OLEH:
KELOMPOK I
GUNAWAN.A (200407552001)
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat ALLAH SWT karena atas segala rahmat dan
karunia-Nya kami diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah tentang materi “Siswa
Dengan Gangguan Penglihatan”. Makalah ini disusun sebagai bentuk proses mengembangkan
kemampuan dalam belajar. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
menyelesaikan Tugas dari Ibu Musfira, S.Pd.,M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah
Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan baik pada isi atau materi maupun pada penulisannya. Oleh karena itu kami
mengharap kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar bisa menjadi bekal buat
kami di kemudian hari. Dan semoga selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi kami
sendiri dan pembaca. Khususnya dalam memperluas pengetahuan mengenai tentang “Siswa
Dengan Gangguan Penglihatan” dan juga demi kemajuan pendidikan anak dengan
berkebutuhan khusus.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak memiliki suatu ciri yang khas yaitu yang selalu tumbuh dan berkembang sejak saat
konsepsi sampai berakhir masa remaja, termasuk anak-anak yang mengalami hambatan fisik,
sosial, emosional, mental dan tingkah laku, yang disebut juga dengan anak berkebutuhan
khusus. Anak berkebutuhan khusus berada pada posisi yang kurang menguntungkan jika
dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki kemampuan yang baik beradaptasi dengan
lingkungan sosial.
Pendidikan merupakan hak dasar setiap anak termasuk anak berkebutuhan khusus.
Amatlah penting bahwa semua anak di usia sekolah dapat menerima pelajaran sesuai dengan
kemampuan mereka.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Anak Berkebutuhan Khusus?
2. Apakah defenisi Gangguan Penglihatan?
3. Apakah penyebab dari Gangguan Penglihatan?
4. Bagaimanakah karakteristik Gangguan Penglihatan?
5. Bagaimanakah strategi pendidikan Gangguan Penglihatan?
C. Tujuan
1. Mampu mengetahui pengertian dari Anak Berkebutuhan Khusus
2. Mampu mengetahui dengan jelas defenisi Gangguan Penglihatan
3. Mampu mengetahui yang menjdi penyebab Gangguan Penglihatan
4. Dapat mengetahui karakteristik Gangguan Penglihatan
5. Dapat mengetahui strategi pendidikan Gangguan Penglihatan
BAB II PEMBAHASAN
Jadi istilah anak berkebutuhan khusus bisa menunjuk kepada anak-anak yang
mengalami kelainan (anak luar biasa atau exceptional children), tetapi bisa juga
menunjuk kepada anak-anak yang memerlukan layanan khusus disebabkan karena
suatu kondisi eksternal yang sifatnya bisa temporer. Dalam buku ini, istilah anak
berkebutuhan khusus lebih menunjuk kepada pengertian yang pertama. Cullata dkk.
(2003) menuliskan pengertian anak luar biasa sebagai: “child who deviates from the
average or normal child (1) in mental characteristics (2) in sensory abilities (3) in
neuromuscular or physical characteristics, (4) in social or emotional behavior (5) in
communication abilities or (6) in multiple handicaps to such an extent that he
requires a modification of school practices, or special education services, in order to
develop to his maximum capacity‖”.
Secara etimologis, tunanetra berasal dari kata “tuna” dan “netra”. Tuna berarti tanpa,
tidak memiliki, atau rusak, sedangkan netra berarti mata atau penglihatan. Dengan demikian,
tunanetra berarti orang yang tidak memiliki penglihatan atau orang yang penglihatannya
mengalami kerusakan. Termasuk dalam pengertian tunanetra adalah mereka yang tidak
memiliki penglihatan sama sekali (buta total) atau mereka yang mengalami kerusakan pada
fungsi matanya tetapi masih memiliki sisa penglihatan.
Penyebab anak berkebutuhan khusus dikelompokkkan menjadi dua yaitu sebelum lahir
dan setelah lahir. Kedua penyebab tersebut akan dijelaskan pada uraian berikut ini.
1. Sebelum Lahir
Inti sel keturunan manusia mempunyai 22 kromosom biasa (autosom) dan satu
kromosom jenis kelamin. Kromosom yang terpanjang diberi nomor 1, diikuti oleh yang
kurang panjang, sampai pada nomor 22, kromosom jenis kelamin pria disebut dengan Y,
dan jenis kelamin wanita disebut X. Menurut perkiraan sementara, setiap sel manusia
mempunyai 10 juta gen. Sel keturunan mungkin setengah dari jumlah itu. Dalam
kromosom satu sampai 22, ada kromosom 23 terdiri atas pasangan kromosom X dan
kromosom Y. Jika pasangan itu berupa X dengan X ditulis XX, maka bayi yang lahir
adalah perempuan. Jika x dengan Y ditulis XY, maka bayi yang lahir adalah laki-laki.
Kelainan dapat terjadi pada kromosom dan dapat pula pada gen. Apabila sel keturunan
yang mempunyai kromosom dan gen yang mempunyai kelainan mendapat pembuahan
dan selanjutnya berkembang menjadi bayi, maka bayi yang lahir mengakibatkan cacat
atau berkebutuhan khusus. Kelainan yang mengakibatkan keluarbiasaan ini ada yang
dinamakan dengan:
a. Trisoni
Setelah mengalami pembuahan kromosom inti sel kelamin akan berpasang-pasangan
menjadi dua dua, satu dari ayah dan satu dari ibu. Pada trisomi tanpa ada kromosom yang
berpasangan bukan dua tetapi tiga, karena ditambah dari patahan kromosom lain, anak
yang terjadi dari trisomi memiliki kelainan pada mulut, mata, kepala,tangan dan
kecerdasan. Kelainan ini dikenal dengan nama down’s syndrom.
b. Anamoly Kromosom kelompok D
Setiap kromosom dapat dapat mengalami kelainan, adapun kelainan kromosom kelompok
D berakibat pada anak berupa: kepala kecil, kelainan pada mata, telinga terlalu bawah,
belah langit-langit, berjari enam, dan kurang cerdas.Kelainan ini dikenal dengan nama p
atau s ‘ syndrome.
c. Anamoly XXY.
Kromosom jenis kelamin adalah pasangan XX, kromosom pria XY, kalau pasangan
tersebut berupa XY ia akan berupa pria yang beralat kelamin kecil, bertubuh gendut atau
astenik, beremosi tidak stabil, dan cenderung psikosis.Kelainan ini dikenal dengan nama
Klinefelter’s syndrome.
d. Retinitis Pigmentosa.
Dalam sel keturunan ada satu gen yang kalau berkelainan mengakibatkan kemunduran
retina. Sejak kecil bayi bisu tuli, berjari lebih, dan kurang cerdas. Kelainan ini dikenal
dengan nama LMB syndrome (Laurence, Moon, Bardet, dan Beidl). Yaitu nama peneliti
yang mendeskripsikan pertama kali gejala renitinit pigmentosa.
e. Congenital Toxoplasmosis
Setelah pembuahan terjadi, ancaman dapat terjadi dari parasit protozoa dan lain-lain.
Antaranya dapat mengakibatkan congenital toxoplasmosis. Penderita mengalami
kerusakan pada retina, kecerdasan dan kepala. Kerusakan pada kepala dapat berakibat
epilepsi, pengapuran otak besar, dan hydrosepalus. Perbedaan ibu dan anak: jika kadar
rhesus pada darah ibu negatif, sedangkan pada anak positif, reaksi anti gen ibu dapat
membahayakan anak. Anak dapat menjadi tuli dan atetosis (salah satu kelainan gerak).
2. Sejak Lahir
Kesulitan ibu pada saat melahirkan dapat berakibat yang berat bagi bayi, bayi dapat
menjadi lumpuh, mendapat epilepsy, dan tunagrahita. Alat-alat yang digunakan sewaktu bayi
lahir, dan bayi lahir sebelum waktunya juga berakibat yang sama. Faktor lain yang juga
merugikan sejak lahir adalah : malnutrisi, infeksi, keracunan, benturan benda keras dan lain-
lain.
Banyak kondisi atau faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan penglihatan
(ketunanetraan). Gangguan penglihatan dapat disebabkan karena faktor keturunan (genetis).
Sejumlah kasus ketunanetraan yang terjadi di masyarakat, sebagian di antaranya disebabkan
karena diturunkan dari orang tuanya. Ada seseorang yang mengalami ketunanetraan
menjelang usia dewasa. Penglihatannya secara bertahap terus menurun sejalan dengan
pertambahan usianya. Indicator fisik yang tampak adalah adanya kerusakan atau
ketidaknormalan pada bola mata. Ketika dia sudah menikah dan memiliki anak, ternyata ada
di antara anaknya yang juga mengalami kebutaan dengan pola dan jenis yang hampir sama.
Terkait dengan faktor ini, Kirk dkk. (2009) menyebutkan bahwa salah satu potensi penyebab
gangguan penglihatan adalah faktor hereditas (hereditary condition).
Penyebab umum lainnya terhadap gangguan penglihatan ialah adanya kesalahan refraksi
atau pembiasan (errors of repraction). Myopia (rabun jauh), hyperopia (rabun dekat) dan
astigmatisma adalah beberapa contoh kasus kesalah repraksi yang dapat berpengaruh
terhadap ketajaman seltralis, yang dalam tingkan tertentu dapat menyebebkan kebutaan.
Walaupun kasus-kasus tersebut dapat menjadi penyebab yang cukup serius terhadap
munculnya gangguan penglihatan, akan tetapi, penggunaan kacamata atau lensa kontak dapat
membantu memperbaiki penglihatan individu dalam batas-batas tertentu.
Myopi terjadi bila bola mata bentuknya terlalu panjang. Dalam kasus ini, berkas sinar dari
sebuah objek akan berfokus di depan retina. Myopi mempengaruhi penglihatan untuk objek
jarak jauh, sedangkan panglihatan jarak dekat mungkin tidak terpengaruh. bila keadaan bola
mata terlalu pendek, maka akan menyebabkan hyperopi (rabun dekat). Dalam kasus ini,
berkas sinar dari sebuah objek akan berfokus di belakang retina. Hyperopi mempengaruhi
penglihatan terhadap objek jarak dekat, sedangkan penglihatan jarak jauh mungkin tidak
terpengaruh. Jika keadaan cornea atau lensa mata tidak beraturan, orang tersebut dikatakan
sebagai penderita astigmatisma.
E. Strategi Pendidikan
Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus secara umum terbagi dalam dua model.
Pertama, model layanan pendidikan yang menempatkan anak berkebutuhan khusus untuk
belajar secara bersama dengan anak-anak “normal”. Mereka diupayakan sedapat mungkin
untuk dapat belajar dan melakukan berbagai interaksi sosial dalam lingkungan yang umum.
Model ini sering disebut sebagai mainstreaming. Kedua, model layanan pendidikan dimana
anak-anak berkebutuhan khusus menjalani kegiatan belajar atau pendidikan secara terpisah
dari anak-anak normal. Model ini sering dikenal dengan istilah pendidikan segregasi
(terpisah).
Dalam praktiknya, model layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus kadang-
kadang tidak bersifat dikotomik sebagaimana yang disebutkan di atas (terpisah dan
teringrasi). Jenis dan bentuk layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus cukup beragam
yang tersebar dari kutub yang paling segregatif sampai dengan kutub yang paling integratif,
yaitu sbb:
1. Inclusive Reguler Classroom (kelas inklusif Penuh)
Ini merupakan bentuk layanan pendidikan yang paling integratif, dimana anak-anak
berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak-anak normal dalam satu kelas
yang sama, di sekolah reguler (sekolah umum). Model pendidikan seperti ini sering
disebut juga dengan istilah pendidikan inklusi. Ada yang membedakan antara istilah
inklusi dan integrasi. Inklusi sering diartikan sebagai bentuk layanan pendidikan
intergasi dimana anak berkebutuhan khusus mendapat layanan yang sesuai dengan
kebutuhannya. Sedangkan dalam model integrasi, anak berkebutuhan khusus harus
mengikuti kurikulum dan proses pembelajaran yang sama dengan anak-anak normal.
2. Reguler Classroom Teacher Consultant (Sekolah Reguler dengan Guru
Konsultan).
Anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan di sekolah reguler . Lebih dari 50%
waktu belajar diberikan (dilakukan) oleh guru reguler yang ada di sekolah tersebut.
Guru konsultan adalah guru pendidikan khusus yang berfungsi sebagai konsultan bagi
guru-guru, kepala sekolah atau petugas lainnya yang ada di sekolah tersebut. Guru
pendidikan khusus yang bertindak sebagai konsultan biasanya berada di sekolah luar
biasa (SLB) yang dekat dengan sekolah reguler.
3. Reguler Classroom Itenerant Teacher (Sekolah Reguler dengan Guru Kunjung)
Model ini memiliki karakteristik yang hampir sama dengan program guru konsultan,
dimana anak-anak berkebutuhan khusus be ajar di sekolah reguler. Yang
membedakannya dengan guru konsultan adalah bahwa pada program guru kunjung,
guru pembimbing khusus menggunakan sebagaian besar waktunya untuk melakukan
pengajaran langsung kepada anak berkebutuhan khusus yang ada di sekolah reguler.
4. Reguler school with Resource Room (Sekolah Reguler dengan Ruang Sumber
Belajar)
Pada model ini, anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan di sekolah reguler,
dimana terdapat di dalamnya suatu ruang khusus (ruang sumber; Resource Room)
yang digunakan untuk melaksanakan pelayanan khusus bagi berkebutuhan khusus
yang ada di sekolah tersebut. Aktivitas yang dilakukan di ruang sumber, bisa berupa
kegiatan asesmen atau layanan pembelajaran khusus seperti latihan baca tulis braille,
orientasi mobilitas, bahasa isyarat, bina persepsi bunyi, bina diri, terapi wicara, latihan
keterampilan motorik dll. Pembelajaran di ruang sumber biasanya dilakukan oleh
guru pendidikan khusus.
Anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan di sekolah reguler, akan tetapi dia
belajar pada kelas tersendiri yang terpisah dari anak-anak normal. Kondisi tersebut
berlangsung kurang lebih 50% dari waktu belajar yang ada. Artinya, sebagian
waktunya lagi digunakan untuk belajar di kelas reguler bersama dengan anak-anak
normal lainnya.
6. Self Contained Special Classes (Kelas Khusus)
Model ini hampir sama dengan model sebelumnya (Part-time Special class). Bedanya
adalah bahwa pada model ini anak berkebutuhakn khusus belajar di kelas tersendiri
(kelas khusus) dan berlengsung sepanjang hari (keseluruhan jam sekolah). Sekalipun
demikian, anak berkebutuhan khusus masih ada peluang untuk bisa menjalin aktivitas
bersama dengan anak-anak normal lainnya khususnya aktivitas di luar kelas.
7. Special Day School (Sekolah Khusus Harian)
Model ini merupakan model pendidikan terpisah (segregasi) dimana anak
berkebutuhan khusus mendapatkan layanan pendidikan di lembaga yang secara
khusus diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus. Dalam model ini anak
berkebutuhan khusus berada di sekolah hanya selama jam sekolah berlangsung.
Setelah itu mereka pulang dan tinggal bersama keluarganya. |Pengantar Pendidikan
Anak Berkebutuhan Khusus|
8. Residential School (Sekolah Berasrama)
Ini adalah model pendidikan segregasi tipe kedua, dimana anak berkebutuhan khusus
menjalani pendidikan di lembaga yang khusus diperuntukkan bagi anak berkebutuhan
khusus. Bedanya dengan model sebelumnya adalah bahwa pada model ini anak
tinggal di sekolah bukan saja pada jam sekolah tetapi juga mereka tidur dan tinggal di
asrama yang menyatu dengan sekolah. Jadi mereka hidup terpisah dari keluarga dan
kehidupan anak-anak normal selama 24 jam dalam sehari.
9. Residential Institution (Institusi Khusus)
Pada model ini, anak tinggal dan atau mendapat layanan pada institusi khusus yang
boleh jadi bukan sekolah. Misalnya panti perawatan, rumah sakit dan lain-lain.
Tujuan pendidikan bagi anak berkelainan secara menyeluruh maupun untuk gangguan
penglihatan adalah sama. Tujuannya adalah membantu anak gangguan penglihatan dalam
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.Tujuan khusus pendidikan bagi anak gangguan
penglihatan adalah:
1. Agar anak gangguan penglihatan memahami ketunaannya dan dapat menerima
keadaannya.
2. Agar anak gangguan penglihatan menyadari bahwa mereka merupakan anggota
masyarakat, warga negara dengan hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara
lainnya.
3. Agar anak gangguan penglihatan mampu berusaha dan berjuang untuk keperluannya
sendiri.
4. Agar anak gangguan penglihatan mempunyai keterampilan dan pengetahuan sesuai
dengan kemampuannya, sehingga dapat mencari nafkah.
5. Agar gangguan penglihatan dapat bergaul dengan masyarakat, tanpa harus merasa
rendah diri dan canggung.
Demikian juga tujuan pendidikan bagi anak gangguan penglihatan yaitu : (1). Agar
anak gangguan penglihatan memahami ketunaannya dan dapat menerima keadaannya karena
tidak semua anak gangguan penglihatan sadar akan dirinya. Karakteristik anak gangguan
penglihatan sangat mendukung situasi mudah tersinggung, tergantung pada orang lain, rendah
diri, cepat curiga, membuat tunanetra tidak percaya pada diri sendiri. Situasi ini akan
menghambat perkembangan mereka. Dalam menuntut ilmu, perasaan curiga, tergantung pada
orang lain, rendah diri, dan lain-lain, sangat menghambat perkembangan pikirannya. Hal
yang menyangkut perkembangan dirinya, pasti akan ditolak dengan alasan takut,malu, malas.
Untuk menimbulkan rasa percaya diri dibutuhkan suatu motivasi. Dalam hal ini, bidang studi
Orientasi dan mobilitas sangat mendukung. Bidang studi orientasi dan mobilitas akan
membantu tunanetra: mengenal diri, mengenal lingkungan, mengenal diri orang lain. Hal ini
akan membantu menumbuhkan rasa percaya diri. (2) Agar anak gangguan penglihatan
menyadari bahwa mereka merupakan anggota masyarakat, warga negara dengan hak dan
kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya.Gangguan penglihatan bila belum mampu
menerima keadaannya, maka mereka tidak mau tahu akan arti kehadirannya dalam
masyarakat. Rasa malu, rendah diri, cepat curiga, cepat tersinggung, akan menghambat rasa
hak dan kewajibannya sebagai anggota masyarakat. Mereka tidak mau tahu tentang arti hak
dan kewajibannya sebagai warga negara. (3) Agar anak gangguan penglihatan mampu
berusaha dan berjuang untuk keperluannya sendiri.Bila anak gangguan penglihatan telah
memiliki percaya diri dan menyadari arti kehadirannya dalam masyarakat, maka mereka
akan berjuang untuk keperluan dirinya sendiri. (4) Agar anak gangguan penglihatan
mempunyai keterampilan dan pengetahuan sesuai dengan kemampuannya, sehingga ia dapat
mencari nafkah. (5). Agar gangguan penglihatan dapat bergaul dengan masyarakat, tanpa
harus merasa rendah diri dan canggung.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Irdamurni. 2018. Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Jawa Barat: Goresan Pena