Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan adalah hak seluruh warga negara tanpa membedakan asal-usul,
status sosial ekonomi, maupun keadaan fisik seseorang, termasuk anak-anak yang
mempunyai kelainan sebagaimana di amanatkan dalam UUD 1945 pasal 31 (1).
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, hak anak untuk memperoleh pendidikan dijamin penuh tanpa adanya
diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak yang
berkebutuhan khusus.
Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami problema dalam belajar,
hanya saja problema tersebut ada yang ringan dan tidak memerlukan perhatian
khusus dari orang lain karena dapat diatasi sendiri oleh anak yang bersangkutan
dan ada juga yang problem belajarnya cukup berat sehingga perlu mendapatkan
perhatian dan bantuan dari orang lain. Anak luar biasa atau disebut sebagai anak
berkebutuhan khusus (children with special needs), memang tidak selalu
mengalami problem dalam belajar. Namun, ketika mereka diinteraksikan bersama-
sama dengan anak-anak sebaya lainnya dalam sistem pendidikan regular, ada hal-
hal tertentu yang harus mendapatkan perhatian khusus dari guru dan sekolah
untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal.
Seiring dengan berkembangnya tuntutan bagi kelompok perbedaan
kemampuan (difabel) dalam menyuarakan hak-haknya, maka kemudian muncul
konsep pendidikan inklusi. Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong
terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person
with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada
pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk
menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan.
Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi
penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam prakteknya sistem
pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan persoalan tarik ulur antara
pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, dalam hal ini para guru.

1
Pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus (student with special
needs) membutuhkan suatu strategi tersendiri sesuai dengan kebutuhan masing-
masing. Dalam penyusunan progam pembelajaran untuk setiap bidang studi
hendaknya guru kelas sudah memiliki data pribadi setiap peserta didiknya. Data
pribadi yakni berkaitan dengan karateristik spesifik, kemampuan dan
kelemahanya, kompetensi yang dimiliki, dan tingkat perkembanganya.
Karakteristik spesifik student with special needs pada umumnya berkaitan dengan
tingkat perkembangan fungsional. Karaktristik spesifik tersebut meliputi tingkat
perkembangan sensori motor, kognitif, kemampuan berbahasa, ketrampilan diri,
konsep diri, kemampuan berinteraksi social serta kreativitasnya.
Model pembelajaran untuk peserta didik berkebutuhan khusus yang
dipersiapkan oleh guru di sekolah, di tujukan agar peserta didik mampu
berinteraksi terhadap lingkungan social. Pembelajaran tersebut disusun secara
khusus melalui penggalian kemampuan diri peserta didik yang didasarkan pada
kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi ini terdiri atas empat ranah yang
perlu diukur meliputi kompetensi fisik, kompetensi afektif, kompetensi sehari-hari
dan kompetensi akademik.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dan konsep anak berkebutuhan khusus?
2. Apa saja klasifikasi dan model layanan bagi anak berkebutuhan
khusus ?
3. Apa faktor yang dapat mempengaruhi anak sehingga menjadi
berkebutuhan khusus ?
4. Bagaimana pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus?

1.3 Tujuan
1. Untuk menjelaskan pengertian dan konsep anak berkebutuhan khusus
2. Untuk mengklasifikasikan model layanan bagi anak berkebutuhan khusus
3. Untuk menjelaskan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi anak sehingga
menjadi berkebutuhan khusus
4. Untuk menjelaskan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus

1.4 Manfaat

2
Makalah ini memberikan informasi mengenai pendidikan anak
berkebutuhan khusus dan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak berkebutuhan
khusus. Informasi tersebut dapat digunakan bagi pembaca untuk diterapkan dalam
proses pembelajaran khususnya apabila dihadapkan dengan kondisi sekolah
inklusif. Selain itu makalah ini diharapkan dapan membuka perhatian pemerintah
agar dapat lebih memperhatikan pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus


Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan anak
berkebutuhan khusus. Istilah anak berkebutuhan khusus merupakan istilah terbaru
yang digunakan, dan merupakan terjemahan dari child with special needs yang
telah digunakan secara luas di dunia internasional, ada beberapa istilah lain yang
pernah digunakan diantaranya anak cacat, anak tuna, anak berkelainan, anak
menyimpang, dan anak luar biasa, ada satu istilah yang berkembang secara luas
telah digunakan yaitu difabel, sebenarnya merupakan kependekan dari diference
ability.
Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang
memerlukan pendidikan yang disesuaikan dengan hambatan belajar dan
kebutuhan masing-masing anak secara individual. Sejalan dengan perkembangan
pengakuan terhadap hak azasi manusia termasuk anak-anak ini, maka
digunakanlah istilah anak berkebutuhan khusus. Penggunaan istilah anak
berkebutuhan khusus membawa konsekuensi cara pandang yang berbeda dengan
istilah anak luar biasa yang pernah dipergunakan dan mungkin masih digunakan.
Jika pada istilah luar biasa lebih menitik beratkan pada kondisi (fisik, mental,
emosi-sosial) anak, maka pada berkebutuhan khusus lebih pada kebutuhan anak
untuk mencapai prestasi sesuai dengan potensinya.

2.2 Konsep Anak Berkebutuhan Khusus


Istilah anak berkebutuhan khusus memiliki cakupan yang sangat luas.
Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus keberagaman anak sangat
dihargai. Setiap anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan
perkembangan yang berbeda-beda, dan oleh karena itu setiap anak dimungkinkan
akan memiliki kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda pula,
sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang
disesuaikan sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak.
Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang
memerlukan pendidikan yang disesuaikan dengan hambatan belajar dan
kebutuhan masing-masing anak secara individual.

4
Cakupan konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi
dua kelompok besar yaitu anank berkebutuhan khusus yang bersifat sementara
(temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanent).
1. Anak berkebutuhan khusus bersifat sementara (temporer)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah
anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan
disebabkan factor-faktor eksternal. Misalnya anak yang mengalami gangguan
emosi karena trauma akibat diperkosa sehingga anak ini tidak dapat belajar.
Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementara tetapi apabila anak ini tidak
memperoleh intervensi yang tepat boleh jadi akan menjadi permanent. Anak
seperti ini memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan
yang disesuaikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi anak ini tidak perlu
dilayani diselah khusus. Di sekolah biasa banyak sekali anak-anak yang
mempunyai kebutuhan khusus yang bersifat temporer, dan oleh karena itu
mereka memerlukan pendidikan yang disesuaikan yang disebut pendidikan
kebutuhan khusus.
2. Anak berkebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanen)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak
yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat
internal dan akibat langsusng dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang
kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gangguan perkembangan
kecerdasan dan kognisi, gangguan gerak (motorik), gangguan interaksi-
komunikasi, gangguan emosi, social dan tingkah laku. Dengan kata lain anak
berlebutuhan khusus yang bersifat permanen sama artinya dengan anak
penyandang kecacatan.
Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata
lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup
spectrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak
berkebutuhan khusus permanent (penyandang cacat). Oleh karena itu apabila
menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk
penyandang cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota
dari anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah
lingkup garapan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda

5
dengan lingkup garapan pendidikan khusus yang hanya menyangkut anak
penyandang cacat.

2.3 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus


Membicarakan anak-anak berkebutuhan khusus, sesungguhnya banyak
sekali variasi dan derajat kelainan. Ini mencakup anak-anak yang mengalami
kelainan fisik, mental-intelektual, sosial-emosional, maupun masalah akademik. 1
Kita ambil contoh anak-anak yang mengalami kelainan fisik saja ada tunanetra,
tunarungu, dan tunadaksa (cacat tubuh) dengan berbagai derajat kelaianannya.
Ini adalah yang secara nyata dapat dengan mudah dikenali. Keadaan seperti ini
sudah barangtentu harus dipahami oleh seorang guru, karena merekalah yang
secara langsung memberikan pelayanan pendidikan di sekolah kepada semua
anak didiknya. Namun keragaman yang ada pada anak-anak tersebut belum tentu
dipahami semua guru di sekolah.
1. Kelainan Mental
a. Mental Tinggi
Sering dikenal dengan anak berbakat intelektual, dimana selain memiliki
kemampuan memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata normal yang
signifikan juga memiliki kreativitas dan tanggung jawab terhadap tugas.
b. Mental Rendah
Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual (IQ) di bawah rata-
rata dapat menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learners)
yaitu anak yang memiliki IQ antara 70-90. Sedangkan anak yang memiliki
IQ di bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan khusus.
c. Berkesulitan Belajar Spesifik
Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar (achievement) yang
diperoleh siswa. Anak berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang
memiliki kapasitas intelektual normal ke atas tetapi memiliki prestasi
belajar rendah pada bidang akademik tertentu.

2. Kelainan Fisik
a. Kelainan Tubuh (Tunadaksa)
Adanya kondisi tubuh yang menghambat proses interaksi dan sosialisasi
individu meliputi kelumpuhan yang dikarenakan polio, dan gangguan pada

6
fungsi syaraf otot yang disebabkan kelayuhan otak (cerebral palsy), serta
adanya kehilangan organ tubuh (amputasi).
b. Kelainan Indera Penglihatan (Tunanetra)
Seseorang yang sudah tidak mampu menfungsikan indera penglihatanya
untuk keperluan pendidikan dan pengajaran walaupun telah dikoreksi
dengan lensa. Kelainan penglihatan dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu
buta dan low vision.
c. Kelainan Indera Pendengaran (Tunarungu)
Kelainan pendengaran adalah seseorang yang telah mengalami kesulitan
untuk menfungsikan pendengaranya untuk interaksi dan sosialisasi dengan
lingkungan termasuk pemdidikan dan pengajaran. Kelainan pendengaran
dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu tuli (the deaf) dan kurang dengar
(hard of hearing).
d. Kelainan Wicara
Seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran
melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti orang
lain. Kelainan wicara ini dapat bersifat fungsional dimana mungkin
disebbkan karena ketunarunguan, dan organic memang disebabkan adanya
ketidaksempurnaan organ wicara maupun adanya gangguan pada organ
motoris yang berkaitan dengan wicara.
3. Kelainan Emosi
Gangguan emosi merupakan masalah psikologis, dan hanya dapat dilihat dari
indikasi perilaku yang tampak pada individu, adapun klasifikasi gangguan
emosi meliputi :
a. Gangguan Perilaku
 Mengganggu di kelas
 Tidak sabaran – terlalu cepat beraksi
 Tidak menghargai – menentang
 Menyalahkan orang lain
 Kecemasan terhadap prestasi di sekolah
 Dependen pada orang lain
 Pemahaman yang lemah
 Reaksi yang tidak sesuai
 Melamun, tidak ada perhatian dan menarik diri.
b. Gangguan Konsentrasi (ADD/Attention Deficit Disorder)
Enam atau lebih gejala inattention, berlangsung paling sedikit 6 bulan,
ketidakmapuan untuk beradaptasi, dan tingkat perkembanganya tidak
konsisten. Gejala-gejala inattention tersebut adalah :

7
 Sering gagal untuk memperhatikan secara detail, atau sering membuat
kesalahan dalam pekerjaan sekolah atau aktifitas yang lain.
 Sering kesulitan memperhatikan tugas-tugas atau aktifitas permainan.
 Sering tidak mendengarkan ketika orang lain berbicara.
 Sering tidak mengikuti instruksi untuk menyelesaikan pekerjaan
sekolah.
c. Anak Hiperactive (ADHD/Attention Deficit with Hiperactivity Disorder)
 Perilaku tidak bisa diam
 Ketidakmampuan untuk memberi perhatian yang cukup lama.
 Hiperaktivitas
 Aktivitas motorik yang tinggi
 Canggung
 Berbuat tanpa dipikir akibatnya.

2.4 Faktor-Faktor Timbulnya Kebutuhan Khusus


Terdapat tiga factor yang dapat diidentifikasi tentang sebab musabab
timbulnya kebutuhan khusus pada seorang anak yaitu : (1) Faktor internal pada
diri anak. (2) Faktor eksternal dari lingkunan, dan (3) Kombinasi dari factor
internal dan eksternal (kombinasi).
1. Factor Internal
Faktor internal adalah kondisi yang dimilki oleh anak yang bersangkutan.
Sebagai contoh seorang anak memiliki kebutuhan khusus dalam belajar
karena ia tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, atau tidak mengalami
kesulitan untuk bergerak. Keadaan seperti itu berada pada diri anak yang
bersangkutan secara internal. Dengan kata lain hambatan yang dialami berada
dlam diri anak yang bersangkutan.
2. Factor Eksternal
Factor eksternal adalah sesuatu yang berada diluar diri anak mengakibatkan
anak menjadi memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar,
sehingga mereka memiliki kebutuhan layanan khusus dalam pendidikan.
Sebagai contoh seorang anak yang mengalami kekerasan di rumah tangga
dalam jangka panjang mengakibatkan anak tersebut kehilangan konsentrasi,
menarik diri dan ketakuatan. Akibatnya anak tidak dapat belajar.
3. Kombinasi Faktor Internal dan Eksternal
Kombinasi antara factor internal dengan factor eksternal dapat menyebabkan
terjadinya kebutuhan khusus pada seorang anak. Kebutuhan khusus yang
disebabkan oleh factor internal sekaligus eksternal sekaligus diperkirakan
akan anak akan memiliki kebutuhan khusus yang lebih kompleks. Sebagai
contoh seorang anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian dengan

8
hiperaktivitas dan dimiliki secara internal berada pada lingkungan keluarga
yang kedua orang tuanya tidak menerima kehadiran anak, tercermin dari
perlakuan yang diberikan kepada anak yang bersangkutan. Anak yang seperti
ini memiliki kebutuhan khusus akibat dari kondisi dirinya dan akibat
perlakuan orang tua yang tidak tepat.

2.5 Model Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus


Menurut Hallahan dan Kauffman (1991) yang dikutip oleh Purwanto,
bentuk penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ada berbagai
pilihan, yaitu :
a. Regular class only (Kelas biasa dengan guru biasa)
b. Regular class with consultation (Kelas biasa dengan konsultan guru PLB)
c. Itinerant teacher (Kelas biasa dengan guru kunjung)
d. Resource teacher (Guru sumber, yaitu kelas biasa dengan guru biasa, namun
dalam beberapa kesempatan anak berada pada ruang sumber dengan guru
sumber)
e. Pusat Diagnostik-Prescriptif
f. Hospital or homebound Instruction (Pendidikan di rumah atau di rumah sakit,
yakni kondisi anak yang memungkinkan belum masuk ke sekolah biasa)
g. Self-contained class (Kelas khusus di sekolah biasa bersama guru PLB)
h. Special day school (Sekolah luar biasa tanpa asrama)
i. Residential school (Sekolah luar biasa berasrama)
Samuel A. Kirk (1986) yang dikutip oleh Purwanto, membuat gradasi
layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus bergradasi dari model
segregasi ke model mainstreaming seperti tersebut di bawah ini :

Gambar 1. Gradasi Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

9
Berdasarkan kedua pendapat tersebut diatas, bentuk-bentuk layanan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khususdapat dikelompokkan menjadi 2
kelompok besar, yaitu :
a. Bentuk Layanan Pendidikan Segregasi
Bentuk layanan pendidikan segregasi adalah system pendidikan yang terpisah
dari system pendidikan anak formal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus
melalui system segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan
yang dilaksanakan secara khusus, dan terpisah dari penyelenggaraan
pendidikan untuk anak normal. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus
diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus untuk anak
berkebutuhan khusus.
Ada empat bentuk penyelenggaraan pendidikan denagn system segregasi,
yaitu :
1) Sekolah Luar Biasa (SLB)
2) Sekolah Luar Berasrama
3) Kelas Jauh/Kelas Kunjung
4) Sekolah Dasar Luar Biasa
b. Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu/Integrasi
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah system pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar
bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum. Dengan
demikian, melalui system integrasi anak berkebutuhan khusus bersama
dengan anak normal belajar dalam satu tahap. System pendidikan integrasi
disebut juga system pendidikan terpadu, yaitu system pendidikan yang
membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan
anak normal. Keterpaduan tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagian, atau
keterpaduan dalam rangka sosialisasi. Pada system keterpaduan secara penuh
dan sebagian jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10
% dari jumlah siswa keseluruhan. Untuk membantu kesulitan yang dialami
oleh anak berebutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru
Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultan bagi
guru kelas, kepala sekolah, atau anak berkebutuhan, atau anak berkebutuhan
khusus iyu sendiri. Selain itu, GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di
ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada kelas khusus. Ada tiga tahap
bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus

10
menurut Depdiknas (1986) yang dikutip oleh Purwanto. Ketiga bentuk
tersebut adalah
1) Bentuk Kelas Biasa
2) Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
3) Bentuk Kelas Khusus

2.6 Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus


Pendidikan khusus di indonesi bagi siswa dengan kebutuhan khusus
sebenarnya telah ada mulai dari tingkat TKLB, SDLB, SMLB,dan SMALB.
Satuan pendidikan tersebut tersebar diseluruh wilayah indonesia, walaupun belum
merata disetiap provinsi. Keberadaan SLB ( Sekolah Luar Biasa ) yang tersebar
dibeberapa wilayah sebenarnya belum mampu untuk menampung seluruh anak
yang mempunyai keterbatasan. Kondisi ini juga disebabkan mahalnya biaya
menyekolahkan anak yang mempunyai keterbatasan yang berasal dari keluarga
kurang mampu. Sehingga mereka membiarkan anaknya tetap dalam kungkungan
keluarga, yang rata – rata kurang memahami pula terhadap perkembangan
anaknya.
Beberapa jenis terapi untuk anak dengan kebutuhan khusus
1) Terapi wicara : membantu anak melancarkan otot – otot mulut sehingga
membantu anak berbicara lebih baik
2) Terapi okupasi : untuk melatih motorik halus anak
3) Terapi bermain : mengajarkan anak melalui belajar sambil bermain
4) Terapi medikamentosa/obat – obatan (drug therapy) : dengan pemberian
obat – obata olehdokter yang berwenang
5) Terapi melalui makanan ( diet therapy) : untuk anak – anak dengan maslah
alergi makanan tertentu
6) Sensory integration therapy : untuk anak – anak yang mengalami gangguan
pada sensorinya
7) Auditory integration therapy : agar pendengaran anak lebih sempurna
8) Biomedical treatment/therapy: penanganan bimedis yang palinh=g mutakhir
melalui perbaikan kondisi tubuh agar terlepas dari faktor – faktor yang
merusak (dari keracunan, logam berat, efek casomorphine dan glidorphine,
alergen, dsb)

11
2.7 Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif pada hakekatnya adalah bagaimana memahami segala
kesulitan pendidikan yang dihadapi oleh peserta didik. Anak/peserta didik
berkelainan misalnya, mereka mendapat kesulitan untuk mengikuti beberapa
kurikulum yang ada, atau tidak mampu mengakses cara baca tulis secara normal,
atau kesulitan mengakses lokasi sekolah, dan sebagainya. Pendekatan pendidikan
inklusif dalam hal ini tidak seharusnya melihat hambatan ini dari sisi anak/peserta
didik yang memiliki kelainan, melainkan harus melihat hambatan ini dari sistem
pendidikannya sendiri, kurikulum yang belum sesuai untuk mereka, sarana yang
tersedia belum memadai, guru yang belum siap melayani mereka dan sebagainya.
Dengan demikian untuk merubah yang tereksklusikan menjadi terinklusif adalah
dengan mengidentifikasi hambatan atau kesulitan yang dihadapi peserta didik dan
mengupayakan sekolah umum/inklusif untuk dapat meningkatkan kemampuannya
dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan
mereka.

1. Pengertian Pendidikan Inklusif


Inklusif merupakan sebuah kata yang berasal dari terminologi Inggris
yakni inclusion yang berarti: termasuknya atau pemasukan. Sementara menurut
Olsen & Fuller (2003), inklusif merupakan sebuah terminologi yang secara umum
digunakan untuk mendidik siswa baik yang memiliki maupun tidak memiliki
ketidak mampuan tertentu di dalam sebuah kelas reguler. Dewasa ini, terminologi
inklusif digunakan untuk mengagas hak anak-anak yang memiliki
ketidakmampuan tertentu untuk dididik dalam sebuah lingkungan pendidikan
(sekolah) yang tidak tersepisah dari anak-anak lain yang tidak memiliki
ketidakmampuan tertentu.
Florida State University Center for Prevention & Early Intervention
Policy (2002) mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai sebuah usaha untuk
membuat para siswa yang memiliki ketidakmampuan tertentu pergi ke sekolah
bersama teman-teman dan sesamanya serta menerima apa pun dari sekolah seperti
teman-teman yang lainnya terutama dukungan dan pengajaran yang didesain
secara khusus yang mereka butuhkan untuk mencapai standar yang tinggi dan
sukses sebagai pembelajar. Dari definisi tentang inklusif di atas, kita dapat

12
mengatakan bahwa sekolah inklusif adalah lembaga pendidikan formal yang
menyediakan layanan belajar bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar
bersama-sama dengan anak normal dalam komunitas sekolah reguler di mana
setiap anak diterima menjadi bagian dari kelas, diakomodir, dan direspon
kebutuhannya sehingga setiap anak mendapat peluang dan kesempatan yang sama
untuk mengembangkan potensinya. Dengan demikian, perlu diingat bahwa
pendidikan atau sekolah inklusif bukan sebuah sekolah bagi siswa yang memiliki
kebutuhan khusus melainkan sekolah yang memberikan layanan efektif bagi
semua (education fol all). Dengan kata lain, pendidikan inklusif adalah
pendidikan dimana semua anak dapat memasukinya, kebutuhan setiap anak
diakomodir atau dirangkul dan dipenuhi bukan hanya sekedar ditolerir (Watterdal,
2002).

2. Siswa dalam Pendidikan Inklusif


Berdasarkan definisi di atas, kita dapat mengatakan bahwa dalam sekolah
inklusif ada dua kategori siswa yakni siswa yang tidak memiliki ketidakmampuan
(non difabel) dan siswa yang memiliki ketidakmampuan (difabel). Adapun uraian
tentang klasifikasi siswa difabel akan dibahas dalam bagian berikut ini.
Berdasarkan kemampuan intelektualnya, peserta didik berkebutuhan khusus atau
yang disebut juga dengan peserta didik berkelainan dapat dikelompokkan menjadi
dua kategori yaitu (1) peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan
intelektual di bawah rata-rata, (2) peserta didik berkelainan yang memiliki
kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Kelompok yang pertama merupakan
peserta didik yang dapat mengikuti pendidikan inklusif. Hal ini sesuai dengan
Lampiran Peraturan Menteri No.22 Tahun 2006 yang berbunyi: Peserta didik
pendidikan inklusif adalah peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan
kemampuan intelektual di bawah rata-rata yang berkeinginan untuk melanjutkan
pendidikan sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Berkelainan dalam hal ini adalah
tunanetra, tunarungu, tunadaksa ringan, dan tunalaras.
Anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusif terdiri dari beberapa
jenis. Secara garis, jenis kebutuhan khusus tersebut, sebagaimana yang digagas
Hallahan dan Kauffman (1978), Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2006)
dan Hadiyanto (2009) adalah:

13
a. Tunanetra;
b. Tunarungu;
c. Tunadaksa;
d. Anak yang berbakat/memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa;
e. Tunagrahita;
f. Anak yang lamban belajar (slow learner);
g. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik;
h. Tunalaras;
i. Tunawicara;
j. Autisme;
k. ADHD;
l. Cerebral Palsy (CP);
m. Anak korban narkoba serta HIV/AIDS;

3. Manfaat Pendidikan Inklusif


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh banyak ahli, ditemukan
bahwa pendidikan inklusif memiliki banyak manfaat bagi semua siswa dan
personil sekolah karena berfungsi sebagai sebuah contoh atau model bagi
masyarakat yang inklusif (Florida State University Center for Prevention & Early
Intervention Policy 2002). Adapun keuntungan dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif adalah: (a) Dalam pendidikan dasar maupun menengah,
ditemukan bahwa prestasi akademis siswa pada sekolah inklusif sama dengan atau
lebih baik dari pada siswa yang berada di sekolah yang tidak menerapkan prinsip
iklusi (Baker, Wang, & Walbreg, 1994). (b) Adanya penerapan belajar co-
teaching, siswa yang memiliki ketidakmampuan tertentu dan siswa yang lambat
dalam menyerap informasi mengalami peningkatan dalam keterampilan sosial dan
semua siswa mengalami peningkatan harga diri dalam kaitan dengan kemampuan
dan kecerdasan mereka. (c) Siswa yang memiliki ketidakmampuan tertentu
mengalami peningkatan harga diri atau kepercayaan diri semata-mata hanya
karena belajar di sekolah reguler daripada sekolah luar biasa. (d) Siswa yang tidak
memiliki ketidakmampuan tertentu mengalami pertumbuhan dalam pemahaman
sosial dan memiliki pemahaman dan penerimaan yang lebih besar terhadap siswa

14
yang memiliki ketidakmampuan tertentu karena mereka mengalami program
inklusif (Freeman & Alkin, 2000).

2.8 Landasan Pendidikan Inklusif


Ada 3 landasan yang harus dijadikan acuan dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif. Ketiga landasan tersebut antara lain landasan filosofis, ,
landasan historis, dan landasan yuridis.

1. Landasan Filosofis
Setiap bangsa memiliki pandangan hidup atau filosofi sendiri, begitu pula
halnya dengan bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang memiliki pandangan atau
filosofi sendiri, maka dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif harus
diletakkan atas dasar pandangan hidup atau filosofi bangsa Indonesia sendiri.
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah
Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas
fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini
sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertikal maupun
horisontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi.
Kebinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik,
kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan
sebagainya. Sedangkan kebinekaan horisontal diwarnai dengan perbedaan suku
bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan
sebagainya. Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan misi yang
diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan
dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan. Filosofi Bhinneka Tunggal
Ika meyakini bahwa di dalam diri manusia bersemayam potensi yang bila
dikembangkan melalui pendidikan yang baik dan benar dapat berkembang hingga
hampir tak terbatas. Bertolak dari perbedaan antar manusia, filosofi ini meyakini
adanya potensi unggul yang tersembunyi dalam diri individu apabila
dikembangkan secara optimal dan terintegrasi dengan semua potensi kemanusiaan

15
lainnya dapat menghasilkan suatu kinerja profesional. Tugas pendidikan adalah
menemukan dan mengenali potensi unggul yang tersembunyi yang terdapat dalam
diri setiap individu peserta didik untuk dikembangkan hingga derajat yang optimal
sebagai bekal manusia beribadah kepada Tuhan. Dengan demikian pendidikan
dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk memberdayakan semua potensi
kemanusiaan yang mencakup potensi fisik, kognitif, afektif, dan intuitif secara
optimal dan terintegrasi. Keunggulan dan kekurangan adalah suatu bentuk
kebhinnekaan seperti halnya ras, suku, agama, latar budaya, dan sebagainya. Di
dalam individu dengan segala keterbatasan dan kelebihan, di mana yang memiliki
keterbatasan sering bersemayam keunggulan, dan di dalam diri individu yang
memiliki keunggulan sering bersemayam keterbatasan. Dengan demikian
keunggulan dan keterbatasan tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk
memisahkan peserta didik yang memiliki keterbatasan atau keunggulan dari
pergaulannya dengan peserta didik lainnya, karena pergaulan antara mereka akan
memungkinkan terjadi saling belajar tentang perilaku dan pengalaman.

2. Landasan Historis
a. Masa-masa awal
Pada awalnya, masyarakat bersikap acuh tak acuh bahkan menganggap
sebagai sampah dan menolak, orang-orang yang memiliki ketidakmampuan
(disability) tertentu (Olsen & Fuller, 2003). Di satu sisi, hal ini terjadi
karena rasa takut akan takhayul bahwa ibu melahirkan anak cacat
merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab
itu, harus dihindari, penolakan itu juga terjadi karena takut tertular. Namun
dilain sisi penolakan itu terjadi karena perjuangan untuk bertahan hidup.
Anggota kelompok yang terlalu lemah dan tidak berkontribusi terhadap
kelangsungan hidup kelompoknya dikeluarkan dari keanggotaannya.
Mereka sering kali tidak diberi makanan yang cukup dan tidak memperoleh
kasih saying dan kontak sosial yang bermakna. Mereka kesepian, terasing
dari kelompok sosialnya dan merasa tidak berguna. Mereka yang berbeda
karena kecacatannya akan dikurung atau dibiarkan mati (Skjorten, 2001).
b. Zaman purbakala dan pada zaman pertengahan.

16
Pada masa ini, muncul seorang fisikawan yakni Hippokrates (460-377 SM)
yang mulai mendobrak paradigma lama dengan menggagas bahwa berbagai
permasalahan emosional lebih merupakan kekuatan natural daripada
kekuatan supra natural sebagaimana yang selama ini diyakini. Lebih tegas
lagi pada tahun 427-347 SM, Plato, seorang filosof besar Yunani, yang
merupakan murid Socrates, mengatakan bahwa mereka yang tidak stabil
secara mental tidak bertanggungjawab atas perilaku mereka. Gagasan kedua
tokoh besar ini membawa perubahan. Hal ini terbukti dalam abad
pertengahan. Dimana dalam abad itu, muncul berbagai kelompok religious
yang memberikan pelayanan dan tempat tinggal bagi mereka yang diabaikan
oleh keluarganya (Olsenn & Fuller, 2003).
c. Abad Sembilan belas dan abad dua puluh (masa transisi).
Dalam abad ini, masyarakat semakin terbuka bagi mereka yang mengalami
ketidakmampuan tertentu. Hal ini bertolak dari keyakinan bahwa setiap
orang dapat belajar jika diberi stimulus secara tepat. Dengan demikian, sejak
abad sembilan belas di Amerika Serikat telah berdiri sekolah bagi mereka
yang buta dan tuli (Olsen & Fuller, 2003). Dalam abad keduapuluhan,
muncul berbagai pernyataan dan kesepakatan internasional berkaitan dengan
hak manusia. Misalnya saja pada tahun 1948 ada Deklarasi Hak Asasi
Manusia, termasuk hak atas pendidikan dan partisipasi penuh di masyarakat
untuk semua orang; pada tahun 1989 ada Konvensi PBB tentang Hak Anak;
pada tahun 1990 ada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua di
Jomtien, Thailand, yang menghasilkan tujuan utama untuk membawa semua
anak masuk sekolah dan memberikan semua anak pendidikan yang sesuai;
tahun 1993dicetuskan Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan
bagi Penyandang Cacat, oleh PBB, yang diumumkan tahun 1994 (Skjorten,
2001). Pencetusan pendidikan inklusif ini terjadi karena selama jangka
waktu yang cukup lama, para siswa penyandang cacat dididik secara
ekslusif (Watterdal, 2002). Dengan kata lain, mereka tetap diperlakukan
sebagai orang-orang yang bukan merupakan bagian dari masyarakat.
Akibatnya, masyarakat umum masih merasa aneh dengan kehadiran mereka.
Tidak hanya itu, penggunaan sistem integrasi yang telah diterapkan dulu

17
juga meninggalkan berbagai persoalan. Sistem integrasi mengandung makna
bahwa siswa penyandang cacat diikutkan ke dalam sekolah reguler setelah
anak tersebut mengikuti kelas khusus dan dianggap siap untuk mengikuti
suatu kelas di sekolah reguler. Sayangnya, di sana mereka sering
ditempatkan dalam suatu kelas berdasarkan tingkat keberfungsiannya dan
pengetahuannya bukan menurut usianya. Misalnya kita dapat menemukan
anak berusia 12 tahun berada di kelas satu. Karena situasi tersebut dan
semakin munculnya kesadaran akan kesamaan hak dan martabat sebagai
manusia maka disuarakanlah hak anak berkebutuhan khusus untuk
mendapatkan hak dan pelayanan yang sama. Di mana semua anak (atau
orang dewasa) adalah anggota kelompok yang sama, berinteraksi dan
berkomunikasi satu sama lain, membantu satu sama lain untuk belajar dan
berfungsi, saling mempertimbangkan satu sama lain, menerima kenyataan
bahwa anak (atau orang dewasa) tertentu mempunyai kebutuhan yang
berbeda dengan mayoritas dan kadang-kadang akan melakukan hal yang
berbeda. Dan hal itu dikukuhkan dengan adanya Pernyataan Salamanca
tentang Pendidikan Inklusif oleh UNESCO pada 1994.

4. Landasan Yuridis
Landasan yuridis memiliki hirarki dari undang-undang dasar,
undangundang, peraturan pemerintah, kebijakan direktur jendral, peraturan
daerah, kebijakan direktur, hingga peraturan sekolah. Juga melibatkan
kesepakatankesepakatan internasional yang berkenaan dengan pendidikan. Dalam
kesepakatan UNESCO di Salamanca, Spanyol pada tahun 1994 telah ditetapkan
agar pendidikan di seluruh dunia dilaksanakan secara inklusif. Dalam kesepakatan
tersebut juga dinyatakan bahwa pendidikan adalah hak untuk semua (educational
for all), tidak peduli orang itu memiliki hambatan atau tidak, kaya atau miskin,
pendidikan juga tidak membedakan ras, warna kulit, suku, dan agama. Pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus sedapat mungkin dintegrasikan dengan
pendidikan reguler, pemisahan dalam bentuk segregrasi hanya untuk keperluan
pembelajaran (instruction), bukan untuk keperluan pendidikan (education). Untuk
keperluan pendidikan, anak-anak berkebutuhan khusus harus disosialisasikan

18
dalam lingkungan yang nyata dengan anak-anak lain pada umumnya. Adapun
landasan yuridis pendidikan inklusif sebagai berikut:
Instrumen Internasional,
(a) 1948: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,
(b) 1989: Konvensi PBB tentang Hak Anak,
(c) 1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Jomtien),
(d) 1993: Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para
Penyandang Cacat,
(e) 1994: Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan
Kebutuhan Khusus,
(f) 1999: Tinjauan 5 tahun Salamanca,
(g) 2000: Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia (Dakar),
(h) 2000: Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada Penurunan Angka
Kemiskinan dan Pembangunan,
(i) 2001: Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan
Instrumen Nasional,
(a) UUD 1945 (amandemen) pasal 31,
(b) UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3, 5, 32, 36 ayat (3), 45 ayat (1), 51, 52, 53,
(c) UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 5,
(d) Deklarasi Bandung (Nasional) ”Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif” 8- 14
Agustus 2004,
(e) Deklarasi Bukit Tinggi (Internasional) Tahun 2005,
(f) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Nomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari
2003 tentang pendidikan inklusif
(g) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang
pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/minat bakat istimewa.

2.9 Prinsip Pembelajaran dalam Pendidikan Inklusif


Dalam tataran praktis pembelajaran, inklusi merupakan suatu perubahan
yang dapat menguntungkan tidak hanya anak berkebutuhan khusus akan tetapi
juga anak pada umumnya dalam kelas. Prinsip paling mendasar dalam pendidikan
inklusif adalah bagaimana agar peserta didik dapat belajar bersama, belajar untuk

19
dapat hidup bersama. Johnsen dan Miriam Skojen (2003) menjabarkan dalam tiga
prinsip, yaitu (1) bahwa setiap anak termasuk dalam komunitas setempat dan
dalam suatu kelas atau kelompok, (2) bahwa hari sekolah diatur penuh dengan
tugas-tugas pembelajaran koopertif dengan perbedaan pendidikan dan fleksibilitas
dalam memilih dengan sepuas hati, dan (3) guru bekerja bersama dan mendapat
pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik belajar individu serta
keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan keanekaragaman
dan perbedaan individu dalam pengorganisasin kelas.
Sementara itu, Mulyono dalam Sri Wahyu Ambarwati (2005) mengidentifikasikan
prinsip pendidikan inklusif ke dalam sembilan elemen dasar yang memungkinkan
pendidikan inklusif dapat dilaksanakan.
1. Sikap guru yang positif terhadap kebhinekaan
Elemen paling penting dalam pendidikan inklusif adalah sikap guru
terhadap siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus. Sikap guru tidak
hanya berpengaruh terhadapclassroom setting tetapi juga dalam pemilihan strategi
pembelajaran. Sikap positif guru terhadap keragaman kebutuhan siswa dapat
ditingkatkan dengan cara memberikan informasi yang akurat tentang siswa dan
cara penanganannya
2. Interaksi promotif
Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut adanya interaksi promotif
antara siswa. Yang dimaksud interaksi promotif adalah upaya untuk saling
menolong dan saling memberi motivasi dalam belajar. Interaksi promotif
hanya dimungkinkan jika terdapat rasa saling menghargai dan
saling memberikanurunan dalam meraih keberhasilan belajar bersama. Interaksi
promotif pada hakekatnya sama dengan interaksi transpersonal, yaitu interaksi
yang didasarkan atas rasa saling menghormati, tidak hanya terhadap sesama
manusia tetapi juga sesama makluk ciptaan Tuhan. Interaksi promotif
hanya di mungkinkan jika guru menciptakan suasana belajar kooperatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwadalam suasana belajar kooperatif, siswa cenderung
memperoleh prestasi belajar matematika lebih tinggi dari pada dalam
suasana belajar kompetitif. Dalam pendidikan inklusif, suasana belajar kooperatif
harus dominan sedangkan suasana belajar kompetitif hanya untuk bersenang-

20
senang atau untuk selingan atau untuk materi belajar yang membosankan.
Hasil penelitian Johnson & Johnson (Wahyu Sri Ambarwati, 2005) menunjukkan
bahwa suasana belajar kompetitif dapat menimbulkan perasaan rendah diri bagi
siswa yang memiliki kemampuan kurang. Lebih lanjut hasil penelitian Mulyono
(1994) menunjukkan bahwa para guru umumnya lebih menyukai pembelajaran
kompetitif dan tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai
dalam penyelenggaraan pembelajaran kooperatif. Padahal, pembelajaran
kompetitif dalam kelompok heterogen dapat menghancurkan rasa harga diri siswa
yang berkekurangan dan merasa bosan terhadap siswa yang memiliki
keunggulan. Perasaan rendah diri dan perasaan bosan merupakan elemen yang
merusak untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Kompetisi bukan
tidak bermanfaat tetapi hanya untuk kelompok yang homogen yang
memungkinkan semua anggota berkompetisi memiliki peluang yang relatif sama
untuk menang dan kalah.
3. Pencapaian kompetensi akademik dan sosial
Pendidikan inklusif tidak hanya menekankan pencapaian tujuan dalam
bentuk kompetensi akademik tetapi juga kompetensi sosial. Oleh sebab itu,
perencanaan pembelajaran harus melibatkan tidak hanya pencapaian
tujuanakademik (academic objectives) tetapi juga tujuan keterampilan
bekerjasama (collaborative skills objectives). Tujuan keterampilan bekerjasama
mencakup keterampilan memimpin, memahami perasaan orang lain, menghargai
pikiran orang lain, dan tenggang rasa.
4. Pembelajaran adaptif
Ciri khas dari pendidikan inklusif adalah tersedianya program
pembelajaran yang adaftif atau program pembelajaran individual (individualized
instructional programs). Program pembelajaran adaptif tidak hanya ditujukan
kepada peserta didik dengan problema belajar tetapi juga untuk peserta didik
yang dikaruniai keunggulan. Penyusunan program pembelajaran adaptif menuntut
keterlibatan tidak hanya guru kelas atau guru bidang studi tetapi juga guru PLB,
orangtua, guru BK, dan ahli-ahli lain yang terkait.
5. Konsultasi kolaboratif

21
Konsultasi kolaboratif (collaborative consultation) adalah saling tukar
informasi antar profesional dari semua disiplin yang terkait untuk memperoleh
keputusan legal dan instruksional yang berhubungan dengan siswa
yang membutuhkan layanan pendidikan khusus. Yang dimaksud dengan
profesional dalam hal ini adalah guru PLB, guru kelas atau guru bidang studi,
konselor, psikolog, dan atau ahli-ahli lain yang terkait. Beberapa ahli telah
mengembangkan model konsultasi kolaboratif untuk melakukan tindakan
pencegahan dan rahabilitasi siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus
di kelas reguler. Berdasarkan model yang mereka buat guru PLB dan guru reguler
bersama anggota tim lainnya melakukan diskusi untuk menentukan sifat dan
ukuran-ukuraaan yang dipergunakan untuk menentukan masalah siswa, memili
dan merekomendasikan tindakan, merencanakan dan mengimplementasikan
program pembelajaran, dan melakukan evaluasi hasil intervensi serta melakukan
perencanaan ulang jika diperlukan.
6. Hidup dan belajar dalam masyarakat
Dalam pendidikan inklusif kelas harus merupakan bentuk mini dari suatu
kehidupan masyarakat yang diidealkan. Di dalam kelas diciptakan suasana yang
silih asah, silih asih, dan silih asuh. Dengan kata lain, suasana belajar yang
kooperatif harus diciptakan sehingga di antara siswa terjalin hubungan yang saling
menghargai. Semua siswa tidak peduli betapapun perbedaannya, harus
dipandang sebagai individu unik yang memiliki potensi kemanusiaan yang harus
dikembangkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan.
7. Hubungan kemitraan antara sekolah dengan keluarga.
Keluarga merupakan fondasi tempat anak-anak belajar dan berkembang.
Begitu pula dengan sekolah, juga tempat anak belajar dan berkembang. Keduanya
memiliki fungsi yang sama. Perbedaannya, pendidikan dalam keluarga tidak
terprogram dan terukur sedangkan di sekolah pendidikan lebih banyak
dilakukan secara terprogram dan terukur atau yang biasa disebut
denganpembelajaran. Karena kedua lembaga tersebut hakekatnya mempunyai
fungsi yang sama, maka keduanya harus menjalin hubungan kemitraan yang erat
dalam upaya memberdayakan semua potensi kemanusiaan siswa agar dapat
berkembang optimal dan terintegrasi. Keluarga memiliki informasi yang

22
lebih akurat mengenai keunikan, kekuatan, dan minat anak, sedangkan sekolah
memiliki informasi yang lebih akurat mengenai prestasi akademik siswa.
Informasi mengenai anak yang dimiliki oleh keluarga merupakan landasan
penting bagi penyelenggaraan pendidikan inklusif.
8. Belajar dan berfikir independen.
Dalam pendidikan inklusif guru mendorong agar siswa mencapai
perkembangan kognitif taraf tinggi dan kreatif agar mampu berfikir independen.
Berkenaan dengan semakin majunya ilmu dan teknologi, pendidikan inklusif
sangat menekankan agar siswa memiliki keterampilan belajar dan berpikir. Guru
hendaknya juga mengetahui bahwa hasil-hasil penelitian mengenai anak-anak
kesulitan belajar (students with learning difficulties) menunjukkan bahwa mereka
umumnya pasif dalam belajar, kurang mampu melakukan control diri, cenderung
bergantung (dependent), dan kurang memiliki strategi untuk belajar. Sehubungan
dengan karakteristik siswa berkesulitan belajar semacam itu maka guru perlu
memiliki kemampuan untuk memberikan dorongan atau motivasi dengan
menerapkan berbagai teknik, terutama yang berkenaan dengan manajemen
perilaku atau memodifikasi perilaku.
9. Belajar sepanjang hayat
Pendidikan inklusif memandang pendidikan di sekolah sebagai bagian dari
perjalanan panjang hidup seorang manusia; dan manusia belajar sepanjang
hidupnya (lifelong learning). Belajar sepanjang hayat memiliki makna yang
melampaui sekedar menguasai berbagai kompetensi yang menjadi tuntutan
kurikulum dan upaya untuk naik kelas. Belajar sepanjang hayat pada hakekatnya
adalah belajar untuk berfikir kritis dan belajar untuk menyelesaikan berbagai
masalah kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan inklusif menekankan pada
pengalaman belajar yang bermanfaat bagi kelangsungan proses belajar peserta
didik dalam kehidupan masyarakat.

2.10 Prinsip-prinsip Pembelajaran di Sekolah Inklusi


1. Tuna Laras
a. Prinsip Kebutuhan dan Keaktifan
Anak tunalaras selalu ingin memenuhi kebutuhan dan keinginannya
tanpa memperdulikan kepentingan orang lain. Untuk memenuhi

23
Kebutuhannnya itu, ia menggunakan kesempatan yang ada tanpa mengingat
kepentingan orang lain. Kalau perlu melanggar semua peraturan yang ada
meskipun ia harus mencuri misalnya. Hal ini jelas merugikan baik diri
sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, guru harus memberi keaktifan
kepada siswa supaya kebutuhannya terpenuhi dengan mempertimbangkan
norma-norma kemasyarakatan, agama, peraturan perundangan-undangan
yang berlaku, segingga dalam memenuhi keinginan dan kebutuhannya tidak
merugikan diri sendiri maupun orang lain.

b. Prinsip Kebebasan yang Terarah


Anak tunalaras memiliki sikap tidak mau dikekang. Ia selalu
menggunakan peluang yang ada untuk berbuat sesuatu sehingga hatinya
merasa puas. Oleh karena itu, guru harus berhati-hati ketika akan
melarangnya. Nasehatilah kalau memang perlu dilarang. Di samping itu,
guru hendaknya mengarahkan dan menyalurkan segala perilaku anak ke
arah positif yang berguna, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
c. Prinsip Penggunaan Waktu Luang
Anak tunalaras biasanya tidak bisa diam, dia termasuk hiperaktif.
Ada saja yang dikerjakan. Bahkan solah-olah mereka kekurangan waktu
sehingga lupa tidur, istirahat, dan sebaginya. Oleh karena itu, guru harus
membimbing anak degan mengisi waktu luangnya untuk kegiatan-kegiatan
yang bermanfaat.
d. Prinsip Kekeluargaan dan Kepatuhan
Anak tunalaras berasal dari keluarga yang tidak harmonis,
hubungan orang tua retak (broken home). Akibatnya emosinya tidak laras,
jiwanya tidak tenang, rasa kekeluargaannyatidak berkembang, merasa
hidupnya tidak berguna. Akibat lebih jauh mereka bersifat perusak, benci
kepada orang lain. Oleh karena itu, guru harus dapat meyelami jiwa anak,
dimana letak ketidakselarasaan kehidupan emosinya. Selanjutnya,
mengembalikannya kepada kehidupan emosi yang tenang, laras, sehingga
rasa kekeluargaanya menjadi pulih kembali. Misalnya siswa disuruh

24
membaca cerita yang edukatif, memelihara binatang, tumbuh-tumbuhan,
dan sebagainya.
e. Prinsip Setia Kawan dan Idola serta Perlindungan
Karena tinggal di rumah tidak tahan, anak tunalaras biasanya lari
keluar rumah. Kemudian ia bertemu dengan orang-orang (kelompok) yang
dirasa dapat memebuat dirinya merasa aman. Di dalam kelompok tersebuat
ia merasa menemukan tempat berlindung menggantikan orang tuanya, ia
merasa tentram, timbul rasa setia kawan. Karena setianya kepada
kelompok, ia berbuat apa saja sesuai perintah katua kelompoknya yang
dijadikan idolanya. Oleh karena itu, guru hendaknya secara perlahan-lahan
berupaya menggantikan posisi ketua kelompoknya, menjadi tokoh idola
siswa, dengan cara melindungi siswa, dan berangsur-angsur kelompoknya
berganti dengan teman-teman sekelasnya, dan setia kawannya berganti
kepada teman-teman sekelasnya, yang pada akhirnya mereka akan merasa
senang bersekolah.
f. Prinsip Minat dan Kemampuan
Guru harus memperhatikan minat dan kemampuan anak terutama
yang berhubungan dengan pelajaran. Jangan sampai karena tugas-tugas
(PR) yang diberikan oleh terlalu banyak, akhirnya justru mereka benci
kepada guru atau benci kepada pelajaran tertentu. Sebaliknya, guru harus
menggali minat dan kemampuan siswa terhadap pelajaran, untuk dijadikan
dasar memberi tugas-tugas tertentu. Dengan memberi tugas yang sesuai,
mereka akan merasa senang, yang pada akhirnya lama-kelamaan mereka
akan terbiasa belajar.
g. Prinsip Emosional, Sosial, dan Perilaku
Karena problem emosi yang disandang anak tunalaras, maka ia
mengalami ketidakseimbangan emosi. Akibatnya siswa berprilaku
menyimpang baik secara individual maupun secara sosial dalam pergaulan
hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, guru harus berusaha
mengidentifikasi problem emosi yang disandang anak, kemudian berupaya
menghilangkannya untuk diganti dengan sifat-sifat yang baik sesuai dengan
norma-norma yang erlaku di masyarakat dan agama, dengan cara diberi

25
tugas-tugas tertentu yang terpuji, baik secara individual maupun secara
kelompok.
h. Prinsip Disiplin
Pada umumnya anak tunalaras ingimn memanfaatkan kesempatan
yang ada untuk memenuhi keinginannya,tanpa mengindahkan norma-
norma yang berlaku, sehingga ia hidup lepas dari disiplin. Sikap
ketidaktaatan dan lepas dari aturan merupakan sikap hidupnya sehari-hari.
Oleh karena itu, guru perlu membiasakan siswa untuk hidup teratur dengan
selalu diberi keteladanan dan pembinaan dengan sabar.

i. Prinsip Kasih Sayang


Anak tunalaras umumnya haus akan kasih sayang, baik dari orang
tua maupun dari keluarganya. Akibatnya anak akan selalu mencari kasih
sayang dan menumpahkan keluhannya di luar rumah. Kalau ia tidak
menemukannya akan menjadi agresif, cenderung hiperaktif, atau sebaliknya
ia menjadi rendah diri, pendiam, atau meyendiri. Oleh karena itu, guru
supaya mendekati anak dengan penuh kasih sayang, kesabaran, sehingga
kekosongan jiwa anak akan teisi atau terobati. Akibatnya, anak akan rajin
ke sekolah karena merasa ada tempat untuk mencurahkan perasaanya. Pada
akhirnya mereka akan menuruti nasehat guru untuk rajin belajar.
2. Tuna Rungu
Pembelajaran yang dilakukan bagia siswa mendengar berbeda dengan
pembelajaran bagi anak tunarungu, anak tunarungu lebih mengandalkan
visualnya serta pembelajaran dapat mudah dipahami jika guru melakukan
prinsip-prinsip di bawah ini:
a. Prinsip keterarahwajahan
Dalam menyampaikan materi pembelajaran, guru harus berdiri di depan
sehingga wajah guru khususnya mulut guru dapat dilihat oleh anak tunarungu
tanpa terhalang apapun, sehingga anak tunarungu dapat memahami apa yang
disampaikan oleh gurunya.Hindari memberikan penjelasan sambil berjalan baik
di depan kelas maupun ke belakang kelas.Ketika berbicara dengan tunarungu

26
harus berhadapan langsung (face to face) sehingga pesan yang disampaikan
dapat dipahami dan pembelajaran dapat lebih dimengerti.
b. Prinsip keterarahsuaraan
Bagi anak tunarungu suara tidak perlu keras dan kencang, namun guru
harus berbicara jelas dengan artikulasi yang tepat sehingga dapat dipahami oleh
tunarungu. Dengan demikian pembelajaran yang dilakukan tidak sia-sia.
c. Prinsip Intersubyektifitas
Dalam pembelajaran guru dan siswa tunarungu sebagai unsur yang
penting harus dapat membangun suatu kesamaan dalam proses pengamatan, apa
yang akan diucapkan oleh anak dengan perantara visualnya harus segera
direspon dan dibahasakan kembali oleh guru.
d. Prinsip kekonkritan
Dalam memberikan pembelajaran kepada anak tunarungu harus konkrit
hal ini dikarenakan anak tunarungu daya abstraksinya rendah dibandingkan
anak mendengar karena minimnya bahasa yang dimiliki. Segala sesuatu yang
diajarkan hendaknya disertai dengan contoh-contoh nyata dan yang mudah
dipahami.
e. Prinsip Visualisasi
Pendengaran anak tunarungu tidak dapat berfungsi maka melalui indera
penglihatannya anak tunarungu berusaha memperoleh informasi, untuk itu
semua pembelajaran yang diberikan oleh guru hendaknya dapat diilustrasikan
dalam bentuk gambar yang bercerita tentang materi yang diberikan atau lebih
dikenal dengan visualisasi yang berguna untuk memudahkan anak tunarungu
mengerti akan maksud dan isi pembelajaran.
f. Prinsip Keperagaan
Setiap kata yang keluar dari mulut guru hendaknya diulas lebih lanjut
hingga anak tunarungu betul-betul paham maksud dari kata tersebut, kemudian
memperagaan atau mempraktekkannya akan lebih memudahkan anak tunarungu
untuk mengerti apa yang diajarkan serta upayakan semua pembelajaran yang
dilakukan dapat diperagakan secara pengalaman oleh anak sehingga anak
mudah memahami dan mengerti apa yang diajarkan guru.
g. Prinsip pengalaman yang menyatu

27
Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi yang diterima,
Mengajak anak tunarungu untuk “mengalami” secara nyata dapat memudahkan
anak untuk mengerti akan hubungan-hubungan yang ada.
h. Prinsip belajar sambil melakukan
Pembelajaran hendaknya dapat bermakna bagi semua siswa tidak
terkecuali bagi anak tunarungu, untuk itu segala sesuatu yang dipelajari harus
dapat dipraktekkan dan dilakukan oleh anak tunarungu. Penggunaan strategi
pembelajaran yang langsung melibatkan anak lebih bermanfaat dibandingkan
anak hanya mendengarkan saja.

3. Tuna Daksa
Ada beberapa prinsip utama dalam memberikan pendidikan pada anak
tuna daksa, diantaranya sebagai berikut:
a. Prinsip multisensory (banyak indra)
Proses pendidikan anak tuna daksa sedapat mungkin memanfaatkan dan
mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri anak karena banyak anak tun
daksa yang mengalami gangguan indra. Dengan pendekatan multisensory,
kelemahan pada indra lain dapat difungsikan sehingga dapat membantu proses
pemahaman
b. Prinsip individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa titik tolak layanan pendidikan
adalah kemampuan anak secara individu. Model layanan pendidikannya dapat
berbentuk klasikal dan individual. Dalam model klasikal, layanan pendidikan
diberikan pada kelompok individu yang cenderung memiliki kemampuan yang
hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan pada masing-masing anak
sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
4. Tunagrahita/Anak lamban belajar (Slow learner)
a. Prinsip Kasih Sayang
Tunagrahita/anak lamban belajar adalah anak yang mengalami
kelainan/penyimpangan dalam segi intelektual (inteligensi), yakni
inteligensinya di bawah rata-rata anak seusianya (di bawah normal). Akibatnya,

28
dalam tugas-tugas akademik yang menggunakan intelektual, mereka senang
mengalami kesulitan. Oleh karena itu. kadang-kadang guru merasa jengkel
karena diberi tugas yang menurut perkiraan guru sangat mudah sekalipun.
mereka tetap saja kesulitan dalam menyelesaikannya. Untuk itu, mengajar anak
tunagrahita/lamban belajar membutuhkan kasih sayang yang tulus dan guru.
Guru hendaknva berbahasa yang lembut, tercapai sabar, rela berkorban, dan
memberi contoh perilaku yang baik ramah, dan supel, sehingga siswa tertarik
dan timbul kepercayaan yang pada akhirnya bersemangat untuk melakukan
b. Prinsip Keperagaan
Kelemahan anak Tunagrahita/lamban belajar antara lain adalah dalam
hal kemampuan berfikir abstrak, Mereka sulit membayangkan sesuatu. Dengan
segala keterbatasannya itu, siswa tunagrahita/lamban belajar akan lebih mudah
tertarik perhatiannva apabila dalam kegiatan belajar-mengajar menggunakan
benda-benda konkrit maupun berbagai alat peraga (model) yang sesuai.
Hal ini menuntut guru agar dalam kegiatan belajar mengajar selalu
rnengaitkan relevansinya dengan kehidupan nyata sehari-hari. Oleh karena itu,
anak perlu di bawa ke lingkungan nyata, baik lingkungan fisik, lingkungan
sosial, maupun lingkungan alam. Bila tidak memungkinkan, guru dapat
membawa berhagai alat peraga.
c. Prinsip Habilitasi dan Rehabilitasi
Meskipun dalam bidang akademik anak tunagrahita memiliki
kemampuan yang terbatas, namun dalam bidang-bidang lainnya mereka masih
memiliki kemampuan atau potensi yang masih dapat dikembangkan.
Habilitasi adalah usaha yang dilakukan seseorang agar anak menyadari
bahwa mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang dapat
dikembangkan meski kemampuan atau potensi tersebut terbatas. Rehabilitasi
adalah usaha yang dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan cara, sedikt
demi sedikit mengembalikan kemampuan yang hilang atau belum berfungsi
optimal. Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru hendaknya berusaha
mengembangkan kemampuan atau potensi anak seoptimal mungkin. melalui
berbagai cara yang dapat ditempuh.
5. Anak Berbakat

29
a. Prinsip Percepatan (AkseIeras) Be1ajar.
Anak berbakat adalah anak yang memiliki kemampuan (intelegensi),
kreatvitas, dan tanggung jawab (task commitmeni) terhadap tugas di atas anak-
anak seusianya. Salah satu karakteristik yang sangat menonjol adalah mereka
memiliki kecepatan belajar di atas kecepatan belajar anak seusianya. Dengan
diterangkan sekali saja oleh guru. mereka telah dapat menangkap maksudnya:
sementara anak-anak yang lainnya masih perlu dijelaskan lagi oleh guru. Pada
saat guru mengulangi penjelasan kepada teman-temannya itu, mereka memiliki
waktu tertuang. Bila tidak diantisipasi oleh guru, kadang-kadang waktu tertuang
ini dimanfaatkan untuk aktivitas sekehendaknya., misalnya melempar benda-
benda kecil kepada teman dekatnya. mencubit teman kanan-kirinya, dan
sebagainya.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki, dalam proses
belajar-mengajar hendaknya guru dapat memanfaatkan waktu luang anak
berbakat dengan memberi materi penilaian tambahan (materi pelajaran
berikutnya). Sehingga kalau terakumulasi semua, mungkin materi pelajaran
selama satu semester dapat selesai dalam waktu 4 bulan: materi 1 tahun selesai
dalam waktu 8 bulan: materi 6 tahun selesai dalam waktu 4 tahun. Hal disebut
dengan istilah percepatan (akselerasi) belajar.
b. Prinsip Pengayaan (Enrichment)
Ada anak berhakat yang tidak tertarik dengan program percepatan
belajar Mereka kurang berminat mempelajari materi di atasnya (berikutnya)
mendahului teman-temannya. Mereka merasa lehih enjoy dan fun dengan tetap
mempelajari materi yang sama dengan teman sekelasnya, namun diperdalam
dan diperluas dengan mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi (analisis.
sintesis. evaluasi, dan pemecahan masalah), tidak hanya mengembangkan
proses berfikir tingkat rendah (pengetahuan dan pemahaman), karena anak
berbakat lebih menonjol dalam proses berfikir tingkat tinggi tersebut.
Hal ini menuntut guru agar dalam kegiatan betajar mengajar dapat
rnemanfaatkan waktu luang anak berbakat dengan cara memberi program-
program pengayaan kepada mereka, dengan mengemhangkan proses berfikir
tingkat tinggi seperti di atas.

30
6. Tunanetra
a. Prinsip Kekonkritan.
Anak tunanetra belajar terutama melalui pendengaran dan perabaan.
Bagi mereka untuk mengerti dunia sekelilingnya harus bekerja dengan benda-
benda konkrit yang dapat diraba dan dapat dimanipulasikan Melalui observasi
perabaan benda-benda riil, dalam tempatnya yang alamiah, mereka dapat
memahami bentuk, ukuran, berat, kekerasan, sifat-sitat permukaan, kelenturan,
suhu, dan sebagainya.
Dengan menyadari kondisi seperti ini, maka dalam proses belajar-
mengajar guru dituntut semaksimal mungkin dapat menggunakan benda-benda
konkrit (baik asli maupun tiruan) sebagai alat bantu atau media dan sumber
belajar dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran.
c. Prinsip Pengalaman yang Menyatu
Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi. Seorang anak
normal yang masuk ke toko, tidak saja dapat melihat rak-rak dan benda-benda
riil, tetapi juga dalam sekejap mampu melihat huhungan antara rak-rak dengan
benda-benda di ruangan. Anak tunanetra tidak mengerti hubungan-huhungan ini
kecuali jika guru menyajikannya dengan mengajar anak untuk “mengalami”
suasana tersehut secara nyata dan menerangkan huhungan-huhungan tersebut.
d. Prinsip Belajar Sambil Melakukan
Prinsip ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan prinsip belajar sambil
berkerja. Perbedaannya adalah, bagi anak tunanetra, melakukan sesuatu adalah
pengalamanya nyata yang tidak mudah terlupakan seperti anak normal melihat
sesuatu sebagai kebutuhan utama dalam rnenangkap informasi. Anak normal
belajar mengenai keindahan lingkungan cukup hanya dengan melihat gambar
atau foto. Anak tunanetra menuntut penjelasan dan penjelajahan secara langsung
di lingkungan nyata.
Prinsip ini menuntut guru agar dalam proses belajar-mengajar tidak
hanya bersifat informatif akan tetapi semaksimal mungkin anak diajak ke dalam
situsi nyata sesuai dengan tuntutan tujuan yang ingin dicapai dan bahan yang
diajarkannya.

31
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
1. Berkebutuhan khusus merupakan istilah yang digunakan untuk
menyebutkan anak-anak luar biasa atau mengalami kelainan dalam
konteks pendidikan. Ada perbedaan yang signifikan pada penggunaan
istilah berkebutuhan khusus dengan luar biasa atau berkelainan.
Berkebutuhan khusus lebih memandang pada kebutuhan anak untuk
mencapai prestasi dan mengembangkan kemampuannya secara optimal,
sedang pada luar biasa atau berkelainan adalah kondisi atau keadaan anak
yang memerlukan perlakuan khusus. Pengelompokkan anak berkebutuhan
khusus hanya diperlukan untuk kebutuhan penanganan anak secara
klasikal, sedangkan untuk kepentingan yang bersifat sosial anak
berkebutuhan khusus tidak perlu dikelompokkan. Anak berkebuthan
khusus dapat dikelompokkan menjadi Kelainan Mental (Mental Tinggi,
Mental Rendah, Berkesulitan Belajar Spesifik). Kelainan Fisik (Kelainan
Tubuh, Kelainan Indera Penglihatan, Kelainan Indera Pendengaran,
Kelainan Wicara). Kelainan Emosi (Gangguan Perilaku, Gangguan
Konsentrasi (ADD/Attention Deficit Disorder), Anak Hiperactive
(ADHD/Attention Deficit with Hiperactivity Disorder).
2. Bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat
dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu: bentuk layanan
pendidikan segregasi dan bentuk layanan pendidikan terpadu/integrase
3. Terdapat tiga factor yang dapat diidentifikasi tentang sebab musabab
timbulnya kebutuhan khusus pada seorang anak yaitu: (1) Faktor internal
pada diri anak. (2) Faktor eksternal dari lingkunan, dan (3) Kombinasi dari
factor internal dan eksternal (kombinasi).
4. Sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas
yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak,
menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa,
maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar

32
anak-anak berhasil. Prinsip pembelajaran untuk pendidikan inklusif sangat
beragam. Diantaranya adalah prinsip pembelajaran untuk anak
berkebutuhan khusus seperti tuna daksa, tuna laras, dan tuna rungu yaitu
prinsip keterarahwajahan, Prinsip keterarahsuaraan, Prinsip
Intersubyektifitas, Prinsip kekonkritan, Prinsip Visualisasi, Prinsip
Keperagaan, Prinsip pengalaman yang menyatu, Prinsip belajar sambal
melakukan.

3.2 Saran
Pendidikan merupakan hak seluruh masyarakat Indonesia tidak terkecuali
untuk siswa yang berkebutuhan khusus. Namun, sayangnya belum seluruh
sekolah siap untuk mengakomodasi siswa berkebutuhan khusus. Hal ini perlu
mendapat perhatian dari pemerintah dan penyelenggara pendidikan di setiap
jenjang. Pemerintah harus mampu memberikan pelayanan dalam bidang
pendidikan secara merata untuk siswa berkebutuhan khusus. Pelayanan tersebut
harus berjalan berkesinambungan dengan memperhatikan beberapa hal seperti,
kesiapan tenaga pendidik, sarana prasaran, ketersediaan sekolah bagi siswa
berkebutuhan khusus, dan strategi pembelajaran yang tepat bagi siswa
berkebutuhan khusus.

33

Anda mungkin juga menyukai