Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PERSOALAN UTAMA YANG DIBICARAKAN DALAM ILMU KALAM

Tugas mata kuliah : Tauhid dan Ilmu Kalam


Dosen pengampu : Dr. Ghufron Hamzah, S.Th.I., M.S.I

Disusun Oleh Kelompok 8 :


Nama: NIM
Muhajjir 22106011266
Isfa Wakhidatus Sa'diyah 22106011168

PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHIS HASYIM SEMARANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala karena telah memberikan


kesempatan pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah
kami dapat menyelesaikan makalah berjudul Persoalan Utama yang dibicarakan dalam Ilmu
Kalam tepat waktu.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Dr. Ghufron Hamzah, S.Th.I., M.S.I., pada
mata kuliah Tauhid dan Ilmu Kalam di Universitas Wahid Hasyim, Semarang. Selain itu,
penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca mengenai
Apa saja Persoalan- persoalan paling Utama yang dibicarakan dalam Ilmu Kalam.
Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dr. Ghufron Hamzah, S.Th.I.,
M.S.I., selaku dosen mata kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni oleh kami. Kami juga mengucapkan
terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................................... i


DaftarIsi ................................................................................................................................. ii

BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................................. iii


1.1. Latar Belakang ........................................................................................................... iii
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................................... iii
1.3. Tujuan Penulisan ....................................................................................................... iii

BAB II : PEMBAHASAN .................................................................................................... iv


2.1. Pelaku Dosa Besar dalam Ilmu Kalam ..................................................................... iv
2.2. Iman dan Kufur dalam Ilmu Kalam........................................................................... iv
2.3. Perbuatan Tuhan dan Manusia ................................................................................... iv
2.4. Kehendak Mutlak dan keadilan Tuhan....................................................................... iv
2.5. Dalil naqli yang menjadi landasan masing-masing aliran.......................................... iv

BAB III : PENUTUP ............................................................................................................. v


3.1. Kesimpulan .................................................................................................................. v
3.2. Saran ............................................................................................................................ v
3.3. Daftar Pustaka ............................................................................................................. v
BAB I : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ilmu kalam merupakan keuilmuan yang membahas tentang teologi. Tentu salah satunya
adalah tentang aliran-aliran yang ada di dalam Islam.Mengingat dalam Islam sendiri memiliki
banyak aliran-aliran yang berdiri dan memiliki berbagai pendapat. Oleh karena itu untuk
mengetahui perbedaan dalam aliran-aliran tersebut. Sangat penting untuk dibahas agar
semakin banyak orang mengetahuinya. Sehingga orang-orang khususnya umat Islam tidak
terpengaruh oleh aliran-aliran yang sesat. Untuk itu akan dibahas tentang perbandingan
aliran-aliran yang ada dalam ilmu kalam.

1.2. Rumusan Masalah


• Bagaimana Pelaku Dosa Besar dalam Ilmu Kalam ?
• Bagaimana Iman dan Kufur dalam Ilmu Kalam ?
• Bagaimana Perbuatan Tuhan dan Manusia dalam Ilmu Kalam ?
• Bagaimana Kehendak Mutlak dan keadilan Tuhan ?
• Bagaimana Dalil naqli yang menjadi landasan masing-masing aliran ?

1.3. Tujuan Penulisan


• Mengetahui Bagaimana Pelaku Dosa Besar dalam Ilmu Kalam.
• Mengetahui Bagaimana Iman dan Kufur dalam Ilmu Kalam.
• Mengetahui Perbuatan Tuhan dan Manusia dalam Ilmu Kalam.
• Mengetahui Kehendak Mutlak dan keadilan Tuhan.
• Mengetahui Dalil naqli yang menjadi landasan masing-masing aliran.
BAB II : PEMBAHASAN
2.1. Pelaku Dosa Besar dalam Ilmu Kalam
A. Menurut khawarij tentang pelaku dosa besar
Ciri yang menonjol dari aliran khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan
persoalan-persoalan kalam. Kaun khawarij umunya terdiri dari orang-orang arab badawi.
sebagai orang badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran islam sebagai
terdapat dalam alquran dan hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan harus dilaksanakan
sepenuhnya. Kaum khawarij memasuki persoalan kufr: siapakah yang kafir dan keluar dari
islam.dan siapakah yang disebut mukmin dan dengan demikian tidak keluar dari, tetapi tetap
dalam, islam. Pendapat tentang siapa yang sebenarnya masih Islam dan siapa yang telah
keluar dari islam dan menjadi kafir serta soal-soal yang bersangkut-paut dengan hal ini tidak
selamanya sama, sehingga timbullah berbagai golongan dalam kalangan khawarij.
1. Al-muhakkimah
Golongan ini adalah golongan asli pengikut-pengikut asli yang memisahkan diri
dan yang menganggap bahwa semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan
menjadi kafir. Orang yang melakukan hal yang keji seperti membunuh, memperkosa
dsb, menurut faham mereka orang yang melakukan itu dianggap keluar dari Islam dan
menjadi kafir.
2. Al-azaqirah
Subsekte tentang pelaku dosa golonagan ini menggunakan istilah yang lebih
mengerikan dari pada kafir yaitu polytheist atau musyrik. Dan di dalam Islam syirik
atau polytheist merupakan dosa yang terbesar, lebih dari-kufr.
3. Al-Najdat
Mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar menjadi kafir dan kekal di dalam
neraka hanyalah orang Islam yang tidak sefaham dengan golongannya. Adapun
pengikutnya, jika mengerjakan dosa besar tetap mendapatkan siksaan di neraka, tetapi
pada akhirnya akan masuk surga juga. Dosa kecil baginya akan menjadi dosa besar,
kalau dikerjakan terus-menerus dan yang mengerjakannya sendiri menjadi musyrik.
4. Al-Sufriah
Subsekte Al-Sufriah membagi dosa besar dalam dua bagian, yaitu dosa yang ada
sanksinya di dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tidak ada sanksinya
di dunia, seperti meninggalkan shalat dan puasa. Orang yang berbuat dosa kategori
pertama tidak dipandang kafir, sedangkan orang yang melaksanakan dosa kategori
kedua dipandang kafir.
5. Al-Ibadah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan
Khawarij. Menurut mereka orang islam yang tidak sefaham dengan mereka
bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik, tetai kafir. Sedangkan orang islam yang
berbuat dosa besar adalah muwahhid, yang meng-Esa-kan Tuhan, tetapi bukian
mukmin dan kalaupun kafir hanya merupakan kafir al-ni mah dan bukan kafir al-
millah, yaitu kafir agama. Dengan kata lain, mengerjakan dosa besar tidak membuat
orang ke luar dari Islam.
B. Menurut Murji’ah tentang pelaku dosa besar
Pandangan aliran murji’ah tentang status pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari
defimisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Tiap-tiap sekte murji’ah berbeda pendapat
dalam merumuskan definisi iman itu sehingga pandangan tiap-tiap subsekte tentang status
pelaku dosa besar pun berbeda-beda-pula.
Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi bahan
perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum khawarij menjatuhkan hukum kafir
bagi orang berbuat dosa besar, kaum murji’ah menjatuhkan hukum mukmin bagi orang yang
serupa itu. Adapun soal dosa besar yang mereka buat, itu ditunda (arja’a) penyelesaiannya
kehari perhitungan kelak. Argumentasi yang mereka majukan dalam hal ini ialah bahwa
orang Islam yang berdosa besar itu tetap mengucapkan kedua syahadat yang menjadi dasar
utama dari iman. Oleh karena itu orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini, tetap-
mukmin,dan-bukan-kafir.
Arja’a selanjutnya, juga mengandung arti memberi pengharapan. Orang yang berpendapat
bahwa orang islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi tetap mukmin dan tidak
akan kekal dalam neraka, memang memberi pengharapan bagi yang berbuat dosa besar
untuk mendapat rahmat Allah. Pada umumnya kaum murji’ah dapat dibagi dalam dua
golongan besar, golongan moderat dan golongan ekstrim Golongan moderat berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan
dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada
kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk
neraka sama sekali.
Dalam golongan Murji’ah moderat ini termasuk al-Hasan Ibn ’Ali Ibn Abi Talib, Abu
Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli HadisDi antara golongan ekstrim yang dimaksud ialah
al-Jahmiah, pengikut-pengikut Jahm Ibn Safwan. Menurut golongan ini orang Islam yang
percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir
, karena iman dan kufr tempatnya hanyalah dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh
manusia. Bahkan orang demikian juga tidak menjadi kafir, sungguhpun ia menyembah
berhala, menjalankan ajaran–ajaran agama Yahudi atau agama Kristen dengan menyembah
salib, menyatakan percaya kepada trinity, dan kemudian mati.
Orang yang demikian bagi Allah tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna
imannya. Golongan ini berpendapat bahwa, jika seseorang mati dalam iman, dosa-dosa dan
perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakannya tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan.
Karena itu perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusakkan iman seseorang, dan
sebaliknya pula perbuatan baik tidak akan merubah kedudukan seseorang musyrik atau
politheist.
C. Menurut Mu’tazilah Tentang Pelaku Dosa Besar
Kemunculan aliran Mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam diawali oleh masalah yang
hampir sama dengan Khawarij dan Murji’ah, yaitu mengenai status dosa besar; apakah masih
beriman atau telah menjadi kafir. Perbedaanya, bila Khawarij mengafirkan pelaku dosa besar
dan Murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan status
dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali
dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu al-manzilah bain almanzilataini. Setiap pelaku
dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada di posisi tengah di antara posisi mukmin dan kafir.
Posisi menengah bagi berbuat dosa besar, juga erat hubungannya dengan keadilan tuhan.
Pembuat dosa besar bukanlah kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi
Muhammad; tetapi bukanlah mukmin, karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan
mukmin, ia tidak dapat masuk surga, dan karena bukan kafir pula, ia sebenarnya tidak mesti
masuk neraka. Ia seharusnya ditempatkan di luar surga dan di luar neraka. Tetapi karena di
akhirat tidak ada tempat selain dari surga dan neraka, maka pembuat dosa harus dimasukan
ke dalam salah satu tempat ini. Penentuan tempat itu banyak hubungannya dengan faham
Mu’tazilah tentang iman. Iman bagi mereka, digambarkan, bukan hanya oleh pengakuan dan
ucapan lisan, tetapi juga oleh perbuatan-perbuatan. Dengan demikian pembuat dosa besar
tidak beriman dan oleh karena itu tidak dapat masuk surga.
Tempat satu-satunya ialah neraka. Dosa besar menurut pandangan Mu’tazilah adalah
segala perbuatan yng ancamannya disebutkan secara tegas dalam nas, sedangkan dosa kecil
adalah sebaliknya, yaitu segala ketidakpatuhan yang ancamannya tidak tegas dalam nas.
Tampaknya Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kreteria dasar bagi dosa besar maupun
kecil.
D. Menurut Asyariyah Tentang Pelaku Dosa Besar
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari, sebagai wakil Ahl As-Sunnah, tidak
mengafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah (ahl-Qiblah) walaupun melakukan dosa
besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang
beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Adapun balasan
di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat
bertobat, maka menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha
Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu
mendapaat syafaat Nabi SAW. Sehingga terbebas dari siksaan neraka atau kebalikannya,
yaitu tuhan memberikan siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya.
Meskipun begitu, ia tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir.
E. Menurut Maturidiyah Tentang Pelaku Dosa Besar
Mengenai soal dosa besar al-Maturidi sefaham dengan al-Asy’ari yaitu: bahwa orang yang
berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak
diakhirat. Ia pun menolak faham posisi menengah kaum Mu’tazilah. Al-Maturidi berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar itu tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia
mati sebelim bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan
kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balsan bagi
orang yang berbuat dosa syirik. Karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah
menjadikan seseorang kafir atau murtad. Aliran Maturidyah terdapat dua golongan, yaitu
golongan Samarkand dan golongan Bukhara. Aliran maturidyah adalah teologi yang banyak
dianut oleh umat Islam yang memakai mazhab Hanafi.
F. Menurut Syiah Zaidiyah Tentang Pelaku Dosa Besar
Penganut Syi’ah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal
dalam neraka, jika dia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah
Zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan aneh mengingat Wasil bin Atha, salah
seorang pemimpin Mu’tazilah, mempunyai hubungan dekat dengan Zaid. Moojan Momen
bahkan mengatakan bahwa Zaid pernah belajar kepada Wasil bin Atha. Selain itu, secara etis
mereka boleh dikatakan anti-Murjiah.

2.2. Iman dan Kufur dalam Ilmu Kalam


Agenda persoalan yang pertama timbul dalam teologi Islam masalah iman dan kufur.
Persoalan itu dimunculkan pertamakali oleh kaum Khawarij yang mengecap kafir sejumlah
tokoh sahabat Nabi saw. Yang dipandang telah melakukan dosa besar, yaitu Ali bin Abi
Thalib, Mu’awiyah bin Abu sufyan, Abu Musa Al-Asy’ari, Amr bin Al-Ash, Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah istri Rasulullah saw 1
A. Aliran Khawarij
Kaum Khawarij adalah kaum pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar dari barisan Ali,
karena tidak setuju dengan kebijaksanaan Ali bin Abi Thalib yang menerima tahkim /
arbitrase judge between parties to a dispute. Dari persoalan politik, kemudian kaum khawarij
memasuki juga persoalan teologi Islam. Menurut golongan Khawarij al-Muhakkimah, Ali,
Mu’awiyah, kedua pengantara Amr ibn al-‘Ash dan Abu Musa al-‘Asy’ari adalah kafir.
Iman menurut kaum Khawarij bukan merupakan pengakuan dalam hati dan ucapan
dengan lisan saja, akan tetapi amal ibadah menjadi rukun iman saja. Menurut kaum Khawarij,
orang yang tidak melakukan shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya yang diwajibkan oleh
Islam, maka termasuk kafir. Jadi apabila sekarang mukmin melakukan dosa besar mapun
kecil, maka orang itu termasuk kafir dan wajib diperangi serta boleh di bunuh. Harta
bendanya boleh dirampas menjadi harta ghonimah.
B. Aliran Murji’ah
Iman menurut Murji’ah adalah terletak pada tashdiq qolbu, adapun ucapan dan perbuatan
tiadak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam qolbu. Menurut sub sekte Murji’ah
yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu.
Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama
tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna
dalam pandangan Tuhan. Sementara yang dimaksud Murji’ah moderat adalah mereka yang
berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia
tidak kekal didalamnya bergantung pada dosa yang dilakukannya. Dalam menetapkan kafir
dan dosa besar, kalau paham Khawarij mengatakan bahwa orang mukmin yang melakukan
dosa besar dia sudah dianggap kafir, sedangkan paham Murji’ah lebih bersikap positif.
Artinya, sesuai dengan sebutan nama mereka arja’a, mereka lebih cenderung menyerahkan
saja kepada Tuhan soal pelaku dosa besar.
C. Muta’zilaz
Menurut paham mu’tazilah Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan
dibuktikan dengan perbuatan konsep ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman, karena

1 Alkendra, Pemikiran Kalam, (Bandung: Kalam Pena, 2000), hlm.129.


itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut pula olah
Khawarij. Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-
Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya
iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman
mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Kaum
Mu’tazilah juga berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati
sebelum taubat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasik.
D. Asy’ariyah
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh syahrastani, iman secara esensial adalah tasdiq bil al
janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qaul dengan lisan dan melakukan berbagai
kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’(cabang-cabang) iman. Oleh sebab
itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya dan juga membenarkan
utusan-utusan nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya, iman secara ini merupakan sahih.
Keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.
Kaum Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah
memaksakan paham khalq Alquran – banyak membicarakan persoalan iman dan kufur.
Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal.
Manusia dapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat
mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan
manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka
adalah tashdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tazilah tapi dekat
dengan kaum Jabariyah. Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang
mengandung ma’rifah terhadap Allah
E. Maturidiyah
Dalam aliran Maturidiyah terdiri atas dua kelompok, yaitu kelompok Samarkhand, dan
kelompok Bukhara. Maturidiyah golongan Samarkand dalam masalah iman, aliran Matur
idiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata
iqrar bi al-lisan. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal
bila hati tidak mengakui ucapan lidah. Al-Maturidi tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya,
tashdiq, seperti yang dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari
ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih
lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260. Pada
surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk
memperlihatkan bukti dengan Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan
bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-
maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan
agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi, menurut
Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian,ma’r ifah
menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman.
Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-
Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan
rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud dengan
tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal.
Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan As y’ar iyah, yaitu sama-sama
menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan
yang berbeda2

2.3. Perbuatan Tuhan dan Manusia


A. Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan.
Perbuatan di sini dipandang sebagai kinsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan
untuk melakukannya3.
1. Aliaran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpandapat bahwa
perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti
bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk karena Ia mengetahui keburukan dari
perbuatan buruk itu. Didalam Al-Qur’an pun jelas dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berbuat
zalim . Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadiakn dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukung
pendapatnya di atas adalah surat Al-Anbiya:23 dan Ar-Rum:8.
َ‫ع َّما َي ْف َع ُل َوهُ ْم يُسْـَٔلُ ْون‬
َ ‫َل يُسْـَٔ ُل‬
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya”.
‫ئ َربِ ِه ْم‬ ِ ‫اس بِ ِلقَ ۤا‬ ِ ‫ض َو َما بَ ْينَ ُه َما ا َِّل بِ ْال َح‬
ِ َّ‫ق َواَ َجل ُّم َس ًّم ۗى َواِنَّ َكثِي ًْرا مِ نَ الن‬ َ ْ ‫ت َو‬
َ ْ‫الر‬ ُ ٰ َ‫ي اَ ْنفُسِ ِه ْم ۗ َما َخلَق‬
ِ ‫ّللا السَّمٰ ٰو‬ ْ ِ‫اَ َولَ ْم يَتَفَ َّك ُر ْوا ف‬
َ‫لَ ٰكف ُِر ْون‬
“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak
menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan)
yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara
manusia benar-benar mengingkari pertemuan dengan Tuhannya”.
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan Mahasuci dari
perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya. Ia menambahkan bahwa
seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa
ia melakukan perbuatan baik itu. Adapun ayat yang kedua mengandung petunjuk bahwa tidak
pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Dengan faham adanya batasan-
batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan, mendorong kelompok mu’tazilah untuk
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia . Aliran Mu’tazilah
memunculkan faham kewajiban Allah berikut ini:
a) Kewajiban Tidak Memberikan Beban di Luar Kemampuan Manusia
Memberi beban di luar kemampuan manusia adalah bertentangan dengan faham
berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan

2 Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm.49.

3 Abdul Rozak dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm.97.
Tuhan.Tuhan akan bersifat tidak adil kalau Ia memberi beban yang terlalu berat
kepada manusia.
b) Kewajiban Mengirinkan Rasul
Bagi Aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal
gaib, pengiriman rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan
pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan.
c) Kewajiban Menepati Janji dan Ancaman
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran
Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannyadenga dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan
akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang
yang berbuat baik, dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat.
Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman
bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati
jajni dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
2. Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran Asy’ariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi
manusia. Aliran Asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan
dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk. Sebagaimana dikatakan Al-Ghazali,
perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (jaiz) dan tidak satu pun darinya yang
mempunyai sifat wajib .
Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tak
mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ariyah menerima faham pemberian beban di luar
kemampuan manusia. Al-Asy’ari sendiri, dengan tegas mengatakan dalam Al-Luma, bahwa
Tuhan dapat meletakkan beban yang dapat dipikul pada manusia.
3. Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah
Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliaran Maturidiyah Samarkand, yang juga
memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpendapat bahwa
perbuatan Tuhan perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan
demikian, Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga
pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama denagan Asy’ariyah
mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban, Namun, sebaigaimana dijelaskan
oleh Badzawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang
berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa
besa. Adapun pandanagn Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan
faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tdaklah bersifat wajib dan
hanya bersifat mungkin saja.
B. Perbuatan Manusia
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh
kelompok Jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang kemudian dilanjutkan dengan
pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Akar dari masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta
alam semesta, teermasuk di dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Mahakuasadan
mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Dari sini timbulah pertanyaan, sampai di
manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan
dalam mengatur hidupnya oleh Tuhan, atau apakah manusia terikat seluruhnya pada
kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan.
1. Aliran Jabariyah
Ada perbedaan pandangan antara jabariyah ekstrim dan jabariyah moderat dalam masalah
perbuatan manusia. Jabariyah ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan
merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang
dipaksakan atas dirinya. Adapun jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan
perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyi
peranan di dalamnya.
2. Aliran Qadariyah
. Aliran Qadariyah mengtakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatannya atas kehendaknya sendiri, bagi berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu,
ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula
memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seseorang
diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhiat, semua itu berdasarkan pilihan
pribainya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia meneerima
siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukann atas keinginan dan kemampuannya
sendiri. Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyadarkan segala
perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan
dalam doktrin Islam sendiri.
3. Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Manusia
sendirilah yang berbuat baik dan buruk. Kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan
adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Perbuatan manusia bukanlah diciptakan
Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya.
Mu’tazilah denagn tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang
terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi, Tuhan tidak dilibatkan
dalam perbutan manusia. Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa
Tuhanlah yang menciptakan perbuatan.
Semua perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan adalah baik. Denagn demikian,
perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena diantara perbuatan manusia terdapat
perbuatan jahat. Dalil ini dikemukakan untuk mempertegas bahwa manusia akan mendapat
balasan atas perbuatnnya. Sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan, balasan dari
Tuhan tidak akan ada artinya.
4. Aliran Asy’ariyah
Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia ibaratkan anak
kecil yang tida memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat
denagn faham jabariyah dariada dengan faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar
pijakannya, Asy’ari memakai teori al-kasb. Teori al-kasb Asy’ari dapat dijelaskan sebagai
berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantara daya yang diciptakan, sehingga menjadi
perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan. Sebagai
konsekuensinya teori ini, manusia kehilangan keaktifan, sehingga manusia bersikap pasif
dalam perbuatannya.
5. Aliran Maturidiyah
Ada perbedaan antara Maturidiyyah Samarkand dan Maturidyah Bikhara mengenai
perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham mu’tazilah, sedangkan
kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariyah. Kehendak dan daya berbuat pada diri
manusia, menurut Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti
sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. . Perbedaan dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya
untuk bebuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Oleh
karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam mu’tazilah.
Maturidiyah Bukhara dalam banyak hal seperdapat dengan Maturidiyah Samarkand.
Hanya saja golongan ini membeerikan tambahan dalam masalah daya. Menurutnya, untuk
perbuatan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan
perbuatan, hanya Tuuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan
perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.

2.4. Kehendak Mutlak dan keadilan Tuhan


A. Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak mutlak lagi.
Ketidakmutlakan kekuasaan Tuhan itu disebabkan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan
terhadap manusia serta adanya hukum alam (sunatullah) yang menurut Al-Qur’an tidak
pernah berubah. Oleh sebab itu, dalam Mu’tazilah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
berlaku dalam jalur hukum-hukum yang tersebar di tengah alam semesta.
Dalam pemahaman Mu’tazilah, Tuhan tidaklah memperlakukan kehendak dan kekuasaan-
Nya secara mutlak, tetapi sudah terbatas. Selanjutnya, aliran Mu’tazilah mengatakan,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Abd Al-jabbar, bahwa keadilan Tuhan mengandung arti
Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk, tidak melalaikan kewajiban-kewajiban-
Nya kepada manusia, dan segala perbuatan-Nya adalah baik.
Ayat-ayat Al-Qur’an dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah adalah
ayat 47 surat Al-Anbiya [21], ayat 54 surat Yasin [36],ayat 46 surat Fushshilat [41],ayat 40
surat An-Nisa [4], dan ayat 49 surat Kahfi [18]. Keadilan Tuhan menurut konsep Mu’tazilah
merupakan titik tolak dalam pemikirannya tentang kehendak mutlak Tuhan. Keadilan Tuhan
terletak pada keharusan adanya tujuan dan perbuatan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, yaitu
kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi makhluk dan memberi kebebasan kepada manusia.
Adapun kehendak mutlak-Nya dibatasi oleh keadilan Tuhan itu sendiri.
B. Aliran Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah, kaum ini percaya padakemutlakan kekuassaan Tuhan, berpendapat
bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untu berbuat
sesuatu samata-mata adalah kekuasaan dan kehendak mutlakNya dan bukan karena
kepentingan mnusia atau tujuan yang lain 4. Mereka mengartikan keadilan dengan
menempatkan seuatu pada tempatnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta
yang dimiliki serta mempergunakan sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian,
keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan punya kekuasaan mutlak terhadap makhluk-
Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Tuhan meberi pahala kepada hamba-Nya atau
memberi siksa dengan sekehendak hati-Nya, dan itu semuu adalah adil bagi Tuhan. Justru
tidaklah adil jika Tuhan tidak dapat berkehendak sesuai dengan kehendak hati-Nya karea Dia
adalh penuasa mutlak. Sekianya Tuhan menghendaki semua makhluk-Nya masuk kedalam
surga atau pun neraka, itu adalah adil karena Tuhan berbuat dan membuat hukum menurut
kehendak-Nya.
Alira Asy’ariyah, yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manusia
tidak mempunyai kebebasan atas kehendak dan perbuatannya, mengemukakan bahwa
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan haruslah berlaku semutlak-mutlaknya. Al-Asy’ari
sendiri menjelaskan bahawa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun dan tidak satu dzat lain
diatass Tuhan yang dapat membuat hukum serta menentukan apa yang boleh dibuat dan apa
yang tidak boleh dibuat Tuhan. Malah lebih jauh dikatakan oleh Al-Asy’ari, kalau memang
Tuhan menginginkan, ia dapat saja meletakkan beban yang tak terpikul oleh manusia.
Ayat-ayat tersebut difahami Asy’ari sebagai peernyataan tentang kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan. Kehendak Tuhan mesti berlaku. Bila kehendak Tuhan tidak berlaku, itu berarti
Tuhan lupa, lalai, dan lemah untuk melaksanakan kehendak-Nya itu, sedangkan sifat lupa,
lalai, apalagi lemah, adalah sifat muchal (mustahil) bagi Allah. Oleh sebab itu, kehendak
tuhan tersebutlah yang berlaku, bukan kehendak yang lain. Manusia berkehendak setelaah
Tuhan sendiri menghendaki agar manusia berkehendak. Tanpa dikehenaki oleh Tuhan,
manusia tidak akan berkehendak apa-apa. Ini berarti kehendak da kekuasaan Tuhan berlaku
seemutlak-mutlaknya dan sepenuh-penuhnya. Tanpa makna itu, kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan tidak memiliki arti apa-apa.
Karena menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, aliran Asy’ariyah memberi
makna keadilan Tuhan dengan pemaham bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak
terhadap mkhluk-Nya dan dapat berbuat skehendak hati-Nya. Degan demikian, ketidak adilan
difahami dalam arti Tuhan tidak dapat berbua skehendak hati-Nya terhadap makhluk-Nya.
Atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil, bila yang difahami Tuhan tidak lagi berkuasa
mutlak terhadap milik-Nya. Dari uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa keadilan
Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada kehendak mutak-Nya.
C. Aliran Maturidiyah
Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan, aliran ini terpisah menjadi dua,
yaitu Maturadiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Pemisahan ini disebabkan
perbedaan keduanya dalam menentukan porsi penggunaan akal dan pemberian batas terhadap
kekuasaan mutlak Tuhan.

4 Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam:Pemikiran Kalam, (Jakarta: Perkasa, 1990), hlm.80.
Kehendak mutlak menurut Maturadiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan
adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk
berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiba-Nya tehadap manusia. Oleh
karena itu, Tuhan tidak akan meberi beban yang terlalu berat kepada manusia dan tidak
sewenwng-wenang dalam memberikan hukum karena Tuhan tidak brbuat dzalim. Tuhan akn
meberikan upah atau hukuman kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.
Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasan mutlak. Tuhan
berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menetukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat
menetang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Lebih jauh lagi,
Maturidiyah Bukhara berpendat bahwa ketidakadilan Tuhan haruslah difahami dalam konteks
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas, Al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan
tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos,
Tuhan berbuat sekehendak-Nya sendiri. Ini berarti, bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk
kepentingan manusia atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan untuk
kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.

2.5. Dalil naqli yang menjadi landasan masing-masing aliran


A. Aliran Murji’ah
Pengikut Murji’ah berusaha mencari dalil-dalil yang yang dapat membantu dalam
membenarkan pemikiran mereka dengan menggunakan nash-nash yang syubhat dan telah
keluar dari tujuan nash sebenarnya, mereka menggunakan Al qur’an dan As sunnah An
nabawiyah serta berdalih bahwa dari sekian banyak dalil-dalil yang di gunakan, semuanya
berkaitan serta membenarkan pemikiran-pemikiran mereka, yang hakekatnya penuh dengan
kesesatan5. Dalil yang digunakan murji’ah adalah sebagai berikut Dari Al qur’anul Karim,
mereka berdalil melalui perkataan Allah U : Qs. An Nisa’: 48, Qs. Az Zumar: 53, Qs. Al
Mujadilah: 22, Qs. An Nahl:106
B. Aliran Khawarij
Kaum Khawarij menganggap bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang
terdapat pada Q.S An.Nisa’ 4; 100. Yang merujuk pada seseorang yang keluar dari rumahnya
untuk hijrah dijalan Allah SWT dan Rasulnya. Selanjutnya kaum Khawarij menyebut
kelompoknya sebagai Syurah yang berasal dari kata yasyri (menjual), yakni menjual diri
untuk memperoleh ridha Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S Al-Baqarah 2:
2076.
C. Aliran Muktazilah
Nash-nash Al-Qur’an yang dijadikan pegangan oleh kaum Muktazilah dalam Al-Qur’an,
antara lain sebagai berikut: Al-Qur’an surah al-Baqarah; 30, Al-Qur’an Surah Hud, Al-

5 https://sevensweet.wordpress.com/2010/04/29/murjiah/ diakses pada tanggal 30-9-2023 pukul 10.51


6 Usman dkk, Akidah Akhlak, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2015). Hlm.24.
Qur’an Surah al-Taubah; 6, Al-Qur’an Surah al-Dukhan; 3, Al-Qur’an Surah Al-Baqarah:
1067.

7 Muhammad al-Razi Fakhr al-Din ibn al-Allamah Dliya’ al-Din, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990),
hlm.85.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah dibahas di atas dapat diketahui terdapat beberapa aliran
yang ada dalam Islam. Tentu aliran-aliran tersebut memiliki pandangan berbeda dan
mempunyai dalil-dalil tersendiri. Sehingga mereka memiliki pendapat masing-masing dan
mempunyai keyakinan untuk mempertahankan aliran-aliran mereka hingga kini.

3.2. Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan manaat bagi penyusun
khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah kami.

3.3. Daftar Pustaka


Alkendra, Pemikiran Kalam, (Bandung: Kalam Pena, 2000), hlm.129.
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm.49.
Abdul Rozak dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm.97.
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam:Pemikiran Kalam, (Jakarta: Perkasa, 1990), hlm.80.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejaarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI
Press, 1997), hlm.118.
https://sevensweet.wordpress.com/2010/04/29/murjiah/ diakses pada tanggal 7-6-2021
pukul 13.18
Usman dkk, Akidah Akhlak, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2015).
hlm.24.
Muhammad al-Razi Fakhr al-Din ibn al-Allamah Dliya’ al-Din, Mafatih al-Ghaib, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1990), hlm.85.

Anda mungkin juga menyukai