Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Amanat hak atas pendidikan bagi penyandang kelainan atau ketunaan
ditetapkan dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 32 disebutkan bahwa: pendidikan khusus
(pendidikan luasr biasa) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena
kelainan fisik, emosional, mental, sosial. Ketetapan dalam Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tersebut bagi anak penyandang kelainan sangat berarti
karena memberi landasan yang kuat bahwa anak berkelainan perlu
memperoleh kesempatan yang sama sebagaimana yang diberikan kepada
anak normal lainnya dalam hal pendidikan dan pengajaran.
Mendidik anak yang berkelainan fisik, mental, maupun, karakteristik
perilaku sosialnya, tidak sama seperti mendidik anak normal, sebab selain
memerlukan suatu pendekatan yang khusus juga memerlukan strategi yang
khusus. Hal ini semata-mata karena bersandar pada kondisi yang dialami anak
berkelaian. Oleh karena itu, dalam pendidikan perlu adanya pendekatan,
model dan startegi khusus dalam mendidik anak berkelainan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan klasifikasi anak bekebutuhan khusus (ABK)?
2. Bagaimana Prinsip pendidikan agama anak berkebutuhan khusus?
3. Bagaimana Model pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus?
4. Bagaimana Bentuk-bentuk layanan anak berkebutuhan khusus?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana pengertian dan klasifikasi anak
bekebutuhan khusus (ABK)
2. Untuk mengetahui bagaimana Prinsip pendidikan agama anak
berkebutuhan khusus
3. Untuk mengetahui bagaimana Model pembelajaran bagi anak
berkebutuhan khusus
4. Untuk mengetahui bagaimana Bentuk-bentuk layanan anak berkebutuhan
khusus

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Klasifikasi Anak Bekebutuhan Khusus (ABK)


Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk
menggantikan kata Anak Luar Biasa (ALB) yang menandakan adanya
kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang
berbeda antara satu dan lainnya. Di negara Indonesia, anak berkebutuhan
khusus yang mempunyai gangguan perkembangan dan telah diberikan
layanan.1
Istilah anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan luar biasa atau
pendidikan khusus anak berkelainan, secara eksplisit ditujukan kepada anak
yang dianggap memiliki kelainan penyimpangan dari kondisi rata-rata anak
normal umumnya, dalam hal fisik, mental, maupun karakteristik perilaku
sosialnya, atau anak yang berbeda dari rata-rata umumnya, dikarenakan ada
permasalahan dalam kemampuan berpikir, penglihatan, pendengaran,
sosialisasi, dan bergerak. Istilah terbaru yang dipergunakan untuk
mendeskripsikan bagi anak-anak berkelaiann (penyandang hambatan/cacat)
ke dalam program-program sekolah adalah inklusif (dari bahassa Inggris:
inclusion-peny)). Inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang memiliki
hambatan dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri
(visi-misi sekolah).2
Berdasarkan pengertian tersebut, anak yang dikategorikan memiliki
kelainan dalam aspek fisik meliputi kelainan indera penglihatan (tunanetra),
kelainan indera pendengaran (tunarungu), kelainan kemampuan berbicara
(tunawicara), dan kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa). Anak yang
memiliki kelainan dalam aspek mental meliputi anak yang memiliki
kemampuan mental lebih (supernormal) yang dikenal sebagai anak berbakat

1
Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi Untuk Anak
Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Katahati, 2010) hal 10
2
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita Suatu Pengantar dalam Pendidikan
Inklusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006) hal 16

3
atau anak unggul, dan anak yang memiliki kemampuan mental sangat
rendah (subnormal) yang dikenal dengan sebagai anak tunagrahita. Anak
yang memiliki kelainan dalam aspek sosial adalah anak yang memiliki
kesulitan dalam menyesuaikan perilakunya terhadap lingkungan sekitarnya.
Anak yang termasuk dalam kelompok ini dikenal dengan sebutan tunalaras.
1. Anak Berkelainan Penglihatan (Tunanetra)
Seorang yang kehilangan penglihatan, biasanya pendengaran dan
perabaan akan menjadi saran alternatif yang digunakan untuk
melakukan pengenalan terhadap lingkungan sekitarnya. Kelebihan
indera pendengaran sebagai tranmisi dalam berinteraksi dengan
lingkungan bagi anak tunanetra dapat membantu memberikan petunjuk
tentang jarak atau objek dengan mengenal suaranya, namun ia tidak
dapat mengenal wujud konkret tentang wujud objek yang dikenalnya.
Perabaan sebagai sarana alternatif lainnya setelah pendengaran,
barangkali dapat membantu bagi anak tunanetra untuk memperoleh
pengalaman kinestetik. Melalui perabaan, anak-anak tunanetra dapat
langsung melakukan kontak dengan objek yang ada disekitarnya.3
Sarana atau alat bantu pendidikan yang digunakan bagi siswa
berkelainan penglihatan:
a. Bacaan dan Tulisan Braille (Braille Reading and Writing)
Huruf Braille adalah suatu sistem yang menggunakan kode
berupa titik-titik yang ditonjolkan untuk menunjukkan huruf,
angka, dan simbol-simbol lainnya.4
b. Mesin Baca Kurzweil
Mesin ini dapat membaca suatu buku yang tercetak, hasil
huruf-huruf nya dikeluarkan dalam bentuk suara.
c. Buku bersuara (Talking Books)

3
Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi Untuk Anak
Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Katahati, 2010) hal 11
4
David Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan Penerapan Pembelajaran, Bandung: Penerbit
NUANSA, 2006. Hal 28

4
Buku dan majalah direkam dalam disk atau kaset dan
dibagikan kepada orang yang mengalami hambatan penglihatan.
2. Anak Berkelainan Pendengaran (Tunarungu)
Anak yang kehilangan salah satu (khususnya kehilangan
pendengaran) maka tidak bedanya ia seperti kehilangan sebagian
kehidupannya yang dimilikinya. Untuk menggantinya dapat dialihkan
pada indera pengglihatan sebagai komponensasinya. Itulah sebabnya,
cukup beralasan jika para ahli berpendapat indera penglihatan bagi anak
tunarungu memiliki urutan terdepan, karena memang memiliki peranan
yang sangat penting.5
Metode, sarana atau alat bantu pendidikan yang digunakan bagi
siswa berkelainan penglihatan:
a. Alat bantu dengar
b. Bantuan di dalam kelas dengan mengubah cara komunikasi
1) Metode manual
Metode manual memiliki dua komponen dasar. Yang
pertama adalah bahasa isyarat (sign language). Metode manual
kedua adalah finger spelling. Finger Spelling ini
menggambarkan alfabet secara manual.
2) Metode oral
Pendekatan oral menekankan pada pembimbingan ucapan
dan membaca ucapan (speechreading) 6
3) Metode komunikasi total
Setiap anak yang tunarungu memiliki kesempatan
mengembangkan setiap sisa pendengarannya dengan alat bantu
dengar dan/ atau sistem terpercaya untuk memperbesar
kemampuan mendengarkannya.

5
Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi Untuk Anak
Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Katahati, 2010) hal 12
6
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita Suatu Pengantar dalam Pendidikan
Inklusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006) hal 17

5
c. Anak Berkelainan Bicara (Tunawicara)
Siswa-siswa yang memiliki kelainan bicara dan bahasa, juga
mengalami kesulitan dengan sikap mereka di sekolah. Guru bisa
membantu dan mendukung perkembangan positif kemampuan berbicara
dan berbahasa anak.7
d. Anak Berkelainan Mental Subnormal (Tunagrahita)
Istilah anak berkelainan mental subnormal dalam bebrapa
referensi disebut pula dengan terbelakang mental, lemah ingatan,
febleminded, mental subnormal, tunagrahita. Semua makna dari istilah
tersebut sama, yakni menunjuk kepada seseorang yang memiliki
kecerdasan mental di bawah normal.
e. Anak Bberkelainan Fungsi Anggota Tubuh (Tunadaksa)
Secara etimologis, gambaran seseorang yang diidentifikasikan
mengalami ketunadaksaan, yaitu seseorang yang mengalami kesulitan
mengoptimalkan fungsi anggota tubuh sebagai akibat dari luka,
penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan akibatnya kemampuan
untuk melakukan gerakan-gerkan tubuh tertentu mengalami penurunan.
f. Anak Berkelainan Perilaku (Tunalaras)
Anak tunalaras adalah individu yang mempunyai tingkah laku
menyimpang/berkelainan, tidak memiliki sikap, melakukan pelanggaran
terhadap peraturan dan norma-norma sosial dengan frekuensi yang
cukup besar, tidak/kurang mempunyai toleransi terhadap kelompk dan
orang lain, serta mudah terpengaruh oleh suasana, sehingga membuat
kesulitan bagi diri sendiri maupun orang lain.8

B. Prinsip Pendidikan Agama Anak Berkebutuhan Khusus


Mendidik anak yang berkelainan fisik, mental, maupun, karakteristik
perilaku sosialnya, tidak sama seperti mendidik anak normal, sebab selain

7
Hamruni, Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif Menyenangkan, Yogyakarta:
Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, 2009. Hal 51
8
Miftahul Huda, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran Isu-Isu Metodis dan
Paragdimatis, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2013. Hal 97

6
memerlukan suatu pendekatan yang khusus juga memerlukan strategi yang
khusus. Hal ini semata-mata karena bersandar pada kondisi yang dialami
anak berkelaian. Oleh karena itu, melalui pendekatan dan startegi khusus
dalam mendidik anak berkelainan, diharapkan anak berkelaian9:
1. Dapat menerima kondisinya,
2. Dapat melakukan sosialisasi dengan baik,
3. Mampu berjaung sesuai dengan kemampuannya,
4. Memiliki keterampilan yang sangat dibutuhkan, dan
5. Menyadari sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Tujuan
lainnya agar upaya yang dapat dilakukan dalam rangka habilitasi
maupun rehabilitasi anak berkelainan dapat memberikan daya guna dan
hasil guna yang tepat.
Pengembangan prinsip-prinsip pendekatan secara khusus, yang dapat
dijadikan dasar-dasar dalam upaya mendidik anak berkelainan, antara lain
sebagai berikut:
1. Prinsip kasih sayang
Prinsip kasih sayang pada dasarnya menerima mereka apa adanya,
dan mengupayakan agar mereka dapat menjalankanhidup dan kehidupan
dengan wajar, seperti layaknya anak-anak normal lainnya.10
2. Prinsip layanan individual
Pelayanan individual dalam rangka mendidik anak berkelainan
perlu mendapatkan porsi yang lebih besar, sebab setiap anak
berkelaianan dalam jenis dan derajat yang sama seringkali memiliki
keunikan masalah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh
karena itu, upaya yang perlu dilakukan untuk mereka selama
pendidikannya: jumlah siswa yang dilayani guru tidak lebih dari 4-6
orang dalam setiap kelasnya, modifikasi alat bantu pengajaran, penataan

9
David Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan Penerapan Pembelajaran, Bandung: Penerbit
NUANSA, 2006. Hal 30
10
Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Jakarta: Bumi
Aksara, 2005 hal 118

7
kelas harus dirancang sedemikian rupa sehingga guru dapat menjangkau
semua siswanya dengan mudah.
3. Prinsip kesiapan
Untuk menerima suatu pelajaran tertentu diperlukan kesiapan.
Khususnya kesiapan anak untuk mendapatkan pelajaran yang akan
diajarkan.11
4. Prinsip keperagaan
Kelancaran pembelajaran pada anak berkelainan sangat didukung
oleh penggunaan alat peraga sebagai mediannya.
5. Prinsip motivasi
Prinsip motivasi ini lebih menitikberatkan pada cara mengajar dan
pemberian evaluasi yang disesuaikan dengan kondisi anak berkelainan.
Contoh, bagi anak tunanetra, mempelajari orientasi dan mobilitas yang
ditekankan pada pengenalan suara binaang akan lebih menarik dan
mengesakan jika mereka diajak ke kebun binatang. bagi anak
tunagrahita, untuk menerangkan makanan empat sehat lima sempurna,
barangkali akan lebih menarik jika diperagakan bahan aslinya kemudian
diberikan kepada anak untuk dimakan, daripada hanyak berupa gambar-
gambar saja.
6. Prinsip belajar dan bekerja kelompok
Sebagai salah satu dasar mendidik anak berkelainan, agar mereka
sebagai anggota masyarakat dapat bergaul dengan masayarakat
lingkungannya, tanpa harus merasa rendah atau minder dengan orang
normal.12
7. Prinsip keterampilan
Pendidikan keterampilan yang diberikan kepada anak berkelainan,
dapat dijadikan sebagai bekal dalam kehidupan kelak.

11
Hamruni, Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif Menyenangkan, Yogyakarta:
Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, 2009. Hal 52
12
Miftahul Huda, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran Isu-Isu Metodis dan
Paragdimatis, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2013. Hal 98

8
8. Prinsip penanaman dan penyempurnaan sikap
Secara fisik dan psikis sikap anak berkelainan memang kurang
baik sehingga perlu diupayakan agar mereka mempunyai sikap yang
baik serta tidak selalu menjadi perhatian orang lain.13

C. Model Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus


Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang
digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas
atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-
perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer,
kurikulum, dan lain-lain, sehingga tujuan pembelajaran tercapai.
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan
terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan
khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan
melakukan berbagai modifikasi dan atau penyesuaian, mulai dari kurikulum,
sarana-prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran
sampai pada sistem penilaiannya.14
Keuntungan dari pendidikan inklusif adalah bahwa anak berkebutuhan
khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai
dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat dan kebutuhan
pendidikannya dapat terpenuhi sesuai dengan potensinya masing-masing.
Pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan
dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang
menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Pandangan mengenai
pendidikan yang harus menyesuaikan dengan kondisi peserta didik ini
sangat terkait dengan adanya perbedaan yang terdapat dalam diri peserta
didik. Pandangan lama yang menyatakan bahwa peserta didiklah yang harus
menyesuaikan dengan pendidikan dan proses pembelajaran di kelas lambat

13
Miftahul Huda, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran Isu-Isu Metodis dan
Paragdimatis, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2013. Hal 99
14
Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Jakarta: Bumi
Aksara, 2005 hal 120

9
laun harus berubah. Istilah inklusif berimplikasi pada adanya kebutuhan
yang harus dipenuhi bagi semua anak dalam sekolah. Hal ini menyebabkan
adanya penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan oleh guru dalam
proses pembelajaran.15
Penyesuaian pendidikan (adaptive education) dilaksanakan dengan
menyediakan pengalaman-pengalaman belajar guna membantu masing-
masing peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan pendidikan yang
dikehendakinya. Penyesuaian pendidikan dapat berlangsung tatkala
lingkungan pembelajaran sekolah dimodifikasi untuk merespon perbedaan-
perbedaan peserta didik secara efektif dan mengembangkan kemampuan
peserta didik agar dapat bertahan dalam lingkungan tersebut. Dengan
melihat adanya penyesuaian terhadap kebutuhan peserta didik yang berbeda-
beda, maka dalam setting pendidikan inklusif model pendidikan yang
dilaksanakan memiliki model yang berbeda dengan model pendidikan yang
lazim dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler.
Tiga modalitas pembelajaran ini pertama kali dikembangkan oleh Neil
Fleming untuk menunjukkan preferensi individu dalam proses belajarnya,
yakni Visual, Auditoris, dan Kinestetik (VAK).
1. Visual
Modalitas visual mengakses citra visual yang diciptakan maupun
diingat, seperti warna, hubungan ruang, potret mental, dan gambar.16
2. Auditooris
Modalitas ini mengakses segala jenis bunyi dan kata yang
diciptakan maupun diingat, seperti musik, nada, irama, rima, dialog
internal, dan suara.

15
David Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan Penerapan Pembelajaran, Bandung: Penerbit
NUANSA, 2006. Hal 29
16
Hamruni, Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif Menyenangkan, Yogyakarta:
Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, 2009. Hal 53

10
3. Kinestetik
Modalitas ini mengakses segala jenis gerak dan emosi yang
diciptakan maupun diingat, seperti gerakan, koordinasi, rima, tanggapan
emosional, dan kenyamanan fisik.17
Pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua model. Pertama yaitu
model inklusi penuh (full inclusion), berarti penghapusan pendidikan
khusus. Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk
menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler. Kedua yaitu model
inklusif parsial (partial inclusion). Model parsial ini mengikutsertakan
peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang
berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out
dengan bantuan guru pendamping khusus.
Model lain misalnya dikemukakan oleh Brent Hardin dan Marie
Hardin. Brent dan Maria mengemukakan model pendidikan inklusif yang
mereka sebut inklusif terbalik (reverse inclusive). Dalam model ini, peserta
didik normal dimasukkan ke dalam kelas yang berisi peserta didik
berkebutuhan khusus. Model ini berkebalikan dengan model yang pada
umumnya memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus ke dalam kelas
yang berisi peserta didik normal. Model inklusif terbalik agaknya menjadi
model yang kurang lazim dilaksanakan. Model ini mengandaikan peserta
didik berkebutuhan khusus sebagai peserta didik dengan jumlah yang lebih
banyak dari peserta didik normal. Dengan pengandaian demikian seolah
sekolah untuk anak berkebutuhan khusus secara kuantitas lebih banyak dari
sekolah untuk peserta didik normal, atau bisa juga tidak. Model pendidikan
inklusif seperti apapun tampaknya tidak menjadi persoalan berarti sepanjang
mengacu kepada konsep dasar pendidikan inklusif.18
Model pendidikan inklusif yang diselenggarakan pemerintah
Indonesia yaitu model pendidikan inklusif moderat. Pendidikan inklusif

17
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita Suatu Pengantar dalam Pendidikan
Inklusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006) hal 18-19
18
Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Jakarta: Bumi
Aksara, 2005 hal 119

11
moderat yang dimaksud yaitu pendidikan inklusif yang memadukan antara
terpadu dan inklusi penuh. Model moderat ini dikenal dengan model
mainstreaming. Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang
memadukan antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah
Luar Biasa) dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus
digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja. Salah
satu usaha awal dalam menawarkan suatu model mainstreaming menurut
Berry, menekankan tiga unsur yang harus mempunyai ciri-ciri itu: suatu
rangkaian jenis-jenis layanan pendidikan bagi siswa-siswa yang memiliki
hambatan, pengurangan jumlah anak-anak yang ditarik keluar dari kelas-
kelas reguler, dan penambahan ketetapan-ketetapan bagi layanan pendidikan
di dalam kelas-kelas reguler ketimbang di luar kelas-kelas tersebut.19
Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak
berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah
dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti:
1. Bentuk kelas reguler penuh
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal)
sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang
sama.
2. Bentuk kelas reguler dengan cluster
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di
kelas reguler dalam kelompok khusus.
3. Bentuk kelas reguler dengan pull out
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di
kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas
reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4. Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out20

19
David Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan Penerapan Pembelajaran, Bandung: Penerbit
NUANSA, 2006. Hal 30
20
Hamruni, Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif Menyenangkan, Yogyakarta:
Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, 2009. Hal 52

12
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di
kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu
ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan
guru pembimbing khusus.21
5. Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
Anak berkebutuhan khusus belajar di kelas khusus pada sekolah
reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak
lain (normal) di kelas reguler.
6. Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler
Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada
sekolah reguler.

D. Bentuk-Bentuk Layanan Anak Berkebutuhan Khusus


ABK memiliki tingkat kekhususan yang amat beragam, baik dari segi
jenis, sifat, kondisi, mauoun kebutuhan, oleh karena itu layanan
pendidikannya tidak dapat dibuat tunggal atau seragam melainkan
menyesuaikan diri dengan tingkat keberagaman karakteristik dan kebutuhan
anak. Dengan beragamnya model layanan pendidikan tersebut, dapat lebih
memudahkan anak-anak ABK dan orang tuanya untuk memilih layanan
pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya.
Ada beberapa model atau bentuk pelayanan pendidikan bagi ABK
yang ditawarkan mulai dari model klasik sampai yang model terkini22:
1. Model segregasi
Merupakan model layanan pendidikan yang sudah lama dikenal
dan diterapkan pada anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia.
Model ini mencoba memberikan layanan pendidikan secara khusus dan
terpisah dari kelompok jenis anak normal maupun anak berkebutuhan
khusus lainnya. Dalam praktiknya, masing-masing kelompok anak

21
Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi Untuk Anak
Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Katahati, 2010) hal 12
22
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita Suatu Pengantar dalam Pendidikan
Inklusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006) hal 17

13
dengan jenis kekhususan yang sama dididik pada lembaga pendidikan
yang melayani sesuai dengan kekhususannya tersebut. Sebagai contoh:
SLB A, lembaga pendidikan untuk tunanetra, SLB B lembaga
pendidikan untuk anak tunarungu, SLB C lembaga pendidikan untuk
anak tuna grahita, SLB D lembaga pendidikan untuk anak tuna daksa,
SLB E lembaga pendidikan untuk anak tuna laras, dan SLB G untuk
tuna ganda.23
2. Model kelas khusus
Sesuai dengan namanya, kas khusus tidak berdiri sendiri seperti
halnya sekolah khusus (SLB), melainkan keberadaannya ada di sekolah
umum atau reguler. Keberadaan kelas khusus ini tidak bersifat
permanen, melainkan didasarkan pada ada atau tidaknya anak-anak yang
memerlukan pendidikan atau pembelajaran khusus di sekolah tersebut.
3. Model guru kunjung
Model guru kunjung dilakukan dalam upaya pemerataan
pendidikan bagi anak tunanetra usia sekolah. Model ini diberlakukan
dalam hal anak tunanetra tidak dapat belajar di sekolah khusus atau
sekolah lainnya karena tempat tinggal yang sulit jangkau, jarak sekolah,
dan rumah terlalu jauh, kondisi anak tunanetra yang tidak
memungkinkan berjalan, menderita berkepanjangan, dan lainnya.
4. Sekolah terpadu
Sekolah ini hakikatnya merupakan sekolah normal biasa yang
telah ditetapkan untuk menerima anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Mereka belajar bersama-sama dengan anak-anak normal lainnya tanpa
dipisah dinding tembok kelas. Dalam pembelajaran mereka diajar oleh
guru-guru umum, sedangkan mater-materi yang memiliki sifat
kekhususan diberikan guru pendamping yan ditunjuk.24
5. Pendidikan inklusi

23
Hamruni, Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif Menyenangkan, Yogyakarta:
Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, 2009. Hal 51
24
Miftahul Huda, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran Isu-Isu Metodis dan
Paragdimatis, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2013. Hal 98

14
Pendidikan inklusi adalah pendidikan pada sekolah umum yang
disesuaikan dengan kebutuhan khusus siswa yang memerlukan
pendidikan khusus pada sekolah umum dalam satu kesatuan yang
sistematik. Kurikulum yang digunakan pada pendidikan inklusi adalah
kurikulum yang fleksibel, disesuaikan dengan kemampuan dan
kebutuhan setiap siswa. Model pendidikan ini sebenarnya berupaya
untuk memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak.
Keberhasilan pendidikan agama di sekolah-sekolah lebih banyak
ditentukan oleh kemampuan dan keterampilan guru agama dalam
mengelola dan mengembangkan pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan luar biasa atau pendidikan
khusus anak berkelainan, secara eksplisit ditujukan kepada anak yang
dianggap memiliki kelainan penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal
umumnya, dalam hal fisik, mental, maupun karakteristik perilaku sosialnya,
atau anak yang berbeda dari rata-rata umumnya, dikarenakan ada
permasalahan dalam kemampuan berpikir, penglihatan, pendengaran,
sosialisasi, dan bergerak.
Pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan
semua anak berkebutuhan khusus berada di kelas reguler setiap saat dengan
semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak
berkebutuhan khusus dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan
gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkebutuhan
khusus yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya
berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi
yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah
reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau
tempat khusus (rumah sakit).

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis sadar masih jauh dari
kesempurnaan dan masih terdapat banyak kekurangan, baik dalam materinya,
bahasa yang tidak baku maupun penyampaian isi makalah. Oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan dan menghargai kritik dan saran dari pembaca.

16
DAFTAR PUSTAKA

Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi Untuk

Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Katahati, 2010)

Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita Suatu Pengantar dalam

Pendidikan Inklusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006)

David Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan Penerapan Pembelajaran, Bandung:

Penerbit NUANSA, 2006.

Hamruni, Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif Menyenangkan,

Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, 2009.

Miftahul Huda, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran Isu-Isu Metodis dan

Paragdimatis, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2013.

Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Jakarta: Bumi

Aksara, 2005

iii
17
MAKALAH
ILMU PENDIDIKAN ISLAM
PENDIDIKAN AGAMA ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS (ABK)

Disusun Oleh :
Diliya Pusrheni
1516250012

Dosen
Ahmad Syarifin, M.Ag

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU RAUDHTAUL ATHFAL


FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
BENGKULU
2017

18
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 1
C. Tujuan ................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Klasifikasi Anak Bekebutuhan Khusus (ABK) .......... 3
B. Prinsip Pendidikan Agama Anak Berkebutuhan Khusus .................... 6
C. Model Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus ..................... 9
D. Bentuk-Bentuk Layanan Anak Berkebutuhan Khusus ....................... 13

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ......................................................................................... 16
B. Saran .................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA

ii
19
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas rahmat yang diberikan Allah SWT
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
membantu penulis dalam membuat makalah ini dan teman-teman yang telah
memberi motivasi dan dorongan serta semua pihak yang berkaitan sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.

Bengkulu,

Penulis

i
20

Anda mungkin juga menyukai