DAN TAKHYIR)
Di susun Oleh :
Kelompok 6
1. Bapak dosen mata kuliah Ushul Fiqih Bapak H. Muammar Al Qodri, M.Pd.
yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada kami sehingga kami termotivasi
dan menyelesaikan tugas makalah ini.
2. Orang tua, teman dan kerabat yang telah turut membantu, membimbing, dan
mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas makalah ini selesai.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1
C. Tujuan Pembahasan ..................................................................................... 1
BAB II ..................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 2
A. Amm............................................................................................................. 2
B. Khas ............................................................................................................. 3
C. Amar (Perintah) ............................................................................................ 5
D. Nahiy (Larangan) ......................................................................................... 8
E. Takhyir (Memberi Pilihan) ........................................................................ 12
BAB III ................................................................................................................. 13
PENUTUP ............................................................................................................. 13
A. Kesimpulan ................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam
mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-
kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang
bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-
kaidah Ushul akan diketahui nash-nash yang syara’ dan hukum-hukum yang
ditunjukkannya.
Objek utama yang dibahas dalam ushul fiqh adalah al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah. Umtuk memahami teks-teks dua sumber yang berbahasa Arab
tersebut, para ulama telah menyusun semacam “semantik” yang akan digunakan
dalam praktik penalaran fikih. Untuk itu, para ahli telah membuat beberapa
kategori lafal atau redaksi yang mencakup masalah amar, nahi, dan takhyir, serta
pembahasan lafal dari segi umum dan khusus yang akan sedkit dijabarkan dalam
makalah ini.
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimakasud dengan Amm dan Khas ?
b. Apa yang dimaksud dengan Amar?
c. Apa yang dimaksud dengan Nahi?
d. Apa yang dimaksud dengan Takhyir?
C. Tujuan Pembahasan
a. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Amm dan Khas
b. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan amar.
c. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan nahi.
d. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan takhyir.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Amm
Amm menurut bahasa artinya merata atau yang umum. Sedangkan
menurut istilah ialah
1
Satria Effendi, Ushul fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.196
2
Lafal manusia dalam ayat di atas adalah lafal umum, yang dimaksud adalah
manusia yang mukhalaf saja karena dengaan perantaraan akal dapat
dikeluarkan dari keumuman lafal, seperti anak kecil dan orang gila.2
3. Lafal umum yang khusus seperti lagal umum yang tidak ditemui tanda yang
menunjukkan ditaakhsis seperti dalam firman Allah :
B. Khas
Lafadz Khas ialah lafadz yang dilalahnya berlaku bagi seseorang yang
namanya disebutkan seperti Muhammad atau seseorang yang disebutkan jenisnya
umpamanya seorang lelaki atau beberapa orang tertentu seperti tiga orang,
sepuluh orang, seratus orang, sekelompok orang. Jadi berarti lafadz Khas tidak
mencakup semua namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
Menurut Manna Al-Qattan, lafadz khaas adalah lafadz yang merupakan
kebalikan dari lafadz ‘am yaitu tidak hanya menghabiskan semua apa yang pantas
baginya tanpa ada pembatasan.
Macam-macam lafadz Khas
Mukhassis ada 2 macam yaitu mukhassis muttashil dan mukhassis munfashil3
a. Mukhassis Muttashil
2
Ibid, h. 167
3
Ibid, h. 82
3
Yaitu lafadz yang tidak berdiri sendiri, yaitu maknanya bersangkutan
dengan lafadz sebelumnya.
Misalnya :
Artinya :
“Dan janganlah kamu membunuh suatu jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan suatu yang benar. (QS. Al-An’am : 151)
Susunan “janganlah kamu membunuh suatu jiwa yang diharamkan Allah
untuk membunuhnya”, itu menunjukkan umum artinya tidak boleh membunuh
siapapun. “Melainkan dengan jalan yang benar”, yaitu qishas atau di dalam
pertempuran.
b. Mukhassis munfashil
Yaitu lafadz yang berdiri sendiri, terpisah dari dalil yang memberikan
pengertian umum.
Misalnya :
Artinya :
“Dan malam serta minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf :
31)
Perkataan “Makanlah.....” itu umum, yakni boleh makan apa saja yang kita
kehendaki, tetapi keumuman ini telah dibatasi oleh Allah dengan firmannya
juga, sebagai berikut :
Artinya :
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (makan) bangkai, darah,
daging babi, dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah.”
(QS. Al-Baqarah : 173)
Ayat ini membatasi keumuman ayat 31 sdari surat Al-A’raf dan
menentukan bahwa yang haram itu hanya 4macam makanan tersebut diatas.
Pembatasan ini tidak terdapat pada satu ayat dalam surat Al-A’raf ayat 31
melainkan terpisah (munfashil).
Yang termasuk mukhassis munfasil ialah:
Ayat Al-Qur’an ditakhsis oleh ayat Al-Qur’an
Hadis ditakhsis oleh ayat Al-Qur’an
Ayat Al-Qur’an ditakhsis oleh Hadis
4
Hadis ditakhsis oleh Hadis
C. Amar (Perintah)
Menurut mayoritas ulama Usul Fiqh, amar adalah:
Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya. Ada juga
yang mengatakan bahwa amar adalah perintah atau tuntutan perbuatan dari orang
yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya. Jadi
Amr merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya
mewajibkan atau mengharuskan, jika tidak demikian maka tidak termasuk
kategori Amr.4
a. Perintah tegas dengan menggunakan kata amar dan yang seakar dengannya.
Misalnya dalam surat an-Nahl : 90
اء
ِ شَ اء ذِي ا ْلقُ ْر َبى َو َي ْن َهى َع ِن ا ْل َف ْحِ ان َوإِي َت ِ س َ اإلحْ َّللا َيأْ ُم ُر ِبا ْل َعدْ ِل َو َ َّ َّإِن
ََوا ْل ُم ْن َك ِر َوا ْل َب ْغيِ َي ِع ُظ ُك ْم َل َعلَّ ُك ْم َت َذ َّك ُرون
4
Satria Effendi. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005). hlm. 178-179.
5
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran”
b. .Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas
seseorang dengan memakai kata kutiba. Misalnya dalam surat al-Baqarah :
178
5
Ibid, hlm, 185
6
ٍ َر َّبنا لِ َم َك َت ْب َت َعلَ ْي َنا ا ْلقِتال َ لَ ْوال أَ َّخ ْر َتنا إِلى أَ َج ٍل َق ِري
ٌ ب قُلْ َمتا ُع ال ُّد ْنيا َقلِيل
ً َو ْاْلخ َِرةُ َخ ْي ٌر لِ َم ِن ا َّتقى َوال ُت ْظ َل ُمونَ َفتِي
ال
Kaidah ketiga
6
Muhammad, Ma’sum Zein Zudbah, Ushul Fiqh, (Jawa Timur : Darul Hikmah, 2008),
hal. 52
7
“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan”
Misalnya tentang haji seperti firman Allah swt.
Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji.{ QS. Al-haji/ 22:27}
Dalam hadist Nabi saw dinyatakan:
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu{ untuk melaksanakan }haji,
maka berhajilah kamu.
Kaidah Keempat
Misalnya dalam ibadah haji , yaitu satu kali seumur hidup namun bila perintah itu
dimaksudkan pengulangan,maka harus ada qarinah atau kalimat yang menunjukan
pada pengulangan.
Menurut ulama, qarinah dapat dikelompokan menjadi 3 :7
1) Perintah itu dihubungkan dengan syarat,seperti wajib mandi setelah junub.
2) Perintah itu dihubungkan dengan ‘illat,seperti hukumm rajam kalau melakukan
zina.
3) Perintah itu dihubungkan dengan sifat atau keadaan yang berlaku sebagai ‘illat,
seperti kewajiban shalat setiap kali masuk waktu shalat.
Kaidah Kelima
D. Nahiy (Larangan)
Menurut bahasa, nahiy artinya larangan atau meninggalkan sesuatu.
Adapun menurut istilah, nahiy ialah tuntutan meninggalkan perbuatan dari yang
7
Ibid, hal. 52-53
8
lebih tinggi derajatnya pada yang lebih rendah
Sedangkan Mayoritas ulama ushul fiqh mendefinisikan nahiy
Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya
kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan
atas hal itu.
1. Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang seakar
dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Seperti dalam surat an-Nahl :
90
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran”
2. Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan. Seperti
dalam surat al-A’raf : 33
“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan
Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui"”
3. Larangan dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai huruf lam
yang menunjukkan larangan. Seperti dalam surat al-An’am : 152
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa...”
4. Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk
meninggalkan. Seperti dalam surat al-An’am : 120
8
Satria Effendi. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005). hlm. 187
9
“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya
orang-orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari
kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan”
Kaidah Nahi
Kaidah Pertama:
1) Akan dapat memahami bahwa sigat bentuk anhi itu menunjukan arti yang
sebenarnya,yaitu melarang
2) Ulama salaf memahami sigat nahi yang bebas dari qarinah menunjukan
larangan.
Sebagian ulama lain berpendapat” Pada dasarnya larangan itu menunjukan
makruh”
Menurut kaidah ini ,nahi bermakna sesuatu yang dilarang itu adalah tidak
baik.Karena itu tidak selalu bermakna haram ,tetapi makruh. Sebab makruh lah
pengertian yang pasti.10
i. Bermakana Karaah, seperti: “jangan kamu shalat diatas kulit onta yang di
samak”
ii. Bermakna Doa, seperti:”Ya tuhan kami,janganlah engkau hokum kami jika
kami lupa{Q>S al-Baqarah / 2:286}”
9
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Faiz el Muttaqin, (Jakarta: Pustaka Amani,
2003). hlm. 289.
10
Firdaus, Ushul Fiqh, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), hal. 139-141
10
iii. Bermakna Irsyad , memberi petunjuk , mengarahkan,seperti:”janganlah kamu
menanyakan{kepada nabimu} hal-hal yang jika diterangkan
kepadamu,{justru}menyusahkanmu{QS. Al-Maidah / 5:101}”
iv. Bermakna Tahqir ,menghina,seperti:”jangan sekali-kali engkau{muhamad}
tujukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah kami
berikan.{QS. Al-Hijr / 15:88}”
v. Bermakna Bayan Al-aqibah ,seperti:” dan jangan sekali-kali kamu mengira
orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati{QS Al-imran / 3.169}
vi. Ta’yis menunjukan putus asa seperti:” janganlah kamu mengemukakan alasn
pada hari ini{QS Al-tahrim / 66:7}”
vii. Tahdid, seperti:”janganlah kamu taati perintahku”
Kaidah Kedua
Kaidah Ketiga
Jadi larangan yang tidak dikaitkan dengan suatu syarat atau sebab. Seperti
waktu atau sebab-sebab lain.maka berate diharuskan meninggalkan yang dilarang
itu sepanjang masa.Namun bila larangan itu dikaitkan dengan waktu , maka
perintah larangan itu berlaku selama ada sebab.misalnya pada kalimat” janganlah
kamu shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk{ QS. An-nisa / 4;43}”
Kaidah keempat
11
Dengan demikian segala perkara yang dilarang berarti tidak diperintahkan
, dan setiap yang tidak diprintahkan berarti tertolak , dan tertolak berarti
batal.{tidak sah. Fasad}hukumnya
187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu;
2. Pembolehan dengan menafikan dosa dari suatu perbuatan. QS. Al-Baqarah :
173
235. Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu.
Ayat tersebut membolehkan meminang wanita yang dalam iddah wafat,
tetapi dengan sindiran bukan terus terang.
11
Satria Effendi. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005). hlm. 194
12
Firdaus, Ushul Fiqh, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), hal. 139-141
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut,
1. Amm adalah suatu perkataan yang memberi pengertian umum dan meliputi
segala sesuatu yang terkandung dalam perkataan itu dengan tidak terbatas,
misalnya al-Insan yang berarti manusia. Perkataan ini mempunyai
pengertian umum. Jadi, semua manusia termasuk dalam tujuan perkataan
ini, sekali mengucapkan lafadz al-insan berarti meliputi jenis manusia
seluruhnya
2. Lafadz Khas ialah lafadz yang dilalahnya berlaku bagi seseorang yang
namanya disebutkan seperti Muhammad atau seseorang yang disebutkan
jenisnya umpamanya seorang lelaki atau beberapa orang tertentu seperti tiga
orang, sepuluh orang, seratus orang, sekelompok orang
3. ‘Amr adalah Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak
yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah
kedudukannya.
4. Nahi adalah Larangan melakukan suatu perbuatam dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya dengan
kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
5. Takhyir dapat diartika, bahwa syari’ (Allah dan Rosul-Nya) memberi
pilihab pada hamba-Nya antara melakukan atau tidak melakukan suatu
perbuatan. Dan hukum takhyir adalah halal atau mubah.
13
DAFTAR PUSTAKA
Ma’sum Zein, Muhammad, Zudbah Ushul Fiqh, (Jawa Timur : Darul Hikmah,
2008.
14