Disusun Oleh :
Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala rahmat-Nya sehingga kami
dapat menyusun makalah ini sampai selesai dengan lancar. Sholawat serta salam
kepada Nabi Muhammad SAW. Yang kita nantikan syafa’atnya dihari akhir kelak.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dan ikut menyumbangkan ide baiknya sehingga pengerjaan makalah
menjadi lancar. Kami selaku penulis berharap makalah ini dapat menjadi wawasan
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam merupakan agama terbesar, penyempurna agama-agama sebelumnya,
dan Islam adalah rahmat, serta islam merupakan manifestasi dari sifat rahmat dan
rahim Allah. Akidah merupakan sesuatu yang amat penting dalam Islam diyakini
oleh kalbu, dan diterima oleh akal, sehingga menjadi pembenaran (keyakinan) yang
bulat, sesuai dengan realitas (yang diimani), dan bersumber dari dalil. Akan tetapi
tak sedikit manusia yang tidak meyakini Islam (tidak memeluk agama Islam), dan
ia dinyatakan seorang kafir secara pasti.
Hal tersebut menimbulkan polemik, banyak yang setuju, namun ada juga
kelompok yang menunjukkan sikap tidak sepakat dengan keputusan itu.
Diantaranya Forum Umat Islam ( FUM ) yang menilai bahwa rekomendasi tersebut
dinilai hoax.
1
1.2 Rumusan Masalah
Untuk mempermudah dalam penyusunan makalah, dapat lami rumuskan
permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut:
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Orang Kafir
Kafir dari segi bahasa mengandung arti: menutupi. Malam disebut “kafir”,
karena ia menutupi siang atau menutupi benda-benda dengan kegelapan. Awan juga
disebut “kafir” karena ia menutupi matahari. Demikian pula petani yang terkadang
juga disebut “kafir” karena ia menutupi benih dengana tanah. Secara istilah, para
ulama tidak sepakat dalam menetapkan batasan kafir sebagaimana berbeda
pendapat dengan batasan iman. Iman dapat diartikan “pembenaran” (al-tasdiq)
terhadap Rasulullah SAW. Berikut ajaran yang dibawanya, maka kafir diartikan
dengan “pendusta’ (al-takhdib) terhadap ajaran-ajaran beliau. Jadi, orang kafir ialah
orang yang mengingkari ajaran Islam yang seharusnya dia imani.
Dalam Al-Qu’an kata kafir disebut sebanyak 525 kali dan mengacu kepada
perbuatan manusia yang berhubungan dengan Tuhan. Kafir merupakan istilah
untuk mereka yang menolak kebenaran Islam, dan istilah tersebut telah tercantum
di dalam al-Qur’an, umat Islam yakin bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah yang
tidak ada keraguan padanya sehingga NU tidak mungkin mengubah kata yang
memang sudah Allah tetapkan didalam al-Qur’an. Hanya saja apabila berkaitan
dengan urusan kenegaraan/Negara, maka istilah kafir diganti dengan menggunakan
sebutan non-Muslim.1
1
Aisyah Siti, Fitriani. Konsep Kafir Dalam Pandangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Forum Umat
Islam (FUI) Sumatera Utara.. (Studia Sosia Religi, 2019). V / 2 Nomor 2, h. 3
3
2.2 Macam-macam Orang Kafir
Menurut Kitab Syarah Sakinatun Najah
ال ول كفر انكا ر هؤان ال يعر ف هللا ا صال ؤ ال يعتر ف به ؤالثا: اقسام الكفر اربعة
ني كفر جحؤد هؤ ان يعرف هللا بقلبه ؤ ال يقر بلسا به ككفر ابليس ؤاليهؤد ؤالثا لث كفر
يعرف هللا بقلبه نفاق هؤ ان يقر با للسان ؤ ال يعتقد بالقلب ؤاالرابع كفر عناد هؤ ان
) ؤيعتر ف بلسا نه ؤ ال يدين به ككفر ابي طال ( شر ح سفينة النجا
1. Kafir Ingkar
Kafir ingkar adalah orang orang yang tidak mengenal Tuhan sama sekali
dan tidak mengakuinya.
2. Kafir Juhud
Kafir juhud adalah orang yang mengenal Tuhan dalam hatinya tetapi tidak
mengikrarkan dengan lisannya, seperti kafirnya iblis dan orang Yahudi.
3. Kafir Nifaq’
Kafir nifaq’ adalah orang yang mengikrarkan dengan lisan tetapi tidak
mempercayai Tuhan dalam hatinya.
4. Kafir Inad’
Kafir inad’ adalah orang yang mengenal Tuhan dalam hantinya dan
mengikrarkan dengan lisannya, tetapi tidak taat kepada-Nya seperti
kafiirnya Abu Thalib. 2
2
Mahfudh,Sahal. Solusi ProblematikaAktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas dan
Konbes Nahdlatul Ulama. (Surabaya: Jawa Timur, 2004)
4
bahwa meskipun NU jelas sebagai Islam ala Ahlussunah Wal Jamaah tetapi ciri
keislaman tersbut tetap konteks Indonesia, tempat gerakan NU dibangun. 3
3
Wahid Abdul, Fariza Yuniar Rakhmawati, Nia Ashton Destrity, Memahami Konsepsi “Kafir” pada
Organisasi Keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah di Media Sosial, (2020), V/9
No.2
4
Aisyah Siti, Fitriani. Konsep Kafir Dalam Pandangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Forum Umat
Islam (FUI) Sumatera Utara.. (Studia Sosia Religi, 2019). V / 2 Nomor 2, h. 5
5
digunakan untuk menggunakan “kafir” disini, yakni dalam konteks beragama
(muslim dan mukmin) dan konteks berbangsa-bernegara (non-Muslim).
“Dengan begitu, status mereka setara dengan warga negara lain,” terang
pengajar di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, tersebut. Apalagi, menurut dia,
banyak WNI nonmuslim yang memberikan sumbangsih terhadap kemajuan
Indonesia. Bahkan, beberapa tokoh nonmuslim terlibat dalam pendirian negara
Indonesia. “Sehingga penyebutan kafir ini saya rasa tidak bijaksana,” katanya.
6
Selain itu, dibahas produk-produk hukum perundang-undangan yang dihasilkan
dengan proses politik modern tanpa melalui rumus-rumus syariat. Salah seorang
tim perumus sidang, KH Afifuddin Muhajir, mengungkapkan, jika negara
memerintahkan sesuatu yang diwajibkan syariat, sesuatu itu bertambah wajib. Jika
negara memerintahkan sesuatu yang disunahkan syariat (mubah), hukumnya naik
menjadi wajib. Lalu, jika negara memerintahkan sesuatu yang boleh (mubah)
menurut syariat, ditinjau kemaslahatannya.
“Kalau mengandung maslahat, wajib ditaati. Jika tidak, tidak wajib ditaati.
Jika negara memerintahkan sesuatu yang dilarang syariat, wajib ditolak dan
diluruskan lewat kanal-kanal yang tersedia di konstitusi,” papar wakil pengasuh PP
Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo itu.
Salah satu tema menarik yang dijadwalkan adalah hukum politisasi agama.
Sayang, masalah tersebut tidak dibahas karena keterbatasan waktu. Namun,
Afifuddin menegaskan bahwa politisasi agama adalah haram.
“Tapi, jika mengawal politik dengan tuntunan agama, itu wajib,” jelasnya.
Politisasi agama yang dimaksud Afifuddin adalah berkampanye menggaet
dukungan dengan mengutip ayat-ayat suci Alquran yang sebe-narnya tidak
berhubungan dengan aktivitas politik tersebut. Namun, mengingatkan agar ca-lon
pemimpin harus jujur dengan mengutip ayat Alquran bahwa Allah bersama orang
jujur bukan termasuk politisasi agama.
7
MLM, baik menggunakan skema piramida, matahari, maupun Ponzi, adalah
haram,” tegas pemimpin sidang Asnawi Ridwan.
Berbekal petunjuk Al-qur’an dan as-Sunnah, umat islam selama ini mampu
hidup berdampingan dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Mereka
bersedia membangun komunikasi dan hidup secara harmonis dengan siapa saja
tanpa membedakan bendera organisasi, bendera politik dan bahkan umat islam telah
membangun komunikasi efektif nan harmonis dengan umat agama lain.
6
Muhammad ‘Alawi al-Maliki al-Hasani, Mafahim Yajib an Tushahhah, h. 11.
8
lupa bahwa kewajiban mempraktikan amar makruf nahi mungkar harus
dilakukan dengan cara cara yang bijak dan tutur kata yang baik (bi al-
hikmah wa al-maw’izhah al-hasanah). Artinya, sekalipun ada kondisi yang
memaksa suatu berdebatan harus terjadi, maka hal itupun harus dilakukan
dengan metode yang paling baik, sebagaimana disinggung di dalam al-
quran sebagai berikut :
ادعالى سبيل ربك با لحكمة و الموعظ ة الحسنة وجادلهم با لةي هي احسن ان ربك
هو اعلم بمن ضل عن سبيله و هو اعلم بالمهتدين
“Serulah (manusia ) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran
yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapatkan
petunjuk.” ( Q.S. An-Nahl/16:125 )
b. Islam melarang ideologi takfiri
Sayyid ahmad masyhur al-haddad mengatakan : “ telah ada
kesepakatan ulama untuk melarang memvonis kafir terhadap ahlul qiblat
(umat islam), kecuali akibat dari tindakan yang mengandung unsur
meniadakan ekstensi Allah, kemusyrikan yang tidak di tafsirkan lain,
mengingkari kenabian, menentang prinsip-prinsip ajaran agama islam yang
harus diketahui umat islam tanpa pandang bulu (ma’lum min ad-din bi ad-
dharurah), mengingkari ajaran yang dikategorikan mutawir atau yang telah
mendapat konsensus ulama dan wajib diketahui semua umat islam tanpa
pandang bulu. 7
Dengan demikian, vonis kafir tidak boleh dijatuhkan, kecuali oleh
orang yang mengetahui seluk beluk keluar masuknya seseorang dalam
lingkaran kekafiran dan batasan-batasan yang memisahkan antara kekafiran
dan keimanan dalam syariat islam tidak diperkenankan bagi siapa pun untuk
menjatuhkan vonis kafir berdasarkan prasangka dan dugaan tanpa kehati-
hatian, tanpa bukti pasti dan tanpa informasi yang akurat jika vonis kafir
dilakukan dengan sembarangan, maka akan kacau dan mengakibatkan
7
Muhammad ‘Alawi al-Maliki al-Hasani, Mafahim Yajib an Tushahhah, h. 33.
9
penduduk muslim yang berada di dunia ini hanya tinggal segelintir.
Demikian pula, tidak diperbolehkan menjatuhkan vonis kafir terhadap
orang-orang yang melakukan, tindakan-tindakan maksiat sepanjang
keimanan dan pengakuan terhadap syahadatain tetap terpelihara di dada
mereka. Dalam sebuah hadits disebutkan:
ننال ص مننن اصننلنن: قننال رسننول هللا صننلى هللا عليننه وسننلم:عننن انننس بننن مننا لننك قننال
وال نننن رجنننه منننن٬ و ال نكفنننرو بنننذنب٬ ال النننه االهللا: الكنننق عمنننن قنننال:االيمنننا ن
وا لجهادمنننان مننننذ بعثني هللا النننى ان يقننناةل ا خرامتننني الننندجال ال٬ اال سنننال م بعمنننل
) واال يمنننا ن بنننا ال قننندار ( روا ا بنننو داود٬ و ال عننندل عنننادل٬ يبطلنننه جنننور جنننا نننر
“Dari Anas ibn Malik, ia berkata: ‘Rasulullah SWA. Bersabda, ‘Ada
tiga hal pokokiman, yaitu tidak mengganggu orang yang menyatakan
‘bahwa tiada Tuhan kecuali Allah,’ tidak menvonis kafir orang itu
karena berdosa, dan tidak menganggap orang tersebut keluar dari
agama Islam karena perbuatan dosa. Jihad terus berlangsung
semenjak Allah mengutusku sampai akhir umatku memerangi Dajjal.
Dan, jihad tidak bisa dihapus oleh kezaliman dan keadilan seseorang,
dan meyakinikebenaran takdir.” (H.R. Abu Dawud)
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
NU menganjurkan kata kafir tidak digunakan untuk melabeli non-Muslim dalam
ranah sosial dan kehidupan berbangsa dan bernegara, sebab istilah kafir tidak
dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara dan bangsa. NU
mengintroduksi termuwathinun, atau warga negara.
KH. Afifudin Muhajir beliau merupakan bagian tim pengurus batsul masail munas
mengatakan “tidak membahas tentang apakah non islam di indonesia kafir atau
bukan akan tetapi yang dibahas adalah kategori mereka apakah mereka itu harbi,
muahad, musta’man, dzimi” jawabannya “mereka bukan harbi, bukan muahad,
bukan musta’man, bukan dzimi karena definisi definisi tersebut tidak bisa
diterapkan kepada non islam yang ada di Indonesia, oleh karena itu katakan saja
mereka intu non islam”
Hasil keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2019 Di kota Banjar Jawa
Barat menghasilkan kesepakatan untuk tidak menggunakan sebutan kafir kepada
warga Indonesia nonmuslim. Sebagai gantinya, para kiai memilih kata muwathinun
atau warga negara.
11
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah Siti, Fitriani. Konsep Kafir Dalam Pandangan Nahdlatul Ulama (NU) dan
Forum Umat Islam (FUI) Sumatera Utara . ( UINSU: Studia Sosial Religia: Edisi
Juli-Desember 2019: E-ISSN: 2622-2019).
http://jurnal.uinsu.ac.id/index .php/ssr
Wahid Abdul, Fariza Yuniar Rakhmawati, Nia Ashton Destrity. Memahami Konsep
“Kafir” pada Organisasi Keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah
di Media Sosial. ( Jurnal KOMUNIKASI Vol 9 (2), 2020)
iii