Anda di halaman 1dari 23

KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA

Dosen Pengampu :

Nurhasanah Bakhtiar , Dr. , M.Ag.

Oleh kelompok ;

1.Ade Zelda Savitri Siregar (12310520876)

2.Adelia Yusnita (12310523988)

3.Della Marsha (12310521172)

Jurusan Pendidikan Matematika

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

2023
Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji Syukur alhamdulillah pemakalah panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah
memberikan beribu ribu nikmat, rahmat, taufiq, hidayah dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan Makalah kami yang berjudul Kebutuhan Manusia Terhadap Agama.

Dalam pembuatan makalah ini kami sudah mendapatkan materi dari berbagai banyak
artikel dan buku pembelajaran ( modul). Makalah ini sungguh-sungguh kami susun sebaik
mungkin dan dengan pertimbangan kami, namun jika ada salah kata atau kekeliruan dari
makalah kami sengaja ataupun tidak sengaja, kami memohon maaf sebesar besarnya. Untuk
itu bagi para pembaca kami mohon kritik dan sarannya dalam memperbaiki makalah kami ke
depannya. Semoga makalah ini bisa menambah wawasan dan pengetahuan bagi para
pembaca serta mendapatkan ridho dari Allah Swt.

Aamiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................ i

DAFTAR ISI.................................................................................... ii

PENDAHULUAN............................................................................. iii

KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA

1. Pengertian Agama............................................................................. 1

2. Latar Belakang Manusia Beragama.................................................. 2

3. Kebutuhan Manusia Terhadap Agama dan Nabi.............................. 4

4. Jenis-Jenis Agama............................................................................ 5

5. Misi Kehadiran Agama...................................................................... 7

6. Agnotisisme dan Skeptisisme dalam Beragama............................. 8

7. Berbagai Polarisasi dalam Beragama.............................................. 10

A. Antara Substantif dan Normatif................................................... 11

B. Antara Inklusif dan Eksklusif....................................................... 12

C. Antara Liberalis dan Fundamentalis........................................... 13

KESIMPULAN............................................................................... 16

SARAN DAN KRITIK.................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA...................................................................... 18
PENDAHULUAN

Setiap manusia memiliki kepercayaan dan agama yang dianut, namun


tidak semua manusia mempunyai agama dan kepercayaan. Akan tetapi di sini kita
akan membahas tentang kebutuhan manusia terhadap agama. Manusia tidak
pernah lepas dari yang namanya masalah dan jika kita memiliki masalah kita akan
berlari ke Allah, tuhan kita. Agama bisa dalam menyelesaikan masalah yang kita
hadapi, juga menjadi petunjuk kita saat kita salah dan khilaf.

A. Rumusan Masalah

1. Apakah itu agama? Dan mengapa manusia membutuhkannya?


2. Apa saja jenis-jenis agama itu? Dan bagaimana kehadirannya?
3. Bagaimana polarisasi dalam beragama antara Substantif dan Normatif,
antara Insklusif dan Eksklusif, antara Liberalis dan Fundamentalis?

B. Tujuan

1. Mengetahui pengertian dari agama dan alasan manusia membutuhkan


agama.
2. Mengetahui jenis-jenis agama dan misi kehadirannya.
3. Mengetahui polarisasi dalam beragama antara Substantif dan Normatif,
antara Insklusif dan Eksklusif, antara Liberalis dan Fundamentalis.
PEMBAHASAN

KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP


AGAMA

A. Pengertian Agama

Para tokoh dari keagamaan memiliki berbagai definisi tentang agama,


banyak definisi dalam berbagai buku yang membincangkan tentang permasalahan
ini. Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskerta “a” yang berarti tidak dan
“gam” yang berarti kacau, jadi pengertian agama itu tidak kacau. Segi definisi,
agama adalah ajaran, instruksi, perintah, larangan, peraturan perundang-undangan
yang diyakini oleh pemeluknya berasal dari dzat kekuatan supranatural dan Yang
Mahakuasa yang digunakan orang sebagai panduan untuk bertindak, dengan kata
lain, inti dari perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Secara definitif, agama adalah ajaran, petunjuk, perintah, larangan,


hukum, dan peraturan, yang diyakini oleh penganutnya berasal dari dzat gaib
Yang Mahakuasa, yang dipakai manusia sebagai pedoman tindakan dan tingkah
laku dan menjalin hidup sehari-hari. Sedangkan menurut terminologi, definisi
agama beragam tergantung orang yang mendefinisikannya. Menurut Durkheim,
agama adalah sistem kepercayaan dan politik yang telah dipersatukan yang
berkaitan dengan hal-hal yang kudus. Sementara Dewey mengatakan bahwa
agama adalah pencarian manusia terhadap cita- cita umum dan abadi meskipun
dihadapkan pada tantangan yang dapat mengancam jiwanya.
Terkait dengan kesehatan mental tentunya tidak lepas dengan peran serta
agama. Psikoterapi keagamaan, yaitu terapi yang diberikan dengan kembali
mempelajari dan mengamalkan ajaran agama Islam. Sebagaimana diketahui
bahwa ajaran agama Islam mengandung tuntunan bagaimana kehidupan manusia
bebas dari rasa cemas, tegang, depresi, dan sebagainyaKesehatan mental adalah
terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis
maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial) Orang yang sehat
mental akan senantiasa merasa aman dan bahagia dalam kondisi apapun, ia juga
akan melakukan intropeksi atas segala hal yang dilakukannya sehingga ia akan
mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri.

Dari pengertian di atas, sebuah agama biasanya mencakup tiga persoalan


pokok, yaitu :
1. Keyakinan (credial), yaitu keyakinan akan adanya sesuatu kekuatan
supranatural yang diyakini mengatur dan mencipta alam.
2. Peribadatan (ritual), yaitu tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan
kekuatan supranatural tersebut sebagai konsekwensi atau pengakuan dan
ketundukannya.
3. Sistem nilai (hukum/norma), yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia lainnya atau alam semesta yang dikaitkan dengan keyakinannya
tersebut.

B. Latar Belakang Manusia Beragama

Sebagai manusia kita mempunyai alasan dalam memeluk agama, ada tiga
alasan yang melatar belakangi perlunya manusia terhadap agama, yaitu:

1. Fitrah Manusia

Kata fitrah merupakan clerivasi dari kata fatharah, artinya ciptaan, suci,
seimbang. Fitrah adalah kondisi di mana Allah menciptakan manusia yang
menghadapkan dirinya pada kebenaran dan kesiapan untuk menggunakan
pikirannya. Kata fitrah berasal dari kata al-fatharah yang bentuk pluralnya fithar
yang dapat diartikan cara penciptaan, sifat pembawaan sejak lahir, sifat watak
manusia, agama dan sunnah, pecahan atau belahan.

Dari dijelaskan dalam hadits bahwa manusia lahir dalam keadaan fitrah
(bersih), sebagai berikut.

Rasulullah saw. bersabda : “Setiap anak lahir (dalam keadaan) fitrah,


kedua orang tuanya (memiliki andil dalam) menjadikan anak beragama Yahudi,
Nasrani, dan bahkan beragama Majusi, (H.R. Bukhari. Juz 1, h. 456).

Fitrah dalam arti potensi, yaitu kelengkapan yang diberikan pada saat
lahirnya ke dunia. Potensi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua hal :, yaitu
potensi rohaniyah manusia berupa akal, qalb dan nafsu.

2. Keterbatasan Akal Manusia

Diberikan akal adalah suatu anugerah yang paling hebat atau terbesar
bagi manusia. Dengan adanya akal kita mampu untuk membedakan mana
yang baik dan yang buruk , akan tetapi tidak semua yang baik dan yang buruk
itu dapat diketahui oleh akal.

Akal manusia semata juga tidak mampu mengetahui segala informasi


terutama yang berkenaan dengan alam meta fisika (ghaib), termasuk
mengetahui peristiwa yang terjadi setelah manusia mati seperti berzakh, shirat,
akhirat, surga dan neraka. Tetapi segala yang dimiliki manusia sudah tentu ada
keterbatasan-keterbatasan sehingga ada batas-batas yang tidak boleh dilewati.
Bahkan Islam membatasi ruang lingkup akal sesuai dengan kemampuannya,
karena akal terbatas jangkauannya, tidak akan mungkin bisa menjangkau
hakikat segala sesuatu.

3. Tantangan yang Dihadapi Manusia

Tantangan yang kita hadapi ada yang dari dalam dan ada juga yang
dari luar. Tantangan dari dalam berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan
setan, sedangkan dari luar berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan
manusia secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan.
Tantangan yang kita hadapi tidak semudah membalikkan telapak tangan,
banyak tantangan yang harus dihadapi serta segera dicarikan solusinya. Dan
salah satu alasan manusia beragama karena dapat membantu menyelesaikan
tantangan.

Di samping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki


kekurangan, dengan dilengkapinya manusia dengan al-nafs. Menurut Quraisy
Shihab, melalui al-nafs manusia memiliki kemampuan untuk menangkap makna
baik dan buruk. Sedangkan menurut terminology kaum sufi, yang oleh al-
Qusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa al-nafs dalam pengertian sufi adalah
sesuatu yang melahirkan sifat tercela dab perilaku buruk. Pengertian al-Qusyairi
tentang al-nafs adalah dorongan hati yang kuat untuk berbuat yang kurang baik.

C. Kebutuhan Manusia terhadap Agama dan Nabi

Manusia meembutuhkan agama sebagai petunjuk hidupnya, secara naluri


manusia membutuhkan tuhannya ketika ia memiliki masalah hidup dan setiap
hang memiliki tuhan ialah mereka yang beragama. Dengan kata lain kebutuhan
manusia terhadap agama sangatlah penting, begitu pula kebutuhan manusia
terhadap nabi. Agama menjadi salah satu aspek paling sakral dalam memenuhi
standart kebutuhan hidup manusia. Dengan memiliki agama, manusia dapat
mengendalikan segala sesuatu yang dihadapi dalam kehidupannya, manusia dapat
mengendalikan hawa nafsu mereka dengan aturan keyakinan mereka masing-
masing.

Manusia juga membutuhkan nabi sebagai contoh suri tauladan, nabi juga
sangat penting bagi kita karena sebagai pemimpin daan pembimbing kita saat kita
mempelajari suatu ajaran di agama kita terutama islam. Jika nabi tidak ada
penyampaian tentang suatu ajaran itu tidak bisa kita lakukan dengan baik dan
terlaksana semestinya. Manusia juga harus tetap mengenang dan menjadikan nabi
sebagai panutan kita walaupun sudah tidak ada lagi.

Jadi agama dan nabi sangat dibutuhkan bagi manusia, agama sebagai
petunjuk hidup kita sedangkan nabi sebagai orang yang mengajarkan kita tentang
cara menjalankan petunjuk hidup kita. Dan keterkaitan antara agama dan nabi
tidak bisa dilepaskan.

D. Jenis-Jenis Agama

Berikut penjelasan lebih dalam mengenai beberapa jenis agama yang


telah disebutkan sebelumnya:

1.Agama Kristen

Agama Kristen berdasarkan pada ajaran dan kehidupan Yesus Kristus.


Kepercayaan inti dalam agama ini adalah bahwa Yesus adalah Anak Allah yang
datang ke dunia untuk menebus dosa-dosa manusia dan membawa keselamatan.
Credo Kristen melibatkan kepercayaan kepada Allah Tritunggal (Bapa, Anak, dan
Roh Kudus) dan kehidupan etis sesuai dengan ajaran Kristus yang terdapat dalam
Perjanjian Baru dalam Alkitab Kristen.

2.Agama Islam
Agama Islam didasarkan pada ajaran Nabi Muhammad yang diwahyukan
kepadanya melalui Al-Qur’an, kitab suci umat Muslim. Penganut Islam, yang
disebut Muslim, diwajibkan menjalankan “Pilar-pilar Islam” seperti salat
(sembahyang), puasa pada bulan Ramadan, memberikan zakat (sumbangan)
kepada orang yang membutuhkan, menunaikan haji (ziarah ke Mekah), dan
mengucapkan syahadat (kesaksian keyakinan).

3.Agama Hindu

Agama Hindu memiliki beragam ajaran dan praktik yang kompleks.


Meskipun tidak ada kitab suci tunggal, tetapi para penganutnya mengambil
inspirasi dari kitab-kitab kuno seperti Weda, yang berisi mantra dan doa, serta
kitab-kitab agama lainnya seperti Upanishad dan Mahabharata. Hinduisme
mengakui banyak dewa dan dewi serta konsep reinkarnasi dan karma, di mana
perbuatan dalam kehidupan ini akan mempengaruhi kehidupan selanjutnya.

4.Agama Buddha

Buddha adalah seorang guru spiritual dan pendiri agama yang dikenal
sebagai Siddhartha Gautama. Ajaran Buddha berfokus pada jalan menuju
pencerahan dan kebijaksanaan melalui praktik meditasi, pengendalian pikiran,
toleransi, dan belas kasih terhadap semua makhluk hidup. Buddhisme
mengajarkan konsep karma, reinkarnasi, dan upaya untuk mencapai keadaan
bebas penderitaan yang disebut Nirwana.

5.Agama Yahudi
Agama Yahudi melibatkan keyakinan monotheis yang diyakini oleh
orang-orang Yahudi. Kitab Suci Yahudi utama adalah Taurat, yang terdiri dari
Lima Kitab Musa, dan juga terdapat Talmud sebagai kumpulan hukum dan tradisi
Yahudi. Yahudi mengikuti berbagai ritual seperti pengamatan Sabat (hari
istirahat) dan perayaan seperti Paskah dan Rosh Hashanah.

6.Agama Sikhisme

Sikhisme didirikan pada abad ke-15 oleh Guru Nanak di Punjab, India.
Agama ini menekankan kepercayaan kepada satu Tuhan yang universal dan
menolak sistem kasta. Penganut Sikhisme mengamalkan praktik-praktik spiritual
seperti meditasi, membaca dan merenungkan ajaran dalam Guru Granth Sahib
(kitab suci Sikh), dan melakukan tindakan kebajikan.

7.Agama Shinto

Shinto adalah agama asli Jepang yang melibatkan penghormatan terhadap


roh-roh alam, leluhur, dan dewa-dewa. Penganutnya mengikuti berbagai tradisi
dan upacara ritual seperti upacara persembahan di kuil Shinto, berziarah ke
tempat suci, dan mengagungkan alam semesta. Shinto juga memiliki hubungan
erat dengan budaya dan identitas nasional Jepang.

Jenis-jenis agama lainnya seperti Jainisme, Taoisme, Zoroastrianisme, dan


Baha’i juga memiliki prinsip-prinsip dan ajaran unik yang mencerminkan
pandangan dunia dan nilai-nilai yang berbeda dalam kehidupan beragama.

E. Misi Kehadiran Agama


Misi kehadiran agama dapat bervariasi tergantung pada agama yang
dimaksud, tetapi secara umum, terdapat beberapa misi yang sering diemban oleh
agama-agama di dunia:

1.Penyelarasan dengan Takdir Ilahi: Agama sering kali hadir untuk membantu
individu memahami takdir mereka dan mencari arti dalam hidup. Agama
memberikan kerangka kerja moral, etika, dan nilai-nilai yang dapat membantu
individu menjalani kehidupan dengan tujuan yang lebih tinggi.

2 .Hidup Moral: Agama bertujuan untuk memandu umatnya dalam hidup mereka
secara moral dan etis. Agama memberikan pedoman dan aturan tentang
bagaimana berperilaku yang benar, memberikan sanksi kepada tindakan-tindakan
yang tidak etis, dan mendorong umatnya untuk berbuat baik kepada sesama.

3.Pemujaan dan Ibadah: Agama hadir untuk memberikan tempat ibadah dan
menyediakan kerangka untuk berhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari
diri sendiri. Agama mengajarkan umatnya untuk melakukan pemujaan dan ibadah
sebagai bentuk penghormatan dan keterhubungan dengan Tuhan atau kekuatan
spiritual.

4. Pengabdian Sosial: Banyak agama mempunyai misi untuk melayani


masyarakat dan orang-orang yang membutuhkan. Agama mengajarkan nilai-nilai
altruisme, kepedulian, dan belas kasih, dan mendorong umatnya untuk melakukan
tindakan amal, membantu orang miskin, memberikan bantuan kemanusiaan, dan
memperjuangkan keadilan sosial.

5. Menciptakan Keselarasan dan Harmoni: Agama sering kali bertujuan untuk


menciptakan keselarasan dan harmoni dalam kehidupan individu, masyarakat,
dan alam semesta. Agama dapat memberikan panduan tentang hubungan manusia
dengan alam, dengan sesama manusia, dan dengan transenden.

Misi kehadiran agama dapat berbeda-beda tergantung pada agama yang


dipraktikkan dan visi agama tersebut. Meskipun terdapat perbedaan antara
agama-agama, tujuan umum mereka adalah membawa kedamaian, makna, dan
kebaikan dalam kehidupan manusia.

F. Agnotisisme dan Skeptisisme dalam Beragama

Agnostisisme dan skeptisisme adalah dua pendekatan yang berbeda dalam


mempertimbangkan dan memahami agama.

1.Agnostisisme:

Agnostisisme adalah sikap atau keyakinan bahwa pengetahuan tentang


keberadaan Tuhan atau hal-hal yang bersifat metafisik tidak dapat diketahui atau
dipastikan. Orang yang mengadopsi sikap agnostisisme menganggap bahwa ada
keterbatasan dalam kemampuan manusia untuk memahami atau membuktikan
keberadaan Tuhan atau hal-hal yang berhubungan dengan agama. Mereka
mungkin berpendapat bahwa pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan atau hal-hal
yang bersifat metafisik adalah di luar batas pengetahuan manusia dan oleh karena
itu tidak dapat dijawab dengan pasti.

Agnostisisme dapat dibagi menjadi dua jenis:

a. agnostisisme teistik: Orang-orang yang mengadopsi sikap


agnostisisme teistik percaya bahwa keberadaan Tuhan mungkin ada,
tetapi mereka tidak yakin atau tidak memiliki keyakinan yang kuat
tentang hal itu. Mereka mungkin berpendapat bahwa keberadaan
Tuhan tidak dapat dibuktikan atau dipahami sepenuhnya oleh manusia.

b. Agnostisisme ateistik: Orang-orang yang mengadopsi sikap


agnostisisme ateistik tidak percaya atau tidak memiliki keyakinan
tentang keberadaan Tuhan. Mereka mungkin berpendapat bahwa tidak
ada cukup bukti atau pengetahuan yang memadai untuk membenarkan
keyakinan akan keberadaan Tuhan.
2.Skeptisisme

Skeptisisme adalah sikap atau pendekatan yang mencurigai atau


meragukan klaim-klaim yang tidak memiliki bukti yang kuat atau rasional. Dalam
konteks agama, skeptisisme berarti mempertanyakan atau meragukan keyakinan
atau doktrin agama berdasarkan bukti atau argumen yang tidak memadai. Orang
yang mengadopsi sikap skeptisisme dalam beragama cenderung mencari bukti
yang kuat atau rasional sebelum menerima atau mempercayai klaim-klaim agama.

Skeptisisme dapat diterapkan pada berbagai aspek agama, termasuk


keyakinan tentang keberadaan Tuhan, kebenaran kitab suci, mukjizat, atau
praktik-praktik keagamaan tertentu. Skeptisisme dalam beragama tidak berarti
penolakan mutlak terhadap keyakinan agama, tetapi lebih pada pendekatan kritis
dan analitis terhadap klaim-klaim agama.

Penting untuk dicatat bahwa agnostisisme dan skeptisisme bukanlah


bentuk ateisme atau penolakan terhadap agama. Mereka adalah pendekatan yang
berbeda dalam mempertimbangkan dan memahami agama, dengan fokus pada
ketidakpastian pengetahuan atau pendekatan kritis terhadap klaim-klaim agama.

G. Berbagai Polarisasi dalam Beragama

Kecenderungan mengucilkan diri dan bergaul dengan orang-orang yang


memahami satu sama lain akan menciptakan ruang-ruang tersendiri antara agama
yang lain. Komunikasi yang merupakan upaya menghilangkan polarisasi
perbedaan antara “Kami” dan “Yang Lain” justru menjadi jalan untuk
membentuk eksklusivisme di dunia maya. Salah satu upaya untuk mengantisipasi
munculnya kesenjangan tersebut adalah dengan menciptakan wadah peleburan
(melting pot) ruang di dunia nyata.
Polarisasi dalam agama terjadi ketika ada perbedaan-perbedaan yang
signifikan dalam keyakinan, praktik keagamaan, interpretasi teks suci, atau
doktrin antara kelompok-kelompok di dalam suatu agama. Polarisasi umumnya
terjadi karena perbedaan pendapat yang dalam mengenai isu-isu teologis, etika,
atau sosial.

Dalam banyak agama, terutama agama-agama besar seperti Kekristenan,


Islam, Hinduisme, dan Buddhis, terdapat berbagai aliran atau denominasi yang
memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai teologi, ritus, dan tafsir agama.
Perbedaan ini bisa berkisar dari yang relatif kecil hingga yang sangat besar.
Ketika perbedaan-perbedaan ini menjadi semakin tajam dan divisif, maka terjadi
polarisasi dalam agama tersebut.

Polarisasi dalam agama dapat memiliki berbagai dampak. Terkadang,


polarisasi ini dapat memunculkan konflik antara kelompok-kelompok yang
berbeda, bahkan sampai pada tingkat kekerasan. Kita telah melihat contohnya
dalam sejarah, seperti konflik antara Sunni dan Syiah dalam Islam atau konflik
antara Protestan dan Katolik dalam sejarah Eropa. Polarisasi juga dapat
menyebabkan ketegangan sosial, diskriminasi, dan isolasi kelompok-kelompok
minoritas di dalam suatu agama.

Untuk mengatasi polarisasi dalam agama, dialog antar kelompok yang


berbeda menjadi sangat penting. Pemahaman dan penghargaan terhadap
perbedaan pendapat dan keberagaman dalam agama dapat membantu membangun
toleransi, saling pengertian, dan kerjasama. Promosi nilai-nilai universal seperti
perdamaian, persatuan, dan kasih sayang juga dapat berperan penting dalam
meredakan polarisasi dan menciptakan koeksistensi yang harmonis di antara
kelompok-kelompok agama yang berbeda. Polarisasi sering terjadi antara 2 pola,
yaitu :
1. Antara Substantif dan Normatif

Polarisasi beragama antara substantif dan normatif mencerminkan


perbedaan pendekatan dalam memahami agama. Substantif mengacu pada aspek
substansi atau isi agama, sedangkan normatif mengacu pada aturan atau norma
yang harus diikuti dalam praktik keagamaan.Pendekatan substantif melihat agama
sebagai seperangkat kepercayaan, doktrin, dan kebenaran absolut yang harus
dipegang teguh. Penganut pendekatan ini cenderung fokus pada pemahaman teks
suci dan tradisi agama.

Mereka menganggap penting untuk mempertahankan kepercayaan dan


nilai-nilai agama yang murni dan tidak boleh dikompromikan.Di sisi lain,
pendekatan normatif menekankan pada praktik keagamaan yang sesuai dengan
aturan dan norma yang ditetapkan. Penganut pendekatan ini lebih
memprioritaskan ketaatan terhadap ritual, tata cara, dan hukum agama. Mereka
percaya bahwa melalui pematuhan terhadap norma-norma ini, seseorang dapat
mencapai kedekatan dengan Tuhan.

Polarisasi ini sering kali menjadi sumber konflik dan perpecahan dalam
masyarakat. Namun, sebenarnya pendekatan substantif dan normatif tidak harus
saling bertentangan. Keduanya memiliki nilai dan kepentingan yang sama-sama
penting dalam praktik keagamaan.Pendekatan substantif membantu menjaga
keaslian dan integritas agama, sedangkan pendekatan normatif membantu
memastikan pelaksanaan praktik keagamaan yang konsisten dan teratur. Penting
bagi individu dan komunitas untuk mencari keseimbangan antara kedua
pendekatan ini, menghormati perbedaan pendapat, dan membangun dialog yang
konstruktif untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang agama.

2. Antara Inklusif dan Eksklusif

Polarisasi beragama merujuk pada pembagian masyarakat menjadi


kelompok-kelompok yang memiliki pandangan berbeda mengenai agama. Dalam
konteks inklusif dan eksklusif, pola pikir dan sikap terhadap agama menjadi
faktor kunci yang membedakan keduanya.Polarisasi beragama inklusif
mencerminkan sikap yang mendorong dialog, toleransi, dan pengakuan terhadap
keberagaman agama. Pendukung pola pikir ini meyakini bahwa setiap individu
memiliki kebebasan untuk mempraktikkan agama yang mereka pilih, dan
menghormati keyakinan orang lain.

Mereka berusaha membangun jembatan antara berbagai agama, mencari


persamaan nilai-nilai moral dan tujuan yang dijunjung tinggi oleh berbagai
keyakinan agama.Di sisi lain, polarisasi beragama eksklusif melibatkan sikap
yang cenderung membatasi kebebasan beragama dan menganggap satu agama
sebagai yang paling benar atau superior. Pendukung pola pikir ini mungkin
cenderung menolak atau mengecilkan agama-agama lain, dan bahkan
mempromosikan diskriminasi atau kekerasan terhadap kelompok-kelompok
agama minoritas.

Polarisasi beragama eksklusif seringkali muncul sebagai hasil dari


ketidakpahaman, ketakutan, atau penolakan terhadap perbedaan agama. Faktor-
faktor sosial, politik, dan ekonomi juga dapat mempengaruhi pola pikir ini.
Ketika polarisasi beragama eksklusif meningkat, masyarakat rentan terhadap
konflik dan ketegangan antara kelompok-kelompok agama.Penting untuk
menciptakan lingkungan yang mendorong pola pikir inklusif dalam beragama.
Melalui pendidikan, dialog antaragama, dan promosi nilai-nilai seperti toleransi,
saling menghormati, dan kerja sama antara agama, kita dapat membangun
masyarakat yang lebih harmonis dan inklusif.

3. Antara Liberalis dan Fundamentalis

Fundamentalisma memiliki berbagai bentuk dan berkaitan erat dengan


orientasi ideologi seperti revivalisme, islamisme atau radikalisme serta salafi.
Perbedaan terletak pada watak perjuangan namun substansinya sama. sama-sama
tegas menolak ideologi berat dan ingin menghadirkan Islam sebagai satu-satunya
solusi atas hidup, tapi level dan gaya perjuangan mereka berbeda-beda.
Fundamentalisme misalnya lebih menonjolkan watak politiknya dibandingkan
dengan revivalisme. pandangan fundamentalisme senada dengan salafisme,
namun kurang simpatik terhadap fiqih.

Gagasannya lebih ditekankan pada Islam sebagai agama, dunia, dan


negara. Istilah fundamentalisme sebenarnya pertama kali muncul pada kalangan
penganut kristen (protestan) di Amerika Serikat sekitar tahun 1919-an. Nama
fundamentalisme digunakan mereka untuk membedakan kelompoknya dengan
kaum protestan yang liberal yang menurut mereka telah merusak keimanan
Kristen. Kelompok ini ingin menegakkan kembali dasar-dasar fundamental tradisi
Kristen, suatu tradisi yang mereka definisikan sebagai pemberlakuan penafsiran
terhadap kitab suci serta penerimaan doktrin doktrin inti tertentu.

Hingga saat ini perbincangan tentang fundamentalisme agama masih saja


mengemuka, terutama karena paham ini dapat dengan mudah dikaitkan dengan
kekerasan dan tindakan terorisme. Fundamentalisme pun cenderung dimaknai
secara peyoratif dengan ciri eksklusif merasa paling benar dalam memahami
sesuatu dan melakukan hal yang terkadang bertentangan dengan arus utama.

Tentu kalangan yang digelari paham ini merasa bangga karena mereka
memaknainya sebagai sebuah ketaatan yang paling mendekati kesempurnaan
ajaran tuhan dan pemahaman tekstual terhadap kitab suci adalah paling benar.
Karena itu, kalangan muslim tertentu berkeberatan dengan penggunaan istilah
fundamentalisme, dengan alasan bahwa konteks historis inilah berawal dari
fundamentalisme Kristen. Atas dasar inilah maka sebagian mereka menggunakan
istilah ushulliyyun untuk menyebut orang-orang fundamentalisme yakni mereka
yang berpegang kepada fundamen fundamen pokok Islam sebagaimana terdapat
dalam Alquran dan Al hadits.

Dalam kaitan ini pula digunakan istilah Al hushuliyah Al islamiyah atau


fundamentalis Islam yang mengandung pengertian kembali kepada fundamen
fundamen keimanan penegakan kekuasaan politik umat dan pengukuhan dasar-
dasar otoritas yang sah atau syariah al hukum. Ciri fundamentalisme sebagai
aliran yang lebih mengutamakan slogan-slogan revolusioner dari pada
pengungkapan gagasan secara terperinci diutarakan oleh Hrair Dekmejian Hijadl
dan menegakkan hukum Allah adalah slogan yang utama bagi kaum
fundamentalis.

Menurut Dekmejian, kaum fundamentalis lebih cenderung bersikap


doktriner dalam menyikapi persoalan yang dihadapi, namun kurang berusaha
memikirkan segi-segi praktis yang secara implementatif dapat menyelesaikan
masalah yang dihadapi masyarakatnya. Kelompok fundamentalisme Islam atau
islamis radikal terbagi dalam dua kelompok yakni bersifat nasional regional dan
bersifat transnasional atau supranasional. Berdasarkan prinsip ini mereka semula
mengharamkan mengambil dan menerapkan sistem demokrasi. Bagi Islam
fundamentalis Alquran dan as-sunnah adalah the way of life yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi.

Pandangan mereka terhadap teks-teks agama terkesan sangat tekstual dan


sehingga rujukan mereka dalam Islam tidak lepas dari pemahaman ulama
terdahulu seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu qayyim al-jauziyah, Muhammad bin Abdul
Wahab, Ahmad bin hambal, dan seluruh tokoh ulama salaf yang dikelompokkan
sebagai ahlul hadits.

Islam liberal pertama kali digunakan oleh para penulis barat seperti
Leonard Binder dan Charles Khurzman. Namun dalam konteks Indonesia ada
buku khusus yang ditulis oleh Greg Barton pada tahun 1995 mengenai
kemunculan pemikiran liberal di kalangan pemikir Indonesia. Liberalisme Islam
di Indonesia ini memang belum menunjukkan ekspresi intelektual keislaman yang
mandiri. Mereka lebih mengeksplorasi pemikiran Islam liberal yang diimpor dari
dunia islam lain.

Tokoh-tokoh Islam liberal seperti Mustafa Abdul Raziq, Fazlur Rahman,


Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi, Nashr Abu Zaid. Tidak jarang artikulasi
intelektualitas gerakan liberalisme Islam Indonesia ini mempresentasikan
pemikiran para tokoh pemikir muslim liberal tersebut. liberalisme Islam
Indonesia berorientasi pada ranah cultural. Mereka mengkondisikan gagasan-
gagasan melalui forum-forum ilmiah dan media massa.

Mereka agak kurang tertarik dalam wilayah politik, mereka menjaga jarak
dengan kekuatan-kekuatan politik praktis. Seringkali respon mereka terhadap
realitas sosial terkesan senafas dengan agenda liberalisasi ekonomi dan politik di
negeri ini. Itu demokratisasi HAM kebebasan ekspresi dan ekonomi berdasarkan
mekanisme pasar bebas merupakan contoh nyata relasi mereka agenda liberalisasi
politik dan ekonomi itu. Sehingga kalangan fundamentalis Islam menuding
mereka sebagai antek-antek kapitalisme internasional.
KESIMPULAN

Definisi dari Agama cukup banyak dan tokoh yang mendefinisikan agama
juga banyak tergantung pendapat kita, sebuah agama biasanya mencakup tiga
persoalan pokok seperti keyakinan (credial), peribadatan (ritual), dan sistem
nilai (hukum/norma). Kita sebagai manusia juga membutuhkan agama, ada 3
alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama yaitu :

1. Fitrah manusia
2. Keterbatasan akal manusia
3. Tantangan yang dihadapi manusia

Manusia membutuhkan agama sebagai petunjuk hidupnya, begitu pula


dengan nabi. Nabi ialah orang yang akan menuntun kita saat diberikan petunjuk
sehingga kita tahu dalam menyikapi masalah yang kita hadapi.

Agama banyak di Indonesia, Indonesia menganut 6 kepercayaan (agama),


yaitu Islam, Khatolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konguchu. Pada
membahasan kita juga ada 7 kepercayaan tetapi bukaan hanya di Indonesia,
seperti Yahudi, Sikhisme, dan Shinto.

Agama juga mempunyai misi kehadirannya, diantaranya penyelarasan


dengan takdir ilahi, hidup moral, pemujaan dan ibadah, pengabdian sosial, dan
menciptakan keselarasan dan harmoni. Meskipun terdapat perbedaan antara
agama-agama, tujuan umum mereka adalah membawa kedamaian, makna, dan
kebaikan dalam kehidupan manusia.

Ada dua pendekatan dalam mempertimbangkan dan memmahami agama,


yaitu agnostisisme dan skeptisisme. Agnostisisme adalah sikap atau keyakinan
bahwa pengetahuan tentang keberadaan Tuhan atau hal-hal yang bersifat
metafisik tidak dapat diketahui atau dipastikan. Sedangkan Skeptisisme adalah
sikap atau pendekatan yang mencurigai atau meragukan klaim-klaim yang tidak
memiliki bukti yang kuat atau rasional.

Berbagai polarisasi dalam beragama:

1. Antara Substantif dan Normatif


2. Antara Inklusif dan Eksklusif
3. Antara Liberalis dan Fundamentalis

SARAN DAN KRITIK

Agama yang kita anut ialah agama yang kita percayai dan kita yakini
sepenuh hati jadi kita harus menganggap agama itu penting bagi kita. Jangan
menjadikan agama membutuhkan kita tetapi kita lah yang harus
membutuhkan agama sebagai sumber kehidupan kita.

Ketika kita beragama jangan sekali kali kita menganggap agama orang
lain sebagai agama yang kurang benar menurut kita. Mereka punya agama
yang dapat menyelesaikan masalah kehidupan mereka kita juga punya agama
yang dapat menyelesaikan setiap persoalan kita.

Jadi jangan pernah menganggap suatu penyelesaian masalah yang itu


salah dan yang ini salah karena setiap agama mempunyai cara
penyelesaiannya masing masing. Tetaplah saling bertoleransi.
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Muslim, M.S, M.Ag, Metodologi Studi Islam

Nurhasanah Bakhtiar dan Marwan, Metodologi Studi Islam, Cahaya Firdaus,


Pekanbaru, 2016.

Mariska Pratiwi, Pengertian Agama, 2006.

Muhammadin, Kebutuhan Manusia Terhadap Agama, Palembang, 2016.

Yuangga Kurnia Yahya dan Umi Mahmudah, Tantangan Baru Komunikasi


Antar Umat Beragama, Gorontalo, 2019.

Majalah Tempo, Rapubliika, Jakarta, 2001.

Agus Sunyoto, Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Trans Pustaka,


Tanggerang,2011.

Nur Syam, Madzhab-Madzhab Antropologi, LkiS, Yogyakarta, 2000.

Hendro Prasetyo dan Ali Munhanif, Pandangan Muslim Indonesia, PT.


Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.

Bramana Nanditya Putra dkk, Pengertian Agama dan Peran Agama dalam
Kesehatan Mental, Lubuklinggau, 2022.

Anda mungkin juga menyukai