Anda di halaman 1dari 13

AKAL dan WAHYU

Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Tauhid Ilmu Kalam

Dosen Pengampu: Sri Dahlia, MA

Disusun oleh:

Aan Kurniawan Julianto 1119143


Rasita Batrisyia 1119162

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI

JURUSAN TARBIYAH

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Alhamdulillah puji syukur penulis sampaikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala


karena berkat ridho dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Akal dan Wahyu” tanpa ada suatu halangan.Sholawat dan salam
tercurahkan kepada Nabi Agung Muhammad shollalahu ‘alahi wa ssalam yang selalu
dinanti-nantikan safaatnya di hari akhir. Dalam penyusunan makalah ini banyak
bantuan yang penulis terima. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada :

1. Orang tua yang selalu memberi doa dan restu.


2. Dosen Pengampu mata kuliah Tauhid Ilmu Kalam
3. Semua pihak yang terkait dalam penulisan makalah ini.
Semoga segala kebaikan yang telah diberikan, mendapatkan balasan dari Allah
Subhanallahu wa Ta’ala.Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran masih penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi perkembangan bahasa Indonesia.

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Pati, 1 Mei 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akal dan wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah
yang memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan
kepada sang Kholiq, akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga
menghasilkan budi pekerti yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber
kehidupan dan juga tujuan dari baginda Rasulullah SAW.
Semua aliran juga berpegang kepada wahyu , dalam hal ini yang terdapat
pada aliran tersebut adalah hanya perbedaan dalam interpretasi. Mengenai teks
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, perbedaan dalam interpretasi inilah,
sebenarnya yang menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu tentang akal
dan wahyu. Hal ini tak ubahnya sebagai hal yang terdapat dalam bidang
hukum Islam atau fiqih.
Di dalam al-Qur’an, Islam dinyatakan sebagai satu-satunya agama yang
diridhoi oleh Allah SWT. Wahyu Allah sebagai sumber pokok ajaran agama
Islam. Sedangkan makhluk yang paling sempurna adalah manusia yang
dianugerahi akal dengan memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera
sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan.
Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar,
sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin
benar dan mungkin salah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian akal dan wahyu?
2. Bagaimana kedudukan akal dan wahyu?
3. Bagaimana fungsi wahyu?
C. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan pengertian akal dan wahyu
2. Menjelaskan kedudukan akal dan wahyu
3. Menjelaskan fungsi wahyu
D. Manfaat Penelitian
1. Meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang pengertian akal dan wahyu
2. Meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang kedudukan akal dan wahyu
3. Meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang fungsi wahyu
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akal dan Wahyu


1. Akal dan Wahyu Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah
a. Akal Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah
Aql (akal) adalah salah satu unsur penting dalam diri manusia
yang ada kaitannya dengan akidah. Kata akal berasal dari kata Arab
al’-aql ( ‫ ) العقل‬Kata ini dalam Alquran terdapat dalam bentuk kata
kerja ‘aqaluh (1 ayat), ta’qilun (24 ayat), na’qil (1 ayat), ya’qiluha (1
ayat), dan ya’qilun (22 ayat).1
Kata ‘aqala berarti mengikat dan menahan. Al-‘aql juga dapat
diartikan sebagai al-hijr (menahan) dan al-‘aqil adalah orang-orang
yang menahan diri dan mengekang hawa nafsu. Pada sisi lain al-‘aql
juga dapat berarti kebijaksanaan, sebagai lawan dari lemah pikiran, al-
‘aql juga dapat berarti kalbu. Padanannya dari bahasa latin adalah ratio
atau rasio, atau budhi dalam bahasa sangsekerta.
Islam sebagaimana terdapat dalam Alquran menempatkan akal
posisi yang amat tinggi. Terdapat banyak ayat yang menyerukan agar
manusia menggunakan akalnya secara benar, dan menyebutkan kata-
kata al-‘aql (akal) didalam Alquran senantiasa dikaitkan dengan
tingkah laku dan perbuatan manusia.
Ayat-ayat yang mengandung kata al-’aql memiliki kaitan dengan
manusia atau orang-orang beriman kepada Allah, misalnya orang-
orang yang berakal yang menggunakan akalnya untuk menerangkan
ayat-ayat Allah. Tidak sedikit ayat-ayat yang menganjurkan dan
mendorong manusia supaya banyak berfikir dan memepergunakan
akalnya. Alquran menyebutkan kurang lebih 49 kata ‘aql yang muncul
secara variatif. Semua kata tersebut diungkapkan dalam bentuk kata
kerja (fi’il) dan tak pernah disebut dalam bentuk masdar.
Berdasarkan penggunaan kata ‘aql dalam berbagai susunannya
dapat dijelaskan beberapa penggunaannya, yang diantaranya adalah
sebagai berikut:
1) Digunakan untuk memikirkan dalil-dalil dan dasar keimanan.
2) Digunakan untuk memikirkan dan memahami alam semesta, serta
hukum-hukumnya (sunatullah).
3) Dihubungkan dengan pemahaman terhadap peringatan dan wahyu
Allah.
4) Dihubungkan dengan pemahaman terhadap proses sejarah
keberadaban umat manusia didunia.
5) Dihubungkan dengan pemahaman terhadap kekuasaan Allah.

1 Badlatul Muniroh, "Akal dan Wahyu", Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 9 No. 1, 42, 2018
6) Dihubungkan dengan pemahaman terhadap hukum-hukum yang
berkaitan dengan moral.
7) Dihubungkan dengan pemahaman terhadap makna ibadah,
semacam shalat.
Dari 49 ayat menggunakan kata ‘aql tersebut di atas dapat ditarik
pengertian bahwa ‘aql dipakai untuk memahami berbagai obyek yang
riil maupun abstrak, dan yang bersifat empiris sensual sampai empiris
transendental. ‘Aql digunakan untuk memikirkan hal-hal yang kongkrit
seperti sejarah manusia, hukum-hukum alam (sunnatullāh). Juga
digunakan untuk memikirkan hal yang abstrak seperti kehidupan di
akhirat, proses menghidupkan orang yang sudah mati, kebenaran
ibadah, wahyu, dan lain-lain.
b. Wahyu Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah
Kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy, yang berarti suara,
api, kecepatan, bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Menurut ilmu bahasa
wahyu berarti isyarat yang cepat denga tangan dan sesuatu isyarat yang
dilakukan bukan dengan tangan. Menurut istilah kata wahyu
mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat.
Wahyu juga berarti nama bagi sesuatu yang dituangkan dengan cepat
dari Allah ke dalam dada Nabi-nabi-Nya, sebagaimana digunakan juga
untuk lafadz Alquran. Kemudian kata wahyu lebih dikenal dalam arti
“apa yang disampaikan Allah kepada para Nabi.
Al-Why atau wahyu adalah kata masdar (infinitive); dan materi
kata menunjukkan dua pengertian dasar, yaitu: tersembunyi dan cepat.
Oleh sebab itu, maka dikatakan bahwa wahyu ialah pemberitahuan
secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang
yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian
masdarnya.
Wahyu adalah sabda Tuhan yang mengandung ajaran, petunjuk
dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan
hidupnya baik di dunia maupun akhirat. Dalam Islam wahyu atau
sabda yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, terkumpul
semuanya dalam Alquran
2. Akal dan Wahyu Menurut Beberapa Ahli Teologi2
a. Mu'tazilah
Muktazilah adalah aliran teologi yang mengutamakan
penggunaan akal daripada wahyu, sehingga kelompok ini dikenal juga
dengan nama “Kaum Rasionalisme Islam”. Bagi kaum muktazilah
segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan
kewajiban-kewajiban dapat diperoleh dengan pemikiran yang
mendalam. Dengan akal manusia dapat mengetahui adanya Tuhan,

2 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986)
mengetahui baik dan buruk, melakukan kebaikan dan menghindari
kejahatan secara garis besar meskipun wahyu belum sampai kepadanya.
Sedangkan wahyu berperan menetapkan perbuatan itu baik atau jahat
secara terperinci.
Dalam hubungan ini Abu al-Huzail dengan tegas mengatakan
bahwa sebelum turunnya wahyu, orang telah berkewajiban menge-
tahui Tuhan; dan jika ia tidak berterima kasih kepada Tuhan, orang
demikian akan mendapat hukuman. Baik dan jahat menurut penda-
patnya, juga dapat diketahui dengan perantaraan akal dan dengan
demikian orang wajib mengerjakan yang baik, umpamanya bersikap
lurus dan adil, dan wajib menjauhi yang jahat seperti berdusta dan
bersikap zalim.
Di antara pemimpin-pemimpin Mu'tazilah, antara lain al-
Nazzamjuga berpendapat demikian. Begitu pula al-Jubba'i dan
anaknya Abu Hasyim. Golongan al-Murdar bahkan pergi lebih jauh.
Menurut paham mereka dalam kewajiban mengetahui Tuhan, termasuk
ke wajiban mengetahui hukum-hukum dan sifat-sifat Tuhan,
sungguhpun wahyu belum ada; dan orang yang tidak mengetahui hal
itu dan tidak berterima kasih kepada Tuhan, akan mendapat hukuman
kekal dalam neraka.
Menurut al-Syahrastani kaum Mu'tazilah satu dalam pendapat
bahwa kewajiban mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan dan
kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk dapat
diketahui oleh akal. Sudah barang tentu bahwa sebelum mengetahui
bahwa sesuatu hal adalah wajib, orang harus terlebih dahulu
mengetahui hakikat hal itu sendiri. Tegasnya, sebelum mengetahui
kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan berkewajiban berbuat
baik dan menjauhi perbuatan jahat, orang harus terlebih dahulu
mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Sebelum menge
tahui hal-hal itu orang tentu tak dapat menentukan sikap terhadapnya.
Dengan demikian daya akal kuat tetapi fungsi wahyu penting
yaitu memperkuat apa yang telah diketahui oleh akal. Bagi kaum
Muktazilah fungsi wahyu lebih banyak bersifat konfirmasi daripada
informasi.
b. Asy'ariyah
Dari aliran Asy'ariah, al-Asy'ari sendiri menolak sebagian besar
dari pendapat kaum Mu'tazilah di atas. Dalam pendapatnya segala
kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak
dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui
bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib
bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah
yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih
kepada-Nya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh
kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepada-
Nya akan mendapat hukuman.
Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa menurut
pendapat al-Asy'ari akal tak mampu untuk mengetahui kewajiban
kewajiban manusia. Untuk itulah wahyu diperlukan. Akal dalam pada
itu dapat mengetahui Tuhan. Tetapi apakah akal dapat juga menge
tahui baik dan jahat, hal ini tidak jelas dalam karangan-karangan al
Asy'ari.
Penjelasannya harus dicari dalam keterangan para pengikutnya.
Menurut al-Syahrastani Ahli Sunnah yaitu kaum Asy'ariah ber
pendapat bahwa kewajiban-kewajiban diketahui dengan wahyu dan
pengetahuan diperoleh dengan akal. Akal tidak dapat menentukan
bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib.
karena akal tidak membuat sesuatu menjadi harus atau wajib. Wahyu
sebaliknya tidak pula mewujudkan pengetahuan. Wahyu membawa
kewajiban-kewajiban. Dari keterangan ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa akal dalam pandangan kaum Asy'ariah dapat mengetahui baik
dan jahat.
Menurut al-Baghdadi akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak
dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan karena
segala kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Oleh karena
itu, sebelum turunnya wahyu, tidak ada kewajiban-kewajiban dan tidak
ada larangan-larangan bagi manusia. Jika seseorang, sebelum wahyu
turun, sekiranya dapat mengetahui Tuhan serta sifat-sifat Nya dan
kemudian percaya kepada-Nya, maka orang demikian adalah mukmin
tetapi tidak berhak untuk mendapat upah dari Tuhan. Jika orang
demikian dimasukkan ke dalam surga, maka itu adalah atas kemurahan
hati Tuhan. Dan sebaliknya jika seseorang sebelum adanya wahyu,
tidak percaya pada Tuhan, ia adalah kafir dan atheis tetapi tidak mesti
mendapat hukuman. Kalau sekiranya Tuhan mema sukkannya ke
dalam neraka untuk selama-lamanya itu tidak meru pakan hukuman.
Paham tentang upah dan hukuman sebelum adanya wahyu yang
disebut al-Baghdadi ini jelas bertentangan sekali dengan paham
Mu'tazilah sebagaimana yang diutarakan oleh Abu al-Huzail dan
golongan al-Murdariah. Tetapi dalam pada itu keterangan-keterangan
di atas tidak mengandung penjelasan tentang pendirian Asy'ariah
mengenai soal mengetahui baik dan jahat. Al-Baghdadi sendiri
kelihatannya berpendapat bahwa soal baik dan buruk tak dapat dike
tahui oleh akal. Ini dapat disimpulkan dari uraiannya mengenai hal hal
yang dapat dan tak dapat diketahui akal. Soal baik dan jahat tidak ia
sebutkan dalam hal-hal yang menurut kaum Asy'ariah dapat diketahui
akal. Dan ketika ia menerangkan pendapat kaum Mu'tazilah mengenai
soal ini, ia memakai kata za'ama (assert). Pemakaian kata ini
menggambarkan bahwa ia tidak setuju dengan pendapat kaum
Mu'tazilah bahwa yang baik dan buruk dapat diketahui akal.
Al-Ghazali, seperti al-Asy'ari dan al-Baghdadi, juga berpendapat
bahwa akal tak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia;
kewajiban-kewajiban ditentukan oleh wahyu. Dengan demikian
kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan men
jauhi yang jahat hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu.
Paham ini, bagi al-Ghazali, rapat hubungannya dengan definisi baik
dan jahat. Kata wajib, menurut al-Ghazali merupakan sifat bagi
perbuatan-perbuatan dan sesuatu perbuatan sebenarnya bersifat wajib
kalau tidak dilakukannya perbuatan itu menimbulkan kemudaratan
bagi manusia kelak di akhirat. Yang tersebut akhir ini dapat di ketahui
hanya dengan perantaraan wahyu; dengan demikian ke wajiban-
kewajiban dapat diketahui manusia hanya dengan wahyu.
c. Maturidiyah
Al-Maturidi, bertentangan dengan pendirian Asy'ariah tetapi
sepaham dengan Mu'tazilah, juga berpendapat bahwa akal dapat
mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan. Hal ini
dapat diketahui dari keterangan al-Bazdawi berikut:
"Percaya kepada Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya sebelum
adanya wahyu adalah wajib dalam paham Mu'tazilah... al-Syaikh Abu
Mansur al Maturidi dalam hal ini sepaham dengan Mu'tazilah.
Demikian jugalah umumnya ulama Samarkand dan sebagian dari alim
ulama Irak."
Keterangan ini diperkuat oleh Abu 'Uzbah:
"Dalam pendapat Mu'tazilah orang yang berakal, muda-tua, tak dapat
diberi maaf dalam soal mencari kebenaran. Dengan demikian, anak
yang telah berakal mempunyai kewajiban percaya pada Tuhan. Jika ja
sekiranya mati tanpa percaya pada Tuhan, ia mesti diberi hukum.
Dalam Maturidiah anak yang belum baliq, tidak mempunyai kewajiban
apa-apa. Tetapi Abu Mansur al Maturidi berpendapat bahwa anak yang
telah berakal berkewajiban mengetahui Tuhan. Dalam hal ini tak
terdapat perbedaan antara Maturidiah dan Mu'tazilah."
Secara umum kalangan Maturidiyah berpendapat bahwa akal
dapat mengetahui baik dan buruk, mengetahui Tuhan dan berterima
kasih kepada Tuhan. Sedang kewajiban berbuat baik dan menjahui
yang buruk terdapat perbedaaan antara Maturidiyah Samarkand dan
Bukhara.
Bagi Maturidiyah Samarkand akal mampu dan wajib mengetahui
Tuhan, mengetahui baik dan jahat, hanya saja kewajiban mengetahui
baik dan jahat adalah berdasarkan wahyu, bukan pada kemampuan
akal. Adapun Maturidiyah Bukhara akal dapat mengetahui adanya
Tuhan dan kebaikan serta kejahatan, namun akal tidak wajib
mengatahui Tuhan dan mengetahui kewajiban melakukan yang baik
dan meninggalkan kejahatan.
Dapatlah kiranya disimpulkan bahwa Mu'tazilah memberikan daya
besar kepada akal. Maturidiah Samarkand membeikan daya kurang besar
dari Mu'tazilah, tetapi lebih besar daripada Maturidiah Bukhara. Di antara
semua aliran itu, Asy'ariahlah yang memberikan daya terkecil kepada akal.
Akal dan wahyu merupakan dua entitas yang sebenarnya tidak perlu
dipertentangkan secara diametral. Akal pikiran diciptakan Tuhan menjadi
Mi’yar (tolok ukur) dalam menentukan baik-buruk, suci-najis dan mashlahah-
mafsadah. Sebaliknya, wahyu sebagai tuntunan Ilahi diturunkan tidak lain
untuk membimbing entitas akal menuju jalan yang benar sesuai rambu-rambu
Tuhan. Akal dan wahyu merupakan dasar dan menjadi tolok ukur dalam
menganalisa dan menilai setiap persoalan kalam. Dalam teologi Islam, akal
dan wahyu dihubungkan dengan persoalan mengetahui Tuhan dan persoalan
baik dan jahat.
B. Kedudukan Akal dan Wahyu
Manusia adalah makhluk yang memiliki akal. kecerdasan akal
manusialah yang telah menempatkan manusia pada posisi yang mulia di dunia
dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan. Dengan kemampuan akal inilah
manusia dapat mengembangkan ilmu alam dan teknologi. Namun akal tidak
serta merta mampu membuat manusia memahami hakikat eksistensinya.
Hakikat eksistensi manusia tidak dapat di capai dengan menggunakan refleksi
dan perenungan rasional semata.
Hikmah dibalik eksistensi manusia didunia tidak pernah bisa difahami
dan dicapai dari penalaran rasional belaka dan imajinasi hawa nafsu, oleh
karenanya manusia seringkali tersesat dalam memahami fenomena alam
seperti gunung matahari dan bulan yang mereka anggap sebagai sesembahan
dan tuhan. Mungkin saat ini manusia menyembah Materi (uang, Harta, Sex
dan kekuasaan).
Manusia juga tersesat dalam memaknai posisi dan kedudukannya dirinya
didunia, ia beranggapan bahwa dunia hanyalah untung-rugi material, tujuan
menghalalkan cara, yang kuat yang bertahan yang lemah terseleksi oleh alam,
hak ada dalam kekuasaan, Tujuan hidup adalah kehendak berkuasa, hidup
adalah mencari kenikmatan. Sekali lagi semua ini tidak memiliki dasar apapun
kecuali hawanafsu manusia yang dikokohkan oleh akal.
Hakikat dari eksistensi manusia hanya dapat difahami dengan
perantaraan wahyu dari tuhan (Allah.SWT). Filsafat yang dibuat oleh
manusia sebagi upaya pencarian makna dan hikmah dari eksistensi manusia
tidak akan mencapai suatu kepuasan dan ketetapan hati, karena akal tidak
berfungsi untuk menetapkan hukum dan penetapan makna hidup,yang berhak
menentukan hukum dan makna hidup adalah tuhan dan tuhan tidak
membiarkan ciptaannya itu hidup tanpa di beri petunjuk (wahyu).
Kedudukan akal dan wahyu itu sama. Namun sebagian mutakallimin
menyuarakan kedudukan yang istimewa itu pada wahyu, sedang akal adalah
membantu menjelaskan lebih rinci pernyataan wahyu. Wahyu berfungsi
sebagai pemberitahuan yang sama sekali belum diketahui (i’lam), sedangkan
akal berfungsi memberikan penjelasan terhadap informasi wahyu (bayan).
Maka dari itu, kedudukan akal dalam Islam itu sangat penting. Akal
inilah yang menjadi wadah yang menampung akidah, syariah serta akhlak dan
menjelaskannya. Kita sendiri tidak pernah dapat memahami Islam tanpa
menggunakan akal. Dengan menggunakan akalnya secara baik dan benar,
sesuai dengan petunjuk Allah, manusia akan selalu merasa terikat dan dengan
sukarela mengikatkan diri kepada Allah. Dengan menggunakan akalnya,
manusia dapat berbuat atau bertindak, memahami, dan mewujudkan sesuatu.
Karena posisinya yang demikian, dapatlah dipahami kalau dalam ajaran
Islam ada ungkapan yang menyatakan: Akal adalah kehidupan, hilang akal
berarti kematian.3
C. Fungsi Wahyu
Secara fungsional, wahyu tidak akan berfungsi tanpa adanya akal-pikiran,
begitu juga akal, ia akan kehilangan arah tanpa bimbingan wahyu. Karena
kedua entitas tersebut berasal dari sumber yang sama dan memiliki fungsi
yang sama, hanya saja wilayah kerjanya berbeda, walaupun demikian tentu
akan bertemu pada titik yang sama pula.4
Selanjutnya wahyu kaum mu’tazilah mempunyai fungsi memberi
penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia
di akhirat. Abu Jabbar berkata akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk
suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu
perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hkuman untuk
suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk
yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-
Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang
akan diperoleh manusia di akhirat.
Dari uraian di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa wahyu bagi
Mu’tazilah mempunyai fungsi untuk informasi dan konfirmasi, memperkuat
apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum
diketahui akal. Dan demikian menyempurnakan pengtahuan yang telah
diperoleh akal.
Bagi kaum Asy’ariyah akal hanya dapat mengetahui adanya tuhan saja,
wahyu mempunyai kedudukan yang sangat penting. Manusia mengetahui yang
baik dan yang buruk, dan mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya
turunnya wahyu. Dengan demikian sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak
akan tahu kewajiban-kewajibannya kepada tuhan, sekiranya syariatnya tidak
ada Al-Ghozali berkata manusia tidak aka ada kewajiban mengenal tuhan dan

3 Diki Candra, "AKAL DAN WAHYU: Tela’ah atas Pemikiran Kalam Harun Nasution", Ad-Dirasah, Vol. 1
No. 1, 84, 2018

4 Diki Candra, loc. cit.


tidak akan berkewajiban berterima kasih kepadanya atas nikmat-nikmat yang
diturunkannya. Demikian juga masalah baik dan buruk kewajiban berbuat baik
dan mnghindari perbuatan buruk, diketahui dari perintah dan larangan-
larangan tuhan. Al-Baghdadi berkata semuanya itu hanya bisa diketahui
menurut wahyu, sekiranya tidak ada wahyu tak ada kewajiban dan larangan
terhadap manusia.
Jelas bahwa dalam aliran Asy’ariyah wahyu mempunyai fungsi yang
banyak sekali, wahyu yang menentukan segala hal, sekiranya wahyu tak ada
manusia akan bebas berbuat apa saja, yang dikehendakinya, dan sebagai
akibatnya manusia akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk
mengatur masyarakat, dan demikianlah pendapat kaum Asy’ariyah. Al-
Dawwani berkata salah satu fungsi wahyu adalah memberi tuntunan kepada
manusia untuk mengatur hidupnya di dunia. Oleh karena itu pengiriman para
rosul-rosul dalam teologi Asy’ariyah seharusnya suatu keharusan dan bukan
hanya hal yang boleh terjadi sebagaimana hal dijelaskan olh Imam Al-Ghozali
di dalam al-syahrastani.
Adapun aliran Maturidiyah bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi
yang kurang wahyu tersebut, tetapi pada aliran Maturidiyah Bukhara adalah
penting, bagi Maturidiyah Samarkand perlu hanya untuk mengetahui
kewajiban tentang baik dan buruk, sedangkan bagi Maturidiyah Bukhara
wahyu perlu untuk mengetahui kwajiban-kewajiban manusia.5
Oleh Karena itu di dalam system teologi yang memberikan daya terbesar
adalah akal dan fungsi terkecil kepada wahyu, manusia dipandang mempunyai
kekuasaan dan kemerdekaan.tetapi di dalam system teologi lain yang
memberikan daya terkecil pada akal dan fungsi terbesar pada wahyu. Manusia
dipandang lemah dan tak merdeka.Tegasnya manusia dalam pandangan aliran
Mu’tazilah adalah berkuasa dan merdeka sedangkan dalam aliran Asy’ariyah
manusia lemah dan jauh dari merdeka.
Di dalam aliran maturidiyah manusia mempunyai kedudukan menengah
di antara manusia dalam pandangan aliran Mu’tazilah, juga dalam pandangan
Asy’ariyah. Dan dalam pandangan cabang Samarkand manusia lebih berkuasa
dan merdeka dari pada manusia dalam pandangan cabang Bukhara. Dalam
teologi Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan kedudukan yang
tinggi pada akal, tetapi tidak begitu tinggi dibandingkan pendapat Mu’tazilah,
wahyu juga mempunyai fungsi relatif banyak tetapi tidak sebanyak pada
teologi Asy’ariyah dan maturidiyah Bukhara.

5 Harun Nasution, op. cit., 99-102


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Akal dan wahyu merupakan dua entitas yang sebenarnya tidak perlu
dipertentangkan secara diametral. Akal pikiran diciptakan Tuhan menjadi
Mi’yar (tolok ukur) dalam menentukan baik-buruk, suci-najis dan mashlahah-
mafsadah. Sebaliknya, wahyu sebagai tuntunan Ilahi diturunkan tidak lain
untuk membimbing entitas akal menuju jalan yang benar sesuai rambu-rambu
Tuhan. Akal dan wahyu merupakan dasar dan menjadi tolok ukur dalam
menganalisa dan menilai setiap persoalan kalam. Dalam teologi Islam, akal
dan wahyu dihubungkan dengan persoalan mengetahui Tuhan dan persoalan
baik dan jahat.
2. Manusia adalah makhluk yang memiliki akal. kecerdasan akal manusialah
yang telah menempatkan manusia pada posisi yang mulia di dunia
dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan.
3. Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Yang dimaksud memberi
informasi disini yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana cara
berterima kasih kepada Tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik
dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di
terima manusia di akhirat.
DAFTAR PUSTAKA

Candra, Diki. AKAL DAN WAHYU: Tela’ah atas Pemikiran Kalam Harun Nasution.
Ad-Dirasah. 1(1): 79-86. 2018

Muniroh, Badlatul. Akal dan Wahyu. Filsafat dan Teologi Islam. 9(1): 41-71. 2018

Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta:


UI-Press. 1986

Anda mungkin juga menyukai