Anda di halaman 1dari 16

INTEGRASI DAN RELASIONALISASI ANTARA WAHYU

DENGAN FAKTA ILMIAH


(Sebuah Kajian Kemukjizatan al-Qur’an)

Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mukjizat Al-Qur’an


Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir pada
Program Pascasarjana UIN Alauddin
Makassar

Oleh:

SAOBAN SYAHRIL
NIM: 80600222001

Dosen Pengampu:

Dr. Ahmad Mujahid, M.Ag.


Dr. Hj. Rahmi Damis, M.Ag.

PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah swt. yang masih memberikan

nikmat kesempatan untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Selawat dan salam

selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. dan semoga kita semua

dipertemukan dengannya di akhirat kelak.

Dengan selesainya makalah ini, selesai pula salah satu kewajiban yang

ditujukan untuk mata kuliah MUKJIZAT AL-QUR’AN dengan judul makalah

“Integrasi dan Relasionalisasi antara Wahyu dengan Fakta Ilmiah (Sebuah Kajian

Kemukjizatan al-Qur’an)”. Makalah yang tersaji sebisa mungkin penulis hadirkan

dalam bentuk yang mudah untuk dipahami. Namun, penulis menyadari adanya

kekurangan dan keterbatasan penyampaian materi pada makalah ini.

Oleh karena itu, penulis mengharapakan kritik dan saran dari berbagai

pihak terutama dari bapak Dr. Ahmad Mujahid, M.Ag. dan ibu Dr. Hj. Rahmi

Damis, M.Ag. selaku dosen pengampu pada mata kuliah Mukjizat Al-Qur’an demi

kesempurnaan isi dari makalah ini dan menjadi pelajaran dikemudian hari.

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam dan diinginkan untuk tidak hanya

dimaknai sebagai sebuah kitab suci, namun juga sebagai kitab yang isinya

terwujud atau berusaha diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.1 Oleh karena itu,

studi tentang Al-Qur’an akan mencakup bukan hanya Al-Qur’an sebagai kitab

dengan berbagai ragam tafsirnya, tetapi juga berbagai usaha untuk merealisasikan

tafsir-tafsir tersebut dalam kehidupan nyata, dalam hubungan antar sesama

manusia dan hubungan manusia terhadap lingkungan sekitarnya.

Dari sudut pandang filsafat, manusia digambarkan sebagai makhluk yang

selalu didorong oleh rasa ingin tahu (curiosity). Rasa ingin tahu ini mendorong

mereka untuk berpikir, menelaah, dan menganalisis apa yang mereka temui dalam

kehidupan sehari-hari mereka, untuk kemudian diungkapkan dan dideskripsikan

dalam upaya untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang lebih

mendalam tentang apa yang ada dan bagaimana hal itu dapat bermanfaat bagi

mereka sendiri.

Diakui bahwa keterbatasan kemampuan indrawi manusia untuk

menangkap dan memahami apa yang sudah ada menyebabkan banyak kelemahan

dalam upaya manusia untuk memperoleh pengetahuan. Mencari dan menemukan

pengetahuan akan terus dilakukan oleh manusia sesuai dengan kemampuan dan

disiplinnya. Akal dan indrawinya adalah salah satu potensi dan alat yang dapat

digunakan manusia untuk mencapai tujuan ini. Karena manusia diciptakan oleh

Allah swt. mereka tidak dapat memperoleh pengetahuan yang sempurna atau

M. Mansyur, dkk., Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: Teras,
1

2007).

1
2

benar. Hanya Yang Maha Pencipta, Allah swt. yang memiliki semua pengetahuan

dan kebenaran.

Kajian filsafat ilmu menunjukkan bahwa metode pencarian pengetahuan

umumnya menggunakan rasionalisme, empirisme, dan metode keilmuan.2 Pada

dasarnya, semua upaya pencarian pengetahuan bertujuan untuk menemukan

kebenaran. Namun, penting untuk diingat bahwa kebenaran yang dicapai manusia

hanyalah kebenaran berdasarkan sudut pandang pendekatan yang digunakan.

Ketika sebuah objek diteliti secara ilmiah dan menghasilkan kebenaran yang dapat

dibuktikan secara empirik, hal itu disebut kebenaran empirik. Ini dianggap benar

jika dapat dibuktikan secara empirik. Ini berbeda dengan hasil penelitian filsafat

yang mendalam atau radikal dan spekulatif, di mana kebenaran yang ditemukan

dikategorikan sebagai kebenaran relatif, mungkin benar, atau mungkin tidak benar.

Kebenaran mutlak hanyalah kebenaran yang ditemukan dalam kitab suci

atau disebut sebagai “wahyu”. Namun, perlu diingat bahwa kebenaran mutlak yang

terkandung dalam wahyu, harus dibaca dan dikaji secara sungguh-sungguh dan

mendalam sehingga kebenaran mutlak yang terkandung dalamnya dapat menjadi

hal pokok yang mewarnai kepribadian manusia.

Mengkaji wahyu tidak berarti mengabaikan penelitian dari sudut pandang

ilmu pengetahuan karena dalam wahyu sendiri ada banyak ayat yang mendorong

manusia untuk berpikir dan mengkaji segala sesuatu, terutama alam raya, untuk

membangun kehidupan yang baik. Oleh karena itu, titik temu atau hubungan

antara wahyu dan ilmu pengetahuan masih dapat diperdebatkan.

2
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif; Sebuah Kumpulan Karangan tentang
Hakikat Ilmu (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), h. 99-103.
3

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, penulis

menarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana hakikat wahyu dan ilmu pengetahuan?

2. Bagaimana relasi antara wahyu dengan fakta ilmiah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui hakikat wahyu dan ilmu pengetahuan.

2. Untuk mengetahui relasi antara wahyu dengan fakta ilmiah.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Wahyu dan Ilmu Pengetahuan

1. Pengertian Wahyu

Segala yang berasal dari Allah swt. akan dikaitkan dengan istilah "wahyu",

dan memahaminya dimulai dengan memahami arti kata itu sendiri. Secara

etimologis, kata “wahyu” berasal dari kata Arab “al-wah}y”, yang merupakan kata

yang berasal dari bahasa Arab dan bukanlah kata yang berasal dari bahasa lain. Ini

memiliki arti suara, api, dan kecepatan.1 M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa

wahyu secara semantik berarti isyarat yang cepat (termasuk bisikan hati dan

ilham), surat, tulisan, dan segala sesuatu yang disampaikan kepada orang lain

untuk diketahui.2 Hamzah Ya’qub mendefinisikan kata “wahyu” sebagai

pemberitahuan Allah kepada Nabi-Nya yang memberikan penjelasan dan petunjuk

untuk jalan-Nya yang benar dan lurus.3

Muhammad ‘Abduh mengatakan wahyu adalah pengetahuan yang dimiliki

seseorang di dalam dirinya dan dia percaya bahwa itu datang dari Allah, baik

dengan perantaraan, dengan suara, atau tanpa suara.4 Menurut uraian di atas,

wahyu hanya berasal dari Allah swt. dan diberikan kepada para utusan-Nya, yaitu

para Nabi dan Rasul-Nya, serta kepada semua makhluk dan ciptaan-Nya, baik

secara langsung maupun melalui perantaraan Malaikat-Nya.

1
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1982), h. 15.
2
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan Ulumul Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h.
48.
Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama; Titik Temu Akal dan Agama (Jakarta: Pedoman Ilmu
3

Jaya, 1992), h. 129.


4
Muhammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh}ii>d (Bairu>t: Da>r al-Syuru>q, 1994), h. 101.

4
5

Penjelasan terkait wahyu dapat dilihat dalam QS al-Syu>ra>/42: 51, yakni:

‫وح َي ِبِِ ْذنِِه َما‬ ٍ ِ ِ ِ


ِ ‫اب أَو ي رِسل رسوًَّل فَي‬ ‫َوَما َكا َن لِبَ َش ٍر أَ ْن يُ َكلِ َمهُ ه‬
ُ ُ َ َ ُْ ْ ‫اَّللُ إِهَّل َو ْحيًا أ َْو م ْن َوَراء ح َج‬
)51( ‫يَ َشاءُ ۚ إِنههُ َعلِ ٌّي َح ِكيم‬
Terjemahnya:
Tidak mungkin bagi seorang manusia untuk diajak berbicara langsung oleh
Allah, kecuali dengan (perantaraan) wahyu, dari belakang tabir, atau
dengan mengirim utusan (malaikat) lalu mewahyukan kepadanya dengan
izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi
Maha Bijaksana.5
Ada tiga jenis wahyu yang diberikan kepada manusia, menurut ayat di atas:

pertama, pewahyuan (menurunkan wahyu), kedua, mendengarkan suara dari balik


tirai atau hijab, dan ketiga, melalui perantaraan malaikat (Jibril). Selanjutnya

dijelaskan bahwa, dalam ayat di atas, pewahyuan cara pertama adalah wahyu

dalam arti bahasa asli, yaitu isyarat yang cepat. Wahyu dalam hal ini adalah

kebenaran yang disampaikan ke dalam kalbu atau jiwa seseorang tanpa terlebih

dahulu muncul di pikiran sehingga kebenaran itu menjadi terang bagi yang

bersangkutan. Wahyu adalah kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi, jadi tidak

sama dengan ilham dan hasil meditasi. Inilah makna wahyu dalam kaitannya

dengan para nabi. Para nabi benar-benar percaya bahwa wahyu yang mereka terima

berasal dari Allah.6

Selanjutnya, wahyu yang diberikan dari belakang tirai adalah wahyu yang

diberikan kepada seorang nabi dari belakang hijab, seperti ketika Allah memanggil

Nabi Musa dari belakang sebuah pohon dan dia mendengar panggilan itu. Wahyu

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah (Jakarta: PT. Dharma Karsa
5

Utama, 2015), h. 488.


M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Cet. VIII;
6

Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 27.


6

yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw ketika dia mendapatkan penjelasan

tentang isra' juga termasuk dalam kategori ini. 7

Pewahyuan jenis ketiga adalah pengabaran dari Allah kepada seseorang

melalui utusan (Jibril atau malaikat yang mengemban risalah) dan dengan kata-

kata yang diucapkan. Ini adalah jenis wahyu yang paling tinggi. Dengan cara ini,

wahyu hanya dapat dibagikan kepada para rasul, yaitu mereka yang diberi tugas

untuk membawa risalah Tuhan kepada manusia. Berbeda dengan bentuk yang

pertama, wahyu bentuk ketiga memiliki lebih dari sekadar ide. Itu juga memiliki

kata-kata di dalamnya. Inilah yang disebut dengan wahyu matluw (wahyu yang

dibaca).8 Seperti yang disebutkan dalam QS al-Syu>ra>/42: 51 di atas, dikatakan

bahwa Al-Qur’an secara keseluruhan diturunkan dalam bentuk wahyu yang ketiga

karena tidak mengandung wahyu lain. Oleh karena itu, Al-Qur’an dianggap

sebagai bentuk wahyu yang paling tinggi.9

Menurut semua penjelasan di atas, wahyu pada dasarnya adalah firman

Allah, dan isi wahyu adalah pengetahuan yang diturunkan oleh Allah kepada

orang-orang yang Dia pilih, termasuk Nabi dan Rasul.10 Selain itu, dijelaskan

bahwa wahyu yang diterima oleh para Nabi dan Rasul Allah dalam bentuk risalah

(ajaran) berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia, terutama hubungan

manusia dengan Allah dalam hal keimanan. Hanya Nabi atau Rasul yang menerima

wahyu yang berkaitan dengan risalah.

7
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, h. 32.
8
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan Ulumul Qur’an, h. 49-50.
9
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan Ulumul Qur’an, h. 50.
10
Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam (Jakarta: UI Press, 1983), h. 20.
7

2. Esensi Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan adalah istilah yang seakan-akan terdiri dari dua kata

yang dipahami dan dianggap sama. Diakui bahwa istilah ini terdiri dari dua kata

yang memiliki arti yang sama tetapi memiliki pandangan yang berbeda. Bahasa

Arab ‘alama adalah asal kata ilmu, kata ini berarti pengetahuan. Kata ilmu dalam

preposisi bahasa Indonesia sering dikaitkan dengan kata science dalam bahasa

Inggris. Sebenarnya, kata science tidak berasal dari bahasa Inggris, tetapi serapan

dari bahasa Latin scio, scire yang berarti pengetahuan. Selain itu, beberapa orang

mengatakan bahwa istilah science berasal dari kata scientia, yang juga berarti

pengetahuan. Scientia berasal dari bahasa Latin scire, yang berarti mengetahui.11

M. Quraish Shihab berpendapat bahwa kata ilmu berasal dari bahasa Arab

dan memiliki arti dasar “kejelasan”. Oleh karena itu, setiap kata yang berasal dari

akar kata ‘ilm memiliki makna yang berkaitan dengan pengetahuan. Oleh karena

itu, ilmu dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang jelas tentang suatu objek

atau konsep12.

Kemudian dalam kamus bahasa Indonesia “ilmu” diterjemahkan sebagai

pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut metode

tertentu yang juga dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu. Dijelaskan

juga bahwa ilmu dapat berarti pengetahuan atau kepandaian tentang hal-hal lahir,

batin, duniawi, dan akhirat13.

11
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales sampai James (Bandung:
Rosdakarya, 1998), h. 34-35.
12
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992), h. 43.
13
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 574.
8

Lebih lanjut dijelaskan bahwa istilah ilmu atau science memiliki dua arti.

Oleh karena itu, seseorang harus yakin atau setidaknya memahami arti istilah

tersebut saat menafsirkannya. Pertama, ilmu adalah istilah umum yang digunakan

untuk menyebut semua pengetahuan ilmiah yang dianggap sebagai satu kesatuan.

Oleh karena itu, dalam arti pertama ini, "ilmu" mengacu pada ilmu secara

keseluruhan (science-in-general).

Arti kedua dari ilmu mengacu pada semua bidang pengetahuan ilmiah yang

menyelidiki masalah tertentu. Dalam hal ini, ilmu dapat didefinisikan sebagai

subdisiplin ilmu tertentu, seperti antropologi, biologi, geografi, atau sosiologi.

Selain itu, istilah science kadang-kadang diartikan sebagai ilmu khusus yang lebih

terbatas, yaitu pengetahuan sistematis tentang dunia fisis atau material

(systematic knowledge of the physical or material world).


Ilmu pengetahuan muncul sebagai hasil dari perkembangan uraian dan

kajian tentang ilmu itu sendiri. Istilah ini sekarang digunakan secara luas dalam

dunia akademik. Pengetahuan didefinisikan sebagai apa yang diketahui sebagai

hasil dari pekerjaan tahu, yaitu kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai.

Pengetahuan itu semua milik atau isi pikiran.14 Burhanuddin Salam menyebutkan

bahwa pengetahuan manusia terdiri dari; Pengetahuan biasa (common sense),

Pengetahuan ilmu, secara singkat orang menyebutnya “ilmu” sebagai terjemahan

dari science, Pengetahuan filsafat, atau dengan singkat saja disebut filsafat,

Pengetauan religi (pengetahuan agama), pengetahuan atau kebenaran yang

bersumber dari agama.

Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 5.


14
9

Menurut Al-Qur'an, akal manusia diberi kedudukan tinggi, dan

pengetahuan yang diperoleh melalui akal disebut pengetahuan akli, sedangkan

lawannya naqli. Dalam konteks pengetahuan, akal dan indera saling terkait dan

saling berhubungan.

Mengatasi kebutuhan dan kelangsungan hidup adalah inti dari pengetahuan

dan pengembangan manusia. Manusia tidak hanya hidup untuk kelangsungan

hidup, tetapi dia juga memikirkan hal-hal baru dan lebih dari itu. Pada akhirnya,

banyak pernyataan seperti “manusia memanusiakan” diri dalam hidupnya,

“manusia mengembangkan kebudayaan”, dan “manusia memberi makna kepada

kehidupan” mengarah pada gagasan bahwa manusia memiliki tujuan yang lebih

besar dari sekadar hidup. Inilah yang membuat manusia belajar, dan pengetahuan

inilah yang membuat mereka bersifat istimewa di dunia ini.15

Selain itu, dijelaskan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk

mengembangkan pengetahuan karena dua faktor utama. Pertama, bahwa manusia

memiliki bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi serta jalan pikiran

yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, bahwa manusia memiliki

kemampuan untuk berpikir menurut alur kerangka berfikir tertentu. Cara berpikir

seperti ini disebut penalaran.

Quraish Shihab juga menjelaskan fakta bahwa ilmu pengetahuan (science)

tidak mengenal kata “kekal” yang tidak dapat diingkari oleh para ilmuan.

Misalnya, apa yang dianggap salah di masa lalu dapat diterima sebagai benar di

abad sekarang. Selain itu, dikatakan bahwa perspektif terhadap masalah ilmiah

15
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2009), h. 40.
10

berkembang, bukan hanya dalam bidang tertentu saja, tetapi terutama dalam teori-

teori dari semua cabang ilmu pengetahuan.16

B. Relasi antara Wahyu dengan Fakta Ilmiah

Telah dijelaskan di atas bahwa wahyu berasal dari Allah swt. dan diberikan

kepada para Nabi dan Rasul-Nya, biasanya dalam bentuk kitab suci seperti Al-

Qur'an, yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw, dan dianggap sebagai

penyempurna kitab suci yang telah diturunkan kepada Nabi dan Rasul sebelumnya.

Selain itu, ilmu pengetahuan adalah hasil pemikiran atau penelitian manusia yang

diperoleh dari objek dan metode tertentu.

Semua yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa wahyu berada di atas

ilmu pengetahuan. Dalam bentuk kitab suci yang diturunkan kepada Nabi dan

Rasul-Nya, wahyu ditujukan kepada semua orang sesuai dengan konteks risalah

yang mereka bawa. Dikatakan bahwa meskipun manusia dianggap sebagai

makhluk yang paling sempurna dari semua makhluk, harus diakui bahwa

penciptaan manusia yang sempurna memiliki kelemahan. Berbagai teori ilmu

pengetahuan, terutama dalam kajian ilmu sosial, tidak dapat digunakan sebagai

dasar untuk memecahkan masalah hidup.

Oleh karena itu, manusia memerlukan wahyu, terutama dalam bentuk kitab

suci seperti Al-Qur'an, sebagai pedoman utama dalam menjalani kehidupan

mereka, yang diyakini mencakup kehidupan dunia dan akhirat. Hamzah Ya’qub17

mengatakan bahwa meskipun akal sangat penting dan bermanfaat untuk

memahami banyak hal, seperti dalam teknologi, biologi, kimia, dan bidang sains

lainnya, ia hanya dapat digunakan dalam batas tertentu. Banyak masalah yang

pelik dan tidak dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat, dan jawaban yang

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam


16

Kehidupan Masyarakat, h. 44.


Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama; Titik Temu Akal dan Agama, h. 130.
17
11

dipaksakan hanya akan menimbulkan keraguan. Misalnya, hal-hal gaib

(metafisika), kiamat, kehidupan setelah kematian, hukuman atas perbuatan baik

dan buruk, dan cara beribadah kepada Tuhan.

Selain itu, dijelaskan bahwa meskipun akal memiliki kemampuan untuk

mengenal Tuhan melalui bukti-bukti wujud-Nya, wahyu merupakan sumber ilmu

yang paling terang dalam bermakrifat dan memberikan informasi yang lebih akurat

dan murni. Wahyu memberikan informasi yang jelas dan menyeluruh tentang

kepastiannya jika akal masih lemah memperdebatkan kemungkinan terjadinya

kehancuran alam raya ini. Akal tidak dapat menjelaskan dengan pasti apa yang

akan terjadi setelah kiamat, jadi wahyulah yang menjelaskan semuanya dari alam

barzakh hingga mahsyar, hisab, surga, dan neraka.

Moral atau etika adalah salah satu hal penting yang dapat dijelaskan oleh

wahyu Tuhan. Para filosof telah mencoba menemukan rumusan-rumusan tentang

moral, tetapi mereka akhirnya tidak setuju tentang bagaimana menetapkan ukuran

baik atau buruknya perbuatan yang ditandai dengan munculnya naturalisme,18

hedonisme, idealisme, utilitarisme, vitalisme, dan lain-lain. Dalam keadaan ini,

manusia memerlukan tuntunan yang benar dari Tuhan, dan hal itu dibentangkan

dalam wahyu.

Secara ontologis, dijelaskan bahwa ilmu pada dasarnya adalah manusia,

lahir dari manusia, dan merupakan proses yang dilakukan manusia untuk

mengatasi ketidaktahuannya dan mengatasi berbagai hal dalam hidupnya. Dengan

kata lain, ilmu adalah produk dari manusia. Dalam hal ini, ilmu tergantung

sepenuhnya pada manusia, yaitu bagaimana manusia menghadapi ketidaktahuan

dan bagaimana mereka melihatnya dari sisi mana dan bagaimana. Oleh karena itu,

Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama; Titik Temu Akal dan Agama, h. 131.
18
12

tujuan ilmu pada dasarnya terkait dengan kenyataan dan kesulitan yang dihadapi

manusia.19

Dari sudut pandang filsafat Islam, ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah

perpanjangan dan pengembangan dari ayat-ayat Allah, yang merupakan eksistensi

kebesaran-Nya. Manusia diharuskan untuk berpikir tentang ayat-ayat-Nya dengan

cara yang tidak bertentangan dengan ajaran-Nya, bukan untuk merusak dan

melahirkan kerusakan kehidupan orang lain, karena akibat buruk dari tindakan ini

juga akan menimpa mereka sendiri.

Dengan segala tujuan dan artinya, ilmu telah banyak membantu manusia

dalam mencapai tujuan dan tujuan hidupnya, yaitu kehidupan yang lebih baik.

Meskipun ilmu tidak pernah benar secara mutlak, tetapi dalam keterbatasannya,

ilmu telah membantu kehidupan dan kepentingan manusia di dunia ini, secara

khusus.20 Pengalaman manusia tidak pernah sempurna, dan pengetahuannya

tumbuh dan berkembang sepanjang atau selama pertumbuhan pengalamannya.

Pertumbuhan merupakan salah satu hukum fundamental dalam hidup ini.

Musa Asy’arie, Filsafat Islam; Sunnah Nabi dalam Berfikir (Yogyakarta: LESFI, 2010),
19

h. 84.
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, h. 25.
20
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan makalah di atas, maka penulis menyimpulkan:

Wahyu datang dari Allah kepada orang yang Dia inginkan. Wahyu seperti yang

diberikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya dalam bentuk kitab suci, seperti Al-

Qur'an, yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril dan

merupakan kitab suci yang melengkapi kitab suci sebelumnya. Selanjutnya, inti

dari ilmu pengetahuan adalah tentang apa yang dapat dilakukan manusia karena

kemampuan mereka, terutama kemampuan akal mereka untuk berpikir logis

tentang hal-hal tertentu, yang kemudian menghasilkan berbagai hal yang

diperlukan manusia, seperti teknologi.

B. Implikasi dan Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan baik dari

aspek isi ataupun bahasa. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik atau saran

yang bersifat membangun guna kelanjutan perbaikan makalah ini. Penulis berharap

dengan adanya makalah ini, dapat menambah khazanah keilmuan bagi pembaca,

terkhusus penulis yang terkait dengan objek kajian.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’a>n al-Kari>m.
‘Abduh, Muhammad. Risa>lah al-Tauh}ii>d. Bairu>t: Da>r al-Syuru>q, 1994.
Amin, Miska Muhammad. Epistemologi Islam. Jakarta: UI Press, 1983.
al-As}faha>ni>, Al-Ra>gib. Mu‘jam Mufrada>t Alfa>z} Al-Qur’a>n. Cet. IV; Damsyiq: Da>r
al-Qalam, 2009 M/1430 H.
ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Cet.
VIII; Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Asy’arie, Musa. Filsafat Islam; Sunnah Nabi dalam Berfikir. Yogyakarta: LESFI,
2010.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Haryanto, Dany dan G. Edwi Nugrohadi. Pengantar Sosiologi Dasar. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher, 2011.
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah. Jakarta: PT. Dharma
Karsa Utama, 2015.
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press, 1982.
Mansyur, M. dkk. Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis. Yogyakarta:
Teras, 2007.
Salam, Burhanuddin. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Shihab, M. Quraish dkk. Sejarah dan Ulumul Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus,
1999.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992.
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam Perspektif; Sebuah Kumpulan Karangan
tentang Hakikat Ilmu. Jakarta: PT. Gramedia, 1983.
-------. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2009.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales sampai James.
Bandung: Rosdakarya, 1998.
Ya’qub, Hamzah. Filsafat Agama; Titik Temu Akal dan Agama. Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1992.

14

Anda mungkin juga menyukai