Anda di halaman 1dari 40

KEDUDUKAN HADITS DALAM ISLAM

KELOMPOK 1 :
ELA SULI STIANA
60700116002
DEWI RESFITA SARI
60700116006
SUNARTI
60700116009
DINA PRATIWI
60700116012
SYAHRA TUL JANNAH
60700116014
RAHMATANG
60700116025

MIA ASTUTININGSIH
60700116026
JURUSAN ILMU PETERNAKAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah Ilmu Hadits yang berjudul Kedudukan
Hadits Dalam Islam ini dengan tepat waktu. Kami mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini yang tidak dapat kami sebutkan satu
per satu.
Di dalam makalah ini akan disampaikan masalah mengenai Kedudukan Hadits Dalam
Islam yang sudah kami susun dan diselesaikan dengan baik sehingga dapat dengan mudah di
pahami oleh mahasiswa UIN Alauddin Makassar.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan,
oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran guna membangun demi kesempurnaan
penulisan makalah kami selanjutnya.
Samata, 4 Oktober 2016
Penulis,

Kelompok 1

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Allah menciptakan manusia dengan sangat sempurna, karenanya tidak
ada makhluk Allah yang begitu sempurna kecuali manusia, yang diberikan
padanya akal yang sangat istimewa dan berharga, sehingga harus
dipergunakan dalam hal yang baik. Dan Allah juga memberikan hati,
penglihatan dan pendengaran kepada manusia supaya manusia itu sendiri
bersyukur atas apa yang dikaruniakan Allah kepadanya, ini tercantum
dalam
Q.S
An
Nahl
;
78.
Allah memberikan petunjuk kepada manusia berupa Al-Quran yang berisi
petunjuk ke arah pencapaian kebahagiaan di dunia dan akherat.
Kebahagiaan yang hendak dicapai bukanlah kebahagiaan berdasarkan
perkiraan-perkiraan pikiran manusia saja melainkan kebahagiaan yang
hakiki dan abadi. Untuk mencapai kebahagiaan itu, Al Quran telah
memberikan petunjuk yang sangat jelas yaitu meletakan seluruh aspek
kehidupan dalam kerangka ibadah kepada Allah.
Allah mengutus Nabi Muhammad saw sebagai utusan-Nya yang
bertugas menyampaikan Al Quran dan menjelaskan kepada umat manusia.
Al Quran diturunkan berupa wahyu oleh Allah dengan beberapa cara
diantaranya dengan jalan mimpi atau dalam keadaan sadar. Al Quran juga
diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan kondisi dan situasi,
sebagian menjawab permasalahan yang muncul di kalangan para shahabat
juga ada yang mengkhabarkan berita-berita masa lalu dan masa yang akan
datang.
Dalam menyampaikan Al Quran, Nabi juga menambahkan penjelasan
maksud dari ayat-ayat tersebut sehingga para shahabat bisa memahami
kandungan dari Al Quran. Nabi memberikan komentar, contoh tauladan dan
menyetujui perilaku shahabat yang tidak melanggar, yang kemudian

dikenal dengan istilah Hadits. Dengan demikian para shahabat


menyaksikan secara langsung perilaku rasul dan menirunya, setelah itu
para shahabat juga mengajarkannya kepada generasi selanjutnya.
Dengan menyimak kejadian semenjak Alloh menciptakan manusia,
membuat pedoman hidup, mengutus utusan dengan hak dan kewenangan
untuk menjelaskan hukum-hukum secara terperinci dan jelas, menjadi
sebuah keniscayaan bahwa apa yang dibawa Nabi selain dari Al Quran juga
merupakan
inti
dari
ajaran
yang
dibawanya.
Dalam makalah yang kami buat ini, kami mencoba untuk menjelaskan
tentang kedudukan Hadits dalam syariat Islam, dengan harapan bahwa
penjelasan para ulama terkait sumber hukum Islam yang kedua setelah Al
Quran adalah Hadits bisa lebih memberikan keyakinan kepada kami dan
pembaca pada umumnya.

B. Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.

Bagaimana
Bagaimana
Bagaimana
Bagaimana
Al-Quran?
5. Bagaimana
6. Bagaimana

Kedudukan Hadits dalam Islam?


Fungsi Hadits Terhadap Al Quran?
Pembagian Hadits?
Kedudukan Hadits terhadap Masalah yang tidak ada dalam
Bunyi Dalil-Dalil Kehujahan Hadits?
Fungsi-Fungsi Hadits sebagai Sumber Ajaran Islam?

C.Tujuan Masalah
Sejalan dengan rumusan masalah diatas, tujuannya adalah:
1.
Untuk mengetahui Kedudukan Hadits dalam Islam
2.
Untuk mengetahui Fungsi Hadits Terhadap Al Quran
3.
Untuk mengetahui Pembagian Hadits
4.
Untuk mengetahui Kedudukan Hadits terhadap Masalah yang tidak
ada dalam Al-Quran
5.
Untuk mengetahui Bunyi Dalil-dalil Kehujahan Hadits
6.
Untuk mengetahui Fungsi-fungsi Hadits sebagai Sumber Ajaran Islam

D.Metode Penulisan

Metode yang digunakan ialah Metode Kepustakaan, yaitu suatu

metode yang sistematis dimana penyusun mencari berbagai referensi


sebagai bahan rujukan yang sumbernya dapat dijadikan bahan yang
bersifat mutlak dan bersifat real.

BAB II
PEMBAHAS AN
A. KEDUDUKAN HADITS DALAM ISLAM
M. Hasbi Asshidiq mengatakan : Ahli Aql dan Ahli Naql dalam
Islam, telah berijma bahwa : Hadits (Sunnah) itu, dasar bagi hukumhukum Islam dan bahwa para umat ditugaskan mengikuti Hadits,
Sunnah ditugaskan mengikuti Al Quran. Tak ada perbedaan dalam
garis besarnya. Begitu juga dengan Drs. Fatchur Rahman, beliau
mengatakan Hampir seluruh umat Islam telah sepakat menetapkan
Hdits sebagai salah satu undang-undang yang wajib ditaati baik
berdasar petunjuk akal, petunjuk nash-nash Al Quran maupun Ijma
para sahabat.
Beliau juga menyertakan dalam bukunya alas an-alasan yang
kuat terkait penetapan Al Hadits sebagai sumber hukum, yaitu :
1. Menurut Petunjuk Akal
Nabi Muhammad adalah Rasul Tuhan yang telah diakui dan
dibenarkan ummat Islam. Di dalam melaksanakan tugas
Agama, yaitu menyampaikan Hukum-hukum Syariat kepada
ummat, kadang-kadang beliau membawakan peraturanperaturan yang isi dan redaksi peraturan itu telah diterima
dari Allah, dan kdang-kadang beliau membawakan peraturanperaturan hasil ciptaan sendiri atas bimbingan ilham dari
Tuhan. Dan tidak jarang pula beliau membawakan hasil ijtihad
semata-mata mengenai suatu masalah yang tiada ditunjuk
oleh wahyu atau dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini
terus berlaku sampai ada nash yang menasakhkannya. Sudah
layak sekali kalau peraturan-peraturan dan inisiatif-inisiatif

beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham,


maupun hasil ijtihad beliau, kita tempatkan sebagai sumber
hukum positif. Kepercayaan yang telah kitaberikan kepada
beliau sebagai utusan Tuhan mengharuskan kepada kita untuk
menthaati segala peraturan yang dibawanya.
2. Menurut Petunjuk Nash Al Quran
Al Quran telah mewajibkan ittiba dan menaati hukum-hukum
dan peraturan-peraturan yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad dalam beberapa ayat, antara lain :



Artinya : apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia. Dan apa yang diarangnya bagimu maka
tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah sangatlah keras hukumanNa. (Q.S. Al Hasyr : 7)

3. Menurut Ijma Para Sahabat


Para shahabat telah sepakat menetapkan wajibul ittiba
terhadap Al Hadits, baik pada masa Rasulullah masih hidup
maupun setelah wafat. Di waktu hayat Rasulullah, para
Shahabat sama konsekwen melaksanakan hukum-hukum
Rasulullah, mematuhi peraturan-peraturan dan meninggalkan
larangan-larangannya. Sepeninggal Rasulllah, para shahabat
bila tidak menjumpai ketentuan dalam Al Quran tentang
sesuatu perkara, mereka menanyakan bagaimana ketentuan
dalam Hadits. Abu Bakar sendiri kalau tidak ingat akan suatu
ketentuan dalam Hadits Nabi, menanyakan kepada siapa yang
masih mengingatnya. Umar dan shahabat lainpun meniru
tindakan Abu BAkar tersebut. Tindakan para Khulafaur
Rasyidin, tidak ada seorangpun dari shahabat dan tabiin yang
mengingkarinya. Karenanya hal demikian itu merupuakan
suatu ijma.
Keberlakuan Hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula
dengan kenyataan bahwa Al-Quran hanya memberikan garisgaris besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan
dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam
kehidupan manusia. Karena itu keabsahan Hadits sebagai
sumber ke dua secara logika dapat diterima. Diantara ayatayat yang menjadi bukti bahwa Hadits merupakan sumber
hukum dalam islam adalah firman Allah:
1. Q.S. An Nisa : 80

Barang siapa yang mentaati Rosul (Muhammad), maka


sesungguhnya dia telah mentaati Allah.
2. Q.S. An Nisa : 59

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah


Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali
kanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya)

3. Q.S. Ali Imran : 32

Katakanlah : Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu


berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang kafir.

Begitu pula halnya dengan hadits-hadits Nabi Shallallahu


alaihi wa sallam, banyak kita temui perintah yang mewajibkan
untuk mengikuti Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam segala
perkara, diantaranya ialah :
1. Hadits Shahih Riwayat Bukhari (No. 7280) dan Ahmad
(II/361)

: ,

Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Setiap
ummatku akan masuk syurga, kecuali yang enggan. Mereka
(para sahabat) bertanya : Siapa yang enggan itu ?. Jawab
Beliau : Barangsiapa yang mentaatiku pasti masuk syurga, dan
barangsiapa yang mendurhakaiku, maka sungguh ia telah
enggan.

2. Hadits Shahih Riwayat Bukhari (No. 7281). Fathul Baari


)(XIII/249-250



Artinya : Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu, ia berkata :
Telah datang beberapa malaikat kepada Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam, ketika beliau sedang tidur. Sebagian dari mereka
berkata : Dia sedang tidur, dan yang lainnya berkata :
Sesungguhnya matanya tidur tetapi hatinya sadar. Para malaikat
berkata : Sesungghnya bagi orang ini ada perumpamaan, maka
adakanlah perumpamaan baginya. Sebagian lagi berkata :
Sesungguhnya dia sedang tidur. Yang lain berkata : Matanya
tidur tetapi hatinya sadar. Para malaikat berkata : Perumpamaan
beliau Shallallahu alaihi wa sallam adalah seperti seorang yang
membangun rumah, lalu ia menyediakan hidangan dalam
rumahnya itu, kemudian ia mengutus seorang pengundang,
maka ada orang yang memenuhi undangannya, tidak masuk ke
rumah dan tidak makan hidangannya. Mereka berkata :
Terangkan tafsir dari perumpamaan itu agar orang dapat faham.
Sebagian mereka berkata lagi : Ia sedang tidur. Yang lainnya
berkata : Matanya tidur, tetapi hatinya sadar. Para malaikat
berkata : Rumah yang dimaksud adalah syurga, sedang
pengundang adalah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.
Barangsiapa mentaati Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam
berarti di taat kepada Allah, dan barangsiapa mendurhakai
Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam berarti dia telah
mendurhakai Allah ; dan Muhammad itu adalah pemisah diantara
manusia
3. Hadits Shahih Riwayat Bukhari (No. 6482, 7283) dan
Muslim
(No.
2283
))(16





Artinya : Dari Abu Musa Radhiyallahu anhu, dari Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Perumpamaanku dan
perumpamaan apa-apa yang Allah utus aku dengannya, adalah
seperti seorang yang mendatangi suatu kaum, lalu ia berkata :
Wahai kaumku sesungguhnya aku melihat pasukan musuh
dengan mata kepalaku, dan sesungguhnya aku mengecam yang
nyata, maka marilah menuju kepada keselamatan. Sebagian dari
kaum itu mentaatinya, lalu mereka masuk pergi bersamanya,
maka
selamatlah
mereka.
Sebagian
dari
mereka
mendustakannya, lalu mereka dihancurkan luluh lantakkan.
Demikianlah perumpamaan orang-orang yang taat kepadaku dan
mengikuti apa yang aku bawa ; serta demikian pula
perumpamaan orang yang durhaka kepadaku dan mendustakan
kebenaran yang aku bawa
4. Hadits Shahih Riwayat Ahmad (VI/8), Abu Dawud (No.
4605) dan ini aadalah lafazh miliknya, At-Tirmidzi (No. 2663),
Ibnu Majah (No. 13), Ibnu Hibban (No. 98-Mawarid) dan lainnya.


Artinya : Dari Abi Rafii Radhiyallahu anhu : Telah bersabda
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam : Nanti akan ada seorang
di antara kalian yang duduk di sofanya, lalu datang kepadanya
perintah dari apa-apa yang aku perintah dan aku larang. Ia
berkata : Aku tidak tahu apa-apa, yang kami dapati dalam
Kitabullah itu yang kami ikuti (dan yang tidak terdapat dalam
Kitabullah kami tidak ikuti)
.5. Hadits Shahih Riwayat Al-Hakim (1/93) dan Al-Baihaqy
(X/114)
:

Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata :


Telah bersabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ; Aku

tinggalkan dua perkara yang apabila kalian berpegang teguh


pada keduanya maka tidak akan sesat selama-lamanya yaitu
Kitabullah dan Sunnahku, serta keduanya tidak akan terpisah
sampai keduanya mendatangiki di Telaga (syurga).

B. FUNGSI HADITS TERHADAP AL QURAN


Fungsi Hadits terhadap Al Quran merupakan mubayyin
(penjelas) bagi Al Quran. Siapapun tidak bisa memahami Al Quran
tanpa memahami atau menguasai hadits. Begitu halnya menggunakan
hadits tanpa Al Quran karena Al Quran merupakan dasar hukum
pertama. Didalamnya berisi garis besar syariat, dengan demikian
antara Al Quran dan Hadits, karena Al Quran merupakan dasar hukum
pertama. Didalamnya berisi garis besar syariat, dengan demikian
antara Al Quran dan Hadits memiliki kaitan yang erat karena itu untuk
mengimani dan mengamalkannya tidak bisa terpisahkan atau berjalan
sendiri-sendiri.
Oleh karenanya Al Quran merupakan dasar syariat yang bersifat
sangat global sekali, sehingga agak monoton bila menggunakan dasar
Al Quran saja tanpa adanya penjelasan lebih lanjut, maka akan
banyak sekali masalah yang tak mungkin terselesaikan. Contoh pada
kenyataan praktik shalat, dalam Al Quran hanya tertulis perintah saja
untuk mendirikan shalat, tanpa ada penjelasan berapa kali shalat
dalam sehari semalam, juga apa-apa syarat-syaratnya shalat itu
sendiri, juga rukunnya apa saja, dan lain sebagainya. Sehingga orang
yang hanya berpegang pada Al Quran saja tidak mungkin dapat
mengerjakan sholat dengan sesempurna mungkin dengan adanya
syarat, rukun, apa saja yang harus dijauhi dalam shalat dan lain
sebagainya. Kalau hanya melihat dalam konteks Al Quran saja,
sehingga jelas harus dibarengi dengan paparan-paparan yang ada
dalam Hadits. Sebagaimana juga M Hasbi Ashshidiq menyebutkan
dalam bukunya, maka disinilah urgensitas hadits yang mempunyai
peran yang sangat penting dalam penafsiran dan penjelasan Al Quran,
sehingga kita sebagai manusia muslim dapat mempelajari dan
memahami Al Qur;an secara utuh dan sempurna.
Adapun fungsi Hadits terhadap Al Quran menurut Drs. Fatchur
Rahman adalah :
1. Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah
ditentukan oleh Al Quran. Maka keduanya menjadi sumber hukum
dalam Islam. Contohnya dalam Q.S. Al Hajj : 30


Artinya : Dan jauhilah perkataan dusta
Kemudian Nabi bersabda dengan Hadits menguatkannya :

, : . :
( ) : .
Artinya : Perhatikan ! Aku akan memberitahukan kepadamu
sekalian sebesar-besarnya dosa besar! Sahut kami : Baiklah, hai
Rasulullah Beliau meneruskan sabdanya : Musyrik kepada Allah,
Menyakiti kedua orang tua. Saat itu Rasulullah sedang bersandar,
tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: Awas berkata (bersaksi
palsu).
2. Memberikan perincian dan juga penafsiran ayat-ayat Al Quran yang
masih mujmal, memberikan taqyid (persyaratan) ayat-ayat yang
masih muthlaq, dan memberikan takhsish (penentuan khusus) ayatayat yang masih umum. Misalnya perintah shalat, membayar zakat
dan menunaikan ibadah haji. Seperti juga contoh kecil dalam Al
Quran : Diharamkannya memakan bangkai, darah, dan daging
babi dan seterusnya. Kemudian oleh hadits diperinci bahwa
Dihalalkannya bagi kita dua bangkai, yaitu bangkai ikan dan
bangkai belalang dan seterusnya.
3. Menetapkan hukum atau aturan yang tidak didapati di dalam Al
Quran. Penjelasanya lebih detil di bagian berikutnya.
Para ulama sepakat baik ulama Ahlur Rayi, maupun ulama ahlul
atsar menetapkan bahwa Hadits itulah yang bertindak mensyarahkan
dan menjelaskan Al Quran. Namun, pada keduanya yaitu Ahlur Rayi
dan Ahlul Atsar terdapat perbedaan menurut M. Hasby Ashidiq.
Menurut pendapat fuqaha Ahlu Rayi, sesuatu titah Al Quran yang
khash madlulnya, tidak memerlukan lagi kepada penjelasan As
Sunnah. As Sunnah yang datang mengenal titah yang khash itu
ditolak, dihukum menambah, tidak diterima, terkecuali sama
kekuatannya dengan ayat itu. Sedangkan Ahlu Atsar berpendapat,
bahwa segala hadits yang shahih mengenai masalah yang telah
diterangkan Al Quran harus dipandang menjeaskan Al Quran,
mentakhsiskan umum Al Quran dan mengqayidkan mutlaq Al Quran.
Sudah jelaslah bahwa Al Quran dan Al Hadits merupakan dua sumber
syariat Islam yang tidak bisa dipisahkan, sehingga keduanya saling
berkaitan satu sama lainnya.

C. PEMBAGIAN HADITS
1. DARI SEGI JUMLAH PERIWAYATNYA
Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya
perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis

besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits


mutawatirdan hadits ahad.
a. Hadits Mutawatir
a) Ta'rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriringiringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:

Artinya : "Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar
rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."

Artinya:

"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah


rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta,
hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak
terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala
berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera,
seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji
maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang

banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan


berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu
perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak
mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan
penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits
itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits
tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi
menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau
mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan
pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya.
Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang
meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang
secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak
mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah
secara mutawatir.

b) Syarat-Syarat Hadits Mutawatir


Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi
persyaratan
sebagai
berikut
:
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus
berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa
berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran
semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang
semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan
pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya,
maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang
memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2.Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut
adat mustahil mereka untuk berdusta . Dalam hal ini para ulama
berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak
memumgkinkan bersepakat dusta.

a.Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang . Hal


tersebut diqiyaskan
dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh
hakim .
b.Ashabus Syafiimenentukan minimal 5 orang . Hal terseut
diqiyaskan dengan jumlah para nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi
.
c.Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang.
Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah
tentang orang-orang mukmin yang tuhan uji ,yang dapat
menghalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat AlAnfal 65)
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurangkurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:

"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu


(menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).
3.
Seimbang
jumlah
para
perawi,
sejak
dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat
berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti
ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi
menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat
karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah
berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya
hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di
atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang
menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang
dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya
sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan

ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits


mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri alMutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir
Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar
Al-Khattani (1345 H).

c) Faedah Hadits Mutawatir


Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan
untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan
mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath'i (pasti),
dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar
menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan
oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap
rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya
tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya
mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat
dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan
mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat
tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan
bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits
mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang
berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).

d) Pembagian Hadits Mutawatir


Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1. Hadits Mutawatir Lafzi

Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara


lain :

"Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi
dan demikian juga pada hukum dan maknanya."
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :

"Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas


namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di
neraka."
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas
diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam
kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima
200 sahabat.

2. Hadits Mutawatir Maknawi


Hadits mutawatir maknawi adalah :

Artinya
:
"Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat
diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum."
Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir
yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis
tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam
maknanya.
Contoh :

Artinya
:
"Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam
doa-doanya selain dalam doa salat istiqa' dan beliau
mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua
ketiaknya." (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada
banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang
berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh
Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :

Artinya :
"Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua
pundak beliau."

3. Hadits Mutawatir Amali


Hadis Mutawatir Amali adalah :

Artinya :
"Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari
agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa
Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya
atau serupa dengan itu."
Contoh :
Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan
jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa
hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita
mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW
melakukannya atau memerintahkannya demikian.

Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di


atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua)
macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke

dalammutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya


dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.
b. Hadis Ahad
a). Pengertian Hadits Ahad
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara laian
adalah:

Artinya:
"Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai
jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua
orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi
jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut
masuk ke dalam hadis mutawatir."
b). Faedah Hadits Ahad
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat'i,
sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan,
oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat
diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui
bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka
sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana
hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam
berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa "Apakah hadis tersebut
maqbul atau mardud". Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya.

Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita
mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau
hasan), hendaklah kita
periksa
apakah
ada muaridnya yang
berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka
hadis itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara
keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak
bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi
diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita
tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita
pandang nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan
menarjihkan salah satunya. Kita ambil yangrajih, kita tinggalkan yang
marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita
dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis,
sesudah
nyata
sahih
atau
hasannya,
baik
ia muhkam,
atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
2. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung
kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan
keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu
hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan
matan yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi
lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang diriwayatkan oleh satu orang
rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi
tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi .
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang
sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya,
lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi
yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang
jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh
rawi pendusta.

Artinya
:
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk
(memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami
tentukan."
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang,
bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang
pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.
Kata-kata
(dari sejumlah rawi yng semisal dan
seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadis ahad yang
pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh
sejumlah rawi mutawatir.
Contoh hadis :

Artinya
"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya."

Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan


sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadis yang demikian bukan
termsuk hadis mutawatir.
Kata-kata
(dan sandaran mereka adalah
pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat
dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat
menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan
demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang
disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan
firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional

murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal


ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal
bukan berita.
Bila dua hadis memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya,
maka hadis yang matannya seiring atau tidak bertentangan
dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadis
yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Alquran. Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau
taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadis berasal dari
Rasulullah.
Hadis yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf
kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadis
itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah tingkatannya
berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan
tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi
rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya
kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber Islam.
Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu
hadis sahih, hadis hasan, dan hadis daif. Pada umumnya para
ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan
keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis
tersebut menjadi hadis sahih, hasan, dan daif.
1. Hadits Sahih
Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari
cacat, hadis yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan
hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :

Artinya :
"Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan
maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau
ijimak serta para rawinya adil dan dabit."
2. Hadits Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut
Imam Turmuzi hasis hasan adalah :

Artinya
:
"yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis
yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang
diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi
yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal
diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis
yang demikian kami sebut hadis hasan."
3. Hadits Daif
Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni
para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah)
tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW. Para
ulama memberi batasan bagi hadis daif :

Artinya :
"Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis
sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan."
Jadi hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis
sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadis
hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan
lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan
berasal dari Rasulullah SAW.
3. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan
pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama khususnya
hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai derajat mutawatir.
Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu
darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan
dengan hal tersebut di atas, hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat
diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis
maqbul danhadis mardud.
1. Hadits Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima,
yang dibenarkan. Sedangkan menuruturf Muhaditsin hadis
Maqbul ialah:

Artinya:
"Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi
Muhammad SAW menyabdakannya."

Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib


diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadis maqbul
adalah:
* Hadis
sahih,
baik
yang lizatihu maupun
yang ligairihi.
* Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Kedua macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul
yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga
ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang
maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan
terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya
disebabkan
datangnya
hukum
atau
ketentuan
barn
yangjugaditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang
menghapuskan)disebut dengan hadis nasikh,sedangkan yang
datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis
mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang
maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang
lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang
kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut
dengan hadis marjuh.
Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadis maqbul
dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadis maqbulun bihi dan
hadis gairu ma'mulin bihi.
1. Hadits Maqmulun Bihi
Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan
apabila yang termasuk hadis ini ialah:
a. Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai
perlawanan
b. Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling
berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudah

c. Hadis nasih
d. Hadis rajih
2. Hadits Gairo Makmulinbihi
Hadis gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak
diamalkan. Di antara hadis-hadis maqbul yang tidak
diamalkan
a. Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif yang tidak
dikompromikan, tidak dapat ditansihkan dan tidak pula
ditarjihkan
b. Hadits Mansuh

dapat
dapat
ialah:
dapat
dapat

c. Hadis marjuh.

2. Hadits Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak
diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadis mardud ialah :

Artinya:
"Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya
dan
tidak
menunjuki
keterangan
yang
kuat
atas
ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya
bersamaan."
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama
mewajibkan untuk menerima hadis-hadis maqbul, maka
sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan
tidak boleh diamalkan (harus ditolak). Jadi, hadis mardud adalah
semua hadis yang telah dihukumi daif.

4. DARI SEGI PERKEMBANGAN SANADNYA


a. Hadis Muttasil (Hadits Mausul)

Artinya:
"Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh masingmasing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada
ujung sanadnya, baik hadis marfu' maupun hadis mauquf."
Kata-kata "hadis yang didengar olehnya" mencakup pula
hadis-hadis yang diriwayatkan melalui cara lain yang telah
diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah.
Dalam definisi di atas digunakan kata-kata "yang didengar"
karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan
yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan,
sehubungan dengan hadis Mu 'an 'an, bahwa para ulama
Mutaakhirin menggunakan kata 'an dalam menyampaikan
hadis yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian
tidaklah menafikan hadis yang bersangkutan dari batas Hadis
Muttasil.
Contoh Hadis Muttasil Marfu' adalah hadis yang diriwayatkan
oleh Malik; dari Nafi' dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah
SAW bersabda:

Artinya: "Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakanakan menimpakan bencana kepada keluarga dan hartanya"
Contoh hadis mutasil maukuf adalah hadis yang diriwayatkan
oleh Malik dari Nafi' bahwa ia mendengar Abdullah bin Umar
berkata:

Artinya:
"Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh
menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya."
Masing-masing hadis di atas adalah muttasil atau mausul, karena
masing-masing rawinya mendengarnya dari periwayat di
atasnya, dari awal sampai akhir.
Adapun hadis Maqtu yakni hadis yang disandarkan kepada
tabi'in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa
hadis maqtu termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi jumhur
mudaddisin berkata, "Hadis maqtu tidak dapat disebut hadis
mausul atau muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya
disertai
kata-kata
yang
membedakannya
dengan
Hadis mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan
"Hadis ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab
dan sebagainya ". Sebagian ulama membolehkan penyebutan
hadis maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil secara mutlak
tanpa batasan, diikutkan kepada kedua hadis mausul di atas.
Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadis
yang berpangkal pada tabi'in dinamai hadis maqtu. Secara
etimologis hadis maqtu' adalah lawan Hadis mausul. Oleh karena
itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya kepada
tabi'in.
2. Hadis Munqati'
Kata Al-Inqita' (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan)
yang menurut bahasa berarti memisahkan sesuatu dari yang

lain. Dan kata inqita' merupakan akibatnya, yakni terputus.


Katainqita' adalah
lawan
kata ittisal (bersambung)
dan AlWasl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian rawi
pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam
memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Menurut
kami, hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah
tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama
mutaakhirin.
Definisi Munqati' yang paling utama adalah definisi
dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, yakni:

yang

Artinya:
"Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung
sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun
disandarkan kepada yang lain."
Hadis yang tidak bersambung sanadnya adalah hadis yang pada
sanadnya gugur seorang atau beberapa orang rawi pada
tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu,
penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:

Artinya:
Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun
keadannya adalah termasuk Hadis Munqati' (terputus)
persambungannya."
Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadis,
An-Nawawi berkata, "Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih

oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis


lainnya". Dengan demikian, hadis munqati' merupakan suatu
judul yang umum yangmencakup segala macam hadis yang
terputus sanadnya.
Adapun ahli hadis Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut
sebagai berikut:

Artinya:
"Hadis Munqati adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya
sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan
catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih
dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad."

Definisi ini menjadikan hadis munqati' berbeda dengan hadishadis yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ketentuan
"Salah seorang rawinya" defnisi ini tidak mencakup hadis mu'dal;
dengan kata-kata, "Sebelum sahabat" definisi ini tidak mencakup
hadis mursal; dan dengan penjelasan kata-kata "Tidak pada awal
sanad" definisi ini tidak mencakup hadis muallaq

D.KEDUDUKAN HADIST TERHADAP MASALAH YANG


TIDAK ADA DALAM Al-QURAN
Kedudukan Hadits dalam menetapkan hukum baru yang
ditetapkan oleh Al Quran menunjukkan bahwa Hadits merupakan
sumber hukum Islam. Kedudukan Hadits sebagai seumber hukum Islam

sesudah Al Quran, sebab kedudukannya sebagai penguat atau


penjelas. Karena dalam Al Quran terhadap ayat-ayat yang
memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk taat secara mutlak
kepada apa yang diperintahkan dan dia yang dilarang Rasul dan
mengancam orang yang menyelisihnya. Menurut Ahmad Hanafi
kedudukan Hadits sebagai sumber hukum sesudah Al Quran dapat
berdiri
sendiri
dalam
mengadakan
hukum-hukum,
seperti
menghasilkan atau mengharamkan sesuatu. Kekuatannya sama
dengan Al Quran. Kadang kadang hadits membawa hukum yang
tidak disebutkan di dalam Al Quran. Kadang-kadang hadits membawa
hukum yang tidak disebutkan di dalam Al Quran, seperti memberikan
warisan kepada nenek perempuan dimana Nabi memberikan 1/6 dari
harta
peninggalan
cucunya
dalam
Haditsnya
:


.
Dari Buraidah ra yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad Saw
menjadikan bagian seperenam untuk nenek (dengan syarat) bila tidak
didapati ibu bersamanya (H. R. Abu Dawud dan An Nasai).
Masalah-masalah yang tidak terdapat dalam Al Quran banyak
sekali, sehingga apabila menjadikan Al Quran saja sebagai sumber
hukum tanpa menggunakan hadits maka hukum-hukumnya tidak
terperinci dan jelas.

E.BUNYI DALIL DALIL KEHUJJAHAN HADITS


Yang dimaksud dengan kehujjahan Hadits (hujjiyah hadits)
adalah keadaan Hadits yang wajib dijadikan hujah atau dasar hukum
(al-dalil al-syari), sama dengan Al-Quran dikarenakan adanya dalildalil syariah yang menunjukkannya. Sunnah adalah sumber hukum
Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Quran.
Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Quran sebagai sumber
hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga
merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak
kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja
memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Quran
sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran AlHadits, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan
umat Islam harus kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah, diantara
ayatnya adalah sebagai berikut :

1). Setiap Mumin harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (AlAnfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali Imran: 32, al- Mujadalah:
13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
2)Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa:
80, Ali Imran: 31).
3)Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal:
13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
4)Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (AnNisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena
selain memang di perintahkan oleh Al-Quran juga untuk memudahkan
dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak
dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al
Quran sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi
sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan
kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar
dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat
Al-Quran dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan
umum. Dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah
Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran
dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna),
muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau
tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila
penafsiran-penafsiran
tersebut
hanya
didasarkan
kepada
pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan
tafsiran-tafsiran
yang
sangat
subyektif
dan
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan.
Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita
umat Islam kembali kepada As-Sunnah dalam menghadapi
permasalahannya.
Asy-Syafii berkata :



Apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan
dengan sunnah Rasulullah Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah
Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa yang telah aku katakan.
Perkataan imam Syafii ini memmberikan pengertian bahwa
segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam
kenyataannya berlawanan dengan hadits Nabi SAW. Dan apa yang

dikategorikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus


kita tinggalkan apabila dalam Asy-Syafii ini juga dikatakan oleh para
ulama yang lainnya.
Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan
sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan
perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.
Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadits sebagai
sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam
bentuk naqli ataupun aqli :
1.Dalil Al-Quran
Banyak ayat Al-Quran yang menerangkan tentang kewajiban
mempercayai dan menerima segala yang datng daripada Rasulullah
Saw untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya adalah :
Firman Allah Swt dalam surah Ali Imran ayat 179 yang berbunyi :

Artinya:
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman
dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang
buruk (munafik) dari yang baik (mu'min). Dan Allah sekali-kali tidak
akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi
Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya.
Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu
beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.(QS:Ali
Imran:179)
Dalam Surat An-Nisa ayat 136 Allah Swt berfirman:

Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya,
serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya,
dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauhjauhnya.(QS:An-Nisa:136).
Dalam QS. Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara orangorang mukmin dengan orang-orang yang munafiq, dan akan
memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman
mereka. Oleh karena itulah, orang mukmin dituntut agar tetap beriman

kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan pada QS. An-Nisa, Allah


menyeru kaum Muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah,
rasul-Nya (Muhammad SAW), al-Quran, dan kitab yang diturunkan
sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah mengancam orangorang yang mengingkari seruan-Nya.
Selain Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam agar
percaya kepada Rasulullah Saw. Allah juga memerintahkan agar
mentaati segala peraturan dan perundang-undangan yang dibawanya.
Tuntutan taat kepada Rasul itu sama halnya dengan tuntutan taat dan
patuh kepada perintah Allah Swt. Banyak ayat al-Quran yang
mnyerukan seruan ini.
Perhatikan firman Allah SWT. Dalam surat Ali-Imran ayat 32
dibawah ini:

Artinya:
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS:Ali Imran :
32).
Dalam surat An-Nisa ayat 59 Allah Swt juga berfirman:








Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.(QS:An-Nisa : 59).
Juga dalam Surat An-Nur ayat 54 yang berbunyi:



Artinya:
Katakanlah: "Ta'at kepada Allah dan ta'atlah kepada rasul; dan jika
kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa
yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah
semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta'at
kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain

kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan


terang".(An-Nur:54).
Masih banyak lagi ayat-ayat yang sejenis menjelaskan tentang
permasalahan ini. Dari beberapa ayat di atas telah jelas bahwa
perintah mentaati Allah selalu dibarengi dengan perintah taat terhadap
Rasul-Nya. Begitu juga sebaliknya dilarang kita durhaka kepada Allah
dan juga kepada Rasul-Nya.
Dari sinilah jelas bahwa ungkapan kewajiban taat kepada
Rasulullah Saw dan larangan mendurhakainya, merupakan suatu
kesepakatan yang tidak dipersilihkan umat Islam.
2.Dalil Hadits
Dalam salah satu pesan yang disampaikan baginda Rasul
berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman
hidup disamping Al-Quran sebagai pedoman utamanya, adalah
sabdanya:


( )
Artinya :
Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan
tersesat selam-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada
keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik).
Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan
pegangan hidup setelah Al-Quran dalam menyelesaikan permasalahan
dan segalah hal yang berkaitan dengan kehidupan khususnya dalam
menentukan hukum.
3.Kesepakatan Ulama (Ijma)
Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber
hukum kedua setelah Al-Quran. Kesepakatan umat muslimin dalam
mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang
terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak jaman Rasulullah,
sepeninggal beliau, masa khulafaurrosyidin hingga masa-masa
selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya.
Banyak
peristiwa
menunjukkan
adanya
kesepakatan
menggunakan Hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain adalah
peristiwa dibawah ini :
a.Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, saya
tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh
Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan
perintahnya.
b.Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, saya tahu
bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah
menciummu, saya tidak akan menciummu.
c.Pernah ditanyakan kepad Abdullah bin Umar tentang ketentuan
sholat safar dalam Al-Quran. Ibnu Umar menjawab, Allah SWT telah
mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak

mengetahui sesuatu, maka sesugguhnya kami berbuat sebagaimana


kami melihat Rasulullah berbuat.
Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa yang
diperintahkan, dilakukan, dan diserukan oleh Rasulullah SAW, selalu
diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh
umatnya.
4.Sesuai dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)
Kerasulan Muhammad SAW, telah diakui dan dibenarkan oleh
umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu kadangkala beliau
menyampaikan apa yang datang dari Allah SWT, baik isi maupun
formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan
wahyu dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau menawarkan hasil
ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing
oleh wahyu. Hasil ijtihad ini tetap berlaku hingga akhirnya ada nash
yang menasakhnya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hadits merupakan
salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki
urutan kedua setelah Al-Quran. Sedangkan bila dilihat dari segi
kehujjahannya, hadits melahirkan hukum dzonni, kecuali hadits
mutawatir.

F.FUNGSI HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM


Al-Quran dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan
ajaran dalam islam, antara satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan.
Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-quran sebagai sumber pertama dan
utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh
karena itu kehadiran hadis, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk
menjelaskan keumuman isi al-Quran tersebut. Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT :

Artinya :
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan. (QS. An-Nahl : 44)
Dalam hubungan dengan Al-Quran, hadis berfungsi sebagai penafsir,
pensyarat dan penjelas dari ayat-ayat Al-Quran. Apabila disimpulkan
tentang fungsi hadis dalam hubungan dengan Al-Quran adalah sebagai
berikut:
A. Bayan At-Tafsir

Yang dimaksud dengan bayan At -Tafsir adalah menerangkan ayat- ayat


yang sangat umum, mujmal, dan musytarak. Fungsi hadist dalam hal ini
adalah menerangkan perincian ( tafshil ) dan penafsiran terhadap ayat-ayat
Al-Quran yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih
muthlaq, dan memberikan takhshish ayat-ayat yang masih umum.
Diantara contoh bayan At -Tafsir mujmal adalah seperti hadist yang
menerangkan kemujmalan ayat-ayat tentang perintah Allah SWT untuk
mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan haji. Ayat-ayat Al-Quran yang
menjelaskan tentang beribadah tersebut masih bersifat global atau secara
garis besarnya saja. Contohnya kita diperintahkan shalat, namun Al-Quran
tidak menjelaskan bagaimana tata cara shalat, tidak menerangkan rukunrukunnya dan kapan waktu pelaksanaannya. Semua ayat tentang kewajiban
shalat tersebut dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dengan sabdanya :

( )


Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat. (HR. Bukhari)


Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam AlQuran tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan
shalat adalah :
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang
yang ruku'. (QS. Al-Baqoroh[2]: 43)
B. Bayan At-Taqrir
Bayan At-Taqrir atau sering juga disebut bayan at-takid dan bayan alitsbat adalah hadist yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat
pernyataan Al-Quran. Dalam hal ini, hadis hanya berfungsi untuk
memperkokoh isi kandungan Al-Quran. Suatu hadis yang diriwayatkan
muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi sebagai berikut :



( )




Apabila kalian melihat (ruyah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila


melihat (ruyah) itu maka berbukalah. (HR. Muslim)
Hadis ini datang men-taqrir ayat al-Quran di bawah ini yang artinya :
Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah
ia berpuasa... (QS. Al-Baqoroh [2]: 185)
C. Bayan At-Tasyri
Yang dimaksud dengan bayan at-tasyri adalah mewujudkan sesuatu
hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Quran. Bayan ini
juga disebut dengan bayan zaid ala Al-Kitab Al-Karim. Hadits merupakan
sebagai ketentuan hukum dalam berbagai persoalan yang tidak ada dalam
Al-Quran.
Hadits bayan at-tasyri ini merupakan hadits yang diamalkan
sebagaimana dengan hadits-hadits lainnya. Ibnu Al-Qayyim pernah berkata
bahwa hadits-hadits Rasulullah Saw itu yang berupa tambahan setelah AlQuran merupakan ketentuan hukum yang patut ditaati dan tidak boleh kitaa
tolak sebagai umat Islam.
Suatu contoh dari hadits dalam kelompok ini adalah tentang hadits
zakat fitrah yang berbunyi :



Artinya:
Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada
bulan Ramadhan satu sukat (sha) kurma atau gandum untuk setiap orang,
baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan.
Hadits yang termasuk bayan Tasyri ini wajib diamalkan sebagaimana
dengan hadits-hadits yang lainnya.
D. Bayan An-Nasakh
Secara bahasa an-naskh bisa berarti al-ibthal (membatalkan), al-ijalah
(menghilangkan), at-tahwil (memindahkan) atau at-tagyar (mengubah).
Para Ulama baik mutaqaddimin maupun mutaakhirin berbeda
pendapat dalam mendefinisikan bayan an-nasakh. Perbedaan ini terjadi
karena perbedaan di antara mereka dalam mendefinisikan kata naskh dari
segi kebahasaan.
Menurut Ulama mutaqaddimin, yang dimaksud dengan bayan annasakh adalah adanya dalil syara yang datang kemudian. Dan pengertian
tersebut menurut ulama yang setuju adanya fungsi bayan an nasakh, dapat
dipahami bahwa hadis sebagai ketentuan yang datang berikutnya dapat
menghapus ketentuan-ketentuan atau isi Al-Quran yang datang kemudian.
Menurut ulama mutaqoddimin mengartikan bayan an-nasakh ini
adalah dalil syara yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada,
karena datangnya kemudian. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini
hanya terhadap hadits-hadits muawatir dan masyhur saja. Sedangkan
terhadap hadits ahad ia menolaknya.
Salah satu contoh hadits yang biasa diajukan oleh para ulama adalah
hadits :

Artinya :
Tidak ada wasiat bagi ahli waris.Hadits ini menurut mereka me-nasakh isi
Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 180
yang artinya :
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tandatanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibubapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orangorang yang bertakwa.(QS:Al-Baqarah:180)

BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan

Dari pembahasan tersebut, dapat kami simpulkan bahwa :


1.Hadis merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam
yang menduduki urutan kedua setelah Al-Quran.

2.Hadits yang wajib dijadikan hujah atau dasar hukum sama dengan
Al-Quran
dikarenakan
adanya
dalil-dalil
syariah
yang
menunjukkannya. Al-Quran dan hadist sebagai pedoman hidup,
sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara yang satu dengan yang
lainya tidak dapat dipisahkan. Al-Quran itu adalah pokok hukum
syariat, pegangan umat Islam yang secara rinci menerima penjelasan
dari sunnah.
3.Fungsi hadis terhadap Al-Quran adalah sebagai :
a.Bayan al-Taqrir (penjelasan memperkuat apa yang telah ditetapkan
dalam Al-Quran.
b.Bayan al-Tafsir (menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat yang
terdapat dalam Al-Quran).
c.Bayan al-Tasyri (mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang
tidak didapati dalam Al-Quran hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl)
saja).
d.Bayan al-Nasakh (menghapus, menghilangkan, dan mengganti
ketentuan yang teradapat dalam Al-Quran).
B.Saran
Setelah pempelajari sumber-sumber ajaran Islam, dalil kehujjahan dan
fungsi hadits diharapkan tidak lagi terjadi salah penafsiran terhadap semua
hal tersebut. Karena itu, sudah seharusnya kita memperdalam ilmu
pengetahuan supaya kita mampu memahami semua sumber-sumber ajaran
Islam, dalil kehujjahan dan fungsi hadits tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

https://ulumhadis.wordpress.com/2013/10/16/kedudukan-hadits-dalamsyariat-islam/
http://uinkediri.blogspot.co.id/2014/12/contoh-makalah-kedudukan-haditssebagai.html
http://nurulfikriqq.blogspot.co.id/2013/11/kedudukan-fungsi-hadits-dalamajaran.html
Drs. Munzier Suparta M.A. Ilmu Haits. PT Raja Grafinda Persada Jakarta.
2006

Anda mungkin juga menyukai