Anda di halaman 1dari 19

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Posisi Sentral Al-Qur’an dalam Studi Islam

Posisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti letak atau kedudukan (orang atau
barang), sedangkan sentral sendiri berarti yang ditengah-tengah sekali atau dinggap sebagai pusat.
Dapat diartikan disini posisi sentral adalah kedudukan yang penting atau sesuatu yang urgen dalam
studi Islam.1

B. Pengertian Al-Qur’an

Al-Qur’an berasal dari kata Qara’a, memiliki arti mengumpulkan dan menghimpun. Qira’ah
berarti merangkai huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lainnya dalam satu ungkapan kata yang
teratur. Al-Qur’an asalnya sama dengan Qira’ah, yaitu akar kata dari Qara’a, Qira’atan, waqur’anan.
Allah menjelaskan:

(ُ ‫) ُإبتن ُنعلنريَقنناَ ُنجرنعهه ُنوقهقررأننهه ُ( ُ)فنبإنذاَ ُقنقنرأرنهه ُفنقتبرع ُقهقررنأ ُنهه‬

“Sesungguhnya Kami-lah yang bertanggung jawab mengumpulkan (dalam dadamu) dan


memebacakannya (pada lidah mu). Maka apabila Kami telah menyempurnakanya
bacaannya (kepadamu, dngan perantara jibril), maka bacalah menurut bacaannya itu.” (Al-
Qiyaamah:17-18)

Qur’anah disini bararti qira’ah (bacaan atau cara membacanya). Jadi kata itu adalah
akar kata mashdar menurut wazan (tasrif) dari kata fu’lan seperti “ghufran” dan “syukran”.
Al-Qur’an adalah kitab berisi firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad dalam
bahasa Arab dan sampai kepada kita melalui periwayatan yang tidak ter putus atau tawattur.2

C. Kedudukan Al-Qur’an dalam Studi Ilmu Keislaman

Al-Qur’an sebagai sumber berbagai ilmu keislaman.Dengan adanya Al-Qur’an, maka


muncullah berbagai ilmu pengetahuan Islam. Karena ingin memahami isi kandungan Al-
Qur’an, orang menciptakan ilmu tafsir. Karena ingin mengerti maksud Al-Qur’an, orang
bertanya pada Nabi Muhammad. Dan ucapan (penjelasan), atau perbuatan Nabi, atau
penetapannya menjadi penjelasan maksud Al-Qur’an. Dengan demikian, muncul Ilmu Hadist.
Karena ingin membaca Al-Qur’an dengan kaidah bahasa Arab, muncullah Ilmu Nahwu dan
Sharaf. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam Al-Qur’an, seperti yang dikatakan oleh
Quraish Shihab, terdapat jiw ayat-ayat yang mendorong tehadap kemajuan ilmu pengetahuan,
baik ilmu-ilmu umum atau ilmu-ilmu agama.3
1
Kamus besar bahasa indonesia

2
M. Ali hasan. 2000.Studi Islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, hlm 137

3
Ibid, hlm 140-146
1
1. Teologi Islam

Ilmu Kalam atau teologi termasuk salah satu bidang studi islam yang amat dikenal
oleh kalangan akademis maupun oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini telihat dalam
ketrlibatan ilmu tersebut dalam menjelaskan berbagai masalah yang muncul dikalangan
msyarakat. Menurut Ibn Khaldun, sebagaimana dikutip A. Hanafi, ilmu kalam ialah ilmu
yang berisi alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan
menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang
menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan ahli sunnah. Theologi
terkadang dinamai pila ilmu Tauhid, Ilmu Ushuludin, Ilmu Aqaid dan Ilmu Ketuhanan.
Dinamai Ilmu Tauhid, karena ilmu ini mengajak orang untuk meyakini dan mmpercayai
hanya pada satu Tuhan yaitu Allah SWT. Selanjutnya dinamai Ilmu Ushuludin karena ilmu
ini membahas pokok-pokok keagamaan yaitu keyakinan dan keprcayaan kepada Tuhan,
dinamai Ilmu Aqaid karena dengan ilmu ini seseorang diharapkan agar meyakini dalam
hatinya secra mendalam dan mengikatkan dirinya hanya kepada Allah sebagai Tuhan.

Kesadaran teilogis juga ditekankan dalam al-Qur’an, ketika al-Qur’an


menginspirasikan manusia agar tidak sombong dan senantiasa menyadari keterbatasannya,
karena sehebat apapun manusia pasti akan mengalami kematian. Pada saat itulah, Allah
menepati janji-janji-Nya dalam al-Qur’an untuk memberikan ganjaran atas setiap amal
ibadah yang ditanam manusia selama ddunia, yang akan menjadi teman yang menjadi
saksinya kelak di akhirat (lihat: QS, al-Baqarah[2]:82 dan QS, Ali ‘Imran [3]:57).Allah juga
berfirman:

‫ض ُبباَرلقق ُولبتهجزيَ ُهكلل ُنقرف س ب‬ ‫ب‬


‫ت ُنوههرم ُنل ُيهظرلنهمرونن‬
‫س ُبناَ ُنكنسبن ر‬ ‫نونخلننق ُاَله ُاَلتسنماَنواَت ُنواَرلنرر ب ن ن ر ن‬
Menurut Quraish Shihab, ayat diatas menjelaskan tantang argumentasi keniscayaan
hari kiamat. Pertama, Allah menciptakan alam raya ini dengan haq, dan karena dalam
kehidupan ini manusia akan punah atau belum mencapai tingkat kesempurnaan dengan haq
yang dikehendaki Allah bahkan didambakan oleh seluruh manusia, maka tentu saja masih ada
alam lain yang tercapai disana haq sempurna yang didambakan itu.

Kedua, argumentasi perlunya memberi alasanterhadap kebakan dan kejahatan yang


dilakukan oleh manusia. Karena jika dalam kehidupan dunia ini masih banyak manusia yang
tidak menemukan balasan dan ganjaran perbuatannya, bahkan ada yang memperoleh
kenikmatan duniawi akibat kejahatannya, demikian pula sebaliknya. Karena itu, diperlukan
adanya waktu tertentu-selain dalam kehidupan ini- sehingga masing-masing memperoleh
balasan yang sesuai dan tepat.

Namun demikian al-Qur’an mengingatkan manusia, baik laki-laki dan perempuan


akan kehidupan yang justru penuh dengan kenikmatan kelak di akhirat jika manusia
senantiasa menjalankan ajaran yang terkandung didalamnya selama hidup di dunia. Ini pun
masih dengan catatan, bahwa sebaik apapun perbuatan manusia, kelak manusia akan masuk
kedalam surga bukan karena amal perbuatannya, akan tetapi dengan rahmat dari Allah SWT.
2
Ini agar manusia tidak sombong dan menyadari betapa besar rahmat Allah SWT yang telah
dan akan dilimpahkan padanya kelak di akhirat.4

2. Ilmu Hukum (fiqh)

Fiqih atau hukum islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang paling dikenal
oleh masyarakat. Hal ini antara lain karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan
masyarakat. Dari sejak lahir sampai dengan meninggal dunia manusia selalu berhubungan
dengan fiqih. Tentang siapa misalnya yang harus bertanggung jawab memberi nafkah
terhadap dirinya, siapa yang menjadi ibu bapaknya, sampai ketika ia dimakamkan terkait
dengan fiqih. Karena sifat dan fungsinya yang demikian itu, maka fiqih dikategorikan sebagai
ilmu Al-Hal, yaitu ilmu yang berkaitan dengan tingkah laku kehidipan manusia, dan termasuk
ilmu yang wajb dipelajari, karena dengan ilmu itu pula seseorang baru dapat melaksanakan
kewajibannya mengabdi kepada Allah SWT melalui ibadah Shalat, puasa, haji, dan
sebagainya.

Hukum Islam atau fiqih didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tantang hukum-
hukum syari’at yang bersifat amaliyah praktis, diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Dalil-
dalil yang dimaksud dalam definisi tersebut antara lain bersumber pada Al-Qur’an. Al-Qur’an
sebagai wahyu Allah yang smpurna dan terakhir untuk manusia, harus dijadikan pedoman
utama, bahkan tunggal manusia sebagai sumber hukum.5

3. Ilmu Tasawuf

Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada
pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia.
Tasawuf atau sufisme bertujuan agar seseorang secara sadar memperoleh langsung hubungan
dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa ia berada dihadirat Tuhan. Paham bahwa
Tuhan dekat dengan manusia yang merupakan dasar ajaran tasawuf terdapat dalam Al-Qur’an
. Ayat 186 surat Al-Baqarah misalnya mengatakan:

186ُ ُ:‫ب ُندرعنونة ُاَلتداَبع ُإبنذاَ ُندنعاَبن( ُاَرلبنقنقنرهة‬ ‫) وإبنذاَ ُسأنلنك ُبعباَبديَ ُعقن ُفنبإقن ُقنبري ب‬
‫ب ُأهجريَ ه‬
‫ره‬ ‫ن ن ن ن ر ن‬
“Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan seruan orang yang memanggil ia panggil Aku”

Tasawuf juga bisa dikatakan sebagai metode agama dalam pembinaan jiwa dan
pendidikan akhlak manusia. Jika ditinjau dari taksonomi Bloom tujuan pendidikan Islam
diatas telah memenuhi tiga ranah yang harus dicapai yaitu aspek kognitif, efektif dan
psikomotornya. Untuk mencapai ranah kedua yaitu efektif, tasawuf mempunyai andil yang
cukup besar. Pertanyaan yang harus dijawab apa saja yang bisa disumbangkan oleh tasawuf
4
Nur Arfiyah Febriani, “Gender dan Kerusakan Lingkungan Sebuah Perspektif Al-Qur’an”, Jurnal Penelitian dan
Kajian Keagamaan, 35:1, (Jakarta, Juni 2012), 96-97.

5
Ibid, hlm 139
3
dalam mewujudkan tujuan pendidikan Islam? Sumbangan yang bisa diberikan tasawuf
terhadap pendidikan Islam adalah aplikasi nilai-nilai moralitas yang tercangkup dalam ajaran
tasawuf dalam rangka mencapai tujuan pendidikan islam.6

4. Filsafat Islam

Dari segi bahasa, fisafat islam terdiri dari gabungan kata filsafat dan islam. Kata
filsafat berasal dari philo yang berarti cinta, dan kata sophos yang berarti ilmu atau hikmah.
Dengan demikian secara bahasa filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Selanjutnya
kata islam berasal dari bahasa arab aslama, yuslimu islaman yang berarti patuh, tunduk,
berserah diri, serta memohon selamat dan sentosa. Selanjutnya Islam menjadi suatu istilah
atau nama bagi agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat mausia
melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran
yang bukan hanya mengenai satu segi, tatapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia.
Sumber dari ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek ialah Al-Qur’an dan hadist.
Filsafat islam dapat diketahui melalui lima cirinya yaitu. Pertama, dilihat dari segi sifat dan
coraknya, filsafat islam berdasar pada ajaran islam yang bersumberkan Al-Qur’an dan hadist.
Dengan sifatnya yang demikian itu, filsafat islam berbeda dengan filsafat yunani atau filsafat
barat yang pada umumnya semata-mata mengandalkan akal pikiran (rasio). Kedua, dilihat
dari segi ruang lingkup pembahasanya, filsafat islam mencangkup pembahasan bidang fisika
atau alm raya yang selanjutnya disebut bidang kosmologi, masalah ketuhanan dan hal-hal lain
yang bersifat non materi, yang selanjutnya disebut bidang metafisika, masalah kehidupan di
dunia, kehidupan di akhirat, masalah ilmu pengetahuan, kebudayaan dan lain sebagainya,
kecuali masalah zat Tuhan. Ketiga, dilihat dari segi datangnya, filsafat islam sejalan dengan
perkembangan ajaran islam itu sendiri, tepatnya ketika bagian dari ajaran islam memerlukan
penjelasan secara rasional dan filosofis. Keempat, dilihat dari segi mengembangkanya,
filsafat islam dalam arti materi pemikiran filsafatnya, bukan kajian sejarahnya, disajikan oleh
orang-orang yang beragama islam, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibn-
Rusyd, Ibn Tufail, Ibn bajjah. Kelima, dilihat dari segi kedudukanya, filsafat islam sejajar
dengan bidang studi keislaman lainnya seperti fiqih, ilmu kalam, tasawuf, sejarah kebudayaan
islam dan pendidikan islam.7
D. Aliran-aliran dalam islam dan korelasinya dalam Al-Qur’an
Pada dasarnya, munculnya aliran-aliran, terutama disebabkan oleh perbedaan
pandangan tentang makna ayat-ayat Al-Qur’an berikut.
a. Ayat-ayat muhkam dan mutasyabih8
Kita telah mengetahui bahwa dalam kitab suci Al-Qur’an terdapat ayat muhkam dan
mutasyabih sebagaimana firman Allah:

6
Anis Humaidi, “Sumbangan Tasawuf Terhadap Pendidikan Islam”, Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan Islam,
17:1, (Kediri, Januari 2008), 75-76

7
Ibid, hlm 140-146

8
Ibid, hlm 152-162
4
“Dialah yang menurunkan al-kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Diantara isinya ada ayat-ayat
muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,maka mereka mengikuti
sebagian ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari
takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah, dan orang-orang
yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman. Kepada ayat-ayat mutasyabihat,
semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”Dan tidak dapat mengambil pelajaran (dari padanya)
melainkan orang-orang yang berakal. “(Ali imran:7).
Ayat diatas berisi tantang pembagian ayat-ayat Al-Qur’an menjadi dua bagian, yaitu
ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih. Adapun yang dimaksud dengan ayat muhkam
yaitu ayat-ayat yang maksudnya (isyaratnya), jelas dan tegas sehingga tidak menimbulkan
kekeliruan pemahaman. Sedang menurut istilah ulama ushul ialah: “Sesuatu yang
menunjukkan kepada artinya yang tidak menerima pembatalan dan penggantian secara jelas
dan sama sekali tidak mengandung takwil,artinya tidak mengandung arti lain, yang bukan arti
formalnya, karena ia dijelaskan dan ditafsirkan dengan penafsiran yang tidak membuka
kemungkinan penakwilannya. Juga tidak menerima penghapusan (naskh) pada masa risalah
Muhammad dan waktu kekosongan turun wahyu, atau sesudahnya. Karena hukum yang dapat
diambil dari padanya adakalanya berupa hukum kaidah-kaidah agama yang bersifat asasi
(fudamental) dan tidak menerima penggantian, seprti mengEsakan Allah dan mempercayai
para Rasul-Nya serta Kitab-Nya.”
Isinya terdiri dari prinsip-prinsip keutamaan yang tidak akan berubah lantaran
perubahan situasi, seprti berbakti kepada orang tua dan berbuat adil, atau didalamnya terdapat
hukum cabang yang merupakan bagian (anak cabang), tetapi terdapat bukti bahwa Syari’
(Allah) menguatkan syari’at-Nya, seperti firman Allah yang ditujukan kepada para penuduh
zina terhadap wanita bersuami (muhshan),sebagaimana firman Allah:
“....Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya....”(An-Nuur:4).
Ayat muhkam itu secara pasti wajib diamalkan. Tidak bisa dipalingkan dari pengertian
formalnya, dan tidak pula dapat dihapus. Penulis cenderung berpendapat bahwa al-muhkam
itu tidak dapat menerima nasakh, dan juga tidak dapat menerima pembatalan, karena setelah
Rasulullah SAW wafat, tidak ada lagi kekuasaan untuk membentuk syari’at yang dapat
membatalkan apa yang dibawa oleh beliau, atau menggantikannya.
Ayat-ayat mutasyabih adalah ayat maksud (isyaratnya) belum jelas, sehingga mungkin
menimbulkan kekeliruan pemahaman. Menurut ulama ushul, ialah lafadz yang shighatnya

5
sendiri tidak menunjukan pada arti (maksud) nya, dan tidak trdapat qarinah-qarinah luar
yang menjelaskannya. Sedangkan syaari’ (Allah) sudah mencukupkan begitu saja dan tidak
menjelaskannya lagi.
Juga trdapat ayat-ayat mutasyabih berupa gambaran Allah SWT. Menyerupai
makhluk-Nya eperti menyerupai tangan, mata dan tempat, firman Allah:
“Tangan Allah diatas tangan mereka.....” (Al-Fath:10)
Firman Allah lagi:
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya, dan tiada
pembicaraan lima orang , melainkan Dialah keenamnya, dan tiada (pula) pembicaraan antara
jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, malainkan Dia bersama mereka dimana pun
mereka berada.... ”(Al-Mujadilah:7).
Huruf hijaiyah yang terpoong –potong yang terdapat pada permulaan sebagian surat
(didalam Al-Qur’an) itu sendiri tidak menunjukan artinya,dan Allah SWT. Tidak menjelaskan
arti yang dikehendaki. Dia Maha Mengetahui artinya. Begitu juga ayat-ayat yang formalnya
menunjukan penyerupaan al-Khalik kepada makhluk-Nya, adalah Maha Suci dari
(mempunyai) tangan, mata, tempat dan segala sesuatu apapun yang menyerupai-Nya, Dia
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dan Syara’ tidak menjelaskn arti dari kata-kata itu,
Dia Maha Mengetahi artinya. Inilah pendapat ulama salaf tentang arti mutasyabih. Mereka
serahkan kepada Allah SWT, arti mutasyabih itu dan mereka mempercayainya seta tidak
membicarakannya untuk tidak mentakwilkannya.
Sedangkan pendapat para ulama khalaf, bahwa ayat-ayat itu formalnya adalah
mustahil, karena Allah SWT, memang tidak mempunyai tangan, mata, dan tempat. Segala
sesuatu yang formal itu mustahil dan harus ditakwilkan dan dipalingkan dari arti formal ini.
Pengertian muhkam dan mutasyabih didalam Al-Qur’an menurut para mufasir dan
ulama adalah:
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami pengertian muhakam dan mutasyabih, namun
ada pendapat yang lazim dan shahih sjak awal islam sampai sekarang yaitu:
a. ayat muhkam yaitu ayat yang maksud dan isyaratnya jelas tidak ada keraguan dan
kekeliruan, ayat-ayat ini wajib diimani dan diamalkan.
b.Ayat mutasyabih adalah ayt yang tidak dimaksudkan makna lahirnya dan makna hakikinya
sebagai takwilnya, dan tidak ada yang mengetahui kecuali Allah SWT, dan ayat –ayat ini
wajib diimani dan tidak untuk diamalkan.

6
Pendapat-pendapat diatas merupakan pendapat dikalangan ulama ahlu sunnah wal
jama’ah. Yang membedakannya adalah, ulama syi’ah percaya bahwa Nabi dan para imam
ahlul baitnya, mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabih. Sedangkan umumnya ulama kaum
muslimin karena tidak mengetahuinya, mereka merujuk kepada Allah SWT, Rasul dan para
ulama dan tidak sesuai dengan penjelasan yang muhkam dalam mensudkan Allah dari sifat-
sifat makhluk. Dalam menghadapi hal semacam ini ada dua alternatif yang harus dilakukan
seorang muslim yakni:
a. Mengimani dengan cara yang tidak bertentangan dengan kesucian Allah dan tidak
condong menetapkan dengan jalan takwil. Dengan demikian rahasia yang mutasyahih telah
tersimpan sebagai ilmu ghaib yang tidak dapat diketahui hakikatnya selain oleh Allah SWT.
b. mengubah makna lahirnya dengan menetapkan makna lain yang sesuai dangan
kebesaran dan kesucian Allah SW, kemudian mengimaninya, misalnya “bersemayam”
diartikan dengan ‘menguasai”,”tangan” diartikan “kekuasaan”, “kanan” diartikan “kekuatan”,
“terbuka tangan-Nya” diartikan “banyak anugerah dan pemberian-Nya” begitu pula dengan
arti lain.
Pengertian seperi ini sebenarnya tidak dapat dimasukkan mutasyabih, dalam arti
bahwa rahasia nya tersembunyi dibalik ilmu Allah. Pengertian mutasyabih seprti itu termasuk
kategori memahami makna yang diperlukan dengan mengembalikan kepada yang muhkam.
Hanya orang tertentulah yang memiliki pengetahuan tentang itu. Berdasarkan pendapat ini,
bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada yang mutasyabih dalam arti yang tersembunyi dibalik ilmu
Allah. Di samping ada ulama yang memiliki pendapat seperti tersebut diatas tentang makna
mutasyabih, terdapat golongan lain yang berpendapat, bahwa mutasyabih yang dihadapkan
dngan muhkam itu, adalah dilihat dari sudut penjelasannya. Oleh sebab itu, ia menjadi
lapangan ijtihad bagi mereka.
Sebab-sebab terjadi perbedaan pendapat adalah karena perbedaan tentang makna
suatu kata yang terdapat dalam ungkapan tertentu. Umpamanya kata “quru” dapat di artikan
haid atau suci. Mungkin juga ikhtilaf terjadi oleh makna yang kompleks. Ikhtilaf itu berkisar
pada hadis yang dipandang shahih oleh seorang ahli fiqih untuk makna sesuatu ayat,
sedangkan ahli fiqih yang lain tidak menggunakannya untuk makna ayat yang sama, dengan
alasan yang dianggapnya lebih kuat. Banyak contoh yang dibentangkan dalam kitab-kitab
yang mengupas masalah khilafiah dan telah diketahui oleh para ahli ilmu fiqih. Ini berarti
bahwa perkara yang diartikan mutasyabih diartkan sebagai yang diketahui banyak orang.

7
Tetapi atas dasar pengertian ini arti mutasyabih tidak termasuk kedalm pokok yang sedang
dibicarakan disini.
Sudah barang tentu perbedaan paham yang terdapat dikalangan kaum mutakallimin
sama dengan soal-soal khilafiah yang terdapat dikalangan ulama fiqih berdasarkan madzhab
dan pendirian mereka. Dalam kedua macam soal khilafiah ini, Allah tidak berkehendak
memaksakan hamba-hamba-Nya dengan satu pendirian tertentu, malah sebaliknya, Allah
SWT, membuka pintu ijtihad bagi akal pkiran mereka. Semua pihak yang tergolong orang-
orang mukmin selamat, baik ia salah dalam ijtihad maupun benar. Inilah yang memperkuat
pendapat diatas.
b. Ayat-ayat Qath’i dan dzanni
Nash-nash Al-Qur’an jika ditinjau dari aspek dalalahnya atas hukum-hukum yang
dikandungnya, dapat dibagi atas dua bagian, yaitu:
a. Nash yang Qath’i dalalahnya
b. Nash yang dzanni dalaalhnya
Nash yang Qath’i dalalahnya adalah nash yang menunjukan kepada makna yang biasa
dipahami secara tertentu, yang hanya satu pengertian dan penafsiranya, tidak ada
kemungkinan menerima takwil dan tidak ada tempat bagi pemahaman lain selain itu, seperti
firman Allah:
“Dan (bagimu)(suami-istri) seprdua dari harta yang ditinggalkan oleh suami atau istrimu
jika mempunyai harta....”(An-Nisa:12)
Nash dzanni dalalahnya adalah nash yang menunjukan was makna yang memungkinkan
untuk ditakwilkan atau dpalingkan dari mkna asalnya kepada makna lain, seprti firman Allah:
“Wanita-wanita yang ditalak , hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’....”(Al-
Baqarah:226).
Jadi nash yang dzanni adalah yang memungkinkan pengertiannya dan penafsirannya
lebih dari satu. Ayat-ayat yang seperti itulah yang menjadi lapangan ijtihad para mujtahid,
yang hasil ijtihad mereka itu mungkin juga berbeda. Boleh dikatakan sebagian besar ayat Al-
Qur’an adalah dzanni.
Ayat-ayat Al-Qur’an itu ada yang Qath’i (pasti), yang tidak mungkin lagi dimasuki
oleh daya nalar manusia, seperti kewajiban melakukan shalat, wajib puasa, zakat, dan haji.
Kemudian ada lagi ayat-ayat yang dzanni (dugaan, kemungkinan beberapa pengertian dan
penafsiran), sebagaimana telah dikemukakan diatas. Dari ayat-ayat yang bersifat dzanni ini,
timbul berbagai macam pendapat dan aliran dalam islam. Kita kenal ada aliran dalam teologi,

8
tasawuf, fikih dan sebagainya. Kalau kita bertanya apa sebenarnya yang menjadi rujukan
masing-masing ? Semuanya, mengatakan wahyu ilalilah yang menjadi sumber atau landasan,
menetapkan sesuatu, apakah filsafat, teologi, tasawuf atau fiqih.
Jadi mengenai sumbernya tidak ada perbedaan pendapat, tetapi yang berbeda, dalam
memahami sumber itu (Al-Qur’an). Kita lihat, ada kata yang bermakna ganda, ada yang
mempergunakan makna hakiki dan ada pula yang mempergunakan makna majazi, ada yang
memakai makna lughawi.
Berdasarkan kenyataan, bahwa Allah menurunkan ayat-ayat yang bersifat dzanni lebih
banyak dibandingkan dengan ayat-ayat yang bersifat qath’i, dengan tujuan, agar daya nalar
manusia berkembang (dinamis), tidak jumud (statis), memikirkan yang tersirat, dan tidak
hanya yang tersurat.

Ada beberapa aliran yang dikenal dalam islam antara lain as-salaf, mu’tazilah, Al-Asy’ariah,
Syi’ah, dan tasawuf.9
a. As-Salaf
As-Salaf adalah mereka yang berpegang teguh al-ma’sur (Al-Qur’an dan sunnah),
mendahulukan riwayat atas kajian (al-dirayah), dan mendahulukan naql (Al-Qur’an dan
Sunnah) atas akal. Aliran ini dikenal pula dengan sebutan
Ahlus Sunnah wal jama’ah. Mereka mengimani Al-Qur;an tanpa banyak tanaya, memahami
ayat-ayat Al-Qura’an secara global berdasarkan penertian-pengertian lahir.10
b. Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah aliran rasional dalam islam yang membahas secara filosofis hal-hal
yang tadinya belum diketahui melalui metode filsfat.11
c. Al-Asy’ariah
Al-asy’ariah kreatif yang berusaha mangambil sifat tengah-tangah antara dua kutub
akal dan naql, antara kaum salaf dan mu’tazilah.12
d. Syi’ah
Jika ketiga aliran diatas berbeda karena pandangan mereka terhadap ayat-ayat Al-
Qur’an, maka syi’ah muncul sebagai aliran yang meyakini khalifah Ali bin Abi Thalib yang

9
Ibrahim Madkour, Dr. 1995.Aliran dan teori Filsafat Islam. Jakarta: Bumi Aksara, hlm 36.

10
Ibid, hlm 45.

11
Ibid, hlm 63

12
Ibid, hlm 88
9
paling berhak menjadi khalifah (setelah Rasul wafat) karana Ali paling dulu masuk Islam,
paling banyak menghadapi cobaan dalam fisabilillah, bahkan punya hubungan nasab paling
kuat dengan nabi11.
e. Tasawuf
Aliran ini berpegang pada:
- Tingkah laku menjauhi pesona dunia demi kesucian jiwa dan tubuh.
- Mujahadah, ketahana menghadapi bencana.
- Mementingkan akhirat.13
Tidak jarang terjadi gesekan dan benturan-benturan antara aliran satu dengan alran
yang lain. Namun demikian, perbedaan pandapat itu buan suatu aib atau tercela dalam agama
Islam. Perbuatan yang tercala da aib adalah perbedaan pendapat yang menjurus kepada
pertentangan dan permusushan. Hal ini disebabkan, karena kurang dewasa dalam berfikir,
terpengaruh oleh emosi dan kefanatikan menganut suatu aliran. Padahal kalau dilihat, maka
syahadat semua penganut dari berbagai aliran adalah sama, tidak ada bedanya. Mengapa
sampai terjadi saling mengkafirkan, sedangkan tempat kembali dan bernaung adalah sama,
yaitu Allah dan sumber ajaran Allah adalah sama pula yaitu Al-Qur’an.
Sebagai penutup bagian ini, sangat tepat apa yang dikatakan Muhammad al-Baqir:
Kaum muslim, baik di Indonesia maupun di negara-negara Islam lainnya, telah membuktikan
bahwa sikap keras dan fanatik yang berlebihan, dengan cara memandang madzhab dan faham
kita saja yangberhak memonopoli kebenaran, sedang faham-faham yang lainnya pasti salah
dan sesat dan oleh karena itu harus diganyang habis-habisan, ternyata tidak menghasilkan
sesuatu kecuali pecahnya pertengkaran dan pertikaian sengit, dan timbul tragedi-tragedi yang
meresahkan, serta menjalarnya kebencian dikalangan sesama muslim. Sehingga dalam hati
kita timbul pertanyaan: “Sampai kapankah keadaan seprti ini tidak bisa diatasi ?” Tidak kita
bersedia mengamalkan firaman Allah dalam surat Al-Fath:29: “Muhammad itu adalah utusan
Allah, dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi
berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah
dan keridhoan-Nya”14
3. Unsur Nalar dalam memahami Al-Qur’an15

13
Ibid, hlm 100-101

14
Syarafuddin al-Musawi, A.. 1992. Dialog Sunnah Syi’ah. Bandung: Mizan, hlm xxx.

15
Sebagian disarikan dari Hasan, 0p cit, hlm 149-152.
10
Menurut epistemologi maupun sosiologi pengetahuan, persepsi yang terdapat pada
seseorang merupakan cerminan dari realitas itu, sebenarnya merupakan pengalaman yang
terstruktur yang terbentuk melalui proses yang dipengaruhi oleh suatu kerangka pemikiran
tertentu yang bbisa disebut “teori”. Orang akan melihat dan memberikan arti terhadap
pengalamannya berdasarkan “teori” yang terdapat di kepalanya. Ayat-ayat Al-Qur’an dapat
juga menjadi “data”, walaupun berupa teks. Maka dalam menginterpretasikan “data” tersebut
orang juga akan mempergunakan teori sebagai kerangka referensinya, apabila ia seorang
sarjana yang sadar. Mereka yang bukan sarjana akan mempergunakan pengalaman
terstrukturnya dalam membaca sesuatu. Demikian pula halnya ketika membaca Al-Qur’an.
Kesulitan yang dialami seseorang dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an tertentu adalah
karena kesulitan menghubungkan apa yang di bacanya dengan kerangka referensi yang
terbukti dari pengalamannya. Itu sebabnya, maka para mufasir menganjurkan untuk
mengetahui asbabun nuzul dalam membaca suatu ayat tertentu, sebab keterangan yan akan
diperoleh bisa membantu atau menggantikan pengalamannya sendiri sebagai kerangka
referensi yang diperlukan untuk memahami suatu ayat. Namun pengalaman hidup sendiri
tetap saja diperlukan, karena pengalaman itu, terutama yang luas dan memiliki dimensi
komparatif, akan sangat membantu memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Itulah sebabnya,
pemahaman seseorang tentang ayat-ayat Al-Qur’an cenderung untuk semakin
mendalamejalan dengan bertambahnya pangalaman hidup. Tapi pengalaman ini bisa juga
digantikan teori, yang sebenarnya merupakan ‘konsentrat” dan pengalaman yang banyak atau
intensif yang dilakukan dengan penalitian.
Kalau kita kaji lebih mendalam Al-Q ur’an yang menginformasikan berbagai aspek
kehidupan, seprti aspek keagamaan, politik, eknomi, sosial budaya dan aspek-aspek lainnya,
sungguh betapa lengkapnya Al-Qur’an sebagai sumber agama Islam. Tidak ada satu pun yang
tertinggal dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas tentang segala aspek kehidupan
manusia. Al-Qur’an dalam menginformasikan berita dari Allah tidak lepas dari unsur nalar
dan berbagai aspek lainnya, agar informasi tersebut dapat dipahami dan diterima oleh
obyeknya.
Dalam perkembangan Islam, aspek nalar memainkan peran penting. Dalam
membahas bidang-bidang keagamaan, ulama-ulama Islam tidak smata-mata berpegang pada
wahyu, tetapi banyak pula yang berpegang pada akal. Peranan akal besar sekali dalam
pembahasan masalah-masalah keagamaan yang kita jumpai, bukan hanya dalam bidang
filasafat, tetapi juga dibidang tauhid, bahkan dalam bidang fiqih dan tafsir, karena Allah

11
sendiri memerintahkan hamba-Nya berpikir. Al-Qur’an sebagai sumber ajran Islam tidak
dapat direalisasikan dalam kehidupan masyarakat, kalau isi serta kandungannya itu belum
dapat dipahami dengan baik, karena isi kandungan Al-Qur’an itu harus dilaksanakandalam
kahidupan sehari-hari.
Memahami Al-Qur’an tidaklah mudah, karana kita harus mengetahui sebab turunnya,
lebih-lebih dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat dan pengetahuan lainya, dengan
demikian dirasakan kebutuhan mengembangkan beberapa peralatan ilmiah untuk mengontrol
kemajuan ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an (ilmu tafsir). Karena itu pertama-tama
menjadi prinsip adalah, bahwa tidak hanya pengetahuan mengenai bahasa arab saja yang
diperlukan untuk memahami Al-Qur’an secara tepat, tetapi juga ilmu-ilmu lain seperti idiom-
idiom bahasa arab pada zaman nabi. Dari sini berkembanglah gramatika bahasa arab, ilmu
perkamusan, dan kesusastraan arab dengan suburnya.
Selanjutnya latar belajkang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang disebut “asbabun
nuzul” dijadikan alat yang perlu menerapkan makna yang tepat dari firman Allah. Di samping
itu juga perlu diketahui dan dianggap sangat penting bagaimana caranya orang-orang
dilingkungan nabi memahami perintah Al-Qur’an. Setelah persyaratan-persyaratan ini
dipenuhi, baru penggunaan nalar manusia diberi tempat. Untuk itu bermuncullah ktab-kitab
tafsir sehingga pandangan apapun yang ingin diproyesikan dan dibela kaum muslimin,
mengambil bentuk dalam berbagai bentuk tafsir Al-Qur’an.
Sebenarnya, keniscayaan akan kebenaran risalah yang dibawa nabi Muhammad Saw,
juga didapati dari sifat dan karakter Al-Qur’an yang tidak hanya membenarkan (mushaddiq)
apa yang masih benar dalam kitab-kitab para nabi seblumnya, tetapi juga muhaimin terhadap
kitab-kitab yang lalu, dalam arti menjaga sekaligus mengoreksi kitab –kitab sebelumnya,
sehingga jika ditemukan perselisihan atau perdebatan, antara kandungan al-Qur’an dengan
kitab –kitab sebelumnya, maka yang dijadikan sandaran sekaligus saksi adalah al-Qur’an,
demikian pendapat mufassirin. Ketika mnafsirkan surat al-Maidah ayat 48. Bahkan al-Qur’an
idak hanya muhaimin ‘alaihi sebagaimana bacaan di atas, tapi ia juga mnurut bacaan (qira’at)
Mujahid dan ibnu Muhaishin-muhaimin ‘alaihi (dengan fathah pada mim akhir) yang berarti
terjaga atau terpelihara dari distorsi dan penyelewengan meskipun satu huruf atau satu
harakah. Pemaliharaan ini sejalan dngan firman-Nya: “Sesungguhnya Kami yang
menurunkan al-Qur’an dan Kami benar-benar pemaliharanya” (Al-Hijr/15:9)16

16
Zahrul Fata, “Islam dan Pluralisme Agama”, Jurnal Studi Islam dan Sosial, 9:1, (Ponorogo, Juni 2011), 37-38
12
E. PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Al-Qur’an bukan buku metodologi ilmu pengetahuan, tetapi isyarat-isyarat ke arah itu
banyak dijumpai diberbagai ayat diberbagai surat. Setidaknya ada beberapa metode yang
dapat dikemukakan disini diantaranya :
1. Obsevasi (Pengamatan)
Al-Qur’an dalam berbagai ayatnya senantiasa mendesak manusia untuk mengadakan
observasi terhadap ciptaan-Nya. Diantara, sebagaimana dalam QS Al-‘Araf: 185: “Dan
apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan sgala sesuatu yang
diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka ? Maka kepada berita
manakah lagi mereka akan beriman sesudah al-Qur’an itu?”
Dalam ayat tersebut, al-Qur’an mengemukakan tema ayat yang bersifat sinkronis,
artinya berupa pandangan tentang eksistensi langit, bumi, manusia dansbagainya. Berikutnya
adalah surat Yusuf: 105,
“Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) dilangit dan dibumi yang mereka
melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya.”
Dan surat Ali ‘Imran: 191,
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha Suci Engkau,Maka peliharalah kami dari siksa neraka”.”
Tema kedua ayat tersebut diatas bersifat diakronis, artinya berupa pandangan tentang
proses penciptaan dan peristiwa-peristiwa masa lalu maupun yang akan datang. Bila
dicermati lebih mendalam, tiada satu pun ciptaan Allah yang tidak mengandung maksud dan
tujuan. Mulai dari penciptaan makhluk yang sangat sederhana, hingga penciptaan bintang-
bintang di luar angkasa. Untuk mengungkap rahasia itu semua, perlu pemikiran yang
mendalam.
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, observasi dan meniru mekanisma kerja
merupakan hal yang lazim. Misalnya meniru konsep fungsi sayap dari ekor burung alam
pembuatan pesawat terbang, capung dalam desain hlikopter dan ikan paus dalam pembutan
kapal selam, dan lain sebagainya.
Dalam metode observasi, meniru dan eksperimentasi semata-mata dalam
pengembangan sains dan teknolugi dirasa belum cukup, untuk itu perlu adanya kemampuan

13
imajinasi yang kuat, analisis dan sintesa, terutama dalam hal-hal yang tidak mungkin melalui
observasi saja. Dalam hal ini, al-Qur’an telah memberi isyarat dalam QS,88: 17-20.
“Maka apakah mereka tidak memparhatikan unta bagaimana ia diciptakan18, dan
langit bagaimana ia ditinggikan?19.Dan gunung-gunung dagaimana ia ditegakkan?20.Dan
bumi bagaimana ia dihamparkan?”
2. Eksplorasi (Pemaparan)
Pada bagian ini, ilmu astronomi menempati posisi paling penting, karena ia dalah
ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan gerakan, penyebaran dan sifat benda-benda samawi.
Di antara ayat yang mewakili al-Qur’an dalam pembahasan ini adalah surat Yunus: 6, dan
surat Yasin: 37-40.
“Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan apa yang diciptakan Allah
dilangit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-
orang yang bertakwa”
“Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; kami
tinggalkan siang dari malam itu. Maka dengan seta merta mereka berada dalam
kegelapan. 38. Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah
ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. 39. Dan telah kami tetapkan
bagi bulan-bulan manzilah-manzilah, sehingga (Setelah ia sampai ke manzilah yang
terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. 40. Tidaklah mungkin bagi
matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang, dan
masing-masing beredar pada garis edarnya ”
Kedua ayat tersebut merupakan fenomena alam sesuai dengan hukum alam
(sunnatullah) yang berlaku, atau masih dalm tahap pemaparan (description). Bila fenomena
berupa pergantian siang dan malam akan di angkat sebagai suatu metode ilmu pngetahuan,
maka seseorang harus menempuh prosedur sebagaimana yang ditempuh dalam ilmu
pengetahuan.
3. Eksperimen (Percobaan)
Eksperimen merupakan kelanjutan dari metode sebelumnya (obsvervsi dan
eksplorasi). Dengan metode ini telah muncul berbagai cabang ilmu di antaranya geologi.
Geologi mempelajari gerak bumi, lapisan-lapisannya, serta hubungan dan perubahannya.
Dalam hal ini, al-Qur’an memberikan dorongan kuat untuk melakukan penelitian tentang
adanya kebenaran dibalik fenomena fisik dari alam semesta. Pada gilirannya hal ini akan
membawa peemuan baru di dalam ilmu pengetahuan mengenai sejarah alam, termasuk

14
geologi, yang mempelajari tentang terjadinya perubahan bentuk secara besar-besaran pada
lapisan atas bumi, strukturnya, perubahan cuaca, fosil, batu-batu karang dan sebagainya.
Ayat berikut ini, QS, An-Naba’:6-7, dan QS, Qaff: 7, dapat dijadikan isyarat untuk
menggali dan mengembangkan ilmu ini.
“Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sbagai hamparan?, 7. Dan gunung-
gunung sebagai pasak?.”
“Dan kami hamparkan bumi itu dan kami letakkan padanya gunung –gunung yang
kokoh dan kami tumbuhkan pada nyas egala macam tumbuhan yang indah dipandang
mata.”
4. Penalaran dan intuisi
Penalaran terhadap proses kejadian manusia melahirkan ilmu kedokteran dan dengan
intuisi manusia mengenal ilmu jiwa. Secara fisik manusia dipelajari melalui ilmu kedokteran.
Isyarat mengenai hal ini QS, Al-‘Alaq: 1-3, QS, At Thariq: 5-7.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan mu yang menciptakan. 2. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha
Pemurah.”
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apaka mereka diciptakan? 6. Dia
diciptakan dari air yang dipancarkan, 7. Yang keluar dari tulang sulbi laki-laki dan
tulang dada perempuan.”
Disamping unsur jasmani yang menjadi pangkal tolak keberadaan manusia, unsur
jiwa tidak lepas dari perhatian al-Qur’an. Firman Allah QS, Adzariaat: 21, dan QS As
Syams:7-10.
“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 8. Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaanya. 9. Sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan jiwa itu, 10. Dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya.”
Didalam Al-Qur’an disamping metode yang bersifat empirik, masih ada proses
perkembangan ilmu dengan metode ilham yang hanya diberikan pada beberapa orang saja
yang dipilih Allah tanpa membedakan dari suku bangsa manapun. Itu artinya, bahwa Allah
memberikan ilmu kepada siapa saja yang memiliki kehendak dan di kehendaki-Nya. Dengan
asumsi bahwa penemuan ilmu pengetahuan dengan metode apapun merupakan rahmat dari
Allah melalui orang-orang yang dipilih-Nya, karena pada hakikatnya semua ilmu dari Allah.

15
Furman Allah QS 62: 4, dan QS 96: 5.
“Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya;
dan Allah mempunyai karunia yang besar.”
“Dia yang mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Pada dasarnya, betapa pun hebatnya penemuan ilmu pengetahuan, secanggih apapun,
manusia tidak dapat menciptakan sesuatu . Pada hakekatnya manusia hanya merubah bentuk,
warna atau wujud dari sesuatu yang sudah ada. Manusia bisa membuat robot, computer dan
lain sebagainya, namun materinya sudah lebih dulu diciptakan oleh Allah. Manusia tidak
akan pernah dapat menciptakan makhluk hidup sekecil apapun. Manusia hanya dapat
merekayasa gen, tetapi gen itu telah diciptakan Allah sebelumnya.
Oleh karena itu, harus ada kesadaran teologis untuk selalu memohon tambahan ilmu
kepada Allah SWT. Sebagaimana diungkapkan dalam al-Qur’an surat Thaha ayat 114:
artinya: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”17
Betapa sentralnya doktrin tenteng ilmu ini tampak dalam baik al-Qur’an dan hadis.
Pertama, dalam al-Qur’an, banyak skali ayat yang berisi perintah Tuhan untuk berpikir ,
merenung, dan bernalar, bahkan ayat al-Qur’an yang pertama kali diturunkan adalah untuk
iqra’. Kedua, terlepas dari otentisitasnya, banya hadis yang merujuk kepada perintah mencari
ilmu. 18

17
Khunul Khotimah, “Paradigma dan Konsep Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Al-Qur’an”, Jurnal Ilmu-Ilmu
Ushuluddin, 9:1 (Tulunagung, Juni 2012), 77-81.

18
Lien Iffah Naf’atu Fina, “Ilmu Pengetahuan Persprktif Al-Qur’an”, Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 9:1,
(Tulungagung, Juni 2012), 17
16
BAB III
PENUTUP

Al Qur’an adlah sumber dari segala sumber ajaran Islam karena Al Qur’an merupakan
pokok ajaran Islam maka segala studi mengenai keislaman tidak boleh bertentangan dengan
sumber pokok ini. Kitab suci menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan
pengembangan ilmu – ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu
gerakan – gerakan umat Islam sepanjang zaman.
Memang ada aliran – aliran dalam Islam yang muncul karena factor perbedaan
pandangan tentang tentang tata cara memehami ayat – ayat Al Qur’an, yang terpenting adalah

17
memehami bersama bahwa Allah dalam Al Qur’an menghendaki sesame muslim untuk saling
berkasih sayang.
Sebagian besar umat Islam berpandangan bahwa unsure nalar amat berperan dalam
memahami Al Qur’an. Al Qur’an sebagai sumber ajaran Islam tidak dapat direalisasikan
dalam kehidupan masyarakat, kalau isi serta kandungannya itu belum dapat dipahami dengan
baik, karena isi dan kandungan Al Qur’an itu harus dilaksanakan dalam kehidupan seharin –
hari. Jadi isi Al-Qur’an meliputi segala macam persoalan, dan bisa dibahas dari berbagai
aspek. Al-Qur’an juga dapat dilihat dari segi kandungannya yang bukan hanya
mengemukakan persoalan-persoalan yang menyangkut peribadatan saja, tetapi meliputi juga
persoalan teologi, persoalan kemasyarakatan, persoalan eksistensi manusia bahkan persoalan-
persoalan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup manusia seperti ilmu dan teknologi.
Karena posisi Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam yang pertama, maka segala sesuatu
pembahasan mengenai keIslaman, baik yang menyangkut ajaran maupun yang menyangkut
unsur-unsur pendukung terlaksananya ajaran tersebut, seluruhnya mengacu kepada Al-
Qur’an. Bagi orang-orang yang percaya akan kemu'jizatan Al-Qur’an, maka Al-Qur’an itu
betul-betul akan menjadi petunjuk baginya dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan
bernegara.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Hasan, M.2000. Studi Islam, Al-Qur’an dan As Sunnah. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

Fata, Zahrul, “Islam dan Pluralisme”, Junal Studi Islam dan Sosial, 9:1, (Ponorogo,
Juni 2011), 37-38.

Febriani, Nur Arfiyah, “Gender dan Kerusakan Lingkungan: Sebuah Perspektif Al-
Qur’an”, Jurnal Pemikiran da Kajian Keagamaan, 35:1, (Jakarta, Juni 2012), 96-97.

Fina, Lien Iffah Naf’atu Fina, “Ilmu Pengetahuan Otentik Perspektif Al-Qur’an”,
Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 9:1, (Tulungagung, Juni 2012), 17.

Gibb, H. A. R.. 1992. Aliran-aliran Modern dalam Islam. Jakarta: Rajawali.


18
Hanafi, A., MA. 1975. Ushul Fikih. Jakarta: Wijaya.

Humaidi, Anis, “Sumbangan Tasawuf Terhadap Pendidikan Islam”, Jurnal Pemikiran


dan Kebudayaan Islam, 17:1, (Kediri, Januari 2008), 75-76.

Ibrahim Madkour, Dr. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Inu Kencana Syafiie. 1992. Al-Qur’an Sumber Segala Disiplin Ilmu. Jakarta: Gema
Insani Press.

Khotimah, Khusnul, “Paradigma dan Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Al-
Qur’an”, 9:1, (Tulungagung, Juni 2012), 77-81

Quraish Syihab, Prof. Dr. 1996. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Syarafuddin al-Musawi, A.. 1992. Dialog Sunnah Syi’ah. Bandung: Mizan

19

Anda mungkin juga menyukai