Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PERBEDAAN PANDANGAN TENTANG

ILMU KALAM KLASIK IMAN DAN KUFUR

Makalah ini dibuat dan di ajukan untuk memenuhi tugas kelompok

Pada mata kuliah Tauhid dan Ilmu Kalam

Dosen Pengampu : Muhammad Hatim, M.Pd

Di susun Oleh:

MUHAMMAD BAYU LUTFI (210101202)

NURFIYA SYAHRANI (210101201)

MAKMUN SYUKRON (210101191)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta inayahnya kepada kami
atas petunjuknya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Tanpa
pertolongannya mungkin kami tidak dapat menyelesaikannya makalah ini dengan baik. Shalawat
sarta salam tidak henti-hentinya kami sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang senantiasa mengikuti dan mengamalkan sunnah-
sunnahnya. Makalah ini di susun oleh kami dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari
diri kami maupun yang datang dari luar. Namun, dengan penuh kesabaran dan terutama
pertolongan dari Allah SWT akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini
membahas tentang “PERBEDAAN PANDANGAN TENTANG ILMU KALAM KLASIK IMAN
DAN KUFUR”

Sebelum itu kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah
membantu sekaligus membimbing kami dalam menyusun makalah ini. Mohon maaf atas
kekurangannya pada makalah ini, namun kami telah berusaha semaksimal mungkin. Oleh karena
itu jika ada kesalahan baik penulisan atau masalah lain dari makalah kami, kami mempersilahkan
pembaca untuk mengkritik dan memberi saran untuk kemajuan pengetahuan kami.

Mataram, 15 September ,2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ....................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................................. 2

C. Tujuan ............................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3

A. Konsep Iman dan Kufur Menurut Para Teologi Islam...............................................................3

B. Perbedaan Pandangan Aliran Ilmu Kalam klasik Tentang Iman dan Kufur…….…................3

C. Perbandingan Antar Aliran Iman dan Kufur..............................................................................5

D. Pandangan Mu’tazilah, Asariyah dan Maturidiyah Akal dan Wahyu Dalam Masalah

Ketuhanan……………………………………………………………………………………..7

BAB III PENUTUP ...................................................................................................................13

A. Kesimpulan ...........................................................................................................................13

B. Saran......................................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika Nabi Muhammad SAW. masih hidup, umat Islam dalam keadaan damai dan
tenang. Hal itu dikarenakan pada masa itu segala persoalan, perbedaan pendapat, dan
perselisihan yang terjadi dalam tubuh umat Islam dapat di atasi dan diselesaikan Nabi sendiri
melalui wahyu, ijtihad dan permusyawaratan dengan para sahabat. Permasalahan umat Islam
muncul setelah Nabi Muhammad SAW. wafat. Permasalahan yang dihadapi adalah masalah
yang tak pernah timbul di zaman Nabi masih hidup dan masalahnya tidak pula dijumpai cara
penyelesaiannya dalam al-Qur’an dan hadits. Masalah yang pertama sekali muncul adalah
soal politik (khalifah), yakni siapakah yang akan mengganti Nabi sebagai pemimpin negara
yang telah terbentuk itu. Oleh karena tidak adanya ayat atau hadits yang tegas dan absolut
mengenai soal khalifah ini, maka timbullah perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.
Perbedaan pendapat dalam soal politik di atas meningkat menjadi persoalan theologi.
Dikarenakan umat Islam ingin meninjau hubungan dan dampaknya dari segi theologis.

Persoalan yang pertama-tama timbul dalam teologi Islam adalah masalah iman dan kufur.
Persoalan itu pertama kali dimunculkan oleh kaum Khawarij ketika mencap kafir sejumlah
tokoh sahabat Nabi saw yang dianggap telah berbuat dosa besar, antara lain Ali bin Abi
Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sofyan, Abu Hasan al-Asy’ari, dan lain-lain. Masalah ini lalu
dikembangkan oleh Khawarij dengan tesis utamanya bahwa setiap pelaku dosa besar adalah
kafir. Aliran lain seperti Murji’ah, Mu’tajilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah turut ambil
bagian dalam masalah tersebut bahkan tidak jarang terdapat perbedaan pandangan di antara
sesama pengikut masing-masing aliran. Perbincangan konsep iman dan kufur menurut tiap-
tiap aliran teologi Islam, seringkali lebih menitik beratkan pada satu aspek saja, yaitu iman
atau kufur.

1
B. Rumusan Masalah
1. Konsep iman dan kufur menurut pata teologi islam?
2. Bagaimanakah Konsep Iman dan Kafir Menurut Muktazilah?
3. Bagaimanakah Konsep Iman dan Kafir Menurut Asariyah?
4. Bagaimanakah Pandangan Muktazilah, Asariyah dan Maturidiyah dalam Memberi
Perang Akal dan Wahyu dalam Masalah Ketuhanan.
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana konsep iman dan kufur menurut para teologi islam
2. Memahami Konsep Iman dan Kafir Menurut Muktazilah
3. Mengetahui Konsep Iman dan Kafir Menurut Asariyah
4. Memahami Bagaimanakah Pandangan Muktazilah, Asariyah dan Maturidiyah dalam
Memberi Perang Akal dan Wahyu dalam Masalah Ketuhanan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Iman Dan Kufur Menurut Para Teologi Muslim


1. Konsep Iman

Perkataan iman berasal dari bahasa Arab yang berarti tashdiq (membenarkan),
dan kufur juga dari bahasa Arab – berarti takzib (mendustakan). Para Mutakallimin
secara umum merumuskan unsur-unsur iman terdiri dari al-tasdiq bi al-qalb; al-iqrar bi
al-lisan; dan al-‘amal bi al-jawarih. Ada yang berpendapat unsur ketiga dengan istilah
yang lain: al-‘amal bi al-arkan yang membawa maksud melaksanakan rukun-rukun
Islam1.

Dalam al-Qur’an iman itu selalu berkaitan dengan amal perbuatan baik berupa
pelaksanaan rukun-rukun Islam, akan menyebabkan manusia hidup berbahagia di dunia
dan di akhiratnya. Iman dari segi lughat, kata iman berarti : pembenaran ( ‫) التَّصـْ ِد يـْق‬
inilah makna yang dimaksud dengan kata ( ‫ ) مؤْ ِمن‬dalam surat Yusuf 12, 17 yang artinya
“Dan kamu sekali-kali tidak akan membenarkan kami (‫ ) مؤْ ِم ٍن َّلـنَا‬walaupun kami orang-
orang yang benar”. Dari ayat di atas, makna mukmin yakni orang yang membenarkan.2

Menurut Hassan Hanafi, ada empat istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh
para teologi muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu:

1. Ma’rifah bi al-aql, (mengetahui dengan akal).


2. Amal, perbuatan baik atau patuh.
3. Iqrar, pengakuan secara lisan, dan
4. Tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk pula di dalamnya ma’rifah bi al-aql
(mengetahui dengan hati).

1
El Doer. “Konsep Iman dan Kufur Berbagai Aliran”
https://www.academia.edu/11544033/Konsep_Iman_dan_Kufur_Berbagai_Aliran
2
Makalah : Iman Dan kufur https://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/09/iman-dan-kufur.html#axzz7iG35TtMq, di
akses pada Kamis, 20 Oktober 2022

3
2. Konsep Kufur
Kufur adalah kebalikan daripada iman. Dari segi lughat “kufur” artinya menutupi.
Orang yang bersikap ‘kufur’ disebut kafir, yaitu orang yang menutupi hatinya dari
hidayah Allah. Dari segi syara’ kufur ada : Kufur Akidah, ialah mengingkari akan apa
yang wajib diimani, seperti iman kepada Allah, iman kepada Rasul, iman kepada Hari
Akhirat, iman kepada Qodo dan Qodar, dan lain-lain. Firman Allah dalam surat an-Nisa /
4 : 136

)136 : ‫ضالَال ً بَ ِعيدًا (النساء‬ َ ‫آلخ ِر فَقَ ْد‬


َ ‫ض َّل‬ ِ ْ‫س ِل ِه َوا ْليَ ْو ِم ا‬ ِ ‫َو َم ْن يَ ْكفُ ْر بِا‬
ُ ‫هلل َو َمآلئِ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه َو ُر‬

Artinya : “Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-


Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya.” 3

Menurut Syara’ kufur dapat di bedakan menjadi kufr akidah atau kufur millah dan
kufr amaliyah atau kufr ni’mah. Kufur akidah ialah mengingkari akan apa yang wajib
diimani, seperti iman kepada Allah, rasul, akhirat, qada dan qadar dan lain-lain. Kufur
aqidah juga di bedakan menjadi dua macam yaitu kufur asli dan kufur setelah beriman.
Kufur asli yaitu orang yang bekum pernah beriman dan menganut ajaran atau
kepercayaan selain islam. Sedangkan kufur setelah beriman yaitu seseorang yang tekah
beriman dengan agama islam, kemudian ia keluar dari iman itu dengan memeluk agama
lain atau bahkan meenjadi ateis. Istilah bagi irang yang kufur setalh beriman ini ialah
murtad dan semua golongan islam menyepakati orang yang murtad akan kekal di dalam
neraka.

Uraian di bawah merupakan pemaparan tentang konsep iman dan kufur serta status pelaku
dosa besar menurut masing-masing aliran dalam teologi islam sbb :

B. Perbedaan Pandangan Aliran Ilmu Kalam klasik Tentang Iman dan Kufur

Persoalan yang pertama-tama timbul dalam teologi Islam adalah masalah iman dan kufur.
Persoalan itu pertama kali dimunculkan oleh kaum Khawarij ketika mencap kafir sejumlah

3
Makalah : Iman Dan kufur https://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/09/iman-dan-kufur.html#axzz7iG35TtMq, di
akses pada Kamis, 20 Oktober 2022

4
tokoh sahabat Nabi saw yang dianggap telah berbuat dosa besar, antara lain Ali bin Abi
Thalib, mu’awiyah bin Abi Sofyan, Abu Hasan al-Asy’ari, dan lain-lain. Masalah ini lalu
dikembangkan oleh Khawarij dengan tesis utamanya bahwa setiap pelaku dosa besar adalah
kafir. Aliran lain seperti Murji’ah, Mu’tajilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah turut ambil
bagian dalam masalah tersebut bahkan tidak jarang terdapat perbedaan pandangan di antara
sesama pengikut masing-masing aliran. Perbincangan konsep iman dan kufur menurut tiap-
tiap aliran teologi Islam, seringkali lebih menitik beratkan pada satu aspek saja, yaitu iman
atau kufur.4

Perbedaan dan persamaan pendapat para mutakallimin dalam konsep iman nampaknya
berkisar di sekitar unsur tersebut. Bagi Khawarij antaranya mengatakan pengertian iman itu
ialah, beriktikad dalam hati dan berikrar dengan lidah serta menjauhkan diri dari segala dosa.
Pengertian yang diberikan oleh Khawarij di atas, sama dengan Mu’tazilah pada unsur yang
pertama dan yang kedua, tetapi berbeda pada unsur yang ketiga di dalam hal menjauhkan diri
dari segala dosa, bagi Khawarij termasuk dosa kecil. Sedangkan bagi Mu’tazilah hanya
menjauhkan diri dari dosa besar saja. Bagi Murjiah pula, menurut al-Bazdawi majoriti
mereka berpendapat bahwa iman itu hanyalah ma’rifah kepada Allah semata-mata.
Sedangkan bagi Asy’ariyyah, iman ialah membenarkan dengan hati, dan itulah iktikad. Di
sini terdapat persaman antara konsep Murjiah dan Asy’ariyyah yang menekankan tugas hati
bagi iman atas pengakuan. Cuma Murjiah menggunakan perkataan ma’rifah, sementara
Asy’ariyyah menggunakan al-tasdiq.5

C. Perbandingan Antar Aliran-Airan : Iman dan Kufur

Akibat dari perbedan pandangan mengenai unsur-unsur iman, maka timbulah aliran-
aliran teologi yang mengemukakan persoalan siapa yang beriman dan siapa yang kafir.
Adapaun aliran-aliran tersebut adalah Khawarij, Murji’ah, Mu’tajilah, Asy’ariyah,
Maturidiyah dan Ahlus Sunnah.

1. Aliran Mu’tazilah

4
Muhammad Hasbi, IMAN DAN KUFUR Analisis Perbandingan Aliran-aliran Teologi Islam, Jurnal Mukaddimah,
Vol. 17, No. 1, 2011
5
Ibid hal 70-80

5
Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang berarti menjauh atau memisahkan diri
dari sesuatu. Wasil Bin Atho adalah nama dari pendiri aliran ini. Para ahli Teologi masih
belum bisa memastikan secara pasti mengenai kemunculan aliran ini, tetapi ada yang
mengatakan bahwa aliran ini muncul pada masa kehancuran Dinasti Umayyah. Aliran ini
muncul kira-kira pada abad pertama Hijriyah, di kota Basrah Irak6.
Peran Mu’tazilah yang besar dalam mengembangkan Ilmu Kalam ini tentunya
tidak terlepas dari dukungan Dinasti Abbasiyah pada waktu itu (Ula, n.d.).

Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.


Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad
rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin.
Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang
lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada
Tuhan.

Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa


besar dan mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi
sebagai orang fasiq. Di akhirat ia dimasukkan ke neraka untuk selama-lamanya, tetapi
nerakanya agak dingin tidak seperti nerakanya orang kafir. Dan tidak pula berhak masuk
surga. Jelasnya menurut kaum Mutazilah, orang mu’min yang berbuat dosa besar dan
mati sebelum tobat, maka menempati tempat diantara dua tempat, yakni antara neraka
dan surga (manzilatan bainal manzilatain).

2. Aliran Asy’ariyah
Nama dari aliran ini di sesuaikan dengan nama pendirinya yakni Hasan Al Bin
Isma’il Al-Asy’ari keturunan dari Abu Musa Al-Asy’ari yang mempunyai nama lengkap
Abul Hasan Bin Ismail Bin Ishak Bin Salaim Bin Abdullah Bin Musa Bin Abi Musa Al-
Asyari. Aliran ini lahir pada abad ke-47.

Kaum Asy’ariyah yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah


memaksakan paham khalq al-Quran banyak membicarakan persoalan iman dan kufur.

6
Husnul hidayati “ilmu kalam” mataram: Sanabil oktober 2021 hal 32
7
Ibid 32

6
Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal.
Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban
mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh
karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum
Khawarij dan Mu’tazilah tapi dekat dengan kaum Jabariyah. Tasdiq menurut Asy’ariyah
merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah terhadap Allah (qaulun bi
al-nafs ya tadhammanu a’rifatullah). Mengenai penuturan dengan lidah (iqrar bi al-lisan)
merupakan syarat iman, tetapi tidak termasuk hakikat iman yaitu tashdiq . argumentasi
mereka istilah al-nahl, ayat 106.

‫من كفر باهلل من بعد أيمانه األمن أكره و قلبه مطمئن باإليمان‬
Seseorang yang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam keadaan terpaksa,
sedangkan hatinya tetap membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, ia tetap dipandang mukmin.
Karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang berada di luar juzu’iman.
Seseorang yang berdosa besar tetap mukmin karena iman tetap berada dalam hatinya.

D. Pandangan Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah Dalam Memberi Peran Akal dan
Wahyu Dalam Masalah Ketuhanan.
1. Aliran mu’tazilah
Bagi kaum mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara akal,
dan kewajiban-kewajiban dapat diperoleh dengan melakukan pemikiran yang mendalam.
(Sari, 2018).

Dalam perspektif Mu’tazilah inilah, teori tentang kemampuan manusia


menciptakan perbuatannya sendiri serta kebebasan memilihnya lebih terlihat canggih dan
rumit, melalui alur argumentasi rasional berikut ini, pertama, jika Allah menciptakan
perbuatan manusia, maka batallah taklif syar’î (kewajiban) karena syari’at adalah
ungkapan perintah dan larangan. Keduanya merupakan thalab (perintah) dan pemenuhan
thalab tidak bisa lepas dari kemampuan, kebebasan dan pilihan (Ikhtiar & Perbuatan,
n.d.).

7
Kedua, jika manusia tidak bebas (terikat) dalam melakukan perbuatannya,
runtuhlah teori pahala dan hukuman yang muncul dari konsep al-Wa’ad (janji Allah bisa
berupa kebaikan/keburukan) dan al-Wa’îd (janji Allah yang bersifat buruk), karena
perbuatan itu menjadi tidak dapat disandarkan kepada manusia secara mutlak sehingga
berkonsekuensi pujian dan celaan. Ketiga, jika manusia tidak memiliki kebebasan dan
pilihan, maka pengutusan para Rasul tidak ada kemanfaatannya (utility) sama sekali.
Implikasi pandangan yang demikian, bermakna bahwa kehendak untuk berbuat
sepenuhnya adalah kehendak dan daya manusia sendiri dan bukan merupakan kehendak
dan daya Tuhan. Dalam konteks ini, Harun Nasution menyatakan: Yang dimaksud
dengan “Tuhan membuat manusia sanggup mewujudkan perbuatannya” ialah bahwa
Tuhan menciptakan daya di dalam diri manusia dan pada daya inilah bergantung wujud
perbuatan itu dan bukanlah yang dimaksud bahwa Tuhan membuat perbuatan yang telah
dibuat manusia.

Dengan demikian berterima kasih kepada Allah sebelum datangnya wahyu


adalah wajib. Begitupun wajib hukumnya mengetahui perbuatan baik dan buruk
meskipun wahyu Allah belum datang. Dengan demikian seakan-akan mu’tazilah ingin
mengatakan bahwa akal merupakan salah satu kenikmatan yang diberikan oleh Allah
untuk digunakan sebagai sarana berfikir yang nantinya bisa diharapkan hasil dari buah
fikirannya berupa kebenaran hakiki meskipun wahyu Allah belum turun.

Bahkan asy-Syahrahtani menulis dalam satu aliran yang ada dalam firqoh
Mu’tazilah yaitu Annazamiyah mengatakan bahwa ketentuan (Qadar) baik dan buruk
berasal dari manusia. Menurutnya, Allah tidak berkuasa untuk menciptakan keburukan
dan maksiat karena hal itu tidak termasuk dari kehendak (qudrah) Allah. (Ikhtiar &
Perbuatan, n.d.)

2. Aliran asy’ariyah
Asy’ari membantah ajaran Mu’tazilah berikut:
1. Ajaran tentang tidak adanya sifat Tuhan.
2. Faham keadilan Tuhan yang dibawa Mu’tazilah.

8
3. Al-wa’d wa al -wa’id (janji baik dan ancaman buruk).8

Dari aliran Asy’ariyah, Al-Asy’ari sendiri menolak sebagian besar dari pendapat
kaum mu’tazilah yang mengatakan bahwa “kewajiban-kewajiban dapat diperoleh dengan
melakukan pemikiran yang mendalam”. Sedangkan menurut Al-Asy’ari bahwa
kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat mengetahui
bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia.
Wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepadanya.
Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada tuhan akan memperoleh
upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman.

Secara prinsipil Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan


oleh Allah. (Ikhtiar & Perbuatan, n.d.). Daya manusia tidak mempunyai efek untuk
mewujudkannya. Bahwa Allah menciptakan perbuatan manusia dan sekaligus pula
menciptakan pada diri manusia daya untuk mengaktualisasikan perbuatan tersebut,
sehingga perbuatan manusia secara prinsipil adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb
(perolehan) bagi manusia. Dengan demikian, Kasb mempunyai pengertian penyertaan
perbuatan dengan daya manusia yang hadîts (baru), dimana hal ini berimplikasi bahwa
perbuatan manusia dibarengi dengan daya dan kehendak-Nya dan bukan daya atas daya
dan kehendaknya sendiri.

Dengan demikianlah Asy’ariyah tidak terlalu mengagung-agungkan akal,


meskipun Al- Asy’ari sendiri tidak dapat menjauhkan dirinya dari pemakaian akal
sebagai alat argumentasi pikiran. Menurut beliau akal tidak mampu menentukan untuk
mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. Untuk itulah wahyu diperlukan. Wahyu
sebagai alat untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan diwajibkannya segala
sesuatu terhadap manusia, sedangkan akal sebagai alat untuk menela’ah dan mengkaji
apa yang di sampaikan Allah.

3. Aliran Maturidiah
Menurut Al-Maturidi, untuk mencapai suatu pengetahuan yang benar, diperlukan
adanya tiga macam sumber, yaitu: panca indra (ala’yan), berita (al-Akhbar) dan akal (al-

8
Andi Alfian, Makalah : Teologi Islam Mu’tazilah, Asy’ariah,Maturidiah, UIN Alauddin Makassar 2018, h. 14

9
nazar). Akal merupakan sumber terpentingantara ketiga sumber tersebut. Sebab tanpa
adanya akal, panca indra dan berita tidak dapat memberikan kepastian tentang suatu
pengetahuan. Selanjutnya, menurut Al-Maturidi bahwa akal sebagai panca indra memiliki
keterbatasan yang tidak dapat dielakkan. Karenanya,manusia masih memerlukan
bimbingan berupa wahyu Allah.
Menurut Al-Maturidi, wahyu Allah tidak terbatas hanya berisi tentang masalah-
masalah dunia. Dalam Al-Qur’an tidak terdapat ayat-ayat yang berlawanan antara satu
dengan yang lainnya. Kalaupun ada, ayat-ayat tersebut haruslah diberi ta’wil atau
diserahkan pengertiannya kepada Allah sendiri. Jika akal bertentangan dengan hukum
syara’, akal harus tunduk pada hukum syara’, bukan sebaliknya. Akal tidak berstatus
sebagai penguasa terakhir untuk menetapkan kewajiban manusia dan agama. Dasar
kewajiban haruslah berasal dari wahyu dan bukan dari akal. Menurut Al-Maturidi, akal
dapat mengetahui tentang kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi yang buruk.
Akal dapat mencapai pengetahuan akan kewajiban mengetahui Allah, iman
bukanlah sekedar pembenaran (tasdiq) tentang adanya Allah semata, tetapi haruslah lebih
dari itu, yaitu ma’rifat atau amal dalam arti mengetahui Allah dengan segala sifat-
sifatnya. Tuhan mempunyai sifat, dan sifat-sifat Tuhan bukanlah berarti Zat Tuhan,tetapi
juga tidak lain dari Tuhan. Jika dikatakan Tuhan Maha mengetahui, artinya bahwa Tuhan
mengetahui bukanlah dengan Zatnya, akan tetapi dengan pengetahuan-Nya.
Tentang at Tasybih atau at-Tajsim (anthropomorphisme) ditolah oleh Al-
Maturidi. Karena menurutnya faham menyerupakan Tuhan dengan makhluk, berarti telah
menodai keMaha Esaan Allah, yang berarti pula faham tersebut bertentangan dengan
akal. Yang dimaksud dengan at-Tasybih atau at-Tajsim, yaitu penggambaran Tuhan
dengan makhluk misalnyabahwa Tuhan dinyatakan mempunyai wajah, tangan, mata, dan
sebagainya sebagaimana yangdimiliki oleh makhluk. Menurut Al-Maturidi, kata wajah,
tangan, mata, dan lain-lainnya itu dikaitkan dengan Allah dalam Alquran, haruslah
dita’wilkan dan diartikan secara kiasan (majasi).
Menurut Al-Maturidi, Tuhan dapat dilihat, karena Tuhan mempunyai wujud.
Yang tidak dapat dilihat adalah yang tidak berwujud. Setiap yang berwujud pasti dapat
dilihat, dan karena Tuhan berwujud maka Tuhan pasti dapat dilihat. Di samping itu,
Tuhan Maha Melihat segala apa yang ada, termasuk diri-Nya sendiri. Dalam Al-quran

10
Tuhan berfirman yang artinya: “Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu
berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat”. (Q. S. Al-Qiyamah, ayat 22 dan 23).
Tentang Alquran, Al-Maturidi berpendapat bahwa ia merupakan sifat Allah.
Karena Alquran adalah kalam Allah dalam arti makna yang melekat pada Zat Allah dan
bukanlah yang tersusun dari huruf dan kata-kata. Karena Alquran adalah sifat Allah,
maka Alquran Qodim bukan huruf dan kata-katanya, tetapi maknanya. Meskipun Alquran
itu Qodim dan tidak terpisah dari esensi Allah, tetapi Alquran tidak identik dengan Allah.
Yang tersusun dalam bentuk huruf dan kata-kata adalah baru (tidak qadim), dan semua
yang baru tidak melekat pada yang qadim.
Mengenai hikmah, Al-Maturidi menjelaskan: bahwa yang dimaksud dengan
hikmah adalah kebijaksanaan Tuhan dalam arti perpaduan dua keadaan yang disebut
‘Adil (justice) dan Fadl (rahmat dan utama). Tuhan memiliki kekuasaan absolut, namun
keabsolutan-Nya itu bukanlah sebagai subyek yang terdapat pada kaidah-kaidah hukum
yang berada di luar, melainkan berada pada kebijaksanaan-Nya juga.
Al-Maturidi menjelaskan tentang masalah-masalah teologi sebagai berikut:
Kekuasaandan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh batasan-batasan yang telah
ditetapkan Tuhan sendiri,dan ditentukan batasan-batasan tersebut atas dasar
kebijaksanaan Tuhan sendiri. Di antara batasan-batasan yang telah diciptakan Tuhan
adalah kebebasan untuk manusia berupaperbuatan dalam arti menggunakan daya, dan
kehendak dalam arti memilih apa yang baik danyang buruk. Meskipun dinyatakan bahwa
Tuhan telah menciptakan batasan-batasan terhadapdiri-Nya, namun Tuhan tidak dipaksa
atau terpaksa berbuat, sebab Tuhan bebas memilih, berkehendak dan berbuat apa yang
diinginkan-Nya. Hal yang mendorong Tuhan menciptakanbatasan-batasan terhadap diri-
Nya tidak berasal dari luar diri-Nya, tetapi berasal dari sifat kebijaksanaan-Nya. Allah
menciptakan segala sesuatu termasuk di dalamnya perbuatan manusia. Hal ini tercermin
dalam firman Allah yang menyatakan “Wallahu Khaaqakumwa ma ta’maluun” (Q. S. As-
Saffat ayat 96), artinya: “Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”. Namun
atas dasar kebijaksanaan Tuhan, maka Tuhan menciptakan kebebasan untuk manusia
berupa perbuatan agar dapat menggunakan daya dan kehendak dalam hal memilih yang
baik dan yangburuk.

11
Dalam hubungan ini Harun Nasution menyatakan, Al-Maturidi mengambil jalan
tengahantara faham Qadariyah dan Jabariyah.Tentang keadilan Tuhan, Al-Maturidi
berpendapat di antara yang membatasi kekuasaandan kehendak mutlak Tuhan adalah
adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan terhadap manusia, sekurang-kurangnya berupa
kewajiban untuk menepati janji-janji-Nya tentang pahala dan siksa. Sekali lagi perlu
ditegaskan bahwa kewajiban Tuhan itu datangnya bukanlah berasaldari luar diri Tuhan,
tetapi berasal dari Tuhan sendiri, dan kewajiban bagi Tuhan itu diciptakan atas kewajiban
untuk menepati janji-janji-Nya tentang adanya pahala dan siksa, sedangkan manusia oleh
Tuhan diberikan kebebasan menggunakan daya dan memilih antara yang baik dan yang
buruk, dengan demikian Tuhan bersifat Adil. Jadi karena Tuhan Maha Bijaksana, berarti
Tuhan Maha Adil. Dan karena Tuhan bersifat adil, tidak mungkin ada suatu beban yang
diberikan kepada manusia yang berada di luar kemampuan daya manusia.9

9
Andi Alfian, Makalah : Teologi Islam Mu’tazilah, Asy’ariah,Maturidiah, UIN Alauddin Makassar 2018, h. 17-20

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Problem-problem epistemologi kalam sudah dimulai sejak awal terbentuknya ilmu


(aliran) kalam awal yang semuanya bertolak dari relasi erat antara tiga hal yaitu ilmu
pengetahuan (ma’rifah,ilm), keyakinan (iman), dan kebebasan manusia. Sejarah kalam
menunjukkan bahwa epistemologi (kalam) menjadi problematika teologis yang kemudian
berkembang secara evolutif menjadi objek kajian yang mendalam, baik secara langsung
maupun tidak. Adanya interaksi doktrin-filsafat, isu epistemologi model kalam mengalami
perkembangan ekstensif dan elaboratif di kalangan Asy’ariyah dan Mu’tazilah. Ditilik dari
epistemologi, kalam lebih cenderung menggunakan pendekatan dialektik (dalam bahasa Sari
Nuseibeh) atau bayani dalam pandangan Abid al-Jabiri. Di mana penggunaan rasio atau nalar
masih tetap sebagai pengabdi teks-teks keagamaan, meskipun untuk mencapai kebenaran
terkadang menggunakan teori koherensi, tapi tetap pendekatan deduktif yang dilakukan
masih berpijak pada teks-teks atau doktrin agama.

B. Saran

Dengan adanya makalah ini penulis berharap, kepada pembaca agar penggunaan tulisan
ini di manfatkan pada hal-hal yang semestinya. Dalam penyusunan makalah ini, kami selaku
pemakalah sangat menyadari kekurangan yang baik dalam aspek penulisan maupun isi dari
makalah. Oleh karena itu, saya selalu terbuka atas kritik dan saran yang membangun. Hal
tersebut sangat penting karena bertujuan untukmengembangkan pengetahuan baik bagi
penulis maupun pembaca. Kritik dan saran tersebut bisa dijadikan pembanding untuk
menghasilkan karya yang lebih baik.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ikhtiar, K., & Perbuatan, M. (n.d.). POLA PEMBELAJARAN ILMU KALAM DI PTAI (Kasus
Ikhtiar Rekonsiliasi dalam Memahami Perbuatan Manusia) Edi Susanto.

Sari, K. P. (2018). Perkembangan Pemikiran Kalam Klasik Dan Modern. Jurnal Ad-Dirasah:
Jurnal Hasil Pembelajaran Ilmu-Ilmu Keislaman, 1(1), p, 63–78.

Ula, M. (n.d.). Ilmu kalam dalam sorotan filsafat ilmu.

Hidayati, Husnul, (2021), ILMU KALAM, Mataram, Sanabil, p, 120.

El Doer. “Konsep Iman dan Kufur Berbagai Aliran”


https://www.academia.edu/11544033/Konsep_Iman_dan_Kufur_Berbagai_Aliran

Alfian, Andi. Makalah : Teologi Islam Mu’tazilah, Asy’ariah,Maturidiah, UIN Alauddin


Makassar 2018, h. 17-20

Makalah : Iman Dan kufur https://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/09/iman-dan-


kufur.html#axzz7iG35TtMq, di akses pada Kamis, 20 Oktober 2022

Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h.

14

Anda mungkin juga menyukai