Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Dosen Pengampu : Zulkarnain M.Si

Disusun Oleh Kelompok 10 :

1. Mokdar Musa Sea (210101187)


2. Muhammad Arhamullah ( 210101215)

3. Nanda Ramdhani

(210101185)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

1
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2022

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Segala puji kami panjatkan hanya kepada Allah Swt yang telah
memberikan hidayah dan taufiknya, sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Sholawat serta
salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw beserta keluarga dan
sahabatnya, serta para pengikutnya sampai akhir zaman. Atas rahmat dan hidayahnya penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “Kesulitan Belajar”
Tak lupa kami ucapkan segala rasa terimakasih kepada semua orang disekililing kami
yang membantu kami, baik secara moril ataupun materil. Adapun yang kami maksudnya salah
satu diantaranya ialah Bapak Zulkarnain M.Si sebagi dosen pengampu mata kuliah Psikologi
Pendidikan yang telah membimbing kami selama proses pembuatan makalah ini, dan juga masih
banyak yang lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Dengan segala kemungkinan banyaknya kesalahan dan kekurangan yang terdapat di
makalah ini, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya. Karena kami bukanlah penulis yang
handal yang dapat membuat tulisan yang baik juga sempurna. Dan akhirnya, kami berharap
semoga makalah ini bermanfaat bagi siapapun yang telah sudi membacanya. Kritik dan saran
akan selalu kami tunggu dan terima, agar kami dapat membuat makalah yang lebih baik di masa
yang akan datang.
Terimakasih.

Senin, 19 September 2022

2
Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG iv
B. RUMUSANMASALAH iv
C. TUJUAN v

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus 1


B. Ruang Lingkup dan Faktor-Faktor penyebab Anak Bekebutuhan Khusus 3
C. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus 4
D. Layanan Pendidikan 6
E. Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Melalui Pendidikan inklusi 9

F. Homeschooling (Pendidikan Rumah) Bagi ABK 11

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN 15
B. SARAN 16

DAFTAR PUSTAKA 17

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami problema dalam belajar, hanya
saja problema tersebut ada yang ringan dan tidak memerlukan perhatian khusus dari
orang lain karena dapat diatasi sendiri oleh anak yang bersangkutan dan ada juga yang
problem belajarnya cukup berat sehingga perlu mendapatka perhatian dan bantuan dari
orang lain. Anak luar biasa atau disebut sebagai anak berkebutuhan khusus (children with
special needs), memang tidak selalu mengalami problem dalam belajar. Namun, ketika
mereka diinteraksikan bersama-sama dengan anak- anak sebaya lainnya dalam system
pendidikan regular, ada hal-hal tertentu yang harus mendapatkan perhatian khusus dari
guru dan sekolah untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal.
Model pembelajaran terhadap peserta didik berkebutuhan khusus yang di
persiapkan oleh guru di sekolah, di tujukan agar peserta didik mampu berinteraksi
terhadap lingkungan social. Pembelajaran tersebut disusun secara khusus melalui
penggalian kemampuan diri peserta didik yang didasarkan pada kurikulum berbasis
kompetensi. Kompetensi ini terdiri atas empat ranah yang perlu diukur meliputi
kompetensi fisik, kompetensi afektif, kompetensi sehari- hari dan kompetensi akademik.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai ”Strategi Pembelajaran bagi Anak
Berkebutuhan Khusus”

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Anak Berkebutuhan Khusus?
2. Apa sajakah Ruang Lingkup dan Faktor- Faktor penyebab Anak Bekebutuhan
Khusus?
3. Apa Saja Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus?
4. Bagaimana layanan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus?

C. TUJUAN
1. Mengetahui Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
2. Mengetahui Ruang Lingkup dan Faktor-Faktor penyebab Anak Bekebutuhan
Khusus
3. Mengetahui Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
4. Pengetahui Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

4
5
BAB II

PEBAHASAN

A. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus


Anak berkebutuhan khusus menjadi pusat perhatian dan perbincangan dalam dua
dekade terakhir ini. Muncul banyak istilah yang bersinggungan dengan istilah anak
berkebutuhan khusus yang seringkali disamaartikan terlebih oleh masyarakat awam.
Beragam istilah yang bersinggungan dengan anak berkebutuhan khusus antara lain:
gangguan/ abnormal, disabilitas, cacat, hambatan perkembangan, developmental
psychopathology, dan atau difabel. Meskipun istilah-istilah tersebut sering anggap sama
dan digunakan bersamaan, namun sebenarnya memiliki definisi yang berbeda di awal
kebermunculannya. Perbedaan istilah-istilah tersebut dapat dilihat dari tabel berikut ini:

Istilah Definisi

gangguan dan atau abnormal Berkaitan dengan “kurva normal” dalam statistik.
Istilah gangguan/ abnormal digunakan untuk
menunjukkan kondisi yang menyimpang secara
klinis dari (kurva normal) atau tidak seperti pada
umumnya/ kebanyakan orang. Penggunaan istilah
gangguan/ abnormal sangat dipengaruhi oleh
budaya dan situasi dimana individu berada. Dengan
kata lain, budaya dan situasi yang berbeda dapat
melahirkan persepsi yang berbeda pula tentang
kondisi yang dianggap gangguan/ abnormal
(Hudziak, 2008)

Disabilitas Disabilitas merupakan keterhubungan antara


fisik, lingkungan, dan faktor biologis yang
menghambat individu untuk dapat melakukan
fungsinya secara efektif (Mitchell & Brown, 1991).

Cacat/ handicap Cacat merupakan sebuah fungsi dari hubungan


antara individu disabel dengan lingkungannya.
Kecacatan terjadi ketika sosial, budaya, dan kondisi
fisik, menghambat akses individu terhadap sistem
yang ada sebagaimana yang bisa dilakukan oleh
oranglain. Oleh karena itu, modifikasi lingkungan
fisik maupun sosial dimungkinkan dapat
mengurangi “kecacatan” namun tidak dapat

1
mengurangi disabilitas seseorang (Mitchell &
Brown, 1991)

Hambatan perkembangan/ Hambatan perkembangan atau dikenal dengan


developmental disability developmental disability merujuk pada proses
pertumbuhan dan perkembangan individu yang
tentu saja berkaitan dengan mekanisme biologis dan
pengaruh lingkungan. Hambatan perkembangan
yang terjadi di usia anak-anak awal pada umumnya
ditandai dengan keterlambatan dan atau regresi dan
atau tidak muncul dan atau lompatan pertumbuhan
dan perkembangan dari salah satu atau beberapa
aspek-aspeknya (fisik-psikomotorik, kognitif &
bahasa, atau sosial & emosi) yang akan
menghambat perkembangan dan keberfungsian
individu di usia-usia berikutnya (Hudziak, 2008).

Developmental Developmental psychopathology istilah yang


psychopathology merujuk pada gangguan secara mental, dimana
istilah ini mendasarkan pada konsep perkembangan
secara universal untuk melihat munculnya
gangguan mental yang dialami individu (Hudziak,
2008).

Difabel (Different Abled difabel adalah suatu kehilangan atau


People) ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis maupun
kelainan struktur atau fungsi anatomis. (WHO.int /
World Health Organization)

Anak berkebutuhan khusus Istilah anak berkebutuhan khusus atau anak luar
(ABK)/ children with special biasa adalah anak yang secara signifikan berbeda
need dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi
kemanusiaannya. Mereka dari aspek fisik,
psikologis, kognitif, atau sosial terhambat dalam
mencapai tujuan-tujuan/ kebutuhan dan potensinya
secara maksimal dan memerlukan penanganan yang
terlatih dari tenaga professional. Dalam latar
belakang pendidikan, maka anak berkebutuhan
khusus merupakan anak-anak (individu) dengan
hambatan perkembangan yang perlu dan
membutuhkan pelayanan pendidikan khusus yang
berbeda dengan anak-anak lain dalam. Pelayanan

2
pendidikan yang berbeda atau disebut dengan
pelayanan pendidikan khusus membuat
penerimanya disebut dengan siswa berkebutuhan
khusus (Hallahan & Kauffman, 1997)

Banyaknya istilah yang bersinggungan dengan anak berkebutuhan khusus penting


untuk dicermati perbedaannya sehingga dapat melahirkan pemahaman yang tepat tentang
istilah anak berkebutuhan khusus. Namun demikian, ada benang merah yang dapat ditarik
sebagai kesamaan dari istilah-istilah tersebut diatas yaitu kondisi yang membuat individu
berbeda dengan individu yang lain dalam kemampuan/ keberfungsiannya baik secara
fisik maupun mental. Pada pembicaraan dan pembahasan berikutnya kita akan
menggunakan istilah anak berkebutuhan khusus secara konsisten untuk merujuk kondisi
individu yang berbeda dengan individu yang lain dalam kemampuan/ keberfungsiannya
baik secara fisik maupun mental, karena dalam buku ini kita juga akan
memperbincangkan bentuk pelayanan (intervensi) yang bisa diberikan pada individu-
individu tersebut salah satunya dalam seting pendidikan. 1
Pemahaman anak berkebutuhan khusus terhadap konteks, ada yang bersifat
biologis, psikologis, sosio-kultural. Dasar biologis anak berkebutuhan khusus bisa
dikaitkan dengan kelainan genetik dan menjelaskan secara biologis penggolongan anak
berkebutuhan khusus, seperti brain injury yang bisa mengakibatkan kecacatan tunaganda.
Dalam konteks psikologis, anak berkebutuhan khusus lebih mudah dikenali dari sikap
dan perilaku, seperti gangguan pada kemampuan belajar pada anak slow learner,
gangguan kemampuan emosional dan berinteraksi pada anak autis, gangguan kemampuan
berbicara pada anak autis dan ADHD. Konsep sosio-kultural mengenal anak
berkebutuhan khusus sebagai anak dengan kemampuan dan perilaku yang tidak pada
umumnya, sehingga memerlukan penanganan khusus.2

B. Ruang Lingkup dan Faktor- Faktor penyebab Anak Bekebutuhan Khusus

Mempelajari tentang anak berkebutuhan khusus mengantarkan kita pada pertanyaan


dua pertanyaan besar yaitu: 1). asumsi dan prinsip apa saja yang perlu dipahami berkaitan
dengan anak berkebutuhan khusus 2). faktor-faktor atau hal-hal apa saja yang
menyebabkan munculnya kondisi kebutuhan khusus tersebut?. Untuk dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka kita harus memahami asumsi-asumsi dan
sumbangan kajian perkembangan terhadap anak berkebutuhan khusus, serta model
perspektif yang berkembang dalam menjelaskan penyebab munculnya kondisi kebutuhan

1 Ika Febrian Kritiana S.Psi., M.Psi dkk, Buku Ajar Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus, (Semarang : UNDIP
Press, 2016), hlm 9
2 Dinie Ratri Desiningrum, Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta : Psikosain, 2016) hlm 2

3
khusus. Berikut ini asumsi-asumsi dan sumbangan kajian perkembangan terhadap untuk
menjawab pertanyaan asumsi dan prinsip apa saja yang perlu dipahami berkaitan dengan
anak berkebutuhan khusus menurut Mash & Wolfe (2010):
a. 4 asumsi dasar yang penting dipahami tentang hambatan perkembangan :
1. developmental disability is multiply determined, yaitu bahwa hambatan
perkembangan yang muncul bisa disebabkan oleh banyak faktor sehingga
dalam mengidentifikasi dan menanganinya pun (mengintervensi) tidak bisa
hanya dilakukan terhadap satu faktor saja, contohnya : jika kita ingin
membantu anak yang memiliki masalah belajar maka kita tidak hanya meng-
assess kemampuan belajarnya saja tetapi juga kemampuannya di bidang yang
lain dan hal-hal lain yang mungkin mempengaruhi kemampuannya tersebut.
2. Child and the environment are interdependent (transactional view), yaitu
bahwa individu dan lingkungan saling mempengaruhi dan berkontribusi dalam
memunculkan perilaku adaptif maupun maladaptif
3. It involves continuities and discontinuities of behavior pattern over time, yaitu
bahwa ada pola perkembangan yang dapat diramalkan dan sulit diramalkan
bagaimana selanjutnya begitu pula kondisi hambatan perkembangan yang
dialami individu. Asumsi ini membawa kita untuk tetap optimis dalam
membantu mengoptimalkan kemampuan anak-anak berkebutuhan khusus.
Tidak selalu hambatan perkembangan akan berprognosis/ memiliki potensi
menjadi lebih parah seiring bertambahnya usia.
4. Changes, typical and atypical, yaitu bahwa dalam perkembangan selalu
membawa perubahan dimana perubahan yang terjadi bisa bersifat typical
maupun atypical. Perubahan yang bersifat typical maksudnya adalah
perubahan yang menunjukkan capaian positif seiring bertambahnya usia
(normal achievements) sedangkan atypical menunjukkan perubahan dalam
bentuk problem/ masalah yang kemungkinan dialami pada tiap-tip fase
perkembangan (common behavior problems). Perubahan yang bersifat typical
maupun atypical semuanya normal dan sangat mungkin dialami oleh hampir
semua individu. Namun, untuk perubahan yang bersifat atypical jika tidak
mendapatkan perlakuan yang tepat akan mengarah pada munculnya gangguan
atau developmental psychopatholgy.

C. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus


Menurut klasifikasi dan jenis kelainan, anak berkebutuhan dikelompokkan ke dalam
kelainan fisik, kelainan mental, dan kelainan karakteristik sosial.

1. Kelainan Fisik
Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih organ tubuh
tertentu. Akibat kelainan tersebut timbul suatu keadaan pada fungsi fisik tubuhnya
4
tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal. Tidak berfungsinya anggota fisik
terjadi pada: alat fisik indra, misalnya kelainan pada indra pendengaran (tunarungu),
kelainan pada indra penglihatan (tunanetra), kelainan pada fungsi organ bicara
(tunawicara); alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot dan tulang (poliomyelitis),
kelainan pada sistem saraf di otak yang berakibat gangguan pada fungsi motorik
(cerebral palsy), kelainan anggota badan akibat pertumbuhan yang tidak sempurna,
misalnya lahir tanpa tangan/kaki, amputasi dan lain-lain. Untuk kelinan pada alat
motorik tubuh ini dikenal dalam kelompol tunadaksa Pengertian kelainan penglihatan
yang perlu intervensi khusus yaitu kelainan yang dialami anak yang memiliki visus
sentralis 6/60 lebih kecil dari itu, atau setelah dikoreksi secara maksimal tidak
mungkin mempergunakan fasilitas pendidikan dan pengajaran yang ada dan
umumnya digunakan oleh anak normal/ pramg awas (Bratanata,1979).
Berdasarkan gradasi ketajaman penglihatannya, kondisi anak yang berkelainan
penglihatan dapat dikelompokkan menjadi: 1.). kelompok anak berkelainan
penglihatan yang masih memiliki kemungkinan untuk dikoreksi melalui pengobatan
atau alat optik, 2). anak berkelainan penglihatan yang dapat dikoreksi melalui
pengobatan atau alat optik. Anak berkelainan penglihatan yang masih mempunyai
kemungkinan dikoreksi dengan pengobatan atau alat optik, biasanya anak dalam
kelomopok ini tidak dapat dikategorikan dalam kasus kelainan penglihatan dalam
pengertian pendidikan luar biasa (pendidikan khusus), sebab mereka dapat dididik
tanpa harus dengan modifikasi atau program khusus. Anak berkelainan penglihatan
yang kemungkinan dikoreksi dengan penyembuhan pengobatan atau alat optik, tetapi
kemampuan untuk mempergunakan fungsi penglihatannya secara efektif sangat
minim, sehingga anak tidak mampu mengikuti program sekolah normal.
Anak berkelainan penglihatan dalam kelompok yang ke tiga ini adalah anak
berkelainan penglihatan yang sama sekali tidak mempunyai kemungkinan dikoreksi
dengan penyembuhan pengobatan atau alat optik. Akibat berkelainan penglihatan
yang demikian beratnya sehingga kebutuhan layanan pendidikan hanya dapat dididik
melalui saluran lain selain mata. Pada kasus ini orang sering menyebutnya dengan
tunanetra berat (buta). Terminology tunanetra berat atau buta berdasarkan
rekomendasi dari The White House Conference on Child Health and Education di
Amerika (1970), dijelaskan bahwa seseorang dikategorikan buta jika ia tidak dapat
mempergunakan penglihatannya untuk kepentingan pendidikannya (Kirk,1970;
Patton,1991). Anak berkelainan indra pendengaran atau tunarungu secara medis
dikatakan, jika dalam mekanisme pendengaran karena sesuatu dan lain sebab terdapat
satu atau lebih organ mengalami gangguan atau rusak. Akibatnya, organ tersebut
tidak mampu menjalankan fungsinya untuk menghantarkan dan mempersepsi
rangsang suara yang ditangkap untuk diubah menjadi tanggapan akustik. Secara
pedagogis, seorang anak dapat dikategorikan berkelainan indra pendengaran atau
tunarungu, jika dampak dari disfungsinya organ-organ yang berfungsi sebagai
penghantar
5
2. Kelainan Mental
Anak kelainan dalam aspek mental adalah anak yang memiliki penyimpangan
kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia sekitarnya.
Kelainan pada aspek mental ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu kelainan mental
dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan mental dalam arti kurang (subnormal).
Kelainan mental dalam arti lebih atau anak unggul, menurut tingkatannya
dikelompokkan menjadi: (a) anak mampu belajar dengan cepat (rapid learner), (b)
anak berbakat (gifted), dan (c) anak genius (extremely gifted). Karakteristik anak
yang termasuk dalam kategori mampu belajar dengan cepat jika hasil kecerdasan
menunjukkan, bahwa indeks kecerdasannya yang bersangkutan berada pada rentang
110-120, anak berbakat jika indeks kecerdsannya berada pada rentang 120-140, dan
anak sangat berbakat atau genius jika indeks kecerdasannya berada pada rentang di
atas 140.

3. Kelainan Perilaku Sosial


Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami kesulitan
untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tatatertib, norma sosial, dan lain-lain.
Manifestasi dari mereka yang dikategorikan dalam kelainan perilaku sosial ini ,
misalnya kompensasi berlebihan, sering bentrok dengan lingkungan, pelanggaran
hukum/norma maupun kesopanan (Amin & Dwidjosumarto, 1979).
Mackie (1957) mengemukakan, bahwa anak yang termasuk dalam kategori
kelainan perilaku sosial adalah anak yang mempunyai tingkah laku yang tidak sesuai
dengan adat kebiasaan yang berlaku di rumah, di sekolah, dan di masyarakat
lingkungannya (dalam Kirk,1970). Hal yang lebih penting dari itu adalah akibat
tindakan atau perbuatan yang dilakukan merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Klasifikasi anak yang termasuk dalam kategori mengalami kelainan perilaku
sosial di antaranya anak psychotic dan neurotic, anak dengan gangguan emosi dan
anak nakal (delinquent). Berdasarkan sumber terjadinya tindak kelainan perilaku
sosial secara penggolongan dibedakan menjadi: (1) tunalaras emosi, yaitu
penyimpangan perilaku sosial yang ekstrem sebagai bentuk gangguan emosi, (2)
tunalaras sosial, yaitu penyimpangan perilaku sosial sebagai bentuk kelainan dalam
penyesuaian sosial karena bersifat fungsional.3

D. Layanan Pendidikan
1. Pengertian layanan pendidikan
Layanan pendidikan di Indonesia diselenggarakan oleh pemerintah maupun
swasta. Layanan pendidikan yang diberikan selama ini telah berjalan dan
menghasilkan hasil pendidikan seperti sekarang ini. Layanan pendidikan
3 Nandiyah Abdullah, Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus, Psikologi Fakultas Psikologi UNWIDHA Klaten,
Magistra No. 86 Th. XXV Desember 2013 1 ISSN 0215-9511, hlm 1

6
menghasilkan model pendidikan yang semakain berkembang. Hal ini bertujuan tentu
saja untuk memberikan layanan pendidikan untuk semua artinya baik anak normal
maupun anak berkebutuhan khusus. Layanan pendidikan ialah kesempatan yang
diberikan kepada anak didik untuk menggali bakat dan intelegensinya baik pada
ranah kognitif, afektif, psikomotor, maupun keterampilan (softskills) (Mudjito, 2012).
4

2. Pentingnya pendidikan pada anak berkebutuhan khusus


Anak berkebuthan khusus memerlukan perhatian baik itu dalam bentuk kasih
sayang, pendidikan, maupun dalam berinteraksi sosial. Pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus sebaiknya diberikan sejak masih kanak-kanak namun mendidik
mereka memerlukan suatu pendekatan yang khusus dan strategi yang khusus pula.
Melalui pendekatan dan strategi khusus diharapkan mereka mampu menerima
kondisinya, melakukan sosialisasi dengan baik, berjuang sesuai dengan
kemampuannya, memiliki keterampilan yang dibutuhkan, dan menyadari sebagai
warga negara dan anggota masyarakat.
Anak berkebutuhan khusus sudah seharusnya mendapatkan hak untuk belajar
sama dengan anak normal lainnya. Hal ini ditegaskan dalam UU no. 20 Tahun 2003
tentang SISDIKNAS pada Pasal 5, ayat (1): Setiap warga negara mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, ayat (2) : Warga negara
yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial
berhak memperoleh pendidikan khusus, ayat (3) : Warga negara di daerah terpencil
atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan
layanan khusus, ayat (4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Dilanjutkan pada Pasal 32 ayat (1):
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,emosional,
mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. ayat (2)
Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah
terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami
bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi”.
Dengan memberikan kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk
bergaul dan bersosialisasi dengan teman sebayanya baik itu di lingkungan sekolah
maupun lingkungan masyarakat akan menumbuhkan harga diri dan motivasi untuk
terus mengembangkan kemampuan yang dimiliki. Mereka membutuhkan
pendampingan dari orang dewasa untuk menuntun mereka pada kehidupan yang lebih
baik.5

4 Nurul Hidayah dkk, Pendidikan Inklusi dan Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta : Penerbit Samudra Biru,
2019) hlm 120
5 Ibid, hlm 121

7
3. Prinsip-prinsip pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus.
Anak berkebutuhan khusus memerlukan suatu metode pembelajaran, strategi, dan
pendekatan khusus sehingga perlu diketahui tentang prinsip-prinsip pembelajaran
anak berkebutuhan khusus meliputi (Delphie, 2006): 6
a. Prinsip kasih sayang
Prinsip ini menekankan menerima anak berkebutuhan khusus
sebagaimana adanya dan mengupayakan mereka agar mampu menjalani hidup
dan kehidupan dengan wajar seperti anak normal. Oleh karena itu perlu upaya
yang dilakukan yaitu tidak bersikap memanjakan. Tidak bersikap acuh tak
acuh terahdap kebutuhannya, dan memberikan tugas sesuai kemampuan anak.
b. Prinsip layanan individual
Prinsip ini menekankan bahwa setiap anak berkebutuhan khusus memiliki
jenis dan derajat yang berbeda-beda tentang kekhususannya. Oleh karena itu
upaya yang perlu dilakukan ialah (a) jumlah sisiwa yang dilayani guru dalam
satu kelas maksimal 4-6 orang, (b) pengaturan kurikulum dan jadwal pelajaran
dapat bersifat fleksibel, (c) penataan ruang kelas ditata sedemikian rupa
sehingga guru dapat menjangkau semua anak dengan mudah, (d) modifikasi
alat bantu ajar.
c. Prinsip kesiapan
Maksud dari prinsip ini ialah perlu dilakukan persiapan mengenai
pengetahuan, mental, dan fisik anak berkebutuhan khusus untuk menunjang
pembelajaran. Contoh anak berke- lainan secara umum mempunyai
kecenderungan cepat bosan dan cepat lelah apabila menerima pelajaran. Oleh
karena itu, guru dalam kondisi ini tidak perlu memberi pelajaran baru,
melainkan mereka diberikan kegiatan yang menyenangkan dan rileks, setelah
segar kembali guru baru dapat melanjutkan memberikan pelajaran.
d. Prinsip keperagaan.
Maksud dari prinsip ini ialah pembelajaran pada anak berkbeutuhan
khusus perlu didukung oleh alat peraga sebagai medianya. Alat peraga ini
berfungsi untuk mempermudah guru dalam mengajar dan mempermudah
siswa dalam menerima materi dari guru.
e. Prinsip motivasi.
Maksud dari prinsip ini ialah dalam mengajar lebih menekankan pada cara
mengajar dan pemberian evaluasi yang disesuaikan dengan kondisi anak yang
berkebutuhan khusus. Memberikan motivasi bagi mereka lebih efekrif apabila
melalui tindakan nyata misalnya anak tuna netra mempelajari tentang
pengenalan suara binatang maka akan lebih berkesan jika mereka diajak ke
kebun binatang.
f. Prinsip belajar dan bekerja kelompok.

6 Ibid, hlm 122

8
Penekanan pada prinsip ini ialah agar mereka sebagai anggota masyarakat
dapat bergaul dengan baik tanpa harus merasa rendah diri atau minder.
Melalui kegiatan ini diharapkan mereka dapat memahami bagaimana cara
bergaul dengan orang lain secara baik dan wajar.
g. Prinsip keterampilan.
Prinsip ini menekankan pada pendidikan keterampilan yang berfungsi
selektif, edukatif, rekreatif, terapi, dan sebagai bekal dikehidupannya kelak.
Selektif artinya untuk mengarahkan minat, bakat, ketrampilan dan perasaan
anak berkelainan secara tepat guna. Edukatif berarti membimbing anak
berkelainan untuk berpikir logis, berperasaan halus dan kemampuan untuk
bekerja. Rekreatif berarti unsur kegiatan yang diperagakan sangat
menyenangkan bagi anak berkebutuhan khusus. Terapi berarti aktivitas
ketrampilan yang diberikan dapat menjadi salah satu sarana habilitasi akibat
kelainan atau ketunaan yang disandangnya.
h. Prinsip penanaman dan penyempurnaan sikap.
Kondisi fisik dan psikis anak berkebutuhan khusus memang kurang baik
sehingga perlu diupayakan agar mereka mempunyai sikap yang baik serta
tidak selalu menjadi perhatian orang lain.

E. Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Melalui Pendidikan inklusi

1. Pengertian pendidikan inklusi


Layanan pendidikan inklusi muncul pada pertengahan abad keduapuluh. Model
layanan pendidikan inklusi muncul karena belajar dari berbagai kelemahan model
segregatif. Inklusi berasal Inklusif berasal dari kata inclusion yang berarti penyatuan.
Inklusif mendeskripsikan sesuatu yang positif dalam usaha-usaha menyatukan anak-
anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara yang realitas dan komprehensif
dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh (Smith, 2006). 7
Model pendidikan inklusi merupakan sebuah alternatif yang ditawarkan oleh
pemerintah untuk melayani Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pendidikan ini bukan
digunakan untuk menggantikan pendidikan segregasi dalam konteks pendidikan luar
biasa di Indonesia yang selama ini terlayani dengan Sekolah Luar Biasa (SLB) dan
Sekolah Terpadu. Sistem ini memungkinkan ABK bersekolah di sekolah reguler
sehingga membuka akses pendidikan yang lebih luas, bagi para ABK. Sekolah inklusi
dimaksudkan untuk memperpendek akses pendidikan bagi ABK yang biasanya
bertempat tinggal jauh dari pusat kota dimana terdapat SLB sehingga mereka tidak
mengalami putus sekolah. 8

7 Ibid, hlm 124


8 Sasadara Wahyu Lukitasari dkk, Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi, Jurnal Manajemen
Pendidikan, Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana, Volume: 4, No. 2, Juli-
Desember 2017, hlm 122

9
Baihaqi dan Sugiarmin menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah mengenai hak
setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para siswa harus
diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka. Untuk mencapai potensi tersebut,
sistem pendidikan harus dirancang dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan
yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang ketidakmampuan khusus dan/atau
memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa harus mempunyai akses terhadap
pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat (Baihaqi, Sugiarmin, 2006).
Sekolah inklusif dimulai dengan filosofi bahwa semua anak dapat belajar dan
tergabung dalam sekolah dan kehidupan komunitas umum. Pendidikan inklusif
merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak special need yang
secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca dalam konferensi
dunia tentang pendidikan berkelainan bulan Juni 1994, bahwa prinsip mendasar
pendidikan inklusi adalah selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar
bersama-sama tanpa memandang kesulitan atau perbedaan yang mungkin ada
(Ermawati, 2008).
Ada banyak pengertian pendidikan inklusi. Menurut Tarmansyah (2009)
pendidikan inklusi merupakan merupakan sekolah yang menampung semua murid
dengan menempatkan anak sesuai dengan tingkat kelainannya yaitu ringan, sedang,
atau berat secara penuh di kelas regular. Menurut Marentek (2007) pendidikan inklusi
merupakan bentuk layanan pendidikan yang ditujukan bagi peserta didik
berkebutuhan khusus di sekolah regular baik yang berkelainan, lamban belajar (slow
learner), maupun yang berkesulitan belajar lainnya.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi merupakan
layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus yang sekolah di sekolah regular
dengan menempatkan anak berkebutuhan khusus sesuai dengan tingkat kelainannya.
Esensi pendidikan inklusi disampaikan dalam seminar Agra tahun 1998 (dalam
Ratri, 2016) yang dinyatakan dalam beberapa hal sebagai berikut:

a. Pendidikan yang lebih luas daripada pendidikan formal, mencakup pendidikan


di rumah, masyarakat, sistem nonformal dan informal.
b. Suatu pendidikan yang mengakui bahwa semua anak dapat belajar.
c. Memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi
kebutuhan semua anak.
d. Mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak, yaitu
perbedaan usia, gender, etnik, bahasa, ketunaan, status kesehatan, dan
kemampuan.
e. Merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan
budaya dan konteksnya f. Merupakan bagian dari strategi yang lebih luas
untuk mempromosikan masyarakat yang inklusif.

2. Landasan Pendidikan Inklusi


10
Pelaksanaan pendidikan inklusi berbeda pelaksanaanya dengan konsep
pendidikan lainnya yang tidak mengedepankan pendidikan anak berkebutuhan
khusus. Dalam pelaksanaan pendidikan inklusi agar berjalan sesuai dengan yang
diharapkan, diperlukan landasan sebagai berikut: 9
a. Landasan filosofis.
Landasan filosofis pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia ialah
Pancasila yang dicirikan dengan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan semangat
bersatu dalam keragaman, maka pendidikan inklusi harus mampu bersinergi
dan saling menghargai dengan perbedaan yang ada.
b. Landasan religius
andasan Religius merupakan manusia sebagai khalifah, cerminan dari
bentuk kepedulian dalam menjalani kehidupan Tuhan di muka bumi. Manusia
diciptakan sebagai makhluk yang individual differences agar dapat saling
berhubungan dalam rangka saling membutuhkan.
c. Landasan yuridis
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Pasal 4 (1) (Depdiknas, 2003) dinyatakan bahwa: pendidikan di negeri ini
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan
kemajemukan bangsa. Pasal 5 (2) menyatakan warga Negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental dan atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus. Dalam penjelasan pasal 15 dinyatakan bahwa
penyelenggaraan pendidikan khusus tersebut dilakukan secara inklusif atau
berupa satuan pendidikan khusus.
d. Landasan Pedagogis Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 disebutkan
bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas,
2003).

F. Homeschooling (Pendidikan Rumah) Bagi ABK


1. Pengertian Homeschooling
Pelaksanaan pendidikan rumah (Homeschooling) sudah dilakukan sejak dulu.
Model Homeschooling pernah diajarkan oleh Haji Agus Salim. Model pendidikan
home schooling dilaksanakan di rumah, oleh orang tua atau seseorang yang dianggap

9 Ibid, hlm 125

11
layak dalam memberikan proses pendidikan. Pelayanan pendidikan di rumah lebih
mengandalkan kekuatan dari proses pembelajaran yang diberikan dan terbangun di
rumah. Jangkauan-jangkauan pendidikan tetap memerlukan pencapaian berbagai
ranah pendidikan, baik pencapaian keilmuan, keterampilan maupun pembentukan
sikap.10
Homeschooling berasal dari bahasa Inggris yang berarti Home ialah rumah,
schooling artinya sekolah. Menurut Sumardiono (2007) Homeschooling ialah model
pendidikan keluarga dimana keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas
pendidikan anak-anaknya dan rumah sebagai basis pendidikannya. Dalam
Homeschooling proses belajar bersifat kontekstual dan sumber belajar berasal dari
kehidupan sehari-hari. Peran orang tua pada layanan Homeschooling bukanlah
menjadikan mereka sebagai guru namun leboh kepada fasilitator dan mentor karena
tentu saja pengetahuan dan kemampuan orang tua pastilah sangat terbatas. Orang tua
bertugas untuk membangun dan menggerakann spirit belajar anak-anak mereka
sehingga anak-anak mampu menjadi pembelajar mandiri. Orang tua bebas
menggunakan media belajar dan sumber belajar apapun dan darimanapun.

2. Dasar hukum Homeschooling


Keberadaan Homeschooling telah disteujui oleh pemerintah melalui UU No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 29. Homeschooling merupakan
jalur layanan pendidikan informal dalam bentuk kegiatan belajar secara mandiri yang
dilakukan oleh keluarga dan lingkungan. Negara tidak mengatur proses
pembelajarannya namun hasil pendidikannya diakui setara dengan pendidikan formal
dan non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional
pendidikan. Jika menginginkan ijazah sesuai dengan pendidikan formal, anak-anak
bisa mengikuti ujian paket A (setara SD), paket B (setara SLTP), paket C (setara
SLTA). Ijazah tersebut dapat digunakan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
berikutnya.
Selain itu, dukungan pemerintah terhadap Homeschooling juga ditunjukkan
dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Depdiknas dan Asosiasi Sekolah
Rumah dan Pendidikan Alternatif Indonesia (Asah Pena) pada tanggal 10 Januari
2007 yang berisi pengakuan Komunitas Sekolah Rumah sebagai salah satu bentuk
Satuan Pendidikan Kesetaraan. Ketentuan mengenai kesetaraan diatur dalam Undang-
undang Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, pasal 26 ayat (6) : “ Hasil
pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal
setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjukan oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan”.

10 Ibid, hlm 127

12
3. Homeschooling bagi ABK.
Mungkinkah Homeschooling dilakukan untuk anak berkebutuhan khusus?
Jawabannya adalah sangat mungkin. Aspek yang paling berperan dalam menentukan
keberhasilan pelaksanaan Homeschooling bagi anak berkebutuhan khusus ialah
dukungan keluarga dan lingkungan. Dukungan dan peran aktif orang tua sangatlah
diperlukan karena menentukan perkembangan belajar, kesehatan, dan perkembangan
lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Hallahan dan Kauffman (2006) yang
menyatakan bahwa anak akan mencapai kemajuan dengan menguasai berbagai
kemampuan yang harus dikuasai jika pada prosesnya terdapat kerjasama antara orang
tua dan professional praktisi pendidikan. Hal yang penting dan mendasar dalam
pelaksanaan homechooling pada anak berkebutuhan khusus ialah selama
memungkinkan anak berkebutuhan khusus dari semua tingkat kekhususannya elajar
bersama-sama sehingga setiap anak dapat dietrima dan sling membantu baik dengan
guru, teman sebaya, maupun anggota masyarakat lainnya. 11
Ketika orang tua sudah menentukan pilihannya pada layanan pendidikan
Homeschooling maka orang tua bertanggung jawab 129 terhadap pelaksanaan proses
pembelajaran salah satunya ialah kurikulum dan materi pembelajaran. Kurikulum
yang digunakan dalam pelaksanaan Homeschooling untuk anak berkebutuhan khusus
disesuaikan dengan kebutuhan anak. Melalui kurikulum tersebut diharapkan potensi
anak berkembang dengan maksimal sehingga akan bermanfaat bagi kehidupan anak
di kemudian hari. Dalam mengembangkan kurikulum, orang tua bisa berkonsultasi
kapada para professional misalnya psikolog dan paedagog. Peran psikolog dalam
rangka membantu mendiagnosa kekhususan yang dimiliki anak, sedangkan paedagog
berperan membantu menyusun kurikulum sesuai dengan kekhususan anak.
Kurikulum Homeschooling ialah kurikulum yang disusun sendiri oleh orang tua
dengan mengacu pada kurikulum nasional. Kurikulum nasional dapat dimodifikasi
sesuai dengan kebutuhan anak, keadaan keluarga, maupun gaya belajar anak agar
hasil belajar bisa maksimal. Orang tua dapat menyusun mesia belajar sendiri sesuai
dengan yang diharapkan. Kreatifitas orang tua tentu saja sangat diperlukan. Orang tua
dapat memilih sendiri buku referensi yang akan digunakan, materi yang akan dip
pelajari, media yang digunakan, waktu belajar, dan cara belajar.

4. Langkah-langkah melakukan Homeschooling


Pada dasarnya pelaksanaan Homeschooling bersifat unik karena tiap pelaksana
Homeschooling, dalam hal ini adalah keluarga, mempunyai gaya masing-masing
dalam melakukan Homeschooling. Hal ini dikarenakan latar belakang keadaan
keluarga berbeda-beda. Meskipun demikian orang tua tidak boleh bersifat

11 Ibid, hlm 128

13
individualistik. Mereka perlu bergabung dan membentuk jaringan untuk berinteraksi
dan proteksi. Mereka perlu membentuk komunitas belajar. 12
Agar pelaksanaan Homeschooling diakui maka komunitas belajar perlu
melakukan langkah-langkah sebagai berikut (Desiningrum, 2016):
a. a. Mendaftarkan kesiapan orangtua untuk menyelenggarakan
pembelajaran di rumah/lingkungan kepada komunitas belajar.
b. Berhimpun dalam suatu komunitas.
c. Mendaftarkan komunitas belajar pada bidang yang menangani kesetaraan
pada dasar pendidikan yang kabupaten/kota setempat.
d. Mengadministrasikan peserta didik sesuai dengan program paket belajar
yang diikutinya.
e. Menyusun program belajar dan strategi penyelenggaraan secara
menyeluruh dan berkesinambungan sesuai dengan program paket belajar
yang diikuti.
f. Mengembangkan perangkat pendukung pembelajaran, melakukan
penilaian terhadap hasil belajar yang dicapai peserta didik secara berkala
per-semester.
g. Mengikutsertakan peserta didik yang sudah memenuhi persyaratan dalam
ujian nasional.

12 Ibid, hlm 129

14
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kebutuhan akan pendidikan adalah milik semua orang, tidak terkecuali bagi Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK). Keterbatasan yang dialami menjadikan ABK memerlukan
layanan pendidikan yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik anak.
Walaupun penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia sampai saat ini masih
mengundang kontroversi, namun praktek sekolah inklusif memiliki berabagai sisi positif
mulai dari siswa belajar untuk sensitif, memahami, menghargai, dan menumbuhkan rasa
nyaman terhadap perbedaan individual.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan dengan anak-
anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus (dulu di sebut sebagai anak luar biasa)
didefinisikan sebagai anak yang memerlukan pendidikan dan layanan khusus untuk
mengembangkan potensi kemanusiaan mereka secara sempurna (Hallahan dan Kauffman,
2003: 12). Anak-anak berkebutuhan khusus ini tidak memiliki ciri-ciri perkembangan
psikis ataupun fisik dengan rata-rata anak seusianya. Namun meskipun berbeda, ada juga
anak-anak berkebutuhan khusus menunjukan ketidakmampuan emosi, mental, atau
fisiknya pada lingkungan sosial. Terdapat beberapa jenis anak berkebutuhan khusus yang
seringnya kita temui yaitu tunarungu, tunanetra, tunadaksa, tunagrahita, tunalaras, autis,
down syndrome, dan retradasi mental (kemunduran mental).
Pada dasarnya pendidikan inklusi bertujuan untuk menyamaratakan hak antara
anak regular dengan anak berkebutuhan khusus dalam satu wadah pendidikan, namun
pada kenyataannya lingkungan sekolah yang aksesibel maupun fasilitas-fasilitas lain
yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus masih belum
memadai. Sehingga beberapa kegiatan dan proses belajar mengajar di sekolah tidak
seluruhnya dapat dilakukan oleh anak berkebutuhan khusus karena beberapa keterbatasan
yang dimilikinya.
Homeschooling berasal dari bahasa Inggris yang berarti Home ialah rumah,
schooling artinya sekolah. Menurut Sumardiono (2007) Homeschooling ialah model
pendidikan keluarga dimana keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas
pendidikan anak-anaknya dan rumah sebagai basis pendidikannya. Dalam

15
Homeschooling proses belajar bersifat kontekstual dan sumber belajar berasal dari
kehidupan sehari-hari. Peran orang tua pada layanan Homeschooling bukanlah
menjadikan mereka sebagai guru namun leboh kepada fasilitator dan mentor karena tentu
saja pengetahuan dan kemampuan orang tua pastilah sangat terbatas. Orang tua bertugas
untuk membangun dan menggerakann spirit belajar anak-anak mereka sehingga anak-
anak mampu menjadi pembelajar mandiri. Orang tua bebas menggunakan media belajar
dan sumber belajar apapun dan darimanapun.

B. SARAN
Pemerintah, Lembaga Pendidikan serta tenaga kependidikan harus lebih
memperhatikan mutu pendidikan kepada anak berkebutuhan khusus, karena dengan
pendidikan yang baik anakberkebutuhan khusus dapat meilki masa depan cerh.

16
DAFTAR PUSTAKA

Dinie Ratri Desiningrum, 2016. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta : Psikosain)
Ika Febrian Kritiana S.Psi., M.Psi dkk, 2016. Buku Ajar Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus,
(Semarang : UNDIP Press)

Nandiyah Abdullah, Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus, Psikologi Fakultas Psikologi


UNWIDHA Klaten, Magistra No. 86 Th. XXV Desember 2013 1 ISSN 0215-9511

Nurul Hidayah dkk, 2019. Pendidikan Inklusi dan Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta :
Penerbit Samudra Biru)

Sasadara Wahyu Lukitasari dkk, Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi, Jurnal
Manajemen Pendidikan, Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen
Satya Wacana, Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017

17

Anda mungkin juga menyukai