Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH TAUHID DAN ILMU KALAM

KELOMPOK 7

PERAN AKAL DAN WAHYU DALAM


ALIRAN MU’TAZILAH,ASI’ARIYAH DAN MATURIDIAH

Dosen Pengampu :
Hatim M.pd

Di Susun Oleh :
Sibarani Zahra Hanifa (210101205)
Anang Indra Ilham Maulana (210101212)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2021/2022

1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta inayahnya kepada
kami atas petunjuknya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Tanpa
pertolongannya mungkin kami tidak dapat menyelesaikannya makalah ini dengan baik.
Shalawat sarta salam tidak henti-hentinya kami sampaikan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang senantiasa mengikuti dan
mengamalkan sunnah-sunnahnya.

Makalah ini di susun oleh kami dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari
diri kami maupun yang datang dari luar. Namun, dengan penuh kesabaran dan terutama
pertolongan dari Allah SWT akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah
ini menjelaskan tentang Aliran Mu’tazilah, Aliran Asy’ariah, dan Aliran Maturidiyah.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca
dan semoga tulisan ini menjadi amal ibadah bagi kita semua. Walaupun makalah ini memiliki
kelebihan dan kekurangan. Untuk itu, segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca
sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah ini.

Mataram, 16 Agustus 2022

(Penulis)

2
DAFTAR ISI

COVER .............................................................................................................................. 1

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 2

DAFTAR ISI...................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 4

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 4


B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 4
C. Tujuan ..................................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 6

A. Aliran Mu’tazilah .................................................................................................... 6


B. Aliran Asy’ariah ...................................................................................................... 7
C. Aliran Maturidiah .................................................................................................... 11

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 12

A. Simpulan ................................................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 13

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam
semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada manusia menyebabkan kemampuan
yang dimiliki menjadi sangat terbatas. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan
peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang
diberikan beban taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan akal maka hukum-
pun tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang tidak terkena beban
apapun. Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah satu diantara lima hal primer yang
diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan dipelihara, yang dimana kemaslahatan dunia
dan akhirat sangat disandarkan pada terjaga dan terpeliharanya kelima unsur tersebut,
yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Agama mengajarkan dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Pertama, melalui
jalan wahyu, yakni melalui komunikasi dari Tuhan kepada manusia, dan kedua dengan
jalan akal, yakni memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan
pemikiran kita. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu diyakini sebagai
pengetahuan yang absolut, sementara pengetahuan yang diperoleh melalui akal diyakini
sebagai pengetahuan yang bersifat relatif, yang memerlukan pengujian terus menerus,
mungkin benar dan mungkin salah. Pada zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi ini , maka timbulah pertanyaan, pengetahuan mana yang lebih dipercaya,
pengetahuan yang diperoleh melalui akal, pengetahuan melalui wahyu, atau pengetahuan
yang diperoleh melalui kedua-duanya.Karena itu, masalah hubungan akal dan wahyu ini
merupakan masalah yang paling masyhur dan paling mendalam dibicarakan dalam
sejarah pemikiran manusia.
Akan tetapi, meskipun demikian akal bukanlah penentu segalanya. Ia tetap memiliki
kemampuan dan kapasitas yang terbatas. Oleh karena itulah Allah SWT menurunkan
wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak tersesat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Aliran Mu’tazilah
2. Apa itu Aliran Asy’ariah
3. Apa itu Aliran Maturidiah

4
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Aliran Mu’tazilah
2. Untuk Mengetahui Aliran Asy’ariah
3. Untuk Mengetahui Aliran Maturidiah

5
BAB II

PEMBAHASAN

1. Aliran Mu’tazilah
Menurut Mu’tazilah, sebagaimana dikemukakan oleh para tokoh bahwa segala
pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal. Kewajiban-kewajiban dapat
diperoleh dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, berterima kasih
kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat diketahui oleh
akal, demikian pula mengerjakan yang wajib dan menjauhi yang buruk wajib pula.
Menurut Al-Syahrastani, kaum Mu’tazilah sependapat bahwa kewajiban
mengetahui Tuhan dan berterima kasih pada-Nya, adapun kewajiban mengerjakan
yang baik dan menjauhi perbuatan buruk maka dapat diketahui oleh akal1. Sebelum
mengetahui bahwa sesuatu itu wajib, maka tentu terlebih dahulu orang tersebut harus
mengetahui hakikat baik dan buruk terhadap hal itu.
Mengenai baik dan buruk, Abdul Jabbar mengatakan bahwa akal tidak dapat
dapat mengetahui semua yang baik. Yang dimana akal hanya mengetahui kewajiban-
kewajiban dalam garis besarnya saja. Akal tidak sanggup mengetahui segalanya, baik
mengenai hidup manusia di akhirat maupun di dunia. Dengan demikian, menurut
Mu’tazilah bahwa tidak semua yang baik dan buruk itu, dapat diketahui oleh akal,
karena wahyu juga berfungsi untuk menyempurnakan pengetahuan akal tentang
masalah baik dan buruk.
Adapun menurut Mu’tazilah, bahwa tidak semua yang baik dapat diketahui
oleh akal. Untuk mengetahui hal itu maka wahyu sangat diperlukan dalamhal ini.
Wahyu dengan demikian menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan
buruk. 2 Selanjutnya wahyu bagi Mu’tazilah, berfungsi memberi penjelasan tentang
perincian pahala dan siksa di akhirat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keempat masalah pokok itu dalam
pandangan kaum Mu’tazilah dapat diketahui oleh akal dan wahyu berfungsi hanya
sebagai konfirmasi dan informasi. Atau dengan kata lain fungsi wahyu hanya kecil.
Adapun doktrin dalam pokok aliran mutazilah antara lain:
1. Al-Adl (Keadilan Tuhan)

1
Al-Syahrastani,hlm.21
2
Abdul Rozak,Anwar ,Rosihoa. Ilmu Kalam, cet.iv, (Bandung : CV. PustakaSetia 2009), Hlm.78

6
Semua orang muslim dan golongannya mempercayai terhadap keadilan
tuhan. Akan tetapi karena mutazilah mempertahankan arti keadilan dan
menentukan batas-batasnya. Sehingga menimbulkan permasalahan. Dan
bagi Mu’tazilah bahwa keadilan Tuhan adalah meletakkan
pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya3
2. At-tauhid (Keesaan Allah)
Yang dimana Tauhid ini adalah mengesakan Tuhan yang dimana kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang
berdiri sendiri di luar zat, karena akan berakibat banyaknya yang qadim.
Mereka juga menolak sifat-sifat jasmaniyah (antropomorfisme) bagi
Tuhan karena akan membawa tajsim dan tasybih.
3. al-manzilah bain al-manzilatain (tempat diantara dua tempat)
Yang dimana adalah tempat diantara dua tempat yang dimana
seorang Mukmin yang berdosa besar statusnya tidak lagi mukmin dan
tidak lagi kafir. Dan ia berada diantara keduanya.
4. Al-wa’ad wa Al-wa’id
Yang dimana adalah janji dan ancaman yang dimana Tuhan akan
membalas segala perbuatan yang telah dilakukan oleh hamba-Nya dan
itulah bagian dari keadilan Tuhan
5. Al-Ma’ru bil Ma’ruf wa Al-Nahyu Al-Munkar
Yang dimana adalah perintah melaksanakan perbuatan yang baik dan
menjauhi larangan yang buruk.4
6. Aliran Asy’ariah
Menurut Asy’Ariyah sebagaimana dikatakan Al-Asy’ari sendiri, bahwa segala
kewajiban hanya dapat diketahui melalui wahyu. Dan akal tidak dapat membuat
sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan
menjauhi yang buruk itu wajib bagi manusia. Menurutnya, memang betul akal dapat
mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan
berterima kasih kepada-Nya. Dengan wahyu pula, maka dapat diketahui bahwa yang
patuh kepada Tuhan akan memperoleh pahala dan yang tidak patuh akan mendapat
siksa. Dengan demikian, akal menurut Asy’ari, dapat mengetahui Tuhan tetapi tidak

3
Ibid,hlm 73-78. Harun Nasution,Teologi Islam,hlm. 52-56
4
Mawardy Hatta, Aliran Mu'tazilah dalam lintasan sejarah pemikiran islam,(Jurusan Akidah Filsafat Fakultas
Ushuluddin dan Humaniora IAIN Antasari Banjarmasin). hlm.5

7
mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia dan karena itulah
diperlukan wahyu.
Menurut al-Syarastani, kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa kewajiban-
kewajiban diketahui dengan wahyu dan pengetahuan diketahui dengan akal. Dan juga
menurut Al-Baghdadi akal dapat mengertahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui
kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Al-Ghazali, juga berpendapat bahwa akal
tak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia. Mengenai baik dan
buruknya maka al-ghazali menerangkan bahwa suatu perbuatan itu baik, kalau
perbuatan itu sesuai dengan perilaku dan tujuan yang baik pula, dan begitupun
sebaliknya. Keadaan sesuai atau tidak sesuai dengan tujuan bisa terjadi pada masa
sekarang dan bisa pada masa depan, bagi al-Ghazali perbuatan yang sesuai dengan
tujuan masa depan yaitu akhirat, jelasnya perbuatan yang ditentukan oleh wahyu
ditentukan baik dan perbuatan buruk atau jahat lawan perbuatan baik.
Dan sudah tentu bahwa tujuan di akhirat hanya dapat diketahui dengan wahyu
oleh karena itu apa yang disebut perbuatan baik atau buruk juga dapat diketahui hanya
dengan wahyu.
Adapun pendirian Al-Syarastani dapat diketahui dalam bukunya yang berjudul
“Nihayah al-iqdam fi’ilm al-kalam” yang dikutip leh Harun Nasution bahwa ia
sependapat dengan al-asy’ari mengenai Tuhan dan kewajiban manusia berterima
kasih. Yang pertama diketahui dengan akal dan yang kedua dengan wahyu. Mengenai
baik dan jahat ia memberi keterangan lebih jelas dari ketiga pemuka asy’ariah
tersebut diatas. Yang dimana aakal tak dapat menentukan baik dan jahat karena yang
dimaksud dengan baik ialah perbuatan yang mendatangkan pujian syari’at bagi
pelakunya sedangkan yang dimaksud dengan buruk ialah perbuatan ynag membawa
celaan syari’at.
Adapun keterangan mengenai persoalan baik dan jahat ini di dapat
dikemukakan oleh ’Adud al-Din al-Iji dalam al-’aqaid al ’adudiah dan Jallal al-Din al
Dawwani dalam komentarnya terhadap karangan Asus al-Din. Yang dimana akal
tidak dapat sampai pada perbuatan baik dan buruk, karena hanya wahyulah dalam
pendapat mereka yang menentukan kedua hal itu.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa diantara pengikut-pengikut Al-Asy’ari
terdapat persesuian faham bahwa yang dapat diketahui akal hanyalah Mengetahui
Tuhan, sedangkan untuk ketiga lainnya dengan Wahyu.

8
7. Aliran Maturidiah
Aliran Al-Maturudi ini sangat bertentangan dengan pendirian Asy’ariyah
tetapi sefaham dengna Mu’tazilah. Yang dimana berpendapat bahwa akal dapat
mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Hal ini dapat diketahui dari
keterangan al-bazzdawi bahwa : ”percaya pada Tuhan dan Berterima kasih kepada-
Nya sebelum ada wahyu adalah wajib bagi Faham Mu’tazilah. Dan Mansur al-
Maturudi dalam hal ini juga sefaham dengan Mu’tazilah.
Keterangan ini diperkuat oleh Abu ’Uzbah ”Dalam Pendapat Mu’tazilah
bahwa orang yang berakal, baik muda maupun tua, maka tidak dapat diberi maaf
dalam soal mencari kebenaran. Dengan demikian, anak yang telah berakal
mempunyai kewajiban percaya pada Tuhan. Jika sekiranya ia amat tanpa percaya
Tuhan, maka pasti ia akan dihukum. Dalam Maturidiah anak yan belum baligh, tidak
mempunyai kewajiban apa-apa.Tetapi Abu Mansural-Maturudi berpendapat bahwa
anak yang telah berakal berkewajiban mengetahui Tuhan. Dalam hal ini tidak ada
perbedaan pendapat antara Mu’tazilah dan Maturidiah”.
Jika pendapat al-Bazdawi, Abu Uzbah dan lain-lain memberi keterangan yang
jelas tentang pendapat al-Maturudi mengenai soal mengetahui Tuhan dan
berkewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Namun keterangan demikain tidak
dijumpai dalam persoalan melakukan yang baik dan menjauhi yang buruk, karena
akal hanya dapat mengetahui baik dan buruk saja, sebenarnya Tuhan yang mengetahui
kewajiban baik dan buruk.
Untuk mengetahui pendirian al-Maturidi haruslah diselidiki karangan-
karangannya sendiri. Buku kitab al-Tawhid mengandung penjelasan tentang hal ini.
Akal, kata Maturidi, mengetahui sifat yang baik yang terdapat dalam yang baik dan
sifat yang buruk yang terdapat dalam yang buruk dengan demikian akal juga tahu baik
dan buruk. Akal menurut al-maturidi selanjutnya mengetahui bahwa bersikap adil dan
lurus adalah baik. Akal selanjutnya memerintahkan manusia mengerjakan perbuatan
yang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang mengerjakan yang membawa pada
kerendahan Jelaslah bahwa maturidi berpendapat akal dapat mengetahui hal yang
baik dan buruk. Tetapi uraian di atas tidak memberi peringatan bahwa akal
mengetahui kewajiban berbuat baik dan menjauhi kejahatan. Yang dapat diketahui
akal hanyalah sebab wajibnya perintah dan larangan Tuhan. Sehingga menurut al-
Maturudi 3 hal poko dapat diketahui akal, sedangkan kewajiban berbuat baik dan
buruk dapat diketahui hanya melaui wahyu. Pendapat al-Maturidi di atas di terima

9
oleh pengiku-pengikut di samrkand. Adapun pengikutnya di Bukhara mereka
mempunyai faham yang berlainan sedikit perbedaannya sekitar kewajiban mengetahui
Tuhan. Dalam hubungan ini, al-Bayadi mengatakan bahwa menurut Abu Hanifah
mengetahui Tuhan adalah wajib menurut akal.
Dengan demikian golongan Bukhara tidak dapat mengetahui kewajiban-
kewajiban hanya dapat mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban- kewajiban
menjadi kewajiban. Sedangkan dalam hal lainnya golongan bukhara sependapat
dengan golongan samarkand. Tetapi sungguhpun demikian, sebagian dari bukhara
berpendapat akal tak dapat mengetahui baik dan buruk, dan dengan demikian mereka
sebenarnya masuk dalam aliran Asy’ariyah dan bukan dalam aliran maturidiah
golongan Bukhara.

10
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Jadi dapat disimpulkan bahwa peran akal dan wahyu menurut Mu’tazilah yang
dimana bahwa baik dan buruk dapat ditentukan oleh akal, dan mana ynag baik menurut
akal maka baiklah perbuatan itu, dan mana yang buruk menurut akal maka buruklah dia.
Dan kepercayaan seperti itu tidaklah dibenarkan oleh kaum Asyariyah karena yang
menentukan baik dan buruk adalah Tuhan dan Rasul-Nya atau bisa dikatakan Al-Qur’an
dan Sunnah bukan akal.
Adapun menurut Maturudiyah bahwa ini sangat bertentangan dengan pendirian
Asy’ariyah tetapi sefaham dengna Mu’tazilah. Yang dimana berpendapat bahwa akal
dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Hal ini dapat diketahui dari
keterangan al-bazzdawi bahwa : ”percaya pada Tuhan dan Berterima kasih kepada-Nya
sebelum ada wahyu adalah wajib bagi Faham Mu’tazilah. Dan Mansur al-Maturudi
dalam hal ini juga sefaham dengan Mu’tazilah.

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Maturidiy, Abu Mansûr, Kitâbut-Tauhid (Istanbul: Muhammahd Auzdamir,

1979). Asmuni, H.M. Yusran, Ilmu Tauhid (Jakarta: Rajawali Press, 1993).

Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam, terj. Ghufron A. Mas'udi (Jakarta: RajaGrafindo


Persada, 1995).

Hanafi, A., Pengantar Theology Islam (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995).

Ignaz Golziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, terj. Hesti setiawan, (Jakarta: INIS,
1991).

Macdonald, D.B., Development of Muslim Theology, art. "Maturidi" (New York:

London Press, 1903).

Mansur, H. M. Laily, Pemikiran Kalam dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994).

Nasution, Harun, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996). Nasution, Harun, Teologi
Islam. (Jakarta: UIP, 1986).

"Cf. Ignaz Golziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, terj. Hesti setiawan, (Jakarta:
INIS, 1991).

12

Anda mungkin juga menyukai