

4
b. Boleh jadi dia mendapatkan syafaat dari nabi Muhammad. yakni dibantu oleh nabi
Muhammad, sehingga dia dibebaskan Tuhan dari segala siksaan, dan langsung
dimasukkan kedalam surga.
c. Kalau kemungkinan dua diatas tidak terjadi pada pelaku dosa besar maka dia akan
disiksa didalam neraka sesuai kadar dosanya, dan kemudian dia akan dibebaskan
dari siksaan dan dimasukkan kesurga dan kekal didalamnya.
5) Aliran Maturidiyah
Menurut aliran maturidiyah baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat
menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap mukmin karena adanya keimanan
dalam dirinya, Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada
apa yang dilakukan nya di dunia. Al-maturidiyah, berpendapat bahwa orang yang
berdosa besar itu tidak dapat dikatakan kafir dan tidak kekal di dalam neraka
walaupun ia mati sebelum bertobat. hal itu di karenakan Tuhan telah menjanjikan
akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatanya . kekal dalam
neraka adalah balasan bagi orang yang berbuat dosa syirik. Menurut al-maturidi,
iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan
iman.
B. Perbandingan Antaraliran: Perbuatan Tuhan Dan Perbuatan Manusia
A. Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpendapat bahwa Tuhan melakukan
perbuatan. Perbuatan di sini dipandang sebagai bukti logis dari Dzat yang memiliki
kemampuan untuk melakukannya.
1. Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu'tazilah sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat
bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Ini bukan
berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Perbuatan buruk
tidak dilakukan-Nya karena la mengetahui keburukan perbuatan buruk itu. Bahkan,
di dalam Al-Quran dikatakan bahwa Tuhan tidak berbuat zalim.6 Ayat-ayat Al-
Quran yang dijadikan dalil oleh Mu'tazilah untuk mendukung pendapat di atas
adalah surat Al-Anbiy𝑎̅' ayat 23:
ٰۤ
)23 :21/‫اَلنبياء‬ ( ﴾ ٢٣ ‫﴿ ََل يُ ْسَ ُل َع مما يَ ْف َع ُل َوُه ْم يُ ْسَلُ ْو َن‬
Artinya:
“(Allah) tidak ditanya tentang apa yang Dia kerjakan, tetapi merekalah yang akan
ditanya.”

6
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Perkasa, Jakarta, 1990, hlm. 89.

5
(Q.S. Al-Anbiya' [21]:23)

dan surat Ar-R𝑢̅m ayat 8:


﴾ ٨……. ‫ض َوَما بَْي نَ ُه َمآ اممَل مِب ْْلَ مٰق‬ ‫م‬
ٰ‫﴿ …… َما َخلَ َق ه‬
َ ‫اّللُ ال مس هم هوت َو ْاَلَْر‬
)8 :30/‫الروم‬
ٰ (
Artinya:
“…… Allah tidak menciptakan langit, bumi, dan apa yang ada di antara keduanya,
kecuali dengan benar ……”
(Q.S. Ar-R𝑢̅m [30]:8)

Qadi Abd Al-Jabbar (w. 415/1024), seorang tokoh Mu'tazilah, mengatakan


bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan tidak akan ditanya mengenai
perbuatan-Nya, tetapi manusia yang ditanya tentang yang mereka perbuat. Al-
Jabbai menjelaskan bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan Mahasuci dari
perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya. Al-Jabbai
menjelaskan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik,
sebenarnya tidak perlu ditanya kenapa perbuatan itu dilakukan. 7 Ayat terakhir
dikatakan Al-Jabbai mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak
akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Apabila Tuhan melakukan perbuatan
buruk, pernyataan bahwa la menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan
hak, tentu tidak benar atau merupakan berita bohong.8

Dasar pemikiran di atas serta konsep tentang keadilan Tuhan yang berjalan
sejajar dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan,
mendorong kelompok Mu'tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat
disimpulkan dalam satu kewajiban, yaitu kewajiban berbuat baik bagi manusia.9
Paham kewajiban Tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-
ashlah) mengonsekuensikan aliran Mu'tazilah memunculkan paham kewajiban-
kewajiban Allah berikut ini:
a. kewajiban tidak memberi beban di luar kemampuan manusia
b. Kewajiban mengirimkan Rasul
c. Kewajiban menepati janji (al-wa’ad) dan ancaman (al-wa’id)

7
Yusuf, op. cit., hlm. 90.
8
Ibid.
9
Dalam istilah Arabnya, berbuat baik dan terbaik bagi manusia disebut as-salah wal al-aslah.
Term ini dalam golongan teologi Islam terkenal dengan term Mu’tazilah, dan yang dimaksud adalah
kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik bagi manusia. Hal ini merupakan salah satu
keyakinan yang penting bagi aliran Mu’tazilah.

6
2. Aliran asy’ariah

Bagi aliran Asy'ariah, paham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi
manusia (ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu'tazilah, tidak
dapat diterimanya karena bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan Al-Ghazali (1055-1111) ketika mengatakan
bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan
demikian, aliran Asy'ariah tidak menerima paham Tuhan mempunyai kewajiban.
Paham mereka bahwa Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk,
mengandung arti bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Sebagaimana
dikatakan Al-Ghazali, perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (ja'iz) dan
tidak satu pun darinya yang mempunyai sifat wajib,"10

Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan
tidak mempunyai kewajiban, aliran Asy'ariah dapat menerima paham pemberian
beban yang di luar kemampuan manusia. Al-Asy'ari dengan tegas mengatakan
dalam Al-Luma' bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tidak dapat dipikul
manusia. Al-Ghazali mengatakan demikian juga dalam Al-Iqtishad.11

3. Aliran Maturidiah

Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara


Maturidiah Samarkand dan Maturidiah Bukhara.12 Aliran Maturidiah Samarkand,
yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya menyangkut hal-hal yang baik. Dengan
demikian, Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia.

10
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press,
Jakarta, 1986, hlm. 129-130.
11
Ibid., hlm. 129. Menurut paham Asy’ariah, perbuatan manusia pada hakikatnya adalah
perbuatan Tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan dan bukan daya manusia. Ditinjau dari sudut
paham ini pemberian beban yang tidak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan bagi aliran
Asy’ariah. Manusia masih akan dapat melaksanakan beban yang tidak terpikul karena yang
mewujudkan perbuatan manusia sebenarnya, bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya
Tuhan yang tidak terbatas.
12
Dalam sejarah pertumbuhan aliran aliran kalam dikenal dua subsekte aliran Maturidiah,
yaitu Maturidiah Samarkand dan Maturidiah Bukhara. Subsekte yang pertama tumbuh di Samarkand
dengan pendirinya Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al- Maturidi. Adapun
subsekte kedua lahir di Bukhara dengan tokoh pendirinya adalah Abu Yusr Muhammad Al-Bazdawi
yang lahir pada tahun 421 H dan meninggal pada tahun 493 H. Lebih lanjut, lihat Al-Bazdawi, Ushul
Ad-Din, Kairo, Dar Al-Ihya' Al-Kutub Al-Arabiah, 1963, hlm. 11.

7
Demikian juga pengiriman Rasul dipandang Maturidiah Samarkand sebagai
kewajiban Tuhan.13
Maturidiah Bukhara sejalan dengan pandangan Asy'ariah mengenai paham
bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan
oleh Badzawi, Tuhan harus menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang
yang berbuat baik, meskipun Tuhan membatalkan ancaman bagi orang yang
berdosa besar. Adapun pandangan Maturidiah Bukhara tentang pengiriman Rasul,
sesuai dengan paham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidak
bersifat wajib, tetapi bersifat mungkin.14

B. Perbuatan Manusia
Akar dari masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah
pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia. Selanjutnya, Tuhan bersifat
Mahakuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Dari sini, timbul
pertanyaan, sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada
kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah
manusia diberi kemerdekaan dalam mengatur hidupnya oleh Tuhan? Apakah
manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?

1. Aliran Jabariah
Tampaknya, ada perbedaan pandangan antara Jabariah ekstrem dan Jabariah
moderat dalam masalah perbuatan manusia. Jabariah ekstrem berpendapat bahwa
segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari
kemauannya, melainkan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, apabila
seseorang mencuri, perbuatan itu bukan terjadi atas kehendak sendiri, melainkan
timbul karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian.15 Bahkan,
Jahm bin Shafwan, salah seorang tokoh Jabariah ekstrem mengatakan bahwa
manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. la tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
Berbeda dengan Jabariah ekstrem, Jabariah moderat mengatakan bahwa
Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan
baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan
dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang
dimaksud dengan kasab (acquistion).16 Menurut paham kasab, manusia tidak
majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan tangan

13
Yusuf, op. cit., hlm. 91.
14
Nasution, op. cit., hlm. 128, 132, 133.
15
Nasution, op. cit., hlm. 34.
16
Ibid., hlm. 35 Bandingkan dengan Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Darul Fikr,
Beirut, hlm. 89.

8
dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh
perbuatan yang diciptakan Tuhan.17

2. Aliran Qadariah
Aliran Qadariah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan
atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan
segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat.
Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan-kebaikan yang
dilakukannya dan berhak memperoleh hukuman atas kejahatan-kejahatan yang
diperbuatnya. Berkaitan dengan ini, apabila seseorang diberi ganjaran, baik dengan
balasan surga di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka di akhirat.
Itu berdasarkan pilihan pribadinya, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas,
manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas
keinginan dan kemampuannya.
Paham takdir dalam pandangan Qadariah bukan dalam pengertian takdir yang
umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa
nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya,
manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan semenjak ajal
terhadap dirinya. Dalam paham Qadariah, takdir adalah ketentuan Allah yang
diciptakan-Nya berlaku untuk alam semesta beserta seluruh isinya, semenjak ajal,
yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah.18
Aliran Qadariah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat
menyandarkan segala perbuatan manusia pada perbuatan Tuhan. Doktrin- doktrin
ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin Islam. Banyak ayat-ayat Al-Quran
yang dapat mendukung pendapat ini, misalnya dalam surat Al-Kahf ayat 29:
ْۚ ٰۤ ٰۤ ْۗ
﴾ ٢٩ …... ‫﴿ َوقُ مل ا ْْلَ ُّق مم ْن مربمٰ ُك ْم فَ َم ْن َشاءَ فَلْيُ ْؤمم ْن موَم ْن َشاءَ فَلْيَ ْك ُف ْر‬
)29 :18/‫( الكهف‬
Artinya:
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka,
siapa yang menghendaki (beriman), hendaklah dia beriman dan siapa yang
menghendaki (kufur), biarlah dia kufur.” ……
(Q.S. Al-Kahf [18]: 29)

Dalam Surat Ar-Ra’ad ayat 11:


ْۗ ‫م‬
﴾ ١١ …….. ‫اّللَ ََل يُغَمّٰيُ َما بمَق ْوٍم َح هّٰت يُغَمّٰيُْوا َما مِبَنْ ُف مس مه ْم‬
ٰ‫……ا من ه‬.. ﴿

17
Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 552.
18
Yusuf, op. cit., hlm. 25.

9
)11 :13/‫الرعد‬
ٰ (
Artinya:
“……. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka
mengubah apa yang ada pada diri mereka.…….”.
(Q.S. Ar-Ra'd [13]:11)

3. Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu'tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan
bebas. Oleh karena itu, Mu'tazilah menganut paham Qadariah atau free will.
Menurut Al-Jubba'i dan Abd Al-Jabbar, manusialah yang menciptakan perbuatan-
perbuatannya. Manusia yang berbuat baik dan buruk. Kepatuhan dan ketaatan
seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-
istitha'ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia
sebelum adanya perbuatan.19
Perbuatan manusia bukan diciptakan Tuhan pada diri manusia, melainkan
manusia yang mewujudkan perbuatan. Lalu, bagaimana dengan daya? Apakah
diciptakan Tuhan untuk manusia, atau berasal dari manusia? Mu'tazilah dengan
tegas menyatakan pendapatnya bahwa daya berasal dari manusia. Daya yang
terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi, Tuhan tidak
dilibatkan dalam perbuatan manusia.20 Aliran Mu'tazilah mengecam dengan keras
paham yang mengatakan bahwa Tuhan yang menciptakan perbuatan. Bagaimana
mungkin, dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukan?
Dengan paham di atas, aliran Mu'tazilah masih mengakui Tuhan sebagai
pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang mempunyai kreasi
untuk mengubah bentuknya.21
Meskipun berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia
dan tidak pula menentukannya, kalangan Mu'tazilah tidak mengingkari ilmu azali
Allah yang mengetahui segala yang akan terjadi dan diperbuat manusia. Pendapat
inilah yang membedakannya dari penganut Qadariah murni.22
Untuk membela pahamnya, Aliran Mu’tazilah mengungkapkan ayat berikut:

19
Nasution, Teologi….., hlm. 102.
20
Ibid. hlm. 103
21
Muhammad Imarah, Al-Mu’tazilah wa Musykilah Al-Hurriyyah Al-Insaniyyah, Dar Asy-Syura’,
Kairo, 1988, hlm. 80-81.
22
Irfan Abd Al-Hamid, Dirasat fi Al-Firaq wa Al-‘Aqa’id Al-Islamiyyah, Mathba’ah As’ad, Baghdad,
t.t, hlm. 278.

10
)7 :32/‫السجدة‬
ٰ ( ﴾ ٧ ………..‫ي اَ ْح َس َن ُك مل َش ْي ٍء َخلَ َقه‬
ْٓ ‫﴿ الم مذ‬
Artinya:
“(Dia juga) yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan…….”
(Q.S. As-Sajdah [32]: 7)
Kata ahsana pada ayat di atas adalah semua perbuatan Tuhan itu baik. Dengan
demikian, perbuatan manusia bukan perbuatan Tuhan karena di antara perbuatan-
perbuatan manusia terdapat perbuatan-perbuatan jahat.23 Dalil ini dikemukakan
untuk mempertegas bahwa manusia akan mendapat balasan atas perbuatannya.
Sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan, balasan dari Tuhan itu tidak
ada artinya.24
4. Aliran Asy’ariah
Dalam paham Asy'ari manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. la
diibaratkan anak kecil yang tidak mempunyai pilihan dalam hidupnya. Oleh karena
itu, aliran Asy'ariah lebih dekat dengan paham Jabariah daripada dengan paham
Mu'tazilah.25 Untuk menjelaskan dasar pijakan- nya, Asy'ari menggunakan teori al-
kasb (acquisition, perolehan). Teori al-kasb Asy'ari dapat dijelaskan sebagai
berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan, dan
menjadi perolehan bagi orang muktasib (yang memperoleh kasab) sehingga
perbuatan itu timbul. Sebagai konsekuensi dari teori kasab, manusia kehilangan
keaktifan, sehingga bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya.26

Argumen yang dimajukan oleh Al-Asy'ari untuk membela keyakinan- nya


adalah firman Allah:
ٰۤ
)96 :37/‫الص هٰفت‬ ٰ‫﴿ َو ه‬
‫ ﴾ ( ٰه‬٩٦ ‫اّللُ َخلَ َق ُك ْم َوَما تَ ْع َملُ ْو َن‬
Artinya:
“Padahal Allahlah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.”
(Q.S. As-S𝑎̅ff𝑎̅t [37]: 96)

Wa ma ta'malun pada ayat di atas diartikan Al-Asy'ari dengan "apa yang


kamu perbuat, bukan "apa yang kamu buat. Dengan demikian, ayat ini mengandung
arti bahwa Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatanmu. Dengan kata lain,

23
Nasution, Teologi….., hlm. 105.
24
Al-Hamid, ioc. Cit.
25
Nasution, Teologi….., hlm. 106
26
Ibid., hlm107.

11
dalam paham Asy'ari yang mewujudkan kasab atau perbuatan manusia sebenarnya
adalah Tuhan.27
Pada prinsipnya, aliran Asy'ariah berpendapat bahwa perbuatan manusia
diciptakan Allah. Daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya.
Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula pada diri
manusia, daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan adalah ciptaan
Allah dan kasab (perolehan) bagi manusia. Dengan begitu, kasab mempunyai
pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi
pada penerimaan bahwa perbuatan manusia "disertai" dengan daya kehendaknya,
dan bukan "atas" daya kehendak-Nya.28
5. Aliran Maturidiah
Sebagaimana masalah perbuatan Tuhan, terdapat perbedaan antara
Maturidiah Samarkand dengan Maturidiah Bukhara. Jika yang pertama lebih dekat
dengan paham Mu'tazilah, yang kedua lebih dekat dengan paham Asy'ariah.
Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut Maturidiah Samarkand
adalah kehendak dan daya manusia dalam arti sebenarnya, bukan dalam arti
kiasan.29 Perbedaannya dengan Mu'tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat
diciptakan tidak sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatan bersangkutan.
Daya yang demikian porsinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam paham
Mu'tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam paham Al-Maturidi tidak sebebas
manusia dalam Mu'tazilah.
Maturidiah Bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiah
Samarkand. Hanya, golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya.
Menurutnya, untuk perwujudan perbuatan perlu ada dua daya. Manusia tidak
mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhan yang dapat mencipta,
dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan
baginya.30
C. Perbandingan antaraaliran:Kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan
Adanyanya perbedaan pendapat dalam aliran-aliran ilmu kalam mengenai
kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan atau kehendak dan perbuatan manusia
yang telah muncul, beberapa pendapat tentang kehendak mutlak dan keadilan
Tuhan.

27
Ibid.
28
Al-Hamid, op. cit., hlm. 279.
29
Nasution, Teologi…..hlm. 112.
30
Ibid., hlm. 114.

12
Pangkal persoalan kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan adalah Tuhan
sebagai pencipta alam semesta, sebagai pencipta Tuhan haruslah mengatasi segala
yang ada, bahkan sampai melampaui segala yang ada. Eksistensi Tuhan yang
mempunyai kehendak dan kekuasaan tidak terbatas karena tidak ada eksistensi yang
bisa melampaui eksistensinya.
Faham keadilan Tuhan, dalam pemikiran ilmu kalam, bergantung pada
pandangan, apakah manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan
berbuat? Ataukah manusia itu hanya terpaksa? Perbedaan pandangan inilah yang
menyebabkan perbedaan penerapan keadilan, yang disepakati mengandung arti
meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Ada dua aliran kalam yaitu aliran kalam rasional yang menekankan kebebasan
manusia cenderung memahami keadilan Tuhan dari sudut kepentingan. Sedangkan
aliran kalam tradisional yang memberi tekanan pada ketidakbebasan manusia di
tengah kekuasan dan kehendak mutlak Tuhan, cenderung memahami keadilan
Tuhan dari sudut Tuhan sebagai pemilik alam semesta.
Disamping faktor-faktor diatas, perbedaaan aliran-aliran kalam dalam
persoalan kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan di dasari perbedaan
pemahaman terhadap kekuatan akal dan fungsi wahyu. Bagi aliran yang bependapat
bahwa akal mempunyai daya yang besar, kekuasaan Tuhan pada hakikatnya tidak
lagi bersifat mutlak semutlaknya. Adapun aliran yang berpendapat bahwa kekuasan
dan kehendak Tuhan tetap bersifat mutlak.31
1. Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah yang berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil
tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak hambanya untuk
menanggung akibat perbuatannya.32 Dengan demikian, manusia mempunyai
kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaan sedikitpun dari
Tuhan. Dengan kebebasan itulah, manusia dapat bertanggung jawab atas
perbuatannya. Tidak adil jika Tuhan memberikan pahala atau siksa kepada
hambannya tanpa mengiringinya dengan memberikan kebebasan terlebih dahulu.
Secara lebih jelas, aliran mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan
tidak mutlak lagi. Ketidakmutlakan kekuasaan itu disebabkan oleh kebebasan yang

31
Harun nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, UI press,
Jakarta, 1986, hal. 118.
32
Asy-Syahrastani, Al- Minal Wa An-Nihal, Dar Al- Fikr, t.t., hlm. 47.

13
di berikan Tuhan terhadap manusia serta adanya hukum alam (sunnatullah) yang
menurut Al- Quran tidak berubah.33
Oleh sebab itu, dalam pandangan Mu’tazilah kekuasan dan kehendak mutlak
Tuhan berlaku dalam jalur-jalur hukum yang tersebar di tengah alam semesta.
Itulah sebabnya Mu’tazilah menggunakan ayat 62 surat Al-Ahzab [33] ayat itu
menjelaskan tentang kebabasan manusia yang disinggung dalam pembicaraan
tentang free will dan predestination.
Selanjutnya, aliran Mu’tazilah mengatakan, sebagaimana yang di jelaskan
oleh Abd Al-Jabbar, bahwa keadilan Tuhan megandung arti Tuhan tidak berbuat
dan tidak memilih yang buruk, tidak melalaikan kewajiban- kewajibannya kepada
manusia, dan segala perbuatannya adalah baik. Jalan pikiran ini tidak menghendaki
sifat zalim dalam menghukum, memberi beban yang tidak patuh bagi Allah.
Dengan kata lain, Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah, mempunyai kewajiban-
kewajiban yang ditentukannya sendiri bagi dirinya.34
Dalam uraian diatas jelas sekali bahwa keadilan Tuhan menurut aliran
Mu’tazilah merupakan titik tolak dalam pemikirannya tentang kehendak mutlak
Tuhan. Keadilan Tuhan terletak pada keharusan adanya tujuan dalam perbuatan-
perbuatannya, yaitu kewajiban berbuat baik bagi makhluk dan memberi kebebasan
kepada manusia. Adapun kehendak mutlaknya di batasi oleh keadilan Tuhan itu
sendiri.
2. Aliran Asy’ariah
Kaum Asy’ariyah, karena percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan,
berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk
berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasaan dan kehendak mutlaknya dan bukan
karena kepentingan manusia atau tujuan yang lain.35
Dengan demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan dapat berbuat sekehendak
hatinya. Tuhan dapat memberi pahala kepada hambanya atau memberi siksa dengan
sekehendak hatinya, dan itu semua adil bagi Tuhan.36
Tuhan bersifat absolut dan berbuat apa saja yang di kehendakinya di dalam
kerajaannya dan tak seorangpun yang dapat mencela perbuatannya. Tuhan boleh
saja melarang apa yang telah di perintahkannya dan memerintahkannya apa yang

33
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Perkasa, Jakarta, 1990, hlm., 80.
34
Ibid. hlm. 85
35
Harun nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, UI press,
Jakarta,1974, hal.123.
36
Asy-Syahrastani, Al- Minal Wa An-Nihal, Dar Al- Fikr, t.t., hlm.102.

14
telah di larangnya. Tuhan boleh memperbuat apa saja yang di kehendakinya, boleh
memberikan hukum menurut kehendaknya, boleh menyiksa orang yang berbuat
baik jika dikehendakinya, dan boleh memberi pahala kepada orang yang kafir jika
hal itu dikehendakinya.37
3.Aliran Maturidiah
Maturidiyah terbagi menjadi dua, yaitu Maturidiyah Samarkand dan
Maturidiyah Bukhara. Aliran tersebut di sebabkan perbedaan dalam menentukan
porsi pengunaan akal dan pemberian batas terhadap kekuasaan mutlak Tuhan.
Karena manganut faham free will dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan
mutlak Tuhan, kaum Maturidiyah Samarkand memili porsi yang lebih dekat kepada
Mu’tazilah, tetapi kekuatan akal dan batasan yang di berikan kepada kekuasaan
mutlak Tuhan lebih kecil daripada yang di berikan aliran Mu’tazilah.38
Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
kekuasaan mutlak . Tuhan berbuat apa saja yang di kehendakinya dan menentukan
segala-galanya. Tidak ada menentang atau memaksa dan tidak ada larangan bagi
Tuhan. Dengan demikian, dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan terletak
pada kehendak mutlaknya, tak ada dzat satu pun yang lebih berkuasa daripadanya
dan tidak ada batasan baginya. Tampaknya, aliran Maturidiyah Bukhara lebih dekat
dengan Asy’ariyah.
Maturidiyah Bukhara berendapat bahwa ketidakadilan Tuhan harus di pahami
dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas, Al- Bazdawi
mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur
pendorong untuk menciptakan kosmos, ini berarti, bahwa alam tidak diciptakan
Tuhan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain l, konsep keadilan Tuhan
bukan di letakkan untuk kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik
mutlak.39

37
Harun nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, UI press,
Jakarta, 1974, hlm. 118-119; Al-Ghazali,op. cot., h.165 dan 184.
38
Harun nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, UI press,
Jakarta, 1974, hlm. 124.
39
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Perkasa, Jakarta, 1990, hlm. 89.

15
PENUTUP

Dari uraian diatas, dapat kita pahami bahwa Islam telah hadir sebagai pelopor
lahirnya pemikiran-pemikiran yang hingga sekarang semuanya itu dapat kita
jumpai hampir di seluruh dunia. Hal ini juga dapat dijadikan alasan bahwa Islam
sebagi mana di jumpai dalam sejarah, bukanlah sesempit yang dipahami pada
umumnya, karena Islam dengan bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah dapat
berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas.

Sekarang, bagaimana kita menaggapi pemikiran-pemikiran tersebut yang


kesemuanya memiliki titik pertentangan dan persamaan masing-masing dan
tentunya pendapat-pendapat mereka memiliki argumentasi-argumentasi yang
bersumber pada al-Qur’an dan Hadits. Namun pendapat mana diantara pendapat-
pendapat tersebut yang paling baik, tidaklah bisa kita nilai sekarang. Kerana
penilaian sesungguhnya ada pada sisi Allah yang akan diberikanNya di akhirat
nanti.

Penilaiaan baik tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin


di lakukan dengan mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-
peristiwa yang berkembang dalam sejarah. Disisi lain, kita juga bisa menilai baik
tidaknya suatu pendapat atau paham dengan mengaitkannya pada kenyataan yang
berlaku dimasyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia, dan juga
pendapat tersebut banyak di ikuti oleh Manusia.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak, Rosihun Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011)
Abdullah, Amin. Falsafah Kalam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995.
Dahlan, Aziz. Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam. Jakarta: Beunebi
Cipta. 1987.
Imarah, Muhammad. Al-Mu’tazilah wa musykilah Al-Hurriyyah Al-Insaniyyah.
Kairo: Dar Al-Syura. 1998.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI Press. 1986.
Nasution, Harun. Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press. 1987.
Rahman, Fazlur. Islam. Terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka. 1984.
Syahrastani. Al-Milal wa An-Nihal. Beirut: Dar Al-Fikri. t.t.
Shihab, Quraish. Studi Kritis Tafsir Al-Manar. Bandung: Pustaka Hidayah. 1994.
Yusuf, M. Yunan. Alam Pikiran Islam. Jakarta: Perkasa. 1990.

17

Anda mungkin juga menyukai