Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali macam tingkah laku,
karakteristik dan bentuk fisik manusia yang kita temui. Baik itu orang
normal maupun tidak normal. Di dalam pendidikan juga ada yang untuk
anak normal dan untuk anak yang membutuhkan layanan khusus. Anak
berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang mengalami gangguan atau
hambatan perkembangan baik fisik maupun mentalnya sehingga mereka
membutuhkan perhatian dan layanan khusus, hal ini dengan tujuan agar
mereka mampu menjalani kehidupan sehari-hari tanpa membutuhkan
orang lain.1Salah satu anak yang mengalami hambatan atau gangguan
yaitu anak tunarungu dan tunawicara. Anak tunarungu adalah istilah yang
mengacu pada anak yang mengalami gangguan pendengaran atau tuli.
Mereka lahir atau mengalami gangguan pendengaran sejak dini, sehingga
kesulitan mendengar suara dan berkomunikasi secara lisan. Anak
tunarungu seringkali memerlukan dukungan khusus dalam bentuk
pendidikan khusus, terapi pendengaran, dan penggunaan bahasa isyarat
atau alat bantu komunikasi untuk membantu mereka berkomunikasi dan
mengembangkan keterampilan komunikasi mereka. Pemberian dukungan
dan pendidikan yang tepat sangat penting untuk perkembangan dan
kesejahteraan anak tunarungu. Sedangkan Anak tunawicara adalah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan anak yang mengalami gangguan
bicara atau ketidakmampuan untuk berbicara. Mereka mungkin memiliki
kesulitan dalam mengucapkan kata-kata dengan jelas atau mungkin sama
sekali tidak dapat berbicara. Anak tunawicara sering memerlukan bantuan
khusus, terapi bicara, dan penggunaan alat bantu komunikasi untuk
membantu mereka berkomunikasi dengan orang lain. Upaya untuk

1
MM Shinta Pratiwi, Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus , (Semarang: Semarang
University Press, 2011), hlm. 1.

1
membantu anak tunawicara mengembangkan keterampilan komunikasi
mereka dapat sangat bermanfaat untuk perkembangan mereka.2
Orang tua atau guru harus bisa mendeteksi dini kalau anak tersebut
mengalami hambatan, hal ini bertujuan agar kelainan yang dialami anak
tidak berkembang atau bertambah parah. Misalnya kalau anak mengalami
tunarungu dan tunawicara maka pihak yang bersangkutan harus cepat
mencegahnya, agar kelainannya tidak bertambah parah. Faktor lingkungan
sangat mempengaruhi perkembangan anak baik itu lingkungan keluarga,
sekolah maupun masyarakat. Dimana kalau anak hidup dalam keluarga
yang bisa menghargai dan mendidik anak dengan baik maka anak akan
bisa tumbuh kembang dengan baik dan begitu juga sebaliknya karena
keluarga tempat yang paling utama anak mendapat pendidikan. Dalam
lingkungan keluarga anak mendapat pendidikan yang baik, tapi lingkungan
tidak baik maka anak juga bisa mempunyai sifat atau kelainan.
Untuk mengatasi terjadinya kelainan tersebut yaitu dengan lebih
memperhatikan anak baik dari lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat. Kalau anak sudah mempunyai pergaulan yang tidak baik
maka, orang tua maupun guru harus cepat tanggap dan mencegahnya agar
anak tidak berlarut-larut dalam permasalahan tersebut. Kalau anak sudah
mempunyai perilaku dan emosi yang tidak sesuai dengan usianya maka,
orang tua maupun guru harus menerima anak tanpa mengabaikannya. Dan
langkah yang harus dilakukan adalah bagaimana agar anak bisa keluar dari
gangguan perilaku yang dialaminya. Cara yang tepat yaitu dengan
memberikan pembelajaran yang sesuai dengan kelainan yang dimiliki oleh
anak berkebutuhan khusus. Oleh sebab itu orang tua maupun guru harus
menyiapkan proses pembelajaran yang bisa diterapkan kepada anak yang
mengalami kelainan.
MI At-Tahzib Kekait merupakan sekolah yang memiliki anak yang
tunarungu dan tunawicara yang berada pada kelas tinggi yaitu kelas VI C.
Dari hasil wawancara dengan wali kelas VI C, penulis mendapatkan

2
Ibid., hlm. 26.

2
informasi bahwa terdapat seorang anak yang berada di kelas VI C yang
tergolong ke dalam anak ABK jenis tunarungu dan tunawicara Hal ini
memotivasi penulis untuk mengetahui lebih dalam dan lebih spesifik
seperti apa pembelajaran untuk anak ABK serta kondisi lingkungannya
dan apa saja problematika yang dihadapi oleh guru dalam menangani anak
tunarungu dan tunawicara.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka adapun rumusan masalah yang
diajukan penulis yaitu :
1. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran pada anak ABK di MI At-
Tahzib Kekait ?
2. Bagaimana Strategi guru dalam mengajarkan anak ABK di MI At-
Tahzib Kekait ?
3. Apa saja faktor yang menyebabkan anak berkebutuhan khusus ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran bagi anak
berkebutuhan khusus di MI At-Tahzib Kekait.
2. Untuk mengetahui strategi guru dalam mengajarkan anak
berkebutuhan khusus di MI At-Tahzib Kekait.
3. Untuk mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan anak
berkebutuhan khusus.
D. Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diambil dalam laporan praktikum PAKEM
dan pembelajaran inklusi ini adalah:
1. Manfaat teoritis
a. Sebagai refrensi ilmiah dalam ilmu pendidikan tentang
anak berkebutuhan khusus
b. Memberikan masukan bagi dunia pendidikan tentang
pembelajaran anak berkebutuhan khusus

3
2. Manfaat praktis
a. Bagi peulis
1) Menambah wawasan tentang hal-hal yang menjadi
problematika guru dalam mempelajarkan anak
berkebutuhan khusus
2) Menambah wawasan tentang tata cara dalam
membelajarkan anak berkebutuhan khusus.
b. Bagi guru
1) Sebagai bahan koreksi dalam membelajarkan anak
berkebutuhan khusus.
2) Menambah wawasan tentang tata cara
membelajrkan anak berkebutuhan khusus.
c. Bagi kepala sekolah
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam menentukan solusi untuk mengatasi
problematika guru dalam membelajarkan anak
berkebutuhan khusus.

4
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Anak Berkebutuhan khusus


Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan
penanganan khusus karena adanya gangguan perkembangan dan kelainan
yang dialami anak. Berkaitan dengan istilah disability, maka anak
berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki keterbatasan di salah satu
atau beberapa kemampuan baik itu bersifat fisik seperti tunanetra dan
tunarungu, maupun bersifat psikologis seperti autism dan ADHD.
Pengertian lainnya bersinggungan dengan istilah tumbuh-kembang
normal dan abnormal, pada anak berkebutuhan khusus bersifat abnormal,
yaitu terdapat penundaan tumbuh kembang yang biasanya tampak di usia
balita seperti baru bisa berjalan di usia 3 tahun. Hal lain yang menjadi
dasar anak tergolong berkebutuhan khusus yaitu ciri-ciri tumbuh-kembang
anak yang tidak muncul (absent) sesuai usia perkembangannya seperti
belum mampu mengucapkan satu katapun di usia 3 tahun, atau terdapat
penyimpangan tumbuh-kembang seperti perilaku echolalia atau membeo
pada anak autis.
Pemahaman anak berkebutuhan khusus terhadap konteks, ada yang
bersifat biologis, psikologis, sosio-kultural. Dasar biologis anak
berkebutuhan khusus bisa dikaitkan dengan kelainan genetik dan
menjelaskan secara biologis penggolongan anak berkebutuhan khusus,
seperti brain injury yang bisa mengakibatkan kecacatan tunaganda. Dalam
konteks psikologis, anak berkebutuhan khusus lebih mudah dikenali dari
sikap dan perilaku, seperti gangguan pada kemampuan belajar pada anak
slow learner, gangguan kemampuan emosional dan berinteraksi pada anak
autis, gangguan kemampuan berbicara pada anak autis dan ADHD.

5
Konsep sosio-kultural mengenal anak berkebutuhan khusus sebagai anak
dengan kemampuan dan perilaku yang tidak pada umumnya, sehingga
memerlukan penanganan khusus.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia 2013, menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus
adalah:
“Anak yang mengalami keterbatasan atau keluarbiasaan,baik
fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional, yang berpengaruh
secara signifikan dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya
dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia dengannya”.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus


adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada
umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi
atau fisik.Istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar
biasa dan anak cacat. Anak dengan kebutuhan khusus (special needs
children) dapat diartikan secara simpel sebagai anak yang lambat (slow)
atau mangalami gangguan (retarded) yang sangat sukar untuk berhasil di
sekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan
khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan layanan yang
spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya.
Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan
khusus, seperti disability, impairment, dan handicap. Menurut World
Health Organization (WHO), definisi masing-masing istilah adalah
sebagai berikut: Disability yaitu keterbatasan atau kurangnya kemampuan
(yang dihasilkan dari impairment) untuk menampilkan aktivitas sesuai
dengan aturannya atau masih dalam batas normal, biasanya digunakan
dalam level individu. Impairment yaitu kehilangan atau ketidaknormalan
dalam hal psikologis, atau struktur anatomi atau fungsinya, biasanya
digunakan pada level organ. Handicap yaitu ketidakberuntungan individu

6
yang dihasilkan dari impairment atau disability yang membatasi atau
menghambat pemenuhan peran yang normal pada individu.3

B. Pengertian Anak Tunarungu


Kelainan pendengaran diasumsikan sebagai orang tidak mendengar
sama sekali atau tuli. 4Kelainan pendengaran dapat juga disebut sebagai
tunarungu. Tunarungu adalah mereka yang mengalami gangguan pada
organ pendengaran baik sebagai atau keseluruhan yang berdampak pada
kemampuan berkomunikasi, dan gangguan tersebut berada pada tingkatan-
tingkatan tertentu sesuai tingkatan kerusakan yang dialami oleh organ
pendengaran tersebut. Tunarungu adalah hilangnya fungsi pendengaran
yang berdampak pada individu yang bersangkutan. Tunarungu atau
ketunarunguan (hearing impairment) adalah istilah untuk menunjuk segala
gangguan yang berhubungan dengan daya dengar, terlepas dari sifat, faktor
penyebab, dan tingkat atau derajat ketunarunguan. Istilah tunarungu dapat
dikelompokkan dalam 2 bagian yaitu kelompok yang menderita
kehilangan daya dengar (hearing loss) untuk menunjuk pada segala
gangguan dalam deteksi bunyi dan kelompok yang tergolong mengalami
gangguan proses pendengaran (auditory processing disorder), yaitu
mereka yang mengalami gangguan dalam menafsirkan bunyi karena
adanya gangguan dalam mekanisme pendengaran. Anak tunarungu adalah
mereka yang pendengarannya tidak berfungsi sehingga membutuhkan
pelayanan pendidikan khusus.5
C. Pengertian Anak Tunawicara
Kelainan Bicara (Tunawicara), Tunawicara adalah seseorang yang
mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa
verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain.
3
Dinie Ratri, Psikologi Anak Berkebutuhan khusus, ( Yogyakarta: Psikosains, 2016), hlm.
1-2.
4
M Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, (Jakarta : Sinar Grafika
Offset, 2006), hlm. 57.
5
Aswar, Meningkatkan Perbendaharaan Kosakata Bahasa Inggris Mahasiswa
Tunarungu Melaui Media Kartu Kata (Flash Card), ( Padang : E-Jupekhu, 2012), hlm. 79.

7
Kelainan bicara ini dapat bersifat fungsional di mana kemungkinan
disebabkan karena ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan
adanya ketidaksempurnaan organ bicara maupun ada gangguan pada organ
motorik yang berkaitan dengan bicara. Menurut Heri Purwanto tunawicara
adalah apabila seseorang mengalami kelainan baik dalam pengucapan
(artikulasi) bahasa maupun suaranya dari bicara normal, sehingga
menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi lisan dalam lingkungan.
Menurut Dr. Muljono Abdurrachman dan Drs.Sudjadi S gangguan wicara
atau tuna wicara adalah suatu kerusakan atau gangguan dari suara,
artikulasi dari bunyi bicara, dan kelancaran berbicara sehingga mereka
kesulitan dalam mengucapkan kata-kata. Gangguan tunawicara adalah
suatu kerusakan atau gangguan dari suara, artikulasi dari suara saat
berbicara, dan atau kelancaran berbicara, individu yang mengalami
gangguan atau hambatan dalam komunikasi verbal sehingga kesulitan
untuk berkomunikasi. Biasanya penyandang tunawicara berkomunikasi
lewat simbol-simbol tertentu.6

6
⁶Nur Kholis Reefani, Panduan Anak Berkebutuhan Khusus (Yogyakarta : Imperium,
2013), hlm. 17.

8
BAB III
METODE PRAKTIKUM

A. Wawancara

Menurut moh. Nasir wawancara adalah proses memperoleh keterangan


dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau
pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang
dinamakan interview guide (panduan wawancara).7 Wawancara adalah percakapan
dengan maksud tertentu oleh dua pihak, yaitu pewawancara sebagai pemberi
pertanyaan dan yang diwawancarai sebagai pemberi jawaban atas pertanyaan itu.
Dalam penulisan laporan praktikum PAKEM dan Pembelajaran Inklusi ini
menggunakan metode wawancara untuk pengumpulan data dengan tanya jawab
yang dilakukan dengan sistematis dan berdasarkan pada tujuan, dengan kata lain
wawancara adalah kegiatan mendapatkan informasi secara langsung dengan
mengungkapkan pertanyaan kepada para responden. Dengan demikian,
mengadakan wawancara pada prinsipnya merupakan usaha untuk menggali
keterangan yang lebih mendalam dari sebuah kajian atau sumber yang relavan
berupa pendapat, pengalaman dan pikiran.8

Wawancara dalam praktikum ini digunakan untuk memperoleh data


tentang bagaimana pelaksanaan pembelajaran pada anak ABK di MI At-Tahzib
Kekait, bgaimana strategi guru dalam mengajarkan anak ABK di MI At-Tahzib
Kekait, dan apa saja faktor yang menyebabkan anak berkebutuhan khusus berupa
wawancara dengan wali kelas VI C di MI At-Tahzib Kekait.

B. Observasi

Observasi adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan yang


dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis
9
terhadap fenomena-fenomena yang sedang dijadikan sasaran pengamatan.

7
Moh. Nasir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indo, 1999), hlm. 234.
8
Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2008), hlm. 127.
9
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 76.

9
Observasi (atau pengamatan) adalah cara pengumpulan data dimana orang yang
ditugasi melakukan pengamatan terhadap subjek demikian hingga si subjek tidak
tahu bahwa dia sedang diamati. Metode ini digunakan untuk melihat aktivitas
proses pembelajaran di kelas, dengan tujuan untuk mendapatkan informasi tentang
objek, observasi yang dilakukan meliputi observasi terhadap bagaimana
pelaksanaan pembelajaran pada anak ABK di MI At-Tahzib Kekait, bagaimana
strategi guru dalam mengajarkan anak ABK di MI At-Tahzib Kekait, dan apa saja
faktor yang menyebabkan anak berkebutuhan khusus. Penulis melakukan
observasi dengan cara mendatangi sekolah tersebut yaitu MI At-Tahzib Kekait
yang berada di desa Kekait.

10
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Data Siswa Berkebutuhan Khusus

Hasil yang telah didapatkan penulis di sekolah MI At-Tahzib Kekait ialah


pada kelas VI C terdapat satu anak tunarungu dan tunawicara yang bernama
Ahmad Warson Wizari. Penulis melakukan wawancara dengan wali kelas siswa
tersebut yakni kelas VI C yang bernama Multazam Azhar S.Pd. penulis
mendapatkan beberapa informasi tentang anak tersebut. Dari hasil wawancara dan
observasi yang dilakukan pada hari Kamis 26 Oktober 2023 di MI At-Tahzib
Kekait, bahwa anak dengan nama Ahmad Warson Wizari termasuk anak ABK
jenis tunarungu dan tunawicara. Ahmad Warson Wizari merupakan anak kelas VI
C, faktor yang menyebabkan anak ini mengalami tunarungu dan tunawicara
adalah dari faktor biologis.

B. Pelaksanaan Pembelajaran Pada Anak ABK

Guru mengajarkan anak berkebutuhan khusus seperti menyampaikan


materi pada siswa-siswa lainnya, namun anak dengan berkebutuhan khusus lebih
diperhatikan. Berikut penjelasan guru saat wawancara :

“ Ada anak berkebutuhan khusus atas nama Ahmad Warson Wizari yang
merupakan anak berkebutuhan khusus jenis tunarungu dan tunawicara,
jadi anak ini diberikan perlakuan khusus, ketika teman-temannya
diajarkan mata pelajaran dengan cara ceramah namun dia akan
diajarkan dengan cara memperlihatkan gambar yang berkaitan dengan
materi pelajaran yang sedang diajarkan dan menggunakan bahasa isyarat
oleh guru dan teman-temannya”

C. Strategi dan Guru Dalam Mengajarkan Anak Berkebutuhan Khusus

Adapun strategi yang dilakukan oleh wali kelas VI C untuk mengajarkan


anak berkebutuhan khusus sesuai dengan hasil wawancara dan observasi adalah
sebagai berikut :

11
“Ahmad Warson Wizari diajarkan dengan strategi belajar dengan cara
menggunakan bahasa isyarat dan menggunakan media pembelajaran gambar
yang berkaitan dengan materi yang sedang diajarkan pada saat itu, dan juga
meminta teman-temannya untuk menjelaskan kembali maksud dari materi yang
sedang diajarkan dengan alasan teman-temannya sudah lebih dahulu mengenal
Ahmad Warson Wizari sejak dari kelas I sampai kelas VI sudah membersamainya
sehingga mudah untuk berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa isyarat.
Ahmad Warson Wizari diposisikan duduk bersama teman-temannya yang cepat
mengerti dan pintar supaya memudahkan komunikasi antara Ahmad Warson
Wizari dengan teman-temannya untuk memperoleh pemahaman materi yang
sedang diajarkan. Ahmad Warson Wizari bersekolah di MI At-Tahzib Kekait yang
memiliki lingkungan fisik yang mudah dijangkau dan lingkungan sekolah yang
nyaman dan ramah namun layanan pendukung pembelajaran untuk anak ABK
masih kurang, karena dalam sekolah tersebut tidak memiliki banyak anak yang
Berkebutuhan khusus yang membuat kurangnya perhatian terhadap layanan
pendukung pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus”

D. Faktor Anak Berkebutuhan Khusus

Menurut gurunya pada saat penulis melakukan wawancara, anak


berkebutuhan khusus jenis tunarungu dan tunawicara disebabkan karena faktor
biologis. Berikut penjelasan wali kelas VI C pada saat wawancara :

“Ahmad Warson Wizari tidak memilki keturunan yang berkebutuhan


khusus jenis tunarungu dan tunawicara, namun anak ini mendapat kelainan
tersebut dari faktor biologis/personal”

12
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum dan pembahasan yang telah diuraikan di atas


dapat disimpukan bahwa di MI At-Tahzib Kekait yang terletak di desa Kekait.
Hasil wawancara dengan wali kelas terdapat anak berkebutuhan khusus yang
bernama Ahmad Warson Wizari, yang berada di kelas tinggi kelas VI C. Ahmad
Warson Wizari merupakan anak berkebutuhan khusus jenis tunarungu dan
tunawicara. Guru melakukan berbagai startegi atau cara untuk mengajarkan anak
berkebutuhan khusus tersebut, salah satu caranya yaitu dia diberikan perlakuan
khusus oleh gurunya dalam mengajarkan pelajaran untuk bisa memahami materi
yang sedang diajarkan dan dengan bantuan dari teman-temannya dengan cara
menggunakan bahasa isyarat dan menggunakan media pembelajaran visual atau
gambar. Adapun untuk lingkungan sekolahnya terbilang sangat mendukung bagi
anak berkebutuhan khusus, namun untuk sarananya masih terbilang kurang dalam
menunjang proses pembelajaran anak berkebutuhan khusus.

B. Saran

Guru hendaknya lebih kreatif dalam membelajarkan anak berkebutuhan


khusus dam mempelajari bagaimana model pengembangan kurikulum untuk anak
berkebutuhan khusus. Guru juga sebaiknya lebih sering mengikuti seminar,
pelatihan-pelatihan dan workshop terkait anak berkebutuhan khusus baik secara
ofline maupun online.

13
DAFTAR PUSTAKA

Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2013

Aswar, Meningkatkan Perbendaharaan Kosakata Bahasa Inggris Mahasiswa


Tunarungu Melaui Media Kartu Kata (Flash Card), Padang : E-
Jupekhu, 2012

Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT Rineka


Cipta, 2008

Dinie Ratri, Psikologi Anak Berkebutuhan khusus, Yogyakarta: Psikosains,


2016

M Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Jakarta : Sinar


Grafika Offset, 2006

MM Shinta Pratiwi, Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus, Semarang:


Semarang University Press, 2011

Moh. Nasir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indo, 1999

Nur Kholis Reefani, Panduan Anak Berkebutuhan Khusus Yogyakarta :


Imperium, 2013

14
LAMPIRAN-LAMPIRAN

15
KASUS-KASUS DALAM PENDIDIKAN INKLUSI

Kasus I

Siti adalah anak yang berusia 9 tahun. Namun, Siti masih berperilaku
seperti layakny anak yang berumur 4 tahun. Ia terkadang masih buang air kecil di
celana tanpa bisa menahannya. Hingga kini Siti masih memiliki permasalahan
dalam berjalan. Kakinya tampak lemah, sehingga dia harus dibantu Ibunya ketika
berjalan. Walau berada dalam kondisi sedemikian, Siti masih dapat memahami
perintah dan menjawab pertanyaan sederhana. Siti tinggal di sebuah desa
terpencil. Hanya ada 2 sekolah dasar di desa tersebut. Sejak Siti berusia 7 tahun,
orang tuanya ingin sekali mengirimkan Siti ke sekolah sama seperti anak yang
seusia Siti lainnya. Pernah terpikir oleh orang tua Siti untuk mengirimkan dia ke
Sekolah Luar Biasa, namun sekolah tersebut berjarak 200 km dari desa mereka.
Orang tua Siti merasa bingung apa yang harus mereka lakukan, Agar Siti
mendapat pendidikan, Orang tua Siti kemudian mendaftarkan anaknya ke sekolah
dasar di desanya tetapi Komite dan Kepala Sekolah menolak meskipun guru di
sekolah tersebut menyatakan siap menerima.

Pertanyaan:

Apa komentar Anda jika Anda adalah: orang tua Siti, kepala sekolah di
sekolah dasar tersebut, guru di sekolah dasar tersebut, dan siswa di sekolah
dasar tersebut?

Jawaban:

Sebagai orang tua Siti: Kami sangat mencintai Siti dan ingin memberinya
kesempatan terbaik. Kami telah mencoba mencari solusi terbaik untuk
pendidikannya. Meskipun Sekolah Luar Biasa jauh, kami merasa sedih ketika
komite dan kepala sekolah menolak. Kami akan terus mencari cara terbaik untuk
pendidikan Siti. Sebagai Kepala Sekolah di sekolah dasar tersebut: Kami harus
mempertimbangkan hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan, termasuk
Siti. Meskipun kami menghadapi tantangan, kita harus mencari cara untuk
membantu Siti dan memastikan dia bisa belajar bersama teman-temannya.

16
Sebagai guru di sekolah dasar tersebut: Saya bersedia menerima Siti ke dalam
kelas saya. Saya yakin dengan dukungan dan bantuan, Siti bisa belajar dengan
baik. Semua anak memiliki potensi, dan tugas kami sebagai guru adalah
membantu mereka berkembang. Sebagai siswa di sekolah dasar tersebut: Saya
tidak keberatan dengan Siti bergabung dengan kita. Kita semua teman, dan kita
bisa saling membantu. Pendidikan adalah hak semua anak, termasuk Siti, dan kita
harus mendukungnya.

Kasus II

Adi adalah seorang siswa tunarungu yang kini berada di kelas 2 sebuah
sekolah dasar di Desa Suka Damai. Sebenarnya sekolah ini pada awalnya tidak
mau menerima Adi untuk masuk di kelas 1, namun karena orang tuanya berkeras,
akhirnya kepala sekolah membiarkan saja Adi masuk ke sekolahnya. Meski
menerima Adi, kepala sekolah menyatakan bahwa mereka tidak mengerti
bagaimana cara mendidik Adi. Di sekolah tersebut, tidak ada guru yang memiliki
pengetahuan ataupun pengalaman bagaimana mendidik siswa tunarungu seperti
Adi. Di sekolah ini, Adi tampak tidak mengalami perkembangan yang berarti. Ia
tampak pasif dan memiliki prestasi belajar yang rendah. Oleh karenanya, para
guru dan siswa lain sering menganggap bahwa Adi adalah anak yang tidak pandai.
Adi juga tidak dapat bersosialisasi dengan siswa lain dan cenderung menyendiri.
Melihat kondisi sedemikian, kepala sekolah merasa perlu mengambil tindakan
untuk membantu Adi, meski ia belum tahu bagaimana caranya dan kepada siapa ia
harus meminta bantuan untuk dapat memahami kondisi Adi dan membantu
pembelajarannya.

Pertanyaan:

Coba berilah tanggapan Anda tentang apa yang harus dilakukan oleh kepala
sekolah!

Jawaban:

Kepala sekolah seharusnya mengambil beberapa tindakan untuk membantu Adi:

17
1) Mendapatkan Bimbingan: Kepala sekolah perlu mencari sumber daya
yang dapat memberikan panduan dan pelatihan kepada guru-guru di
sekolah dalam mengajar siswa tunarungu seperti Adi. Mungkin bekerja
sama dengan lembaga atau organisasi yang berpengalaman dalam inklusi
pendidikan.
2) Guru Khusus: Mengupayakan pendidikan khusus untuk guru yang akan
mengajar Adi. Guru yang memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus
dalam pendidikan inklusi akan sangat membantu.
3) Tim Dukungan: Membentuk tim dukungan inklusi yang melibatkan staf
sekolah, psikolog, dan spesialis lainnya yang dapat memberikan dukungan
dalam perkembangan Adi.
4) Perencanaan Pendidikan Individual (PPI): Menyusun PPI yang
disesuaikan dengan kebutuhan Adi. Ini akan membantu guru dan staf
sekolah memahami bagaimana mendukung perkembangan Adi secara
lebih efektif.
5) Kesadaran dan Pelatihan untuk Siswa Lain: Mengadakan program
pendidikan dan kesadaran untuk siswa lain, sehingga mereka dapat lebih
memahami dan mendukung Adi.
6) Kolaborasi dengan Orang Tua: Melibatkan orang tua Adi dalam proses
pendidikan dan merencanakan strategi bersama untuk perkembangannya.

Kasus III

Anto adalah seorang siswa kelas 2 dari sebuah sekolah dasar di Desa Suka
Makmur. Sejak masuk ke sekolah tersebut, Pak Hasan sebagai wali kelas 2
menduga bahwa Anto tergolong anak yang mengalami autistik karena Anto
tampak sibuk dengan dirinya sendiri, tidak mampu melakukan kontak mata
dengan orang lain, dan tampak seperti memiliki dunianya sendiri. Di sekolah ini
tidak ada guru yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang bagaimana
melayani pembelajaran bagi siswa dengan autistik. Kondisi ini membuat
pembelajaran Anto menjadi terhambat dan Anto tidak mengalami perkembangan
yang positif. Pak Hasan ingin sekali menyarankan agar Anto mendapatkan

18
penanganan khusus untuk mengatasi permasalahannya, namun ia tidak berani
menyarankan solusi apa pun pada orang tua Anto, mengingat keluarga Anto
adalah keluarga yang berlatar belakang ekonomi sangat rendah. Pak Hasan
bingung apa yang harus ia lakukan.

Pertanyaan:

Coba berilah tanggapan Anda untuk membantu Pak Hasan!

Jawaban:

Pak Hasan sebaiknya mencari cara sensitif untuk berbicara dengan orang
tua Anto. Dia bisa menjelaskan keprihatinannya terhadap perkembangan Anto dan
menyampaikan bahwa ia ingin membantu. Mungkin dia bisa mencari informasi
tentang organisasi atau sumber daya yang dapat memberikan bantuan kepada
keluarga Anto secara finansial dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi
Anto. Selain itu, Pak Hasan bisa juga mencoba mencari saran dari pihak sekolah
atau dinas pendidikan terkait dengan langkah-langkah yang dapat diambil untuk
membantu Anto mendapatkan penanganan khusus. Ini penting untuk memastikan
bahwa Anto mendapatkan dukungan yang dibutuhkannya untuk
perkembangannya.

Kasus IV

Risma adalah seorang siswa tunadaksa kelas 3 dari sebuah sekolah di Desa Suka
Kaya. Setahun yang lalu, Risma mendapatkan bantuan kursi roda dari sebuah
LSM yang bekerja di desa tersebut. Namun, Pak Ismail sebagai wali kelas Risma
merasa bahwa kursi roda itu tidak memberi dampak pada aktivitas Risma di
sekolah. Ini dikarenakan pintu kelas Risma sangat kecil ukurannya sehingga tidak
dapat dimasuki kursi roda Risma. Selain itu, di muka pintu setiap kelas terdapat 3
anak tangga yang harus dilalui, mengingat ruang kelas di sekolah tersebut sering
tergenang banjir dan harus dibuat lebih tinggi daripada halaman sekolah. Risma

19
juga tidak dapat dengan mudah menggunakan toilet sekolah, karena toiletnya
sangat kecil dengan kloset jongkok. Pak Ismail merasa bingung apa yang harus ia
lakukan untuk menolong Risma.

Pertanyaan:

Coba berilah tanggapan Anda untuk membantu Pak Ismail!

Jawaban:

Pak Ismail sebaiknya mengambil langkah-langkah berikut untuk membantu


Risma:

1) Berbicara dengan pihak sekolah: Pak Ismail bisa berbicara dengan kepala
sekolah atau pihak berwenang di sekolah untuk menyampaikan masalah
yang dihadapi Risma. Mereka dapat mencari solusi untuk memperbaiki
aksesibilitas sekolah, seperti memperlebar pintu kelas, menyediakan akses
tanpa tangga, dan memperbaiki fasilitas toilet.
2) Lubungi LSM yang memberikan kursi roda: Pak Ismail dapat
menghubungi LSM yang memberikan kursi roda kepada Risma dan
menjelaskan situasi yang dihadapi. Mereka mungkin dapat memberikan
bantuan lebih lanjut atau saran mengenai pembaruan kursi roda yang
sesuai dengan kebutuhan Risma.
3) Melibatkan orang tua Risma: Pak Ismail dapat berkomunikasi dengan
orang tua Risma untuk bekerja sama dalam menemukan solusi yang
terbaik. Mereka mungkin memiliki saran atau informasi tambahan yang
dapat membantu.
4) Konsultasi dengan ahli: Jika memungkinkan, Pak Ismail dapat mencari
bantuan dari ahli yang memiliki pengetahuan tentang aksesibilitas untuk
siswa tunadaksa. Mereka dapat memberikan panduan dan saran teknis
untuk memperbaiki situasi.

20
Kasus V

Di kelas III terdapat 2 anak lamban belajar. Kedua anak duduk berdua di
pojok paling belakang karena badan mereka yang besar dibanding anak lain.
Ketika pembelajaran, guru menggunakan media 14 cerita bergambar dan kartu
benar salah untuk mengecek pemahaman siswa. Saat bercerita guru tidak
memberikan perhatian untuk siswa lamban belajar dan kedua siswa tersebut
tampak tidak memperhatikan guru menyampaikan cerita. Dari awal sampai akhir
kegiatan pembelajaran guru hanya berdiri di depan kelas sehingga hanya anak
yang duduk di depan yang tampak aktif menanggapi guru. Coba dianalisis kasus
(5) tersebut!

Pertanyaan:

Bagaimana strategi pembelajaran yang digunakan oleh gurunya?

Jawaban:

Dari deskripsi kasus tersebut, tampaknya guru menggunakan strategi


pembelajaran yang tidak memadai bagi siswa lamban belajar. Berikut analisisnya:

1) Penempatan siswa: Guru menempatkan kedua siswa lamban belajar di


pojok paling belakang karena badan mereka yang besar, yang dapat
membuat mereka merasa terpinggirkan dan kurang mendapatkan
perhatian.
2) Media pembelajaran: Guru menggunakan media berupa cerita bergambar
dan kartu benar salah. Namun, tidak ada indikasi bahwa guru
mengkustomisasi pendekatan pembelajaran atau media tersebut untuk
mendukung siswa lamban belajar.
3) Ketidakperhatian : Guru tidak memberikan perhatian khusus pada siswa
lamban belajar selama proses pembelajaran. Ini dapat membuat mereka
merasa terabaikan dan tidak termotivasi untuk mengikuti pelajaran.

21
4) Posisi guru: Guru hanya berdiri di depan kelas sehingga hanya anak-anak
yang duduk di depan yang tampak aktif berpartisipasi. Hal ini dapat
membuat siswa di belakang merasa sulit untuk terlibat dalam
pembelajaran.

Strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan pembelajaran bagi siswa


lamban belajar adalah:

1) Penempatan: Menempatkan siswa lamban belajar di posisi yang


memungkinkan mereka untuk lebih fokus dan berpartisipasi, misalnya
dengan duduk di dekat guru.
2) Dukungan individual: Guru harus memberikan perhatian lebih pada siswa
lamban belajar, memastikan bahwa mereka memahami materi, dan
memberikan dukungan tambahan sesuai kebutuhan.
3) Penyesuaian media pembelajaran: Guru dapat mengkustomisasi media
pembelajaran agar sesuai dengan tingkat pemahaman siswa lamban
belajar. Ini bisa melibatkan penggunaan cerita yang lebih sederhana atau
metode pembelajaran yang lebih interaktif.
4) Interaktif dan partisipatif: Guru sebaiknya menciptakan lingkungan yang
lebih interaktif di mana semua siswa merasa terlibat. Ini dapat melibatkan
pertanyaan, diskusi, atau kegiatan kelompok.

Kasus IV

Di kelas II terdapat 1 siswa dengan hambatan mobilitas yang


menggunakan kursi roda. Siswa tersebut duduk sendiri di pojok paling belakang.
Guru mengajarkan materi dengan media gambar. Guru lebih banyak berdiri di
depan kelas sehingga tidak banyak berinteraksi dengan siswa yang duduk di
belakang termasuk anak tunadaksa (ATD). Siswa tersebut juga tidak banyak
berinteraksi dengan siswa lain selain memang posisi tempat duduk yang
menyulitkan siswa tersebut pemalu disepanjang pelajaran. Siswa ATD lebih
banyak diam.

Pertanyaan:

22
Coba dianalisis kasus (6) tersebut! Apakah penempatan siswa ATD sudah
tepat? Bagaimana seharusnya guru memposisikan dirinya?

Jawaban:

Dalam kasus ini, penempatan siswa dengan hambatan mobilitas (ATD) di pojok
paling belakang sepertinya tidak ideal. Analisisnya sebagai berikut:

1) Penempatan siswa ATD: Menempatkan siswa ATD di pojok paling


belakang mungkin membuatnya merasa terpinggirkan dan sulit
berinteraksi dengan guru dan siswa lain. Hal ini juga dapat mempengaruhi
keterlibatan sosialnya.
2) Keterbatasan interaksi: Guru tampaknya tidak banyak berinteraksi dengan
siswa ATD, dan siswa tersebut tidak banyak berinteraksi dengan siswa
lain. Ini bisa disebabkan oleh penempatan fisik yang kurang mendukung
serta sikap pemalu siswa ATD.
3) Kursi roda dan aksesibilitas: Selain penempatan fisik, aksesibilitas untuk
siswa ATD juga penting. Pastikan bahwa siswa tersebut dapat dengan
mudah mengakses kursi roda dan peralatan yang diperlukan untuk belajar.

Seharusnya guru memposisikan dirinya dan siswa ATD sebagai berikut:

1) Penempatan yang lebih sesuai: Guru sebaiknya menempatkan siswa ATD


di lokasi yang lebih sentral dalam kelas, sehingga ia dapat lebih mudah
berpartisipasi dan berinteraksi dengan guru dan teman-temannya.
2) Interaksi aktif: Guru harus berusaha untuk lebih berinteraksi dengan siswa
ATD, memberikan perhatian ekstra, dan menjelaskan materi secara lebih
mendekati siswa tersebut. Ini dapat membantu siswa ATD merasa lebih
terlibat dan termotivasi.
3) Mendorong interaksi sosial: Guru juga dapat mendorong interaksi sosial
antara siswa ATD dan siswa lain dengan mengorganisir kegiatan kelompok
atau pasangan yang melibatkan semua siswa.

Kasus VII

23
Di kelas V terdapat 1 siswa gangguan penglihatan. Siswa duduk dipojok
paling depan. Guru menyampaikan materi menggunakan media 16 cerita
bergambar. Semua anak tampak antusias kecuali siswa tunanetra. Selain bercerita,
guru memutarkan CD yang berisi materi seperti sandiwara radio. Siswa tunanetra
tampak antusias tetapi siswa lain tetap kelihatan gelisah dan ribut sendiri.

Pertanyaan:

Coba dianalisis kasus (7) tersebut! Apakah strategi guru sudah tepat?

Jawaban:

Dari deskripsi kasus ini, strategi guru tampaknya belum sepenuhnya tepat. Berikut
analisisnya:

1) Penempatan siswa tunanetra: Menempatkan siswa tunanetra di pojok


paling depan adalah keputusan yang baik untuk memungkinkan akses
terbaik ke materi pembelajaran. Namun, hal ini tidak cukup untuk
memastikan siswa tunanetra merasa terlibat.
2) Media pembelajaran: Menggunakan media cerita bergambar dan materi
berupa sandiwara radio adalah langkah positif untuk mendukung variasi
pembelajaran. Namun, siswa tunanetra mungkin kesulitan dalam
mengikuti gambar dan perlu lebih banyak aksesibilitas.
3) Reaksi siswa lain: Siswa lain yang tampak gelisah atau ribut mungkin
merasa kurang tertarik atau merasa terganggu oleh materi yang disajikan.
Ini dapat mengganggu pembelajaran siswa tunanetra.

Strategi yang dapat ditingkatkan adalah sebagai berikut:

1) Penyesuaian materi: Guru dapat menyediakan materi yang lebih sesuai


dengan kebutuhan siswa tunanetra, seperti deskripsi verbal yang lebih
detail tentang gambar-gambar dalam cerita bergambar. Ini akan membantu
siswa tunanetra untuk lebih memahami konten.

24
2) Menggunakan teknologi assistive: Guru dapat memanfaatkan teknologi
assistive seperti perangkat lunak screen reader atau Braille untuk
mendukung siswa tunanetra dalam mengakses materi.
3) Melibatkan siswa lain: Guru bisa mengkomunikasikan pentingnya
mendukung teman sekelas dengan kebutuhan khusus, seperti menjelaskan
kepada siswa lain tentang situasi siswa tunanetra dan mengajak mereka
untuk menjadi lebih inklusif dan mendukung.
4) Variasi pembelajaran: Selain media cerita bergambar, guru dapat
mengintegrasikan lebih banyak metode pembelajaran yang melibatkan
semua siswa, termasuk siswa tunanetra, seperti diskusi, percakapan, atau
proyek kelompok yang relevan.

Kasus VIII

Di kelas III terdapat 1 siswa hiperaktif yang tidak dapat dudukndiam di


kelas. Guru mengajar dengan metode ceramah dan menuliskan di papan tulis.
Sepanjang guru menyampaikan materi,banak berlari di kelas sehingga anak-anak
yang lain juga tidak dapat memusatkan perhatian.

Pertanyaan:

Coba dianalisis kasus (8) tersebut! Bagaimana seharusnya metode guru


dalam mengajar?

Jawaban:

Dalam kasus ini, metode pengajaran guru tampaknya tidak sesuai dengan
kebutuhan siswa hiperaktif dan juga mengganggu konsentrasi siswa lain di kelas.
Berikut adalah beberapa saran mengenai cara seharusnya guru mengajar:

1) Penyesuaian metode pengajaran: Guru sebaiknya menggunakan metode


pengajaran yang lebih interaktif dan berpartisipasi, yang lebih sesuai
dengan siswa hiperaktif. Contohnya, guru dapat mengadakan kegiatan
yang melibatkan gerakan fisik, seperti berdiri sambil belajar atau
melakukan jeda singkat untuk bergerak.

25
2) Pengaturan lingkungan: Guru dapat mengatur lingkungan kelas dengan
cara yang membantu siswa hiperaktif untuk lebih berkonsentrasi. Ini bisa
mencakup penempatan siswa dekat papan tulis, jauh dari gangguan, atau
menggunakan pemisahan fisik untuk menciptakan ruang yang tenang.
3) Berbicara dengan siswa: Guru harus berbicara dengan siswa hiperaktif
untuk mencari pemahaman mengenai cara terbaik bagi mereka untuk
belajar. Ini dapat mencakup strategi pengelolaan diri, seperti penggunaan
alat bantu belajar, pengaturan target, atau jadwal belajar yang terstruktur.
4) Penggunaan alat bantu: Guru bisa mempertimbangkan penggunaan alat
bantu, seperti fidget toys atau kursi bergerak, untuk membantu siswa
hiperaktif agar dapat fokus selama pembelajaran.
5) Kerjasama dengan orang tua: Penting untuk berkomunikasi dengan orang
tua siswa hiperaktif untuk mendapatkan wawasan dan dukungan tambahan
dalam pengelolaan perilaku mereka di kelas.

Kasus IX

Di kelas II terdapat 1 siswa tunarungu duduk di pojok paling belakang.


Guru mengajarkan materi dengan media 16 cerita bergambar. Ketika bercerita
mulut guru tertutup oleh gambar dan tidak ada perhatian yang diberikan untuk
anak ketika menggunakan kartu benar salah untuk mengecek pemahaman anak.

Pertanyaan:

hanya ditujukan untuk kelas besar. Coba dianalisis kasus (9) tersebut!
Bagaimana seharusnya guru dalam menggunakan media pembelajaran?

Jawaban:

Dalam kasus ini, guru harus memperbaiki cara penggunaan media


pembelajaran agar lebih sesuai dengan kebutuhan siswa tunarungu dan
menciptakan lingkungan pembelajaran yang inklusif. Berikut adalah beberapa
saran:

26
1) Penggunaan media cerita bergambar: Penggunaan media cerita bergambar
adalah langkah yang baik, tetapi guru sebaiknya memastikan bahwa siswa
tunarungu dapat memahami cerita tersebut. Ini dapat mencakup
penggunaan bahasa isyarat, gambaran visual, atau penulisan teks pendek
yang menjelaskan cerita.
2) Interaksi dengan siswa tunarungu: Guru harus memberikan perhatian
khusus kepada siswa tunarungu. Hal ini dapat dilakukan dengan
menggunakan bahasa isyarat, berkomunikasi melalui penulisan, atau
mengalihkan perhatian siswa untuk memastikan mereka memahami
materi.
3) Penggunaan kartu benar salah: Kartu benar salah dapat digunakan, tetapi
guru sebaiknya memastikan bahwa siswa tunarungu dapat berpartisipasi
dengan memungkinkan mereka untuk merespons secara visual atau
menggunakan bahasa isyarat untuk menjawab pertanyaan.
4) Pertanyaan yang ditujukan untuk individu: Guru harus mengajukan
pertanyaan yang ditujukan kepada individu, termasuk siswa tunarungu,
untuk memastikan pemahaman mereka terhadap materi.
5) Inklusivitas: Guru harus memastikan bahwa semua siswa, termasuk siswa
tunarungu, merasa diterima dan didukung dalam pembelajaran. Ini
mencakup menciptakan lingkungan yang inklusif dan memberikan
kesempatan bagi semua siswa untuk berpartisipasi.

Kasus X

Di kelas III terdapat anak autis sangat senang melihat serangga. Anak
dapat berkomunikasi dengan bahasa sederhana. Dia duduk sendiri di pojok paling
belakang. Ketika pembelajaran materi tanah longsor, guru menjelaskan dengan
menuliskan hal penting di papan tulis. Anak lain mencatat apa yang ditulis guru di
depan. Sementara anak autis asyik memainkan kincir air.

Pertanyaan:

27
Coba dianalisis kasus (10) tersebut! Bagaimana seharusnya penempatan
siswa autis di kelas? Apakah anak autis tersebut bisa mengikuti
pembelajaran?

Jawaban:

Dalam kasus ini, ada beberapa hal yang perlu dianalisis:

1) Penempatan siswa autis: Penempatan siswa autis di pojok paling belakang


bisa menjadi pilihan yang baik untuk memberikan ruang dan pengurangan
gangguan visual atau auditif. Namun, dalam kasus ini, perhatian anak autis
tampaknya teralihkan oleh kincir air, sehingga mungkin perlu
dipertimbangkan ulang.
2) Metode pengajaran: Pengajaran yang terutama melibatkan penulisan di
papan tulis dan catatan oleh siswa lain mungkin tidak efektif bagi anak
autis yang terlibat dengan aktivitas lain.
3) Komunikasi anak autis: Anak autis ini tampak memiliki kemampuan
komunikasi bahasa sederhana, yang dapat menjadi potensi untuk dia
terlibat dalam pembelajaran.

Seharusnya, untuk meningkatkan pembelajaran anak autis:

1) Penyesuaian metode pembelajaran: Guru harus mempertimbangkan


metode pembelajaran yang lebih inklusif, yang memungkinkan anak autis
untuk terlibat secara aktif. Ini bisa melibatkan metode pengajaran yang
lebih visual, seperti gambar atau peta konsep, dan penggunaan alat peraga
yang lebih menarik perhatian anak tersebut.
2) Pertimbangan terhadap minat khusus: Anak autis tampaknya sangat
tertarik pada serangga, sehingga guru bisa mencoba mengintegrasikan
minat khusus ini ke dalam pembelajaran. Misalnya, materi tentang tanah
longsor bisa dihubungkan dengan ekosistem serangga.
3) Dukungan individual: Guru harus memberikan dukungan tambahan untuk
anak autis, mungkin dengan mengarahkan perhatian anak dan membantu
mereka memahami materi.

28
4) Penempatan fisik: Penempatan anak autis perlu dipertimbangkan ulang
agar dia dapat fokus pada pembelajaran tanpa gangguan yang berlebihan.

29

Anda mungkin juga menyukai