Disusun oleh:
M. Gilang M.W. Sabdokafi : 221240001248
Indra Juliawan : 221240001253
Muhammad Daniel Maula : 221240001252
Naufal Naazhir Arkaan : 221240001255
Yopa Arian Widodo : 221240001256
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kesehatan dan kemudahan dalam pembuatan makalah ini sehingaa kami
dapat menyelesaikan makalah tepat pada waktu tanpa halangan yang berarti.
Ada pun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas
makalah mata kuliah Ilmu Budaya Dasar tentang Manusia dan Keadilan. Selain itu juga
sebagai media untuk berbagi dan menambah wawasan bagi pembaca maupun kami
sendiri.
Penyusunan makalah ini telah dilakukan oleh para kami dengan maksimal. Oleh
karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Bp. Syamsul Ma’arif, S.H.I., M.S.I.
selaku dosen mata kuliah Aswaj yang telah memberi tugas ini kepada kami.
Namun kami juga meyakini masih banyak yang perlu diperbaiki dalam
penyusunan makalah ini. Oleh karena itu kami berharap bisa mendapat kritik dan
masukan guna memperbaiki hal tersebut di masa yang akan datang.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Melihat bagaimana saudara kita telah kehilangan istiqomah dalam bersikap dan
berpendirian, bagaimana kontradiksi telah menguasai pendapat-pendapat mereka.
Hanya karena perbedaan keyakinan dan manhaj, mereka langsung dicap musyrik atau
kafir. Padahal imam asy-Syaukani menegaskan “Ketahuilah, sesungguhnya
menghukumi seorang muslim telah keluar dari agama Islam itu tidak layak dilakukan
oleh seorang muslimyang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir, kecuali
dengan dalil yang lebih terang daripada matahari siang”.
1
1.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimana konsep takfiri menurut Aswaja?
2. Apa yang dimaksud sebagai takfiri?
3. Apa saja bentuk dari takfiri?
4. Syarat-Syarat Takfir
5. Bagaimana larangan takfiri diantara sesama muslim?
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
Menurut Ahlulssunnah wal Jama’ah pelaku dosa besar bukanlah kafir, namun
dia adalah seorang muslim yang berkurang imannya, dan di akhirat dia di bawah
kehendak Allah, jika Allah berkehendak mengampuni, maka Allah akan
mengampuninya, jika Allah berkehendak mengazabnya maka itu untuk menggugurkan
dosa-dosanya dan setelah bersih akan dimasukkan ke surga.
“Sesungguhnya bab menngkafirkan atau tidak adalah bab yang mrnimbulkaan fitnah
dan ujian yang besar, didalamnya banyak terjadi perpecahan, dan perbedaan pendapat,
dalil-dalil mereka saling bertentangan… kelompok murjiah megatakan: “ksmi tidak
mengkafirkan siapapun dari ahli kiblat”. Kelompok ini menafikan takfir secara umum,
3
padahal di antara ahli kiblat juga ada yang munafik, yang mana kemunafikannya lebih
kufur dari yahudi dan nasrani… dan tidak ada perbedaan pendapat diantara kaumm
muslimin bahwa jika seseorang menampakkan pegingkaran terhadap kewajiban yang
jelas dan mutawatir, atau mengingkari keharaman yang jelas dan mmutawatir, atau
semisalnya maka dia diminta taubatnya jika dia tidak taubat, maka dihukum bunuh
sebagai orang kafir murtad… dan kelompok Khawarij megatakan: kami kafirkan setiap
orang islam yang melakukan dosa besar. Kelompok mu’tazillah megatakan pelaku dosa
besar keluar dari iman tapi tidak masuk dalam kekafiran, yaitu dalam manzilah baina
manzilantain. Ucapan mu’tazilah bahwa pelaku dosa besar keluar dari iman
berkonsekuansi bahwa mereka berada kekal di neraka.
4
َأْو قَـْتِل نَـْفٍس ِبَغْيِر َح ٍّق فَـُقِتَلِبه, َأْو اْر ِتَداٍد بَـْع َد ِإْس َال ٍم, ِزًنا بَـْع َد ِإْح َص اٍن, َال َيِح ُّل َد ُم اْم ِر ٍئ ُم ْس ِلٍم ِإَّال ِبِإْح َدى َثَال ٍث
“Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena tiga hal, yaitu: zina mushan, murtad
sesudah Islam, atau membunuh tanpa hak, maka dia harus dibunuh”.
5
b. Ada kesesuaian hukum terhadap perilaku yang dinyatakan sebagai kafir
dengan indikasi bahwa dia tahu terhadap apa yang dilakukanya, ada
kesengajaan untuk melakukan dan dia bebas melakukannya (tidak
terpaksa). Sebaliknya, jika dijumpai padanya penghalang untuk dapat
dinyatakan kafir, seperti orang bodoh atau tersalah atau melakukan
ta’wil al-muktabar maka dia tidak dapat dinyatakan sebagai kafir.
Dengan demikian maka tidak boleh menuduh seseorang dengan
kekafiran kecuali setelah nyata hujjah yang dapat ditegakkan kepadanya
sangat jelas kekafiran yang dilakukannya.
2.4 Syarat-Syarat Takfir
Syarat Takfir adalah sesuatu yang keberadaan hukum takfir tersebut tergantung
pada keberadaannya, yang tidak wajib dari keberadaan adanya hukum, namun harus
dari ketidakadaan hukum takfir atau kesalahannya. Adapun syarat-syaratnya adalah
sebagai berikut:
a. Syurut fi al-Fa'il
Syurut fi al-fail (syarat-syarat pada pelaku) ialah bahwa pelaku takfir harus
memenuhi tiga kriteria berikut: pertama, mukallaf, yaitu pelaku tersebut telah baligh
atau dewasa dan berakal; kedua, muta ammidan qaasidan, yaitu perbuatan tersebut
disengaja dan pelaku tersebut benar-benar bermaksud melakukannya; ketiga, muhtaran
lahu, yaitu perbuatan tersebut benar-benar dipilih dan dilakukan atas keinginan pelaku.
b. Syurut fi al-Fi'li
Syurut fi al-fi'li (syarat-syarat dalam bentuk perbuatan) adalah sebab adanya
hukum dan 'illat (alasan). Pertama, sharih dilalah, yaitu perbuatan atau ucapan dari
pelaku yang mukallaf telah jelas dilalah-nya terhadap kekafiran. Kedua, ad-dalil assyar'i
al-mukaffir, artinya dalil syar'i dari al- Quran dan Hadis yang telah jelas mengkafirkan
perbuatan atau ucapan tersebut.
c. Syurut fi Isbath
6
Syurut fi isbath yakni syarat-syarat dalam pembuktian terhadap ucapan atau
perbuatan mukallaf harus memenuhi beberapa kriteria dalam syurut fi isbath, yaitu
dengan membuktikannya dengan cara syar'i, bukan dengan dugaan dan prasangka,
mengira-kira dan keraguan. Pembuktian tersebut antara lain: pertama, bi al-ifrad wa al-
i'tiraf, yaitu dengan pengakuan pelaku atas ucapan atau perbuatan tersebut. Kedua, bi al-
bayyinah, yaitu dengan bukti atau berupa kesaksian dari dua orang laki-laki yang adil.
“Takfiri adalah hak Allah, maka kita tidak boleh mengkafirkan seorang manusia pun,
kecuali Allah dan Rasulnya yang telah mengkafirkannya. Dan jika ada orang yang
mengkafirkan kita maka kita jangan membalas dengan mengkafirkannya. Maka jika
seseorang menuduhkan kebohongan terhadap orang lain, atau menuduh berzina dengan
keluarganya, maka kita tidak boleh membalasnya dengan menuduh dia pembohong,
atau telah berzina dengan keluarganya, karena sesungguhnya menuduh kebohongan dan
zina itu adalah haram hukumnya, karena hal itu adalah hak Allah. Demikian juga sikap
Takfiri adalah hak Allah, maka jangan kita mengkafirkan orang lain selain dari yang
sudah dikafirkan oleh Allah dan Rasulnya”.
Hal ini sejalan dengan firman Allah pada QS an-Nisa‘, ayat 92 – 94.
7
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dalam masalah takfir ada dua kutub yang berseberangan ada yang ekstrem
kanan dan ada ekstrem kiri, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah kelompok moderat
(pertengahan), tidak ekstrem kanan dan tidak ekstrem kiri, termasuk dalam pembahasan
takfir ini. Ahlus sunnah tidak menolak takfir secara mutlak dan tidak pula menerima
secara mutlak. Akan tetapi mereka memerinci permasalahan sehingga menempatkan
sesuatu pada tempatnya. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah tidak mudah dalam
mengkafirkan namun juga tidak diam terhadap kekafiran.
3.2 Saran
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, maka
dari itu kami senantiasa mengharapkan kontribusi para pembaca untuk ikut mengoreksi
materi-materi dalam makalah ini agar menjadi lebih baik. Demikian makalah ini kami
buat, semoga dapat dijadikan bahan bacaan yang bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
8
DAFTAR PUSTAKA