OLEH
NAMA: INDRAWATI KOTTEN
NIM: 19320027
KELAS: A
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya, sehinga
makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Jasmani Adaptif ini dapat terselesaikan dengan baik
tanpa suatu rintangan apapun.
Makalah yang berjudul “Anak Berkebutuhan Khusus” ini saya susun sebagai pelengkap nilai tugas pendidikan
adaptif dan juga memberikan wawasan serta pemahaman yang lebih tentang anak berkebutuhan khusus.
Sebagai penulis saya menyampaikan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung kelancaran dan
terciptanya makalah ini.
Saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini masih banyak kesalahan atau masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kritik dan saran sangat kami butuhkan untuk menyempurnakan makalah ini di masa yang akan
datang. Atas kurang lebihnya kami mengucapkan terimakasih.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Pegertian anak Special Needs
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak-anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan
karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak- anak normal pada umumnya. Keadaan inilah yang
menuntut pemahaman terhadap jhakikat anak berkebutuhan khusus. Keragaman anak berkebutuhan khusus
terkadang menyulitkan guru dalam upaya mengenali jenis dan pemberian layanan pendidikan yang sesuai.
Namun apabila guru telah memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai hakikat anak berkebutuhan
khusus,maka mereka akan dapat memenuhi kebutuhan anak yang sesuai.
Membicarakan anak-anak berkebutuhan khusus, sesungguhnya banyak sekali variasi dan derajat kelainan. Ini
mencakup anak-anak yang mengalami kelainan fisik, mental-intelektual, sosial-emosional, maupun masalah
akademik. Kita ambil contoh anak-anak yang mengalami kelainan fisik saja ada tunanetra, tunarungu, dan
tunadaksa (cacat tubuh) dengan berbagai derajat kelaianannya. Ini adalah yang secara nyata dapat dengan
mudah dikenali. Keadaan seperti ini sudah barangtentu harus dipahami oleh seorang guru, karena merekalah
yang secara langsung memberikan pelayanan pendidikan di sekolah kepada semua anak didiknya. Namun
keragaman yang ada pada anak-anak tersebut belum tentu dipahami semua guru di sekolah. Oleh karena itu
dalam makalah ini, penulis ingin membahas tentang Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) melalui pendekatan
institusional.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah dalam latar belakang, maka penulis dalam hal ini akan merumuskan
permasalahan dalam beberapa pertanyaan.
1. Apa pengertian dan konsep anak berkebutuhan khusus?
2. Apa saja klasifikasi dan model layanan bagi anak berkebutuhan khusus ?
3. Apa factor yang dapat mempengaruhi anak sehingga menjadi berkebutuhan khusus ?
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
Dalam konteks individu berkebutuhan khusus, tunanetra berarti setiap gangguan atau kelainan yang
terjadi pada indra penglihatan seseorang sehingga mengalami kendala dalam beraktivitas dan akhirnya, mereka
pun memerlukan alat khusus yang dapat membantu penglihatan atau menggantikan fungsi matanya. Oleh
karena tunanetra memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan, maka proses pembelajaran menekankan pada
alat indra yang lain, yaitu indra peraba dan indra pendengaran, sebab itu prinsip yang harus diperhatiakn dalam
memberikan pengajaran kepada individu-individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat faktual
dan bersuara. Contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata.
Sedangkan media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS.
Anak yang buta sejak lahir secara alamiah memiliki persepsi tentang dunia yang jelas berbeda daripada
anak yang kehilangan penglihatannya pada usia 12 tahun. Kerusakan penglihatan sejak lahir disebabkan
bermacam-macam penyebab seperti faktor keturunan atau infeksi misalnya campak Jerman yang ditularkan ibu
saat janin masih dalam proses pembentukan disaat kehamilan.
2. Tunarungu
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran, baik permanen maupun tidak
permanen. Alat untuk mengukur kemampuan dengar secara kuantitatif disebut audiometric. Dari pemeriksaan
menggunakan audiometric dapat diperoleh klasifikasi kemampuan mendengar suara sesuai level yang
dinyatakan dalam satuan desibel (dB). Dari mulai gangguan pendengaran sangat ringan, dimana penderitanya
tidak bisa menangkap jelas suara bisikan sampai pada gangguan pendengaran ekstrem (tuli) yang tidak bisa
mendengar dering telepon atau keramaian lalu lintas besar.
Karena memiliki kesulitan dalam pendengaran, individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara
sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Individu tunarungu juga cenderung kesulitan dalam memahami
konsep dari sesuatu yang abstrak. Masalah yang dihadapi oleh anak tunarungu cukup berat dan biasanya
bersumber dari kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi.
Pendekatan komunikasi yang banyak digunakan pada anak tunarungu, yaitu latihan pendengaran, oralism,
manualism, dan komunikasi total. Latihan pendengaran secara sistematis mengembangkan kemampuan anak
untuk menyadari dan membedakan:
a. Suara-suara yang mencolok, termasuk suara-suara lingkungan.
b. Pola irama berbicara dan irama musik.
c. Pengenalan huruf hidup.
d. Penegnalan huruf mati.
e. Bicara dalam situasi ramai atau bising.
Indikator yang bisa dengan mudah kita lihat untuk menengarai gangguan pendengaran pada seorang anak,
diantaranya:
a. Perkembangan bahasa terlambat. Dalam tahun pertama kehidupannya, anak tunarungu mengeluarkan
bunyi-bunyian tidak berbeda dengan anak normal. Memasuki usia 12-18 bulan, anak normal mulai
menggunakan kata-kata pertama sementara anak tunarungu belum menampakkan kemampuan
membunyikan kata-kata yang terarah. Pada usia 2 tahun jika seorang anak masih juga belum
memperlihatkan kemampuan berbicara, patut dicurigai ia mengalami gangguan pendengaran dan tentunya
dibutuhkan serangkaian diagnosis klinis untuk lebih memastikan.
b. Memperdengarkan suara terlalu lembut ataupun keras tanpa ia menyadari.
c. Berulang kali menanyakan sesuatu yang baru saja disampaikan, lambat bereaksi terhadap suatu instruksi
karena tidak menangkap pesan secara utuh, salah menginterpretasikan atau sering meminta seseorang
mengulangi perkataannya.
d. Sulit mengulangi suara, kata-kata, lagu, irama, atau mengingat nama.
e. Bingung membedakan kata yang bunyinya hampir sama atau membuat kesalahan dalam pelafalan kata-kata
(seperti menghilangkan konsonan di akhir kata).
f. Konsentrasi berlebihan terhadap wajah dan gerak mulut pembicara.
g. Mengalami keluhan fisik seperti merasa ada suara bising di telinga, nyeri di telinga, merasa ada benda di
dalam telinga, mendengar dengungan, sering demam dan mengalami infeksi seputar telinga hidung
tenggorokan.
Berbagai macam penyebab ketunarunguan dibagi dalam empat hal besar yaitu: trauma, penyakit,
herditer, dan kelainan genetik. Trauma misalkan akibat tusukan benda tajam kedalam telinga atau benturan di
6
kepala yang merusak syaraf pendengaran. Penyakit seperti virus rubella dalam masa kehamilan dan sifilis
kongenital.
3. Tunagrahita
Tunagrahita adalah individu yang memiliki tingakat intelegensia. Istilah seperti cacat mental, bodoh,
dungu, pandir, lemah pikiran adalah sebutan yang terlebih dulu dikenal sebelum tunagrahita. Grahita sendiri
artinya adalah pikiran dan tuna adalah kerugian. Klasifikasi tunagrahita berdasarkan :
a. Tunagrahita ringan (IQ : 51-70)
b. Tunagrahita sedang ( IQ : 36-51)
c. Tunagrahita berat ( IQ : 20-35)
d. Tunagrahita sangat berat ( IQ dibawah 20 )
Penyebab seorang anak menjadi tunagrahita begitu beragam, mulai dari infeksi, trauma fisik, kelainan
genetik, kelainan prematur dan lain sebagainya. Secara garis besar terjadinya tunagrahita adalah bersumber dari
luar, seperti paparan sinar X-Rays, pengaruh zat-zat yang bersifat toxickerusakan otak saat lahir atau terjangkit
virus penyakit dan bersumber dari dalam, sepeerti abnormalitas pembentukan kromosom.
Kita masih sering menyamakan tunagrahita dengan down syndrome. Yang benar adalah down syndrome
merupakan salah satu bentuk retardasi mental yang menunjukan keterbatasan signifikan dalam fungsi
intelektual maupun adaptif. mitos-mitos lain mengenai tunagrahita yang semestinya mulai ditepiskan adalah:
a. Terbatasan intelektual tunagrahita tidak mentok tanpa perkembngan sepanjang hidupnya. Dengan latihan,
motivasi dan pendidikan khusus, tunagrahita terutama yang hanya ringan sampai sedang perkembangan
kemampuan mereka dapat meningkat secara baik dalam bidang apapun yang memungkinan bagi meraka.
b. Tunagrahita bisa dideteksi sejak dari bayi. Ini lebih cocok berlaku bagi penyandang down syndrome yang
sejak lahir memiliki tampilan fisik berbeda atau sewaktu masih janin didalam rahim dapat dilakukan test
pendeteksi sendiri.
Secara statistik, sindroma down adalah sumber gangguan yang terjadi sebesar 5-6 % dari total kasus
tunagrahita. Meski terhitung sedikit jika dilihat dari jumlah keseluruhan kasus tunagrahita, down syndrome
lebih menyita perhatian karena karaktersistik fisiknya yang mudah dikenali. Seorang DS (down syndrome) bisa
memiliki beberapa atau semua ciri khas seperti dagu sangat kecil, mata sipit dengan lipatan kulit di sudut dalam
mata, kelemahan otot-otot, hidung datar, garis telapak tangan hanya satu, lidah menonjol, wajah sangat bulat
dan ukuran kepala yang besar.
DS (down syndrome) dikenal juga dengan istilah Trisomy 21 yakni terjadinya kelainan pada kromosom
ke-21. Penyimpangan tersebut tertangkap dalam penelitian oleh dr. Jerome Lejeune di tahun 1959. Normalnya
jumlah kromosom seorang manusia adalah 46 pasang, tetapi seorang DS (down syndrome) memiliki 47 pasang
kromosom.
Menurut Dra. Teti Ichsan, M.Si, peneliti down syndrome, salah satu dampak dari abnormalitas
kromosom 21 pada anak yang memiliki DS adalah keterbelakangan intelektual yang erat kaitannya dengan
kemampuan akademik, kecerdasan majemuk, memberikan ruang untuk dapat berkembangnya berbagai unsur-
unsur dari kecerdasan tersebut. Namun apabila mereka difasilitasi, didorong, dan diberi kesempatan dalam
mengembangkan kecerdasan tersebut, tidak menutup kemungkinan mereka mampu mencapai optimalisasi
sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.
4. Autisme
Autisme yaitu penarikan diri yang ekstrem dari lingkungan sosialnya, gangguan dalam berkomunikasi,
serta tingkah laku yang terbatas dan berulang yang muncul sebelum usia 3 tahun.
Seorang autis berinteraksi dengan cara sangat berbeda, jika gangguannya parah, ia benar-benar
menunjukkan sikap tidak tertarik pada orang lain. Gejala khas lain yang sering terdapat pada autis adalah
menghindar dari kontak mata dan kontak fisik. Membenci suara keras, bau tertentu atau cahaya terlalu terang.
Dalam interaksi sosial sehari-hari begitu banyak pesan nonverbal saling ditukarkan dan pemaknaan secara
abstrak pada berbagai hal. Seorang autis tidak bisa memahami komponen komunikasi tersebut diakibatkan
terdapat semacam kegagalan neurobiologis dalam tubuh mereka. Lebih mudah bagi mereka untuk mengerti
sesuatu melalui gambar konkret dan memakai asosiasi daripada berlogika.
Beberapa jenis ASD (Autism Spectrum Disorder) yang paling umum dialami, yaitu:
7
a. Autisme. Pengertian dan gejalanya telah dipaparkan di atas. Sebagai informasi tambahan, gejala-gejala
tersebut muncul sebelum usia 3 tahun dan prevelansinya 4 kali lebih banyak menimpa anak laki-laki daripada
perempuan.
b. Asperger Sindrom. Ini juga lebih besar menimpa anak laki-laki daripada perempuan. Jika anda melihat
seseorang yang disebut autis tetapi ia tidak tampak kesulitan dalam berbahasa dan berkomunikasi namun hanya
sekedar terkesan canggung bergaul, kikuk atau kasar/tak sopan, mungkin ia menyandang sindrom asperger.
Rata-rata nilai intelektual seorang asperger adalah normal bahkan tinggi, begitu juga kemampuan verbalnya.
Permasalahan utama asperger terletak pada gangguan dalam memahami petunjuk sosial, oleh karena itu kerap
mereka disalahmengertikan sebagai individu yang tidak menghargai etika bersosial. Asperger dapat disebut
autis ringan namun tetap membutuhkan perlakuan dan pendidikan khusus agar di masa dewasa ia bisa
mengatasi hambatan dalam interaksi sosial dalam lingkungannya.
c. Rett Sindrom. Banyak dialami anak perempuan di usia 7-24 bulan. Sebelumnya anak mengalami
perkembangan normal, tetapi kemudian mengalami kemunduran yang mencakup keterampilan motorik yang
telah dikuasai, kemampuan berbahasa, gerakan stereotipik seperti sedang mencuri tangan dan membahasi
tangan dengan air liur, hambatan mengunyah makanan.
d. Childhood Disintegrative Disorder. Pada usia 2-10 tahun, anak berkembang normal sebelum mengalami
kemunduran signifikan pada keterampilan yang telah dikuasai daan terjadi gangguan pada fungsi sosial,
komunikasi serta perilaku. Pada beberapa kasus, penderitanya terus mengalami kemunduruan hingga tiba di
kondisi retardasi mental berat.
e. Pervasive Developmental Disorder not Otherwise Specified (PDD-NOS), individu mengalami gejala autisme
setelah usia 3 tahun atau lebih.
Sebagian besar ilmuwan mengemukakan pendapat terdapat faktor herediter penyebab autisme
pada seseorang. Anak yang didiagnosis autis apabila ditelusuri garis keturunannya, maka ada salah satu anggota
keluarga yang mengalami gangguan sejenis, meski tidak selalu sama-sama autis. Peneliti lainnya memilih
memperluas penyebab autisme adalah akibat faktor lingkungan selama kehamilan. Apakah itu diakibatkan
infeksi virus, bakteri tertentu, kontaminasi udara atau kontak dengan zat kimia berbahaya seperti pestisida.
Pada penyandang autisme, disebabkan oleh suatu hal, beberapa sel dan koneksinya tidak
berkembang baik bahkan mengalami kerusakan. Gangguan koneksi ini terutama terjadi pada neuron-neuron
yang bertanggung jawab di are komunikasi, emosi dan kesadaran.
6. Tunadaksa
Tuna berarti kerugian atau tidak punya. Daksa adalah anggota tubuh. Tunadaksa adalah individu yang
memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh beragam hal seperti di antaranya kelainan neuromuskular dan
struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit seperti infeksi di masa kehamilan, plasenta yang tidak mencukupi
(darah janin dan ibu tidak kompatibel), kelahiran prematur, cerebral palsy. Trauma fisik, penyakit kronis serta
faktor-faktor terkait lainnya yang dapat membahayakan setelah kelahiran.
Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah :
a. Ringan, yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik, tetapi masih dapat ditingkatkan
melalui terapi.
8
b. Sedang, yaitu memiliki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik.
c. Berat, yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.
7. Tunalaras
Pernah disebut sebagai emotionally disturbed, tetapi lalu dinilai kurang pas dan diubah jadi seriously
behavioral disabled, ini pun lalu dipersingkat menjadi behavioral disabled saja. Belakangan dilakukan
penggabungan menjadi emotional or behavioral disorder.
Karakteristik sosial dan emosional anak dengan gangguan emosional tingkah laku adalah :
a. Tingkah laku yang tidak terarah (tidak patuh, perkelahian, perusakan, pengucapan kata-kata kotor dan
tidak senonoh, senang memerintah, kurang ajar).
b. Gangguan kepribadian (merasa rendah diri, cemas, pemalu, depresi, kesedihan yang mendalam, menarik
diri dari pergaulan).
c. Tidak matang dalam sikap, cepat bingung, perhatian terbatas, senang melamun, berkhayal, senang
bergaul dengan yang lebih muda.
d. Pelanggaran sosial (terlibat dalam aktivitas ‘geng’, mencuri, membolos, begadang).
Tunalaras karena gangguan emosional atau tingkah laku terdiri dari faktor-faktor gangguan biologis,
hubungan keluarga yang tidak sehat, serta faktor eksternal seperti pengalaman di sekolah yang tidak diharapkan
dan pengaruh masyarakat yang buruk.
8. Tunawicara
Tunawicara adalah kondisi khusus yang justru laku dijual sebagai komoditas hiburan. Setiap gangguan
bicara yang dialami seseorang daan berpotensi menghambat komunikasi verbal yang efektif disebut tunawicara.
Gangguan bicara dapat muncul dalam berbagai bentuk. Terlambat bicara, artikulasi yang aneh dan tidak
sesuai, gagap, tidak mampu menggunakan kata-kata yang tepat sesuai konteks, penggunaan bahasa yang aneh
atau sedikit sekali bicara. Dalam bahasa ilmiahnya disebut Expressive Aphasia atau severe languange delay.
Karakteristik khusus pada anak tunawicara :
a. Terjadi pada anak-anak yang lahir prematur.
b. Kemungkinannya empat kali lipat pada anak yang belum berjalan pada usia 18 bulan.
c. Belum bisa berbicara dalam bentuk kalimat pada usia dua tahun.
d. Memiliki gangguan penglihatan.
e. Sering dikategorikan sebagai anak yang kikuk oleh gurunya.
f. Dari segi perilaku kurang bisa menyesuaikan diri.
g. Sulit membaca.
h. Banyak terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan.
9. Tunaganda
Seseorang yang memiliki kerusakan, kekhususan dan ketidakmampuan dalam beberapa hal sekaligus.
Penyebab seseorang menjadi tunaganda dapat disebabkan trauma pada otak, luka waktu lahir (kelahiran sukar),
hydrocephalus, penyakit infeksi, misalnya TBC, cacar, meningitis, dan faktor keturunan antara lain kerusakan
pada benih plasma, dan hasil perkawinan dari ayah dan ibu yang rendah intelegensi dapat diturunkan pada anak.
9
penyimpangan psikologos, adanya penyebab yang bersifat genetik, pengaruh/kesalahan dalam cara mengajar
dan deprivasi dalam proses berpikir.
11
e. Asrama atau Panti. Berbagai jenis anak berkebutuhan khusus diasramakan secara insidental dengan
penanggung biaya adalah Pemda setempat.
f. Workshop. Mirip dengan mode asrama, hanya saja belajar mengajar diarahkan ke latihan prevocational,
terutama dibidang pekerjaan. Diperlukan kerja sama juga antara Diknas, Depsos, dan Depnaker.
3. Pendidikan Inklusif
Menurut Johnen dan Skjorten (2003), pendidikan inklusif adalah system layanan pendidikan yang
mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas regular bersama-
sama teman seusianya.Oleh karena itu, ditekankan adanya restrukturisasi sekolah sehingga menjadi komunitas
yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak. Artinya dalam pendidikan inklusif tersedia sumber
belajar yang beragam dan mendapat dukungan dari semua pihak, meliputi para siswa, guru, orang tua dan
masyarakat sekitarnya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan
anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Dengan kata lain, pendidikan inklusif merupakan pendidikan terpadu yang diharapkan dapat
mengakomodasi pendidikan bagi semua, terutama anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus yang selama ini
masih banyak yang belum terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan seperti anak-anak normal.
Menggabungkan murid berlatarkan kemampuan fisik dan mental yang jelas berbeda, sekolah inklusif tentunya
tidak bisa menentukan naik kelas atau tidaknya seorang murid berdasarkan penilaian terhadap penguasaan atas
kurikulum umum.Konsekuensinya sebuah sekolah inklusif harus memodifikasi aspek-aspek penilaian terhadap
seorang murid menjadi lebih terbuka dan benar –benar disesuaikan dengan kondisi anak, guru mata pelajaran
dan guru pendidikan khusus. Guru yang bukan lulusan PLB pun harus memiliki pengetahuan dasar tentang
pendidikan luar biasa.
12
5. Kurikulum Pendidikan Untuk Anak Yang Berkebutuhan Khusus
Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pada pasal 1
butir 19 disebutkan bahwa Kurikulum adalah:
1. Sebuah rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
2. Bahan pelajran, serta
3. Cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu. Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, pada Kurikulum 1994
diwujudkan dalam buku Landasan , Program, dan Pengembangan Kurikulum 1994 diwujudkan dalam buku
Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai program pendidikan tertentu. Pada Kurikulum
1994 diwujudkan dalam buku-buku Pedoman Pelaksanaan Kurikulum. (Abdul Hadis, 2006:33)
Saya sepakat dengan Program Kurikulum Pendidikan Untuk Anak Yang Berkebutuhan Khusus, karena
setiap satuan pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan bagi peserta didiknya harus pada berpegangan
pada kurikulum terbaru yang berlaku, seperti kurikulum di tahun 2004, kurikulum tersebut adalah Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK). Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pendidikan khusus untuk anak yang
berkebutuhan khusus dewasa ini adalah juga harus mengacu kepada kurikulum yang berbasis kompetensi yang
disebut sebagai “ Kurikulum 2004”. Begitupun juga sampai tahun sekarang yang menggunakan kurikulum
KTSP.
Terkait dengan permasalahan anak, berikut beberapa bentuk bimbingan yang dapat dilakukan, baik oleh
guru maupun orang tua dalam membantu mengatasi permasalahan anak:
1. Periksa
Tidak semua tingkah laku yang bemasalah digolongkan gangguan. Oleh karena itu, Perlu menambah
pengetahuan tenytang gangguan mengenai perkembangan dan jenis gangguan anak.
2. Pahami
13
Untuk bisa menangani anak yang mengalami gangguan, ada baiknya keluarga mengikuti support group
dan parenting skill-training. Tujuannya agar bisa lebih memhami sip dan perilaku anak, serta apa yang
dibutuhkan anak, baik secara psikologis, kognitif (intelektual) maupun fisiologis.
3. Telaten
Dibutuhkan ketelatenan dan kesabaran untuk menghadapi anak yang memilik gangguan psikologis.
4. Membangkitkan kepercayaan diri
Jika mampu, ini juga bisa dipelajari, menggunakan tehnik-tehnik pengelolaan perilaku, seperti
menggunakan penguasa positif. Misalnya memberikan pujian apabila anak makan dengan tertib atau
berhasil melakukan sesuatu yang benar, memberikan disiplin yang konsisten, dan selalu memonitor perilaku
anak. Tujuannya untuk meningkatkan rasa percaya diri anak.
5. Mengenali arah minatnya
Jika dia bergerak terus, jangan panik, ikutkan saja, dan catat baik-baik, kemana sebenarnya tujuan dari
keaktifannya. Jangan dilarang semuanya karena membuat anak menjadi frustasi. Yang penting adalah
mengenali bakat atau kecenderungan perhatiannya secara dini.
6. Meminimalisir stimulasi yang dapat mengacaukan pikiran dan konsentrasi.
Anak diupayakan tenang terkendali, gangguan dari luar minimal menggunakan media penanganan yang
menarik sesuai dengan modalitas anak (visual, auditori, kinestik), praktik langsung, menyenangkan, variatif,
sesuai dengan minat anak, mengajarkan strategi meningkatkan memori, mnemoik, kata kunci, peta pikiran dan
insight.
7. Merancang lingkungan rumah kondusif
Menjauhkan benda berbahaya/tajam, lingkungan fisik nyaman, memfasilitasi anak yang normal untuk
menjadi role model, mempertahankan kontak mata, memberikan pekerjaaan yang menantang, memastikan
adanya sisi menarik pengajaran, menyederhanakan instruksi, memperjelas instruksi, menjelaskan tujuan/target
dengan jelas, memberi contoh, monitoring perlu dilakukan untuk memberi masukan pada penanganan lebih
lanjut.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan untuk menjawab rumusan masalah dapat ditarik kesimpulan, bahwa
Berkebutuhan khusus merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan anak-anak luar biasa atau
mengalami kelainan dalam konteks pendidikan. Ada perbedaan yang signifikan pada penggunaan istilah
berkebutuhan khusus dengan luar biasa atau berkelainan.
Berkebutuhan khusus lebih memandang pada kebutuhan anak untuk mencapai prestasi dan
mengembangkan kemampuannya secara optimal, sedang pada luar biasa atau berkelainan adalah kondisi atau
keadaan anak yang memerlukan perlakuan khusus. Pengelompokkan anak berkebutuhan khusus hanya
diperlukan untuk kebutuhan penanganan anak secara klasikal, sedangkan untuk kepentingan yang bersifat sosial
anak berkebutuhan khusus tidak perlu dikelompokkan.
Anak berkebuthan khusus dapat dikelompokkan menjadi Kelainan Mental (Mental Tinggi, Mental
Rendah, Berkesulitan Belajar Spesifik). Kelainan Fisik (Kelainan Tubuh, Kelainan Indera Penglihatan,
Kelainan Indera Pendengaran, Kelainan Wicara). Kelainan Emosi (Gangguan Perilaku, Gangguan Konsentrasi
(ADD/Attention Deficit Disorder), Anak Hiperactive (ADHD/Attention Deficit with Hiperactivity Disorder).
Bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok
besar, yaitu : bentuk layanan pendidikan segregasi dan bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi Terdapat
tiga factor yang dapat diidentifikasi tentang sebab musabab timbulnya kebutuhan khusus pada seorang anak
yaitu : (1) Faktor internal pada diri anak. (2) Faktor eksternal dari lingkunan, dan (3) Kombinasi dari factor
internal dan eksternal (kombinasi). 10
14
DAFTAR PUSTAKA
Purwanto, Heri. Modul Pembelajaran: Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: UPI. Alimin,
Zaenal. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus: Reorientasi Pemahaman Konsep
Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Implikasinya Terhadap Layanan Pendidikan. Vol 3 No 1. Bandung: UPI
Aqila Smart, Rose. 2010. Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapai untuk Anak
Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Katahati 11
15