Ilmu Kalam
Dosen Pengampu :
DISUSUN OLEH :
Bismilahirrohmanirrihim
Alhamdulillah Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Kehadirat Allah SWT yang
telah memberi rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul “Jarh Wa
Ta’dil” ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Sholawat serta salam juga tidak
terlupakan kepada jujungan kita Nabi Agung Muhammad SAW yang telah menuntun kita
dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang yakni Addinul Islam.
Ucapan terimakasih juga tidak lupa kami sampaikan kepada Bapak H. Saihul Atho’
AH, S.Ag, M.Pd.I selaku pengajar mata kuliah Ilmu Kalam yang telah mendidik dan
membimbing kami. Ilmu pengetahuan dan wawasan Bapak sangat kami butuhkan agar bisa
melangkah lebih maju kedepannya.
Dalam penyusunan makalah ini, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
dan memberikan wawasan yamg lebih luas bagi pembacanya. Kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata dalam penulisan makalah ini. Kritik dan saran dari pembaca sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
COVER................................................................................................................................
KATA PENGANTAR.........................................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
A. Latar Belakang.........................................................................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................................................
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persoalan politik pada masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib yang menerima
arbitrase atau tahkim dari Mu’awiyah Bin Abi Sofyan pada perang Siffin. Diduga
sebagai titik awal munculnya persoalan teologi dalam ilmu kalam yaitu timbulnya
persolan siap yang dianggap kafir dan siapa yang dianggap masih mempunyai iman.
Pada era selanjutnya Khawarijpun pecah kepada beberapa sub sekte, konsep
kafir turut pula mengalami perubahan, yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang
yang menentukan hukum tidak dengan Al Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa
besarpun juga dipandang kafir. Persoalan berbuat dosa besar inilah yang kemudian
turut andil besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya.
Dalam perkembangannya, Paling tidak ada tiga aliran teologi dalam Islam,
pertama Khawarij yang memandang bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir,
dalam arti keluar dari Islam atau murtad, oleh karenanya wajib dibunuh, kedua,
Murjiah yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin bukan
kafir, soal dosa besar yang dilakukannya, diserahkan kepada Allah untuk
mengampuni atau tidak; ketiga, aliran Mu’tazilah yang menolak kedua pandangan-
pandangan kedua aliran-aliran diatas. Bagi Mu’tazilah orang berdosa besar tidak lah
kafir, tetapi bukan pula mukmin, mereka menyebutnya manzilah bainal manzilataini
(posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih rasional bahkan liberal dalam beragama.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional ini mendapat tantangan keras dari
kelompok tradisional Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab imam Ibn
Hambal, sepeninggal al Ma’mun pada dinasti Abbasiah, syiar Mu’tazilah berkurang
bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh khalifah al
Mutawakkil. Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung, mereka (yang
menentang) kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al
Hasan al Asy’ari yang semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan al
Asy’ariah, di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu
Mansur Al Mauturidi., Aliran ini dikenal dengan Maturidiah. Dalam makalah yang
akan penulis sampaikan adalah pandangan antar aliran dalam ilmu kalam tentang
pelaku dosa besar.
B. Rumusan Masalah
1. Apa perbedaan pendapat antar aliran mengenai pelaku dosa besar ?
2. Aliran apa saja kah yang berpendapat mengenai pelaku dosa besar ?
3. Bagaimana analisis aliran-aliran tersebut mengenai pelaku dosa besar ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui perbedaan pendapat antar aliran mengenai pelaku dosa besar.
2. Mengetahui aliran apa saja yang berpendapat mengenai pelaku dosa besar.
3. Mengetahui analisis aliran-aliran mengenai pelaku dosa besar.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Aliran Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ekstremitas dalam
memutuskan persoalan-persoalan kalam. Ekstremitas di atas di samping didukung
oleh watak kerasnya yang dibangun oleh kondisi geografis gurun pasir, juga
dibangun di atas dasar pemahaman tekstual atas nash-nash Al-Qur’an dan Hadist.
Tidak heran jika aliran ini memiliki pandangan ekstrim tentang status pelaku dosa
besar. Aliran ini memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa
tahkim yaitu Ali, Muawwiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah kafir
berdasarkan firman Allah pada surah Al-Maidah ayat 44 :
“… Barang siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itulah orang kafir.”
Semua pelaku dosa besar, menurut semua subsekta Khawarij, kecuali Najdah
adalah kafir dan disiksa di neraka selamanya. Lebih keras dari itu, subsekta
Khawarij yang sangat ekstrem, Azariqoh, bahkan menggunakan istilah yang lebih
“mengerikan” dari kafir, yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi umat
Islam yang tidak mau bergabung ke dalam barisannya. Pelaku dosa besar dalam
pandangan mereka telah beralih status keimanannyamenjadi kafir millah (agama),
dan telah keluar dari Islam. Kafir semacam ini akan kekal di neraka bersama
orang-orang kafir lainnya.
Subsekta Najdah tidak jauh berbeda dari Azariqoh. Apabila predikat musyrik
disandangkan oleh Azariqoh kepada umat Islam tidak mau bergabung ke dalam
kelompok mereka, predikat yang sama di sandang pulamoleh Najdah kepada siapa
pun dari umat Islam yang secara berkesinambungan mengerjakan dosa kecil.
Sama halnya dengan dosa besar, apabila tidak dilakukan secara continue,
pelakunya tidak dipandang musyrik, tetapi kafir jika dilakuka secara continue
akan menjadi musyrik.
Walaupun secara umum subsekta aliran Khawarij sependapat bahwa pelaku
dosa besar dianggap kafir, tetapi masing-masing berbeda pebdapat tentang pelaku
dosa besar yang diberi predikat kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan
artinya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang berbuat dosa besar.
Berbuat zina, membunuh sesame manusia tanpa sebab, dan dosa-dosa besar
lainnya membuat pelakunya keluar dari Islam.
Berbeda dengan pandangan subsekta Al-Azariqoh. Bagi subsekta ini yang
dianggap kafir tidak hanya orang-orang yang telah melakukan perbuatan zina,
membunuh, dan sebagainya, tetapi juga semua orang Islam yang tidak sepaham
dengan mereka. Bahkan orang Islam yang sepaham dengannya, tetapi tidak mau
berhijrah kelingkungan mereka juga dipandang kafir, bahkah musyrik. Dengan
kata lain orang Al-Azariqoh yang tinggal diluar lingkungan mereka dan tidak mau
pindah ke daerah kekuasaan mereka dipandang musyrik.
Pandangan yang berbeda di kemukakan subsekta An-Najdah. Subsekta ini
berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal di dalam
neraka hanya orang Islam yang tidak sepahamdengan golongannya. Adapun
pengikutnya jika mengerjakan dosa besar akan mendapatkan siksaan dineraka,
tetapi pada akhirnya akan masuk surga. Sementara itu subsekta As-Sufriah
membagi dosa besar kedalam dua bagian, yaitu dosa yang ada sanksinya di dunia
(seperti membunuh dan berzina) dan dosa yang tidak ada sanksinya di dunia
(seperti meninggalkan sholat dan puasa). Orang yang berbuat dosa kategori yang
pertama tidak dipandang kafir. Hanya orang yang melaksanakan dosa kategori
kedua yang menjadi kafir.
2. Aliran Murji’ah
Pandangan aliran Murji’ah tentang status pelaku dosa besar ditelusuri dari
definisi iman yang dirumuskan menurut versi mereka. Karena tiap-tiap subsekta
Murji’ah berbeda pendapat dalam merumuskan definisi iman, pandangan tiap-tiap
subsekta tentang status pelaku dosa besar pun berbeda pula.
Secara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan, subsekta Khawarij dapat
dikategorikan ke dalam dua kategori ekstrem dan moderat. Harun Nasution
memberikan indikasi bahwa subsekta Murji’ah yang ekstrem adalah mereka yang
berpandangan bahwa iman terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan
tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh
karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah
agama tidak berarti telah menggeser atau merusak keimanannya, bahkan
keimanannya masih sempurna di mata Tuhan.
Di antara kalangan Murji’ah yang berpendapat serupa di atas adalah subsekta
Al-Jahmiah, As-Shalihiah, dan Al-Yunusiah. Mereka berpandangan bahwa iman
adalah tasdiq secara kalbu atau dengan ungkapan lain ma’rifah (mengetahui)
Allah dengan kalbu; bukan secara demonstrative, baik dalam ucapan maupun
tindakan. Oleh karena itu, jika telah beriman dalam hatinya, seseorang di pandang
tetap sebagai seorang mukmin sekalipun menampakkan tingkah laku seperti
Yahudi dan Nasrani. Hal ini disebabkan oleh keyakinan Murji’ah bahwa iqrar dan
‘amal bukan bagian dari iman. Kepercayaan kelompok Murji’ah yang terkenal
adalah perbuatan maksiat tidak dapat menggugurkan keimanan, sebagaimana
ketaatan tidap dapat membawa manfaat bagi ke kufuran. Dapat disimpulkan
bahwa Murji’ah ekstrem memandang pelaku dosa besar tidak akan disiksa di
neraka.
Sementara yang dimaksud murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat
bahwa pelaku dosa besar tidak menjadi kafir. Meskipun ia akan disiksa di neraka,
tetapi tidak kekal dan bergantung pada ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun
demikian, masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya
sehingga ia bebas dari siksa neraka.
3. Alirah Mu’tazilah
Kemunculan aliran Mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam sesungguhnya
diawali oleh masalah yang kurang lebih sama dengan kedua aliran yang telah
dijelaskan di atas, yaitu mengenai pelaku dosa besar, apakah masih beriman atau
telah menjadi kafir. Perbedannya, apabila Khawarij mengkafirkan pelaku dosa
besar dan Murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak
menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah tetap
mukmin atau telah kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal al-manzilah
bain al-manzi-latain. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada di
posisi tengan diantara posisi mukmin dan kafir. Jika meninggal dunia dan belum
sempat bertaubat, ia akan di masukkan ke dalam neraka selama-lamanya.
Meskipun demikian, siksaan yang akan diterimanya lebih ringan daripada siksaan
orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mu’tazilah, seperti Wasil
bin ‘Atha’ dan ‘Amr bin ‘Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik,
bukan mukmin atau kafir, melaikan sebagai kategori netral dan independen.
Mengenai perbuatan yang dikategorikan sebagai dosa besar, aliran Mu’tazilah
tampaknya merumuskan secara lebih konseptual daripada aliran Khawarij.
Menurut pandangan Mu’tazilah dosa besar adalah segala perbuatan yang
ancamannya disebutkan secara tegas dalam nash. Dosa kecil adalah segala ketidak
patuhan yang ancamannya tidak tegas dalam nash. Mu’tazilah menjadikan
ancaman sebagai kriteria dasar bagi dosa besar ataupun kecil.
4. Aliran Asy’ariah
Terhadap pelaku dosa besar, Al-Asy’ari sebagai wakil Ahl As-Sunnah
menyatakan pendiriannya dengan tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke
Baitullah walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri.
Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan
yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi, jika dosa besar itu
dilakukannya dengan menganggap bahwa hal ini diblehkan (halal) dan tidak
meyakini keharamannya, ia di pandang telah kafir.
Adapun balasan diakhirat kelak yang akan di peroleh pelaku dosa besar
apabila meninggal dan tidak sempat bertaubat, menurut Al-Asy’ari hal itu
bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak. Tuhan bisa
mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat syafaat Nabi
Muhammad SAW, sehingga bebas dari siksaan neraka atau sebaliknya, Tuhan
bisa memberikan siksa neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya.
Walaupun begitu, ia tidak akan kekal di neraka, seperti orang-orang kafir lainnya.
Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai, ia akan di masukkan ke dalam surga.
Dari paparan yang singkat ini, jelas bahwa Al-Asy’ariah sesungguhnya
mengambil posisi yang sama dengan Murjiah, khususnya dalam pernyataan yang
tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.
5. Aliran Maturidiah
Aliran Maturidiah, baik Samarkand maupun Bukhara, tampaknya sepakat
menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya
keimanan dalam dirinya. Balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung
pada yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa taubat terlebih dahulu,
keputusannya diserahkan sepenuhnya pada kehendak Allah SWT. Jika
menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, Ia akan memasukkannya ke neraka
tetapi tidak kekal di dalamnya.
Berkaitan dengan persoalan ini, Al-Maturidi peletak dasar aliran kalam Al-
Maturidiah berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak
kekal di dalam neraka, walaupun ia meninggal sebelum bertaubat. Hal ini karena
Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat
dosa syirik. Berbuat dosa selain syirik tidak akan kekal di dalam neraka. Oleh
karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidak menjadikan seseorang kafir
atau murtad.
PENUTUP
W. MontgomerymWatt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, ter. Umar Basalim, Penerbit
P3M, Jakarta, 1987, hlm. 6-7
Abu Al-Hasan Asy-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf Al-Mushallin, Wiesbaden
FranzSteiner Verlag CBN, 1963, cet. 11., hlm. 85.
Muhammad bin ‘Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Minal wa An-Nihal, Mustafa Al-Bab
Al-Halabi wa Auladuh, Mesir, 1987/1987, Juz I, hlm. 118, 122.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, 1986, hlm.
14.
Ibid., hlm. 14-15.; hlm. 16.; hlm. 20.
Nasution, op. cit.,hlm. 26-28.; hlm. 25.
Al-Asy’ari, op. cit., hlm. 132-133.; hlm. 270-271.
Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, Jilid III, Maktabah An-Nahdah Al-Misyriyyah, Kairo, t.t.,
hlm. 316-317.
Asy-Syahrastani, op. cit., hlm. 139.; hlm. 26.
Ibid., hlm. 146.
Amin. op. cit., hlm. 322.
Abu Hanifah, Al-Fiqh Al-Akbar, Al-Amirah Asy-Syarafiyah, Mesir, 1324 H, hlm. 5-6.
Al-Asy’ari, Al-Ibanah ‘an Ushul Ad-Diniyyah, Idarah At-Tiba’ah Al-Misyriyyah, t.t hlm. 10.
Abu Mansyur Al-Maturidi, Kitab At-Tauhid, Tahqiq oleh Fathullah Khalif, Maktabah Al-
Islamiyyah Muhammad Ozdonier, Istanbul, 1979, hlm. 326, 334.
Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Ter. Abd. Raman Dahlan
dan Ahmad Qarib, Logos, Jakarta 1996, hlm.48.
Moojan Momen, An Introduction to Shi’i Islam, Yale University Press, London, 1985, hlm.
49.