Anda di halaman 1dari 8

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM WALI SEMBILAN SEMARANG

(SETIA WS)
TAHUN AKADEMIK 2020/2021

MAKALAH
AKAL DAN WAHYU DALAM ISLAM

Disusun oleh Achmad Khosim

Mata Kuliyah : Metode Study Islam


Dosen Pengampu : Lukman Hakim
Jurusan : Penidikan Agama Islam (PAI)
Fakultas : Tarbiyah
PENDAHULUAN

Akal dan wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang
memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada sang
Kholiq, akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga menghasilkan budi pekerti
yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari baginda
Rasulullah SAW.
Semua aliran juga berpegang kepada wahyu , dalam hal ini yang terdapat pada aliran
tersebut adalah hanya perbedaan dalam interpretasi. Mengenai teks ayat-ayat Al-Qur’an
dan hadits, perbedaan dalam interpretasi inilah, sebenarnya yang menimbulkan aliran-
aliran yang berlainan itu tentang akal dan wahyu. Hal ini tak ubahnya sebagai hal yang
terdapat dalam bidang hukum Islam atau fiqih.

Di dalam al-Qur’an, Islam dinyatakan sebagai satu-satunya agama yang diridhoi oleh
Allah SWT. Wahyu Allah sebagai sumber pokok ajaran agama Islam. Sedangkan
makhluk yang paling sempurna adalah manusia yang dianugerahi akal dengan memakai
kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai
kepada kesimpulan-kesimpulan. Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat
absolut dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat
relatif, mungkin benar dan mungkin salah.

Oleh karena itu, timbullah permasalahan-permasalahan dari adanya aliran-aliran ilmu


kalam yang berlainan sifat ini. Untuk memecahkan masalah tersebut, dalam makalah ini
kami akan mencoba membahasnya.

RUMUSAN MASALAH
A. Apa pengertian dari akal?
B. Apa pengertian dari wahyu?
C. Bagaimana kemampuan akal dan fungsi wahyu menurut aliran-aliran ilmu kalam?
PEMBAHASAN

A. Akal
Kata akal berasal dari bahasa Arab (‫ )العق ُل‬yang berarti faham dan mengerti. Abu Huzail
mengatakan bahwa “akal merupakan daya untuk memperoleh pengetahuan, dan juga
daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dan benda lain, dan
juga antara benda yang satu dari yang lain”. Lebih jauh lagi menurut kaum teolog akal
juga mempunyai daya untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan.[1] Pengertian
lain dari akal adalah daya pikir (untuk memahami sesuatu), kemampuan melihat cara
memahami lingkungan, atau merupakan kata lain dari pikiran dan ingatan.[2] 

B. Wahyu
Wahyu secara etimologi berasal dari kata kerja bahasa Arab ‫( َو َحى‬waḥā) yang berarti
memberi wangsit, mengungkap, atau memberi inspirasi.Dalam syariat Islam, wahyu
adalah qalam atau pengetahuan dari Allah, yang diturunkan kepada seluruh makhluk-
Nya dengan perantara malaikat ataupun secara langsung. Kata "wahyu" adalah kata
benda, dan bentuk kata kerjanya adalah awha-yuhi, arti kata wahyu adalah
pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat.
Selanjutnya dijelaskan lebih dalam bahwa pengertian makna wahyu meluas menjadi
beberapa makna, diantaranya adalah sebagai:
1. Perintah.
2. Isyarat, seperti yang terjadi pada kisah Zakaria.
3. Ilham secara kodrati dan insting
Ustad Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu di dalam Risalah at-Tauhid adalah
pengetahuan yang didapat oleh seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan
bahwa pengetahuan itu datang dari Allah melalui perantara ataupun tidak.[3]

Wahyu juga dapat diartikan sebagai pengkabaran dari alam metafiska turun kepada
manusia dengan keterangan-keterangan Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia
terhadap-Nya.

C. Kemampuan akal dan fungsi wahyu menurut aliran-aliran ilmu kalam.


1. Aliran Mu’tazilah
Bagi Mu’tazilah, mengenai wajibnya mengenai Tuhan, mengetahui baik dan jahat dan
mengetahui wajibnya menjauhi yang jahat itu diketahui dengan akal. Tanpa wahyu pun
akal manusia mampu mengetaui keempat persoalan tersebut.Meski Mu’tazilah
berpendapat bahwa akal dapat mengetaui empat faktor tersebut, mereka bukan berarti
tidak memerlukan wahyu. Akal tidak mampu memastikan apakah setiap diketauinya itu
sesuai dengan maksud Tuhan atau tidak. Jadi wahyu diperlukan untuk meyakinkan
kebenaran dalil akal.[4]

Mengenai soal Tuhan , betul kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tak
mempunyai sifat , tetapi sebagai telah dijelaskan sebelumnya , mereka tetap
berpendapat bahwa  Tuhan mengetahui , berkuasa melihat, mendengar dan sebagainya .
Bagi mereka adalah esensi Tuhan dan untuk menggambarkan hal itu mereka tetap
memakai kata “ sifat “ . Dalam paham mereka, semua “ sifat “ Tuhan dapat diketahui .
Termasuk dalam sifat mendengar dan melihat yang menurut aliran lain dapat diketahui
melalui wahyu . Penglihatan dan pendengaran, sungguhpun mengandung arti materi
dapat diletakkan kepada diri Tuhan yang bersifat immateri, karena dalam diri Tuhan “
sifat-sifat “ itu tidak mesti mempunyai bentuk jasmani.Kalau untuk mengetahui Tuhan
dan sifat-sifat-Nya, wahyu, dalam pendapat Mu’tazilah , tak mempunyai fungsi apa-
apa, untuk mengetahui cara memuja dan menyembah Tuhan, wahyu diperlukan .

Hal ini jelas kelihatan dalam uraian Ibn Abi Hasyim mengenai perlunya wahyu .
Segolongan lawan, yang diberinya nama kaum Brahma, memperolokkan sujud sewaktu
sembahyang , tawaf, sekitar ka’bah dan ritual – ritual lain dalam ibadat Islam dan
berpendapat bahwa semua itu tidak ada gunanya.

Dan menurut Abd – al Jabbar akal memang tak dapat mengetahui semua yang baik .
Akal, katanya dapat mengetahui kewajiban – kewajiban dalam garis besarnya, tetapi
tidak sanggup mengetahui perinciannya , baik mengenai hidup manusia di akhirat,
maupun mengenai hidup manusia di dunia. Jelaslah bahwa bagi kaum Mu’tazilah tidak
semua yang baik dan tidak semua yang buruk dapt diketahui akal. Untuk mengetahui
itu, akal memerlukan pertolongan wahyu . Wahyu dengan demikian menyempurnakan
pengetahuan akal tentang baik dan buruk . Selanjutnya wahyu bagi kaum Mu’tazilah
mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan
diterima manusia di akhirat.[5]
2. Aliran Asy’ariah
Bagi kaum Asy’ariah, karena akal dapat mengetahui hanya adanya Tuhan saja, wahyu
mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan mengetahui
kewajiban – kewajiban hanya karena turunnya wahyu. Dengan demikian jika sekiranya
wahyu tidak ada , manusia tidak akan tahu kewajiban- kewajibannya . Sekiranya syariat
tidak ada, kata Al – Ghazali , manusia tidak akan berkewajiban mengetahui Tuhan dan
tidak akan berkewajiban berterimaksih kepadaNya  atas ni’mat yang diturunkan – Nya
kepada manusia.

Jelas bahwa pendapat aliran Asy’ariah wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali .
Wahyu menentukan boleh dikata segala hal. Sekiranya wahyu tak ada, manusia akan
bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya, dan sebagai akibat nya masyarakat akan
berada dalam kekacauan. Oleh karena itu pengiriman Rasul-rasul dalam teologi
Asy’ariah seharusnya merupakan suatu kemestian dan bukan hanya suatu hal yang
boleh terjadi ( ja’iz ) sebagaimana ditegaskan oleh al Ghazali dan al-
Syahrastani.Adapun aliran Maturidiah, wahyu bagi cabang Samarkand mempunyai
fungsi yang lebih kurang dari pada wahyu dalam faham Bukhara. Wahyu bagi golongan
pertama perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedang
dalam pendapat golongan kedua, wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban manusia.

Sebagai kesimpulan dari uraian mengenai fungsi wahyu ini, dapat dikatakan bahwa
wahyu mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariah dan fungsi terkecil
dalam faham Mu’tazilah. Bertambah besar besar fungsi diberikan kepada wahyu dalam
sesuatu aliran, bertambah kecil daya akal di dalam aliran itu. Oleh karena itu di dalam
system teologi yang memberikan daya terbesar kepada akal dan fungsi terkecil kepada
wahyu, dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan.[6]

3. Aliran Maturidiah
Sebenarnya aliran ini terdiri atas dua kelompok , Yaitu Maturidiah Sarmakand dan
Maturidiah Bukhara. Pemikiran Maturidiah Sarmakand yaitu wahyu bagi golongan
pertama perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk , sedangkan
pendapat kedua wahyu perlu untuk mengetahu kewajiban – kewajiban manusia.Dari
golongan Bukhara berkeyakinan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban-
kewajiban karena akal hanya mampu mengetahui sebab kewajiban (Tuhan).[7] Al-
Maturidi, bertentangan dengan pendirian Asy’ariyah tetapi sefaham dengan Mu’tazilah,
juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahui kewajiban manusia berterimakasih
kepada Tuhan. Hal ini dapat diketahui dari keterangan al-Bazzadawi berikut: “Percaya
kepada Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya sebelum adanya wahyu adalah wajib
dalam faham al-Mu’tazilah”, al-Syaikh Abu Mansur al-Maturidi dalam hal ini sefaham
dengan Mu’tazilah. Demikian juga umumnya ulama Samarkand dan sebagian dari alim
ulama Irak.
Keterangan ini diperkuat oleh Abu ‘Uzbah:
“Dalam persoalan Mu’tazilah orang yang berakal, muda-tua, tidak dapat diberi maaf
dalam soal mencari kebenaran. Dengan demikian, anak yang telah berakal mempunyai
kewajiban percaya kepada Tuhan. Jika ia sekiranya mati tanpa percaya kepada Tuhan,
maka ia mesti diberi hukum. Dalam Maturidiah anak yang belum baligh, tidak
mempunyai kewajiban apa-apa. Tetapi Abu Mansur al-Maturidi berpendapat bahwa
anak yang telah berakal memiliki kewajiban untuk mengetahui Tuhan. Dalam hal ini,
tidak terdapat perbedaan antara Maturidiah dan Mu’tazilah”.

Kalau urain al-Bazawi, Abu ‘Uzbah, dan lain-lain memberi keterangan yang jelas
tentang pendapat al-Maturidi mengenai soal mengetahui Tuhan dan berkewajiban
berterima kasih kepada Tuhan, keterangan demikian tidak dijumpai dalam soal baik dan
menjauhi yang buruk. Karena akal hanya dapat mengetahui baik dan buruk saja,
sebenarnya Tuhan-lah yang menentukan kewajiban mengenai baik dan buruk.

Jelaslah bahwa dalam pendapat al-Maturidi, akal dapat mengetahui baik dan buruk.
Tetapi tetap menjadi pertanyaan apakah akal bagi al-Maturidi dapat mengetahui
kewajiban berbuat baik dan menjauhi kejahatan. Uraian diatas tidak memberi
pengertian bahwa akal dapat mengetahui hal itu. Yang diwajibkan akal ialah adanya
perintah dan larangan, bukan mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Akal
tak dapat mengetahui kewajiban itu. Sekiranya dapat, maka keterangan al-Maturidi
diatas seharusnya berbunyi fayajib i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-qabih bidarurah al-‘aql.
Yang dapat diketahui akal hanyalah sebab wajibnya perintah dan larangan Tuhan.
Dengan demikian bagi al-Maturidi akal dapat mengetahui tiga persoalan pokok, sedang
yang satu lagi yaitu kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui
hanya melalui wahyu.[8]

KESIMPULAN

1. Akal adalah daya pikir (untuk memahami sesuatu), kemampuan melihat cara
memahami lingkungan, atau merupakan kata lain dari pikiran dan ingatan. 
2. Wahyu dapat diartikan sebagai pengkabaran dari alam metafiska turun kepada manusia
dengan keterangan-keterangan Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap-Nya.
3. Kemampuan akal dan fungsi wahyu menurut aliran-aliran ilmu kalam:

 Aliran Mu’tazilah
Wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian
hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat.
 Aliran Asy’ariah
Pada aliran ini berpendapat  mengenai fungsi wahyu ini, dapat dikatakan bahwa wahyu
mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariah dan fungsi terkecil dalam
faham Mu’tazilah. Bertambah besar besar fungsi diberikan kepada wahyu dalam
sesuatu aliran, bertambah kecil daya akal di dalam aliran itu. Oleh karena itu di dalam
system teologi yang memberikan daya terbesar kepada akal dan fungsi terkecil kepada
wahyu, dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan.
 Aliran Maturidiah
Al-Maturidi mengatakan  akal dapat mengetahui tiga persoalan pokok, sedang yang
satu lagi yaitu kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui hanya
melalui wahyu
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat penulis berikan, semoga dapat bermanfaat bagi kita
semua. Saran dan kritik yang membangun sangatlah penulis harapkan agar menjadi
makalah yang lebih baik.

REFERENSI
[1]. Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1982), hal. 5
[2]. http://id.wikipedia.org/wiki/Akal diunduh pada tanggal 24 Maret 2015 pukul 22.34
WIB
[3]. http://id.wikipedia.org/wiki/Wahyu diunduh pada tanggal 24 Maret 2015 pukul
22.45 WIB
[4]. Afrizal M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam,
( Jakarta:Penerbit Erlangga, 2006 ) hlm.38-39
[5]. Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: Universitas Indonesia, 2010), hlm. 96-97.
[6]. Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm.
101-102.
[7]. Afrizal M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, hlm 37- 40
[8]. Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, , hlm.
88-90.

Anda mungkin juga menyukai