Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

AL-QUR’AN SUMBER ILMU PENGETAHUAN:


DISKURSUS SEPUTAR PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG
PENAFSIRAN ILMIAH ( TAFSIR ILMI )

MAKALAH INI DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS ULUMUL QUR‘AN

Disusun oleh :

Moh Sony Nasrullah (2370134021)


Mohammad Zainus Subkhan (2370134022)

PROGRAM STUDI
MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM UNIVERSITAS PTIQ
JAKARTA
AL-QUR’AN SUMBER ILMU PENGETAHUAN :
DISKURSUS SEPUTAR PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG PENAFSIRAN
ILMIAH ( TAFSIR ILMI )
Moh Sony Nasrullah (2370134021), Arham (2370134002)
Mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan Islam Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta
Korespodensi: sony.narullah@gmail.com
Korespodensi: moh.zainussubkhan@gmai.com

ABSTRAK
Usaha menafsirkan Al-Qur‘an adalah upaya memahami arahan dan kehendak Allah
serta operasionalisasi kehendak itu dalam hidup manusia. Dialog peradaban Islam dengan
peradaban Yunani, India, dan Persia berawal sejak diterjemahkannya beberapa karya mereka
pada masa keemasan Islam. Hal itu berpengaruh pada lahirnya beraneka ragam metode dan
aliran penafsiran al-Qur‘an. Corak penafsiran Al-Qur‘an juga beragam, mulai dari yang
bernuansa fiqhi, balaghi, isyari, sampai kalami atau falsafi. Ditemukan juga metode tafsir ‘ilmi
yang orientasinya adalah pemanfaatan hasil temuan di bidang sains untuk membuktikan
berbagai kebenaran fakta ilmiah yang disebutkan dalam al-Qur‘an. Corak penafsiran ilmi
dalam khazanah ilmu tafsir Al-Qur‘an menimbulkan pro dan kontra di kalangan para ulama
dan mufassir. Artikel ini bertujuan untuk menelusuri pentingnya memahami hubungan Al-
Qur‘an dan ilmu pengetahuan, hubungan antara ayat-ayat Qur’aniyyah dengan ayat-ayat
Kauniyyah, juga menelusuri upaya pemahaman Al-Qur‘an dalam bentuk tafsir selalu
berkembang seiring perkembangan peradaban manusia, hingga dalam perjalanannya sains
dan al-Qur‘an kemudian dapat dipertemukan secara dialogis, meskipun tentunya dengan
prasyarat-prasyarat penafsiran yang jelas. Metode penelitian ini bersifat kualitatif dengan
menggunakan metode deskriptif melalui analisis teori serta studi kepustakaan. Hasil dari
penelitian ini menyimpulkan ilmu pengetahuan merupakan isi pokok kandungan kitab suci Al-
Qur’an dan terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai penafsiran ilmiah. Penelitian ini
memiliki signifikasi untuk pengembangan diskursus ilmu literatur Ulumul Qur’an. Kesimpulan
pada penelitian ini adalah tujuan ilmu pengetahuan dan agama adalah satu ialah menciptakan
kebahagiaan jasmani dan ruhani manusia, sebagaimana tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Keyword: Al-Qur’an, Tafsir, Ilmu Pengetahuan, Ijaz
ABSTRACK
The effort to interpret the Qur'an is an effort to understand God's direction and will and the
operationalization of that will in human life. The dialogue between Islamic civilization and Greek, Indian and
Persian civilization began when several of their works were translated during the golden age of Islam. This
influenced the birth of various methods and schools of interpretation of the Koran. There are also various
styles of interpretation of the Qur'an, ranging from nuances of fiqhi, balaghi, isyari, to kalami or falsafi. The
scientific interpretation method was also found, the orientation of which is the use of findings in the field of
science to prove the truth of various scientific facts mentioned in the Qur'an. The style of scientific
interpretation in the treasures of Al-Qur'an exegesis gives rise to pros and cons among scholars and
interpreters. This article aims to explore the importance of understanding the relationship between the Al-
Qur'an and science, the relationship between the verses of the Qur'aniyyah and the verses of the Kauniyyah,
as well as exploring efforts to understand the Al-Qur'an in the form of interpretation which always develops
along with the development of human civilization. so that in the course of its journey science and the Qur'an
can then be brought together dialogically, although of course with clear interpretive prerequisites. This
research method is qualitative using descriptive methods through theoretical analysis and literature study.
The results of this research conclude that science is the main content of the holy book Al-Qur'an and there
are differences of opinion among scholars regarding scientific interpretation. This research has significance
for the development of discourse on the literature of Ulumul Qur'an. The conclusion of this research is that
the goal of science and religion is one, namely to create human physical and spiritual happiness, as stated in
the verses of the Qur'an.

Keywords: Al-Qur‘an, scientific interpretation, Knowledge, ijaz.


AL-QUR’AN SUMBER ILMU PENGETAHUAN:
DISKURSUS SEPUTAR PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG PENAFSIRAN
ILMIAH ( TAFSIR ILMI )

1. PENDAHULUAN
Tujuan utama setiap usaha menafsirkan Al-Qur’an sejak masa lalu hingga saatini
adalah menjelaskan kehendak Allah Swt dan operasionalisasi kehendak itu di bidang
akidah dan hukum syar’i yang dikandungnya, serta nilai-nilai etis dan keadaban yang
dibawa oleh Al-Qur’an untuk perbaikan dan pembersihan jiwa manusia. Pada masa
peradaban, muncul berbagai metode dan aliran tafsir Al-Qur’an.
Selain ditemukan corak tafsir, ditemukan pula metode tafsir ilmi yang berorientasi
pada pemanfaatan hasil temuan di bidang sains untuk membuktikan berbagai kebeneran
fakta ilmiah yang pernah disebutkan oleh Al-Qur’an.
Ada beberapa tokoh seperti Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H), Fakhruddin Al-
Razi (w 606 H), Ibn Abi Al-Fadl Al-Mursi (570-655 H) adalah representasi pemikir
muslim klasik yang menandakan gelombang pertama berupa isyarat keharusan
menafsirkan Al-Qur’an dengan bantuan penemuan sains di zamannya.
Sains dalam literatur diperkuat dengan ‘Ulum Al-Qur’an terutama dua karya yang
sangat populer yaitu ‘al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an’ yang disusun oleh Badruddin al-
Zarkasyi (w 794 H) dan ‘al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an’ yang ditulis oleh Jalaluddin al-
Suyuthi (w 911 H). Maksud dari pada sains di sini adalah ilmu-ilmu pengetahuan tentang
alam semesta seperti: ilmu teknik, astronomi, matematika, biologi, kimia, ekonomi-
sosial, flora-fauna, geologi dan lain sebagainya.
Ada beberapa definisi yang diberikan beberapa pakar tentang tafsir ilmi/saintifik
ini, diantaranya:
Pertama, definisi yang diajukan oleh Amin al-Khuli adalah: “Tafsir yang
memaksakan istilah-istilah keilmuan kontemporer atas redaksi Al-Qur’an, dan berusaha
menyimpulkan berbagai ilmu dan pandangan-pandangan filosofis dari redaksi Al-
Qur’an itu.”
Kedua, definisi yang diajukan oleh ‘Abdul Majid ‘Abdul Muhtasib adalah:
“Tafsir yang mensubordinasikan redaksi Al-Qur’an ke bawah teori dan istilah-
istilah sains-keilmuan dengan mengerahkan segala daya untuk menyimpulkan berbagai
masalah keilmuan dan pandangan filosofis dari redaksi Al-Qur’an itu.”1
Kedua definisi di atas tampak mirip, dan dapat kita beri catatan dalam dua hal;
Pertama, kedua definisi tersebut mendiskreditkan model tafsir saintifik, sebab memberi
kesan bagi orang awam yang membaca definisi itu bahwa corak tafsir itu harus dihindari
karena dinilai telah “menundukkan redaksi Al-Qur’an” ke dalam teori-teori sains yang
kerap berubah-ubah. Lagi pula sosok Abdul Muhtasib ini dikenal berada di barisan
ulama yang kontra dan tak menyetujui corak tafsir ini.
Kedua, definisi tersebut tidak mampu menggambarkan konsep sebenarnya yang
diinginkan para pendukung tafsir ilmi. Para pendukungnya tak pernah berkeinginan
untuk memaksakan istilahistilah keilmuan modern dalam redaksi Al-Qur’an, atau
menundukkan redaksi Al-Qur’an itu pada teori-teori sains yang selalu berubah.

1 Abuddin Nata, Islam dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), 8.
Oleh sebab itu, kiranya definisi yang lebih cocok untuk corak tafsir ilmi dan sesuai
dengan realitas di lapangan adalah: “Tafsir yang berbicara tentang istilah- istilah sains
yang terdapat dalam Al-Qur’an dan berusaha sungguh-sungguh untuk menyimpulkan
berbagai ilmu dan pandangan filosofis dari istilah-istilah Al-Qur’an itu.”5 Atau definisi
lain yang dapat dikemukakan di sini adalah: “Tafsir yang diupayakan oleh penafsirnya
untuk:
1. Memahami redaksi-redaksi Al-Qur’an dalam sinaran kepastian yang dihasilkan oleh
sains modern
2. Menyingkap rahasia kemukjizatannya dari sisi bahwa Al-Qur’an telah memuat
informasi-informasi sains yang amat dalam dan belum dikenal oleh manusia pada
masa turunnya AlQur’an, sehingga ini menunjukkan bukti lain akan kebenaran fakta
bahwa Al-Qur’an itu bukan karangan manusia, namun ia bersumber dari Allah swt,
pencipta dan pemilik alam semesta ini.

2. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif-deskriptif.2 Penelitian kualitatif
dikatakan sebagai rangkaian penelitian yang mampu menghasilkan data berupa
deskriptif kata-kata baik tertulis atau lisan dari objek atau perilaku manusia yang dapat
diamati.3 Penelitian ini juga menggunakan analisis teori dan studi kepustakaan.Analisis
teori adalah salsah satu teknik dalam penelitian yangg menjadiikan teori sebagai acuan
dari kebenaran, fakta, dan keadaan objek yang diteliti. Analisis teori digunakan sebagai
alat pembacaan realitas yang kemudian dikonstruksikan menjadi deskripsi yang
argumentatif.4 Studi kepustakaan dipakai untuk memperkaya literaturpenelitian, agar
kemudia dapat ditarik sebuah kesimpulan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Al-Qur'an Sebagai Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan tersusun dari kata ilmu dan pengetahuan. Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian (baik
tentang segala yang masuk jenis kebatinan maupun yang berkenaan dengan keadaan
alam dan sebagainya. Dalam bahasa Arab, kata ilmu jamaknya ‘ulum diartikan ilmu
pengetahuan. Adapun pengetahuan adalah tahu, atau hal mengetahui sesuatu, segala
apa yang diketahui, kepandaian atau segala apa yang diketahui atau akan diketahui
berkenaan dengan sesuatu hal (mata pelajaran). Ilmu pada hakikatnya berasal dari
pengetahuan, namun sudah disusun secara sistematik dan diuji kebenarannya
menurut metode ilmiah dan dinyatakan valid atau shohih. Dengan demikian, ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan yang sudah bersifat ilmiah.5
Ilmu dibedakan menjadi tiga: ilmu keislaman, ilmu eksakta dan ilmu sosial. Ilmu
keislaman adalah ilmu yang berasal dari wahyu Tuhan yang terdapat dalam Al-

2 Wahyudin Darmalaksana, “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi Lapangan,” Pre- Print Digital
Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020, 1–6, http://digilib.uinsgd.ac.id/32855/1/Metode Penelitian
Kualitatif.pdf.
3 L. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 8.

4 Hamad, “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana,” Jurnal Komunikasi, 2007, 325–44.

5 Abuddin Nata, Islam dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), 8.
Qur’an atau Hadis Nabi yang kemudian ditelaah dengan metode-metode tertentu
baik secara tekstual, rasional, maupun kontekstual. Ilmu pengetahuan yang
mempelajari sifat-sifat nama dan bilangan menurut tanggapan manusia dikenal
dengan ilmu eksakta, sedangkan ilmu pengetahuan yang menyelidiki kehidupan
manusia termasuk kehidupan rohaninya disebut ilmu sosial.
Jadi ilmu pengetahuan adalah salah satu ilmu dalam kitab suci Al-Qur’an. Kata
‘ilm disebut dalm Al-Qur’an sebanyak 105 kali. Al-Qur’an adalah kitab induk dari
segala rujuan ilmu baik ilmu pengetahuan ataupun sains. Di dalam Al-Qur’am semua
sudah diatur, baik yang berhubungan dengan Allah (hablum minallah), sesama
manusia (hablum minannas), alam, lingkungan, ilmu akidah, ilmu sosial, ilmu alam,
ilmu empiris, ilmu agama, ilmu pengetahuan, ilmu umum dan sebagainya.
Salah satu kemukjizatan (keistimewaan) Al-Qur’an yang paling utama adalah
hubungannya dengan ilmu pengetahuan, Allah menurunkan Ayat AL-Qur’an yang
pertama kali mengenai pentingnya ilmu pengetahuan, yakni QS. Al-‘Alaq: 1-5.
ّ ّ ّ
‫) اقرأ و ربك األكرم‬2( ‫)خلق االنسان من علق‬1(‫اقرأ باسم ربك الذي خلق‬
ّ ّ ّ
)5( ‫) علم االنسان ما لم يعلم‬4( ‫) الذي علم بالقلم‬3(
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu lah yang Maha
Pemurah, yang mengajar manusia dengan perantara kalam, Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Ayat yang pertama turun mengingatkan manusia bahwa Allah telah
memuliakan atau menjunjung tinggi martabat manusia melalui bacaan. Dengan
proses belajar manusia dapat menguasai ilmu-ilmu pengetahuan dan dengan ilmu
manusia dapat mengetahui rahasia alam semesta yang sangat bermanfaat bagi
kesejahtraan hidup. surat Al-Alaq ayat 1-5 dijelaskan bahwasanya manusia itu
dijadikan oleh Allah dari segumpal darah yang melekat di rahim seorang ibu. Ayat
ini diturunkan ketika Nabi Muhammad Saw berkhalwat di Gua Hiro, ketika itu beliau
berusia 40 tahun. Ayat-ayat pertama yang diturunkan sekaligus merupakan tanda
pengangkatan Nabi Muhammad Saw sebagai Rasul Allah.
AL-Qur’an berusaha mengangkat derajat manusia pada kedudukan yang tinggi
dengan menunjukkan bahwa manusia diberikan kemampuan untuk melihat dan
memahami sifat-sifat sejati Allah dan kemudian merenungkan akan kebesaran- Nya,
sebagaimana firman Allah (QS Ali Imran [3]: 18)
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan
keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang
demikian itu). Tidak ada Tuhan melinkan Dia, Yang Maha perkasa lagi Maha
bijaksana”. (QS Ali Imran [3]: 18).
Ayat ini jelas memberikan bukti bahwa hanya orang yang berilmu pengetahuan
dan memiliki pemahaman sajalah yang mampu melihat hakikat yang ada di balik
struktur materi dari alam semesta ini. Hanya mereka yang memiliki kemampuan
untuk menyaksikan kekuasaan. Al-Haqq, Zat yang mengendalikan dan mengatur
seluruh kehidupan semesta raya. Dialah yang Haqq (Riil), sedangkan segalasesuatu
yang lain hanyalah bayangan-bayangan yang akan berlalu. Mereka yang tidak
mampu melihat kebenaran hakiki ini di dalam alam semesta akan kehilangan rasa
keadilan dan kekuatan pemahaman yang telah Allah anuggerahkan kepada mereka.6

3.2. Al-Qur'an Sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan Umum


Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang merupakan sumber-sumber ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam Al-Qur’an, kita bisa menemukan ayat-ayat yang
menjadi isyarat tentang berbagai hal bagi kemaslahatan umat manusia. Baik berupa
penemuan-penemuan baru maupun penyempurnaan atau koreksi bagi teori-teori
yang sudah ada.
Kekayaan pengetahuan dapat mengangkat kedudukan manusia di atas makhluk
lainnya, kemudian menjadikan makhluk-makhluk itu berada di bawah
kekuasaannya, sehingga setiap saat dapat dimanfaatkan untuk melayaninya. Hal ini
merupakan kehormatan besar bagi umat manusia. Sebagaimana penjelasan tentang
siang dan malam hari Tuhan jadikan untuk melayani manusia:
“Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus
menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan
siang”. (QS. Ibrahim [14]: 33).
Laut pun disediakan untuk manusia:
“Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar
padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya
dan mudah-mudahan kamu bersyukur”. (QS. Al-Jatsiyah [45]: 12).
Jelaslah bahwa seluruh ciptaan atau makhluk yang berada di atas bumi telah
disiapkan untuk melayani kebutuhan manusia. Hukum Tuhan yang berlaku di dalam
alam semesta memungkinkan manusia untuk memanfaatkannya. Al-Qur’an juga
memerikan gambaran yang sempurna tentang alam, materi, serta apa yang
melampaui alam materi itu dengan cara yang ilmiah dan rasional sehingga menarik
perhatian, baik orang yang berilmu pengetahuan maupun orang awam.
Al-Qur’an memberikan dorongan kuat kepada kaum Mukmin untuk bekerja
keras dalam meraih kekayaan material dan sekaligus menuntun mereka untuk
menyelidiki hukum-hukum dan pengetahuan tentangnya untuk memperoleh
manfaat darinya. Al-Qur’an juga mewajibkan mereka untuk menyelidiki setiap aspek
dari material alam semesta, mengungkap dan menyikap tabir rahasianya, mengambil
manfaat daripadanya, serta menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Jadi, Al-Qur’an memberikan kepada manusia kunci ilmu pengetahuan tentang
bumi dan langit serta menyediakan peralatan untuk mencari dan meneliti segala
sesuatu agar dapat mengungkap dan mengetahui keajaiban dari kedua dunia itu. Al-
Qur’an juga mendorong manusia untuk memperoleh sesuatu dari dunia ini yang
bermanfaat bagi kesejahteraannya. Al-Qur’an juga mengajarkan agar manusia tidak
khawatir atau takut terhadap kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam materi, dan
malah mendorong manusia menggunakan kekuatan itu secara tepat karena semua itu

6Afzalur Rahman, Ensiklopidiana Ilmu dalam Al-Qur’an, Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al-
Qur’an (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2007). 28.
diciptakan bagi kepentingan hidup manusia. Al-Qur’an juga menunjukkan cara
memanfaatkan kekayaan materi dengan tepat sebagai pembuka untuk memasuki
pintu kehidupan alam akhirat, sebuah dunia yang berada di belakang pembatasan
alam dunia, dan bahkan sampai menembus ruang kosmis.7

3.3. Penafsiran Ilmiah ( Tafsir Ilmi )


1. Pengertian Tafsir Ilmi
Al-Qur’an yang secara harfiah berarti “Bacaan Sempurna”, yang
merupakan nama yang diberikan langsung oleh yang menurunkannya Allah
SWT. Di mana di dalam dunia ini tidak ada sebuah bacaan yang sempurna
dari bentuk bahasa, gaya bahasa dan dibaca oleh umat Islam yang memiliki
populasi terbanyak di dunia, sejak zaman manusia mengenal tulis menulis dan
berkembang nya banyak penulis dan tulisan tidak ada satupun dari banyak nya
buku atau kitab suci sekali pun yang bisa menandingi Al-Qur’an dari sejarah
keaslian Al-Qur’an dan terjaga nya setiap kata perkata dan ayat-ayat di dalam Al-
Qur’an.
Salah satu gaya tafsir Al-Qur’an yang cukup berkembang dan terus
berkembang hingga saat ini adalah gaya tafsir yang menggunakan pendekatan
ilmiah (ilmiah) atau biasa dikenal dengan Tafsir Ilmi, untuk tujuan penemuan.
pikiran. Ayat dari Al-Quran.8
Penafsiran ilmiah modern dari Al-Qur’an yang dikenal sebagai al- Tafsir al-
’Ilmi adalah fitur dari penafsiran Al-Qur’an. Sedangkan secara linguistik
(etimologis), al-Tafsȋr al-’Ilmi berasal dari dua kata, yaitu “al-Tafsȋr” dan “al-’Ilmi”.
Al-Tafsir adalah bentuk masdar dari fassara- yufassiru-tafsiir yang pada akhirnya
berarti: al-kasyf (mengungkapkan), al-idhah (menjelaskan), al-bayan (menjelaskan),
al-syarh (menjelaskan),al-’ilmiy ditugaskan pada kata ‘ilm (mendengarkan). Tafsir
ilmi secara etimologis merupakan gabungan dua maṣdar: Tafsȋrun dan al-‘Ilmi.
Terma tafsir diderivasi dari fassara-yufassiru-tafsȋron bermakna uraian, penjelasan,
maṣdar tafsȋrun dapat juga dimaknai sebagai menerangkan atau menjelaskan.
Kata tafsir mengacu padapengetahuan dan pemahaman komprehensif tentang
kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan penjelasan maknanya
yang mendalam mengenai hukum, hikmah dan prinsip-prinsipnya.9 Menurut al-
Zarqȃni, tafsir adalah ilmu yang dibahas dalam Al-Qur'an berkaitan dengan
pemahaman maknanya dan bukti-bukti yang didasarkan pada kemampuan
manusia.10
Dari segi terminologi (istilah), yang dimaksud dengan corak al- Tafsȋr al-
’ilmi adalah penafsiran yang dilakukan dengan menghadirkan (menggunakan)
pendekatan teori-teori ilmiah untuk mengungkapkan kandungan ayat-ayat Al-

7 Afzalur Rahman, Ensiklopidiana Ilmu dalam Al-Qur’an, Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al-
Qur’an (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2007). 31.
8 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an..., hal. 136.

9 Muhammad Ali Sabuni, Al-Tibyȃn fī „ulȗm al-Qur’ȃn, Damascus : Maktaba al-Ghazālī, 1401 H, hal. 61.

10 Muhammad Abd al-Azim Al-Zarqani, Manȃhil al-Irfȃn fī ulȗm al-Qur’ȃn, Kairo: Dȃr Iḥyā al-Kutub al-Arabiya,

Vol.1 hal.471.
Qur’an dan secara sungguh-sungguh berusahamendalami berbagai bidang ilmu
pengetahuan. ilmu pengetahuan dan sudut pandang filosofis dari ayat-ayat
tersebut. Sebagaimana dikatakan Abd al-Majȋd al-Salam al-Muhtasib dalam
bukunya Ittijahat al-Tafsr al-’Ashr al-Hadȋts, bahwa al-Tafsȋr al-’ilmi adalah tafsir
yang dimaksudkan oleh para mufassir untuk tujuan menemukan suatu
ungkapan. Dan mengungkapkan apa kandungan dalam ayat Al-Qur’an terhadap
teori-teori ilmiah atau temuan ilmiah dan mencoba menggali berbagai masalah
ilmiah dan pemikiran filosofis.11
Izzatul Laila berpendapat bahwa al-Tafsȋr al-’ilmi adalah sebuah ijtihad atau
upaya serius para penafsir untuk mengungkap dan menghubungkan ayat-ayat
kauniyyah Al-Qur’an dengan temuan-temuan ilmiah dalam rangka
merepresentasikan salah satu keajaiban Al-Qur’an. Izzatul Laila mengutip Yusuf
Qardawi, mengungkapkan makna yang lebih luas dari interpretasi ilmiah ini
dengan mengatakan bahwa interpretasi ilmiah Al-Qur’an adalah interpretasi
yang dibuat dengan menggunakan alat-alat sains kontemporer dengan unsur-
unsur fakta dan fakta dan teori yang ada untuk tujuan menafsirkan tujuan. dan
makna.12
Menurut Husain az-Zahabiy, tafsir ilmi membahas istilah-istilah ilmu
pengetahuan dalam penuturan ayat-ayat al Qur'an, serta berusaha menggali
dimensi keilmuan dan menyingkap rahasia kemukjizatannya terkait informasi-
informasi sains yang mungkin belum dikenal manusia pada masa turunnya
sehingga menjadi bukti kebenaran bahwa al Qur'an bukan karangan manusia.
Namun wahyu sang Pencipta dan pemilik alam raya.
Dari beberapa tafsir tersebut, setidaknya dapat disimpulkan bahwa al-Tafsȋr
al-’ilmi adalah tafsir ilmiah terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an
ditafsirkan menggunakan model ini dalam kaitannya dengan ayat-ayat kauniyyah
(kalimat yang berkaitan dengan peristiwa dan fenomena alam). Sambil
menafsirkan ayat-ayat tersebut, para mufassir juga menambahkan teori-teori
ilmunya sendiri (sains). Dan juga mencoba untuk mengungkapkan dan
menunjukkan bagaimana keajaiban Al-Qur’an dari sudut pandang ilmiah.13
Tafsir ilmi atau penafsiran al Qur'an dengan pendekatan ilmiah,
merupakan salah satu bentuk tafsir yang digunakan untuk memamhami ayat-
ayat kauniyah. Ayat-ayat kosmologi baik yang tertulis dalam kitab suci maupun
yang terbentang di alam raya.
Penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat sains dalam al Qur'an dimungkinkan
karena al Qur'an tidak hanya mengandung ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu
umum termasuk ilmu alam, sebagai cikal bakal sains dan teknologi.
Tafsir perspektif sains memungkinkan al Qur'an selalu hadir di tengah-
tengah masyarakat pada setiap zaman dan ruang, kapanpun dan dimanapun.

11 Abd al-Majid Abd al-Salam al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fȋ al-’Ashr al-Hadis, Jilid 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1973,
hal. 247.
12 Izzatul Laila, Penafsiran Al-Qur’an Berbasis Ilmu Pengetahuan..., hal. 48.

13 Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie Al-Kattani, Jakarta: Gema

Insani Press, 1999, cet. 1, hal. 531.


Tafsir ilmi adalah sebuah upaya memahami ayat-ayat al Qur'an yang
mengandung isyarat ilmiah dari perspektif ilmu pengetahuan modern.
Corak Tafsir Ilmi menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan
pendekatan ilmiah atau mengeksplorasi isi Al-Qur’an berdasarkan teori- teori
ilmiah. Kalimat-kalimat yang ditafsirkan dalam pola (metode) penjelasan ini
adalah ayat-ayat Kauniyyah (yang alamiah).14
Yusuf Qardhawi mempresentasikan dirinya lebih luas pada ilmu- ilmu
kontemporer tersebut, yaitu astronomi, geologi, kimia, biologi, termasuk topik
flora (tumbuhan) dan fauna (hewan) serta ilmu bidang kedokteran termasuk
anatomi tubuh. Fungsionalisme (fisiologi) juga mencakup matematika,
humanisme, psikologi, ilmu sosial, ekonomi, geografi, dan sebagainya.15
Penafsiran ayat-ayat kauniyyah dalam Al-Qur’an dapat diklasifikasikan
menjadi dua pola. Pertama, untuk memahami kalimat- kalimat kauniyyah dengan
pendekatan teori atau temuan ilmiah dan perangkat ilmu pengetahuan
kontemporer, teori atau temuan ilmiah hanya digunakan sebagai alat untuk
menjelaskan gagasan, makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Kedua, mencari kesesuaian ayat- ayat kauniyyah dengan teori-teori atau ilmu
pengetahuan untuk mendapatkan kesan bahwa ayat-ayat dalam Al-Qur’an
sesuai dengan teori-teori ilmiah yang ada atau yang baru ditemukan. Kedua hal
ini kemudian menjadi lebih banyak perbedaan warna menurut pendapat para
ulama.16
Corak tafsir ilmi dibentuk dengan asumsi bahwa Al-Qur’anmengandung
berbagai jenis pengetahuan, di antaranya yang telah ditemukan dan digunakan
saat ini serta ilmu pengetahuan atau kesadaran yang belum dijelajahi. Penafsiran
gaya ini juga dimulai dari model bahwa Al-Qur’an tidak hanya berisi ilmu-ilmu
agama atau apa pun yang berhubungan dengan ibadah, tetapi juga ilmu-ilmu
dunia, termasuk masalah-masalah yang berkaitan dengan teori-teori ilmiah
modern.17
Corak tafsir ilmi adalah metode penafsiran yang mengacu pada istilah-
istilah ilmiah dalam pembahasannya dan berupaya mengekstraksi berbagai
pengetahuan dan pemikiran filosofis dari Al-Qur’an, termasuk semua ilmu
agama, doktrin, ilmu luar dan dalam serta ilmu-ilmu dunia. Lebih lanjut, tafsir
ilmi dapat dipahami sebagai tafsir yang membahas secara rinci terminologi
akademis yang terkandung dalam Al-Qur’an dan berupaya mengekstraksi ilmu
pengetahuan dan filsafat dari Al-Qur’an.18
Corak tafsir ilmi pada dasarnya adalah upaya untuk menggali ayat- ayat
yang terkandung dalam Al-Qur’an, khususnya ayat-ayat kauniyyah dengan
berbagai cara dan metode sehingga dengan penafsiran ini, dihasilkan teori-teori
ilmiah baru atau yang sesuai dengan penafsiran ini. Ilmu pengetahuan modern

14 Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, 2002,
hal. 314.
15 Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie Al-Kattani…, hal. 532.

16 Izzatul Laila, Penafsiran Al-Qur’an Berbasis Ilmu Pengetahuan..., hal. 49.

17 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an..., hal. 136-137.

18 Muhammad Husain Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000, J. 2, hal. 454.
ada pada saat itu, jadi interpretasi ini tidak boleh dianggap sebagai
korespondensi yang mencari pembenaran untuk setiap penemuan ilmiah yang
ada sebagai sesuatu dalam Al-Qur’an.19
Ayat-ayat kauniyyah adalah istilah yang digunakan oleh para ulama atau
ahli tafsir untuk menyebut ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang
alam dan segala isinya seperti membahas langit, bumi, hewan, tumbuhan
termasuk manusia. Istilah kauniyyah berasal dari kata al-kaun yang berarti alam
yang meliputi langit dan bumi dan segala sesuatu di antaranya.20 Istilah lain yang
digunakan mufassir untuk menyebut ayat- ayat kauniyyah, seperti Tantawi
Jauhari, yang menyebutnya sebagai ayat al-’Ulȗm.21 Jumlah ayat-ayat kauniyyah
yang terdapat dalam Al-Qur’an lebih banyak daripada yang mengandung
hukum Islam, bahkan ayat-ayat hukumnya hanya 1/5 dari jumlah ayat-ayat
dalam kauniyyah.22
Corak penafsiran tafsir ilmiah (corak tafsir ilmi) ini dapat digolongkan
sebagai metode tafsir tahlili (interpretasi analitik). Hal ini terlihat dari cara
penafsir memilih kalimat yang ingin ditafsirkannya, mencari makna kata
(mufrȃd), kemudian menganalisisnya untuk menemukan makna dan makna yang
ingin diucapkannya. Namun penafsiran ini tidak menyeluruh karena terbatas
pada penafsiran parsial terhadap ayat-ayat yang tidak memerlukan
pertimbangan hubungan ayat- ayat sebelum dan sesudahnya.23
Adapun dalam memahami corak tafsir ilmi secara lebih ringkas maka
dibutuhkan pengertian dan bentuk dari ciri-ciri tafsir ‘ilmi, berikut dibawah ini
mengenai tafsir ‘ilmi yaitu :
1. Tafsir yang didukung oleh riset dan penemuan ilmu pengetahuan untuk
mengetahui ilustrasi dan simbol-simbol baru bagi hal-hal yang telah
diisyaratkan di dalam Al-Qur’an. Biasanya ilustrasi serta simbolbaru ini
sesuai dengan simbol yang dipahami oleh apa yang orang baca dan
temukan di dalam ayat. Pada corak tafsir ilmi biasanya tanda yang
terdapat dalam Al-Qur’an bisa berupa makna terselubung yang
terkandung di dalam ayat-ayat kauniyyah.
2. Tafsir yang dibantu dengan teori-teori ilmiah untuk dapatdihubungkan
dengan ayat-ayat dengan keserasian tema atau pembahasan.
3. Tafsir yang banyak dipengaruhi (dibantu) dengan penemuan- penemuan
ilmiah, setelah itu dicarikan sebuah keselarasan sehingga bisa
menetapkan bagaimana Al-Qur’an telah terlebih dahulu menyinggung
pembahasan tersebut, dalam keselarasan terhadap ayat dan teori ilmiah
yang dijadikan sebuah bukti bahwa ada kemukjizatan ilmiah di dalam
Al-Qur’an.24

19 Rubini, “Tafsir Ilmi,” dalam Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, Vol. 5 No. 2 Tahun 2016, hal. 94.
20 Mansur Muhammad Hasan al-Nabi, al-Ayat al-kauniyyah fȋ Daw’ al-’Ilm al-Hadis, Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th.
hal. 3.
21 Tantawi Jauhari, Al-Jawahir fȋ Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 2004, hal. 3.

22 Agus Purwanto, Ayat-ayat Semesta Sisi-Sisi Al-Qur’an..., hal. 26.

23 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Cet. XIX Bandung: Mizan, 1999, hal.183.

24 Muhammad Izuddin Taufiq, Dalil Anfus Al-Qur’an dan Embriologi Ayat-Ayat Tentang Penciptaan Manusia,
Dalam pembahasan dalam corak tafsir ilmi data dari ayat-ayat Al- Qur’an
dan penemuan-penemuan ilmiah harus sesuai meliputi dari hal pengertian
umum diluar bidang relativitas serta variabel dan juga jelas bahwa tidak boleh
adanya suatu kontradiksi atau penghalang diantara kedua data tersebut. Al-
Qur’an juga menegaskan bahwa hakikat inti dari hubungan antara pesan Al-
Qur’an dan hukum Allah, adalah karena umat manusia dituntut menjalankan
perannya di bumi dalam kerangka Al- Qur’an sebagai sumbernya.

2. Sejarah Tafsir Ilmi


Awal mula lahirnya aliran tafsir ini sebenarnya dimulai pada Zaman
Keemasan Islam, khususnya pada masa Dinasti Abbasiyah. Saat itu, cukup
banyak interaksi antara umat Islam saat itu dengan dunia luar. Kemakmuran
materi di bawah Harun al-Rashid disertai dengan minat yang tumbuh dalam
upaya intelektual seperti: Dalam berbagai karya botani, kimia, matematika,
arsitektur, navigasi, geografi, astronomi, India, Persia dan Yunani. Selain itu,
pada masa kekhalifahan al-Ma’mun ada aktivitas ekstensif dalam
menerjemahkan tulisan- tulisan para ilmuwan dan filsuf Yunani ke dalam bahasa
Arab. Dengan demikian, ketika umat Islam mulai menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur’an dengan pendekatan teori ilmiah dan pemikiran filosofis, interpretasi
mereka tampaknya lebih banyak berbicara tentang sains dan filsafat daripada
interpretasi itu sendiri. Fakhruddin al-Razi sebagai karya yang lebih banyak
berbicara tentang ilmu pengetahuan dan filsafat.25
Membahas tafsir harus individu menjadi ilmu tersendiri, dengan
penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dari awal hingga akhir. Khalifah Al- Ma’mun
sendiri adalah anak dari Khalifah Harun al-Rasyid, yang dikenal karena
kecintaannya pada ilmu pengetahuan. Salah satu karya besarnya adalah Bait al-
H_ikmaẖ, sebuah pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai universitas dengan
perpustakaan yang besar. Pada saat itu, Islam telah mencapai tingkat peradaban
yang tinggi sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia. 26
Munculnya kecenderungan ini sebagai akibat dari penerjemahan karya
tulis ilmiah pada awalnya bertujuan untuk berusaha mencari hubungan dan
keselarasan dengan hasil penemuan ilmiah (sains) yang terdapat dalam Al-
Qur’an. Apalagi gagasan ini telah didiskusikan oleh Imam Ghazali dan ulama
lainnya. Imam Ghazali, dalam bukunya “Jawȃhir Al-Qur’an”, menyebutkan
penafsiran beberapa ayat Al- Qur’an yang dipahami dengan menggunakan
beberapa bidang seperti: Astronomi, astrologi, kedokteran, dan sebagainya. Ini
merupakan upaya pertama dalam penafsiran ilmiah, namun jika Al-Ghazali
gagal mewujudkan metode tersebut, Fakhruddin Al-Razi karya Mafatih Al-
Ghaib merealisasikan metode penafsiran yang digagas oleh Al-Ghazali tersebut.
Sekitar satu abad kemudian.27

Solo: Tiga Serangkai, 2006, hal. 13-14.


25 Izzatul Laila, “Penafsiran Al-Qur’an Berbasis Ilmu Pengetahuan”..., hal. 49-50.
26 Ali Hasan Al-’Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: Rajawali Pers, 1992, hal. 23.

27 Rubini, “Tafsir Ilmi”..., hal. 95.


Imam Ghazali dalam kitabnya, Ihyȃ ‘Ulȗm al-Dȋn, al-Ghazalimengambil
pendapat Ibnu Mas’ud yang mengemukakan “Barangsiapayang menghendaki
ilmunya orang-orang dulu dan nanti hendaknya mendalami Al-Qur’an”.28
Bahkan pada kitab, Jawȃhir Al-Qur’an, beliau menjelaskan pada satu bab
terpisah bahwa semua cabang ilmupengetahuan baik yang terdahulu ataupun
yang kemudian, yang sudah diketahui maupun yang belum, semuanya
bersumber dari Al-Qur’an.29 Hal lain yang menjadi alasan untuk menafsirkan
Al-Qur’an dengancorak ilmiah ini yaitu perintah agar menggali pengetahuan
mengenaitanda-tanda (ayat-ayat) Allah dalam alam semesta ini banyak dijumpai
dalam Al-Qur’an. Tanda-tanda kebesaran (ayat-ayat) Allah ada yangberbentuk
ayat-ayat Qur’aniyyah atau al-kitab al-maqru’ (yang dibaca) dan ada juga yang
berbentuk ayat-ayat kauniyyah “tanda-tandakebesaran Allah yang ada pada alam
semesta” atau al-kitab al-mandzȗr(yang diamati) yang indikasinya banyak termuat
di dalam Al-Qur’an.30 Setelah al-Ghazali metode ini dilanjutkan oleh
Fakhruddȋn al-Razi melalui kitab Mafȃtih_ al-Ghȃib, kemudian penafsiran ilmiah
ini dilanjutkan dan melahirkan banyak buku tafsir yang dipengaruhi oleh teori
dan cara pandang penafsiran yang digunakan oleh Fakhruddȋn al- Razi dalam
ruang lingkup yang terbatas, diantara contohnya adalah: Gharȋb Al-Qur’an wa
Raghȃ’ib al-Furqȃn, karya al-Nasyaburi, Anwȃral-Tanzȋl wa Asrȃr al-Ta’wȋl, karya
Al-Baidhawi, dan Ruẖ al-Ma’ani fȋ Tafsȋr Al-Qur’an al-Adzim wa Sab’al-Matsȃni,
karya Al-Alusi. Para Penafsir selanjutnya kemudian melakukan penafsiran
dengan mengusung saintis pada ayat-ayat Al-Qur’an, meski tidak tergolong
dalam mufassirin yang mempunyai aliran saintis, mereka diantara nya: Fadhl al-
Marasi, Badruddin az-Zarkasyi, dan Jalȃluddȋn as-Suyȗthȋ. Hal ini disebabkan
mereka hanya mengungkapkan bahwa Al-Qur’an mengandung semua jenis
disiplin ilmu pengetahuan dan pernyataan ini tidak bisa dijadikan sebuah
landasan bahwa mereka mempunyai tendensi dalam penafsiran ilmi.31
Dalam pandangan para mufassir corak tafsir ilmi, Al-Qur’an mengajak
umat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuanberdasarkan Al-Qur’an,
dengan membebaskan akal dari segala keraguan bebas dalam berfikir
(menggunakan akal) dan mendorong untuk melakukan pengamatan atas
fenomena alam. Al-Qur’an juga mendorong umat manusia untuk mengamati
ayat-ayat kauniyyah di samping ayat-ayat Qur’aniyyah.32 Keberadaan ayat-ayat
tersebut memiliki ketelitian redaksi yang mengindikasikan bahwa ayat-ayat
seperti ini ditujukkan kepada mereka yang suka berpikir mendalam, mereka
yang kemudian akan mencoba untuk menyingkap hal tersebut, seperti hal nya
ahli balaghah (sastra) yang mengungkap keindahanbahasa.33
Pada periode modern, kajian corak tafsir ilmi mulai beragam dan tidak

28 Izzatul Laila, “Penafsiran Al-Qur’an Berbasis Ilmu Pengetahuan”..., hal. 50.


29 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an..., hal. 101.
30 Ahmad Fuad Pasya, Dimensi Sains Al-Qur’an, Diterjemahkan oleh Muhammad Arifin, Solo: Tiga Serangkai,

2004 cet. 1, hal. 23.


31 Rubini, “Tafsir Ilmi,”..., hal. 96.

32 Ahmad Hanafi, Al-Tafsir al-’Ilmiy li al-Ayat al-Kawniyyat fȋ Al-Qur’an, Beirut: t.p,t.th., cet. II hal. 6.

33 Izzatul Laila, “Penafsiran Al-Qur’an Berbasis Ilmu Pengetahuan”..., hal. 51.


hanya terbatas menggunakan metode tahlili atau secara runtut mushafi, tetapi
menggunakan kajian secara tematik dan metodemaudhu’i dengan pembahasan
tema-tema sesuai cakupan judul yang dibahas, seperti Mu’jizat Al-Qur’an fȋ Wasf
al-Ka’inat karya Hanafi Ahmad yang membahas tema tentang keajaiban Al-
Qur’an dalam menggambarkan makhluk.34 Pada periode modern ini umat Islam
bersinggungan langsung dengan sains modern Barat, utamanya sejak terjadi nya
revolusi Perancis yang terjadi pada sekitar abad 18 M.Perkembangan corak tafsir
‘ilmi pada era modern ini lebih kearah aplikatif, sebab data-data ilmiah
berdasarkan penelitian terbaru cukup mendukungnya, dimulai oleh Ahmad
Khan, Muhammad Abduh dan Tantawi Jauhari.35
Menurut Abdul Mustaqim munculnya corak tafsir ilmi didorong oleh dua
faktor diantaranya: Pertama, faktor internal yang terdapat di dalam teks Al-
Qur’an di mana pada sebagian ayat-ayat Al-Qur’an menganjurkan manusia
untuk melakukan penelitian dan pengamatan terhadap ayat-ayat kauniyyah atau
ayat-ayat kosmologi. Kedua, faktor eksternal yaitu adanya perkembangan ilmu
pengetahuan dan sains modern, dengan ditemukannya teori-teori ilmu
pengetahuan, para ilmuwan muslim (pendukung corak tafsir ilmi) berusaha
untuk melakukan keselarasan antara Al-Qur’an dan sains serta mencari
“justifikasi teologis” terhadap sebuah teori ilmiah dan mereka juga ingin
membuktikan kebenaran dan kemukjizatan Al-Qur’an secara ilmiah dan empiris
selain secara teologis dan normatif.36
Selain hal diatas faktor subjektif penafsir sendiri yang mempunyai disiplin
keilmuan di bidang sains dan pengaruh pertentangan Gereja dengan kalangan
ilmuwan di wilayah Eropa yang pada akhirnya dimenangkan oleh para ilmuwan
dan jatuhnya otoritas kebenaran agama sebagai sumber kebenaran. Pertentangan
pada Gereja dan sains pada waktu itu menjadikan umat Islam memiliki motivasi
yang lebih untuk membangkitkan kembali keilmuan di kalangan umat Islam.
Dengan tujuan nya bahwa apa yang terkandung di dalam Al- Qur’an tidak
memiliki pertentangan dengan ilmu saintifik.
Perkembangan kajian corak tafsir ilmi yang dilakukan karena tokoh
pembaharu Islam menjadi salah satu faktor yang mendukung perkembangan
kajian tafsir ilmi. M. Quraish Shihab membahas bahwa kajian corak tafsir ilmi
mengalami perkembangan di kalangan umat Islam karena adanya dua faktor
yang terjadi secara eksternal, faktor inilah yang membangkitkan umat Islam
untuk mementingkan ilmu pengetahuan. Faktor yang pertama adalah adanya
reaksi terhadap ketertinggalan umat Islam dalam bidang kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi dari benu Eropa. Oleh sebab ketertinggalan inilah
mereka mencari kompensasi sebagai salah satu upaya untuk menutupi rasa
rendah diri berlebihan yang melanda mereka.37

34 Ach. Maimun, “Integrasi Agama dan Sains Melalui Tafsir „Ilmi”..., hal. 44.

35 Abdul Mustaqim, “Kontroversi Tentang Corak Tafsir Ilmi”..., hal. 30.


36 Abdul Mustaqim, “Kontroversi Tentang Corak Tafsir Ilmi”..., hal. 28-29.
37 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an..., hal. 100.
Para pendukung corak penafsiran ilmiah ini melihat bahwa penafsiran
ilmiah memberi kesempatan yang sangat luas bagi para mufassir untuk
mengembangkan berbagai potensi keilmuan yang telah ada dan akan dibentuk
dari Al-Qur’an. Al-Qur’an pun tidak hanya dijadikan sebagai sumber ilmu-ilmu
keagamaan yang berbentuk i’tiqȃdiyah (keyakinan) dan amaliah (perbuatan),
tetapi juga meliputi semua ilmu-ilmu keduniaan yang beraneka ragam.38
Dengan hal ini bermunculan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat
kauniyyah dengan berlandaskan proporsi pokok bahasan, kapasitas keilmuan
yang dimiliki dan hasil pengamatan atas fenomena-fenomena alam. Mereka juga
membatasi diri pada penjelasan ayat per ayat tanpa menyertakan ayat-ayat yang
memiliki tema serupa. Corak penafsiran ini kemudian muncul dan berkembang
secara pesat yang dipelopori oleh sekelompok ulama dan ilmuwan Muslim
kontemporer yang mulai melihat banyaknya penemuan-penemuan ilmiah yang
ternyata banyak kesamaannya di dalam ayat Al-Qur’an.39
Para ilmuwan muslim yang menggeluti dunia sains dan ilmu pengetahuan
terdorong untuk melakukan kajian terhadap Al-Qur’an yang memberikan
isyarat-isyarat teori sains dan ilmu pengetahuan. Dengan berbekal ilmu-ilmu
kealaman (al-ulȗm al-tabi’iyyah) dan ilmu-ilmu yang berkembang di era modern
seperti, astronomi, geologi, kimia, biologi, kedokteran, dan matematika. Dengan
tujuan utamanya mereka ingin membuktikan kemukjizatan Al-Qur’an.
Kecenderungan corak tafsir ilmi bahkan menjadi suatu trend sendiri, menurut
salah satuberita koran mingguan (Jarȋdah Usbȗ’iyyah) ada sekitar 100 Universitas
yang bernaung dibawah Rabitah al-’Alam al-Islami akan mengajarkan kajian
tentang i’jaz ilmi dalam Al-Qur’an. Di Mesir misalnya, hal itu kemudian menjadi
sebab pembentukan tim khusus yang terdiri dari tokoh-tokoh ulama, untuk
merumuskan bagaimanametodologi corak ilmi yang benar.40
Diantara kitab-kitab corak tafsir ilmi yang disusun pada awalkemunculan
maupun pada masa awal kemunculannya maupun pada modern
(kontemporer), yang bisa dikategorikan masuk kedalam Tafsir ‘Ilmi adalah
sebagai berikut: Jawȃhir Al-Qur’an karya Al-Imam al- Ghazali, Mafȃtiẖ al-Ghaȋb
karya Fakhruddȋn al-Razi, al-Itqȃn fȋ al- ’Ulȗm Al-Qur’an dan al-Iklȋl fȋ Istinbath al-
Tanzȋl karya Jalȃluddin al- Suyȗthȋ, Sunan Allah al-Kauniyyah karya Dr.
Muhammad Ahmad al- Ghamrawi, al-Gidzȃ wa al-Dawȃ’ karya Dr. Jamȃluddȋn
al-Fandi, al- Qur’an wa al-Ilm al-H_ adȋts karya Abd al-Razzaq Naufal, al-Tafsȋr al-
’Ilmiy li al-Ayat al-Kauniyyah fȋ Al-Qur’an karya Hanafi Ahmad, al- Jawȃhir fȋ Tafsȋr
Al-Qur’an karya al-Syaikh Tanthawi Jauhari.41
Kecenderungan corak tafsir ilmi ini terus mengalami perkembangan seiring
dengan perkembangan zaman, meskipun terkadang terkesan apologis dalam
menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan di Eropa. Bukannya umat Islam

38 Izzatul Laila, “Penafsiran Al-Qur’an Berbasis Ilmu Pengetahuan”..., hal. 52.


39 Izzatul Laila, “Penafsiran Al-Qur’an Berbasis Ilmu Pengetahuan”..., hal. 52.
40 Abdul Mustaqim, “Kontroversi Tentang Corak Tafsir Ilmi”..., hal. 25.

41 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, hal.184.


berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan, sebagian mufassir corak tafsir ilmi
justru lebih sibuk mencari legitimasi teologis, bahwa teori-teori pengetahuan
tersebut yang sekarang ditemukan oleh para ilmuwan di Eropa sudah
terkandung di dalam Al-Qur’an sejak 15 abad yang lalu.42

3. Diskursus Pendapat tentang Penafsiran Ilmi


Tafsir ilmi ini sudah lama ada tetapi mendapatkan perhatian semakin
bertambah di akhir-akhir ini, maka seharusnyanya sikap penolakan dan
keberatan terhadap corak tafsir ini juga sudah lama terjadi. Sebagian ulama
menganggap corak tafsir ini merupakan sikap apologis yang tidak perlu
dilakukan, karena teori illmu pengetahuan tidak perlu dicari-carikan dalilnya
dari Al-Qur’an sebab ini murni ilmiah dan objektif. Sedangkan legitimasi
terhadap ayat Al-Qur’an tentu sangat subjektif, tergantung pada iman tidaknya
seseorang terhadap kebenaran ayat Al-Qur’an.43
Tidak semua ulama sepakat dengan corak tafsir ilmi ini, salah satu ulama
klasik yang dikenal kontra dengan pandangan bahwa Al-Qur’an memuat semua
jenis ilmu pengetahuan ialah Abu Ishaq al-Syatibi, seorang ulama ahli filsafat
hukum Islam bermazhab Maliki yang masyhur dengan karyanya Al-Muwafaqat.
Menurutnya, argumen tersebut dianggap melewati batas, karena Al-Qur’an
diangggap sebagai buku yang memuat semua ilmu pada zaman dahulu dan yang
akan datang. Menurut al-Syatibi, Al-Qur’an merupakan kitab petunjuk untuk
menjalani hidup yang benar, bukan buku ilmu pengetahuan yang menjelaskan
semuanya. Al-Qur’an memberikan penjelasan sesuai dengan pengetahuan orang
Arab pada saat turunnya Al-Qur’an, karena Al-Qur’an menjelaskan syari’at yang
berfungsi “membenarkan apa yang dibilang benar dan menyalahkan apa yang
dianggap salah”. Ayat-ayat yang dijadikan dasar seperti Tibyȃn li kulli syaȋ’ dalam
surah al-NaZl/16: ayat 89 dan Mȃ farratnȃ fȋ al-kitȃb min syaȋ’ dalam surah al-
An’ȃm/06: ayat 38 ditafsirkan oleh para ulama tidak dengan kitab Al-Qur’an tapi
“kitab berupa Laȗẖ al-Maẖfuzh”.44
Ulama selanjutnya yang menolak corak tafsir ilmi yaitu Mahmud Syaltut
seorang syeikh al-Azhar Mesir, berpendapat bahwa pemahaman tentang corak
tafsir ilmi tersebut sudah salah dari awal, pendapatnya menyatakan Al-Qur’an
diturunkan bukan untuk menguatkan teori-teori keilmuan, menurutnya
penakwilan yang berlandaskan ilmu pengetahuan sehingga akan
menenggelamkan penafsirannya pada kajian ilmu pengetahuan sehingga
menafikan kemukjizatan Al-Qur’an itu sendiri. Selanjutnya Mahmud
beranggapan bahwa ilmu pengetahuan atau saintifik merupakan ilmu yang
belum tetap sehingga dikemudian hari ilmu pengetahuan dapat berubah.45

42 Abdul Mustaqim, “Kontroversi Tentang Corak Tafsir Ilmi”..., hal. 27.


43 Abdul Mustaqim, “Kontroversi Tentang Corak Tafsir Ilmi”..., hal. 33.
44 Ach. Maimun, Integrasi Agama dan Sains Melalui Tafsir „Ilmi..., hal.52.

45 Mahmud Syaltut, Tafsir Al-Qur’an al Karim al-’Ajza al-Asyarah al-’Ula, Beirut: Dar al-Syuruq, 1974, hal. 9.
Kritik modern atas corak tafsir ilmi ini banyak ditunjukkan oleh Amȋn al-
Khȗlȋ. Menurutnya corak tafsir ilmi memiliki empat kelemahan mendasar, yaitu:
Pertama, kelemahan dari sisi leksiologis, yakni makna- makna kata di dalam Al-
Qur’an tidak membawa perubahan dalam bidang ilmu pengetahuan modern.
Kedua, kelemahan filologis, bahwa Al-Qur’an ditujukan kepada orang-orang
Arab, yang tidak dapat memuat apa yang tidak dipahami atau diketahui pada
saat asalnya. daripada perspektif kosmologis. Keempat, kelemahan logika, yaitu
kemustahilan sebuah Al- Qur’an terbatas jumlahnya untuk mencakup segala
sesuatu yang berkembang hingga abad ke-20 M, apalagi semua pengetahuan
yangberkembang tanpa batas.46
Muhammad Husain al-Zahabi juga mengkritik corak tafsir ‘ilmi ini, al-
Zahabi membaginya menjadi tiga aspek. Pertama, aspek kebahasaan dimana
apabila ada kata-kata di dalam Al-Qur’an yang belum diketahuiartinya dan
baru diketahui pada tahun-tahun berikutnya sesuai denganperkembangan ilmu
pengetahuan itu berarti terdapat kata yang tidakberguna pada masa diturunkan.
Ini menjadi sebuah ketidaklogisan secara kebahasaan, karena pada
kenyataannya Al-Qur’an memakai kata yangbiasa digunakan oleh orang Arab
sehingga dapat dipahami dengan mudaholeh mereka. Jika tidak dapat dipahami
oleh orang Arab sendiri, berarti itubukan bahasa mereka dan itu menjadi aneh
dalam sebuah komunikasi. Kedua, dimensi kesusastraan, Balaghah sebagai
kesusastraan Arab ialah mutabaqȃt al-kalȃm lȋ muqtada al-ẖȃl (kesesuaian
ungkapan dengantuntutan keadaan). Dengan begitu apabila terdapat kata atau
ungkapan di dalam Al-Qur’an yang tidak dipahami oleh objek bicaranya
(mukhathattab) dan baru dipahami lewat teori-teori ilmiah beberapa tahun
kemudian, berarti Al-Qur’an ghayr balȃgh (tidak memiliki aspekbalaghah, tidak
sesuai dengan situasi objek bicaranya sehingga pesannyatidak tersampaikan).
Ketiga, dimensi teologis, di dalam keyakinan umat Islam, Al-Qur’an
mengandung kebenaran. Tidak terdapat kesalahansekecil apapun di dalam Al-
Qur’an, karena Al-Qur’an adalah wahyu Allah, akan tetapi jika Al-Qur’an
ditafsirkan dengan teori ilmiahsedangkan teori ilmiah tidak selalu stabil tetapi
dapat berubah dan berkembang karena adanya kesalahan yang direvisi oleh
ilmuwan berikutnya, hal ini mengandung arti bahwa Al-Qur’an menyajikan
sesuatuyang tidak selamanya benar. Jika Al-Qur’an ditafsirkan menggunakan
suatu teori dan ternyata cocok kemudian pada perkembangan sesudahnyateori
tersebut terbukti salah, artinya Al-Qur’an yang dinilai sesuai dengan teori
pertama juga salah. Secara teologis ini tidaklah benar karena Al-Qur’an tidak
mengandung kesalahan baik sebelum maupun sesudahnya.47
Abdul Mustaqim berpendapat apabila seseorang berusaha melegitimasi
teori-teori ilmu pengetahuan dengan ayat-ayat Al-Qur’an maka akan
dikhawatirkan apabila teori tersebut runtuh oleh teori yangbaru maka akan
membuahkan kesan bahwa ayat yang membahasnya jugaikut runtuh bahkan

46 Amin al-Khuli, Manahij al-Tajdid fȋ al-Nahw wa al-Balagah wa al-Tafsir wa al- Adab, Kairo: Dar al Ma’rifah,
1961, hal. 86.
47 Muhammad Husain Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun..., hal. 491.
seakan-akan kebenaran ayat itu bisa dipatahkan olehteori ilmu pengetahuan
yang baru. Untuk itu tidak perlu melakukan penafsiran dengan memakai corak
ilmi jika hanya dilakukan untuk melegitimasi teori-teori ilmu pengetahuan yang
bersifat relatif.48
Golongan yang menolak ini beranggapan bahwa tidak mungkin
menjembatani ayat Al-Qur’an dengan teori ilmiah, penafsiran dengan corak
ilmiah seolah memaksa mufassir untuk memaknai ayat Al-Qur’an dari makna
zhahȋr ayat tersebut. Menurut golongan ini, tafsir Al-Qur’an harus didasarkan
dengan pemaknaan ayatnya terlebih dahulu dan tidak dimaksudkan dengan
ilmu pengetahuan yang tidak konsisten.49
Kritik-kritik yang yang dilakukan oleh para ulama setidaknya dapat
disimpulkan sebagai berikut:
4. Al-Qur’an diturunkan kepada kaum yang ummi, maka disesuaikan
dengan tingkat pengetahuan mereka. Oleh sebab itu, tidak mungkin
memuat hal-hal di luar jangkauan bangsa Arab pada masa itu.
5. Rasulullah Saw. dan para sahabat adalah orang-orang yang paling
mengerti terhadap makna ayat-ayat, dengan menganggap bahwa ada
ayat-ayat yang maknanya baru diketahui pada zaman modern ini seakan-
akan sama saja dengan merendahkan Rasulullah Saw. dan sahabat-
sahabatnya. Mereka jelas tidak mengerti penemuan- penemuan ilmu
pengetahuan mutakhir. Padahal Rasulullah Saw. yang “ummi” adalah
penafsir pertama dan para sahabat mengambil ilmu dari Rasulullah Saw.
dan menambahkan dengan ijtihad mereka.
6. Petunjuk bagi orang yang takwa, dan bukan ilmu pengetahuan mengenai
hakikat semesta atau fenomena alam. Corak tafsir ilmi mengalihkan
manusia dari usaha mendapatkan petunjuk ke arah usaha-usaha ilmiah.
Salah satu kesalahan kaum muslimin dalam menafsirkan adalah
menyibukkan diri pada pembahasan mengenaiilmu-ilmu alam.
7. Kebenaran ilmiah tidak konsisten dan bisa berubah-ubah, apa yang benar
hari ini menurut ilmu dan penemuan sekarang belum tentu benar di
kemudian hari.
8. Harus dibedakannya antara Tafsir Al-Qur’an dengan I’jȃz Al- Qur’an.50
Dalam konteks integrasi Islam dengan sains, corak tafsir ilmi yang pada
perkembangannya disebut Bucaillisme oleh Sardar atau juga dikenal dengan sains
Islam ditentang oleh banyak saintis Muslim seperti Hoodbhoy yang menolak
sains Islam secara umum, juga Mehdi Golshani sendiri yang setuju dengan sains
Islam. Menurut Hoodbhoy, sains Islam yang merupakan perkembangan dari
model Bucaillis tidak dapat memenuhi syarat untuk disebut sains Islam dengan
alasan. Pertama, objek kajian di luar wilayah sains. Kedua, tidak dapat

48 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an..., hal. 138.


49 Tim Forum Karya Ilmiah RADEN (refleksi anak muda pesantren), Al-Qur’an Kitab Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir
Kalamullah, Kediri: Lirboyo Press, 2011, hal. 248-249.
50 Mutma’innah dan Junaidi, “Plus Minus Tafsir Ilmi,” dalam Jurnal IJERT, Plus Minus, Vol. 2, No.1 Tahun 2022,

hal. 7.
diverifikasi. dan Ketiga, tidak memberikan sebuah teori baru selain dari apa yang
sudah ada.51
Corak tafsir ilmi seperti yang dipraktikan oleh Bucaille dinilai masih
problematis dikarenakan pada dasarnya upaya itu cenderung mekanistik dan
tidak kreatif karena hanya menunggu temuan ilmiah kemudian dicari ayat-ayat
yang cocok. Bahkan menurut Mehdi Golshani, upaya ini tidak sejalan dengan
semangat dasar Al-Qur’an yang mendorong kajian atas alam, bukan sekedar
menunggu temuan orang lain yang menjadi sasaran kritik atas Bucaillisme dan
corak tafsir ilmi secara umum adalah resiko perubahan atau kesalahan suatu teori
yang terlanjur dipakai sebagai penjelasan suatu ayat, karena hal itu akan berarti
kesalahan pada ayat yangterkait.52
Kritik pada dasarnya adalah kritik pada corak tafsir ilmi yang perlu diamati
lebih teliti agar Al-Qur’an tetap sesuai dengan tujuan dasarnya untuk memberi
petunjuk kepada manusia. Kritik ini ditujukan kepada sains Islam yang
merupakan eksplorasi ilmiah ayat-ayat yang dinilai tidak proporsional karena
hendak mengilmiahkan segala hal yang di luar jangkauan sains atau tidak perlu
didekati dengan pendekatan saintifik.Dengan begitu kritik tersebut memang
tidak seluruhnya tepat karena tafsir ilmi tidak sepenuhnya menyimpang, seperti
juga tafsir ilmi dan turunnya yang diklaim sains Islam dinilai sepenuhnya tepat
karena memang ada beberapa penyimpangan di dalamnya.53
Al-Ghazali adalah orang yang paling banyak memasarkan corak tafsir
ilmiah di tengah percaturan keilmuan Islam. Dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulȗm al-Dȋn
pada pasal IV menyinggung mengenai pemahaman dan penafsiran Al-Qur’an
secara rasional tanpa menggunakan Naql (Al-Qur’an - Hadis), beliau sepakat
dengan pandangan beberapa ulama bahwa Al- Qur’an mengandung 77.200
macam/buah ilmu, karena setiap kata adalah sebuah ilmu.54 Al-Ghazli juga
mengemukakan bahwa segala sesuatu yang susah dipahami dengan
penginderaan dan penalaran sehingga menimbulkan berbagai teori yang
bersimpangan satu sama lain sebenarnyatelah dijelaskan dan dirumuskan dalam
Al-Qur’an yang mana semuanya dapat diketahui oleh para pemikir.55
Al-Ghazali menunjukkan dalil aqli dan naqli merupakan sumber ilmu
pengetahuan yang sifatnya tidak terbatas, karena di dalamnya diungkapkan af’al
dan sifat Allah, yang hanya bisa ditemukan oleh orang yang memahaminya.
Dalam kitab Jawȃhir, al-Ghazali memberikan beberapa contoh ayat yang tidak
bisa dipahami secara manqul, tetapi hanya bisa dipahami oleh orang yang
memiliki ilmu pengetahuan. Ayat- ayat yang menggambarkan bagaimana
peredaran matahari, bulan dan bintang-bintang hanya dapat dimengerti oleh
mereka yang pakar dalam bidang fisika dan astronomi. Untuk mengerti ayat-ayat
mengenai kejadian manusia dibutuhkan ilmu mengenai manusia itu sendiri

51 Pervez Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas, Diterjemahkan oleh Sari Meutia, Bandung: Mizan, 1996,
hal.138-139.
52 Ach. Maimun, “Integrasi Agama dan Sains Melalui Tafsir „Ilmi”..., hal. 54-55.

53 Ach. Maimun, “Integrasi Agama dan Sains Melalui Tafsir „Ilmi”..., hal. 55.

54 Rubini, “Tafsir Ilmi”..., hal. 110.

55 Rubini, “Tafsir Ilmi”..., hal. 110.


(fisiologi maupun psikologi). Memikirkan ayat-ayat menurut al-Ghazali, akan
membawa kepada samudera af’al yang tak bertepi dan hal itu tidak cukup hanya
dengan membatasi penafsiran pada apa yang manqul.56
Pendapat Al-Ghazali ini sering diulangi lagi oleh para mufassir ilmi
lainnya, seperti al-Zarkasyi, Jalȃluddin as-Suyȗthi, dan al-Marsi. yang menarik
adalah pendapat Tanthawi Jauhari menyusun tafsir dengan corak tafsir ilmi
karena melihat keterbelakangan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. ia mengatakan bahwa di dalam terdapat lebih dari 750 ayat yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan, dan hanya sekitar 150 ayat tentang ilmu
fiqh. “mengapa para ulama Islam menyusun puluhan ribu kitab ilmu fiqh?” kata
Tanthawi Jauhari, “apakah dapat diterima oleh akal dan syari’at bahwa kaum
muslimin memfokuskan perhatian kepada pengetahuan mengenai sedikit ayat,
dan malah tak acuh terhadap pengetahuan mengenai sangat banyak ayat.”
Bahkan membagikan cerita tentang proses penulisan tafsirnya sebagai berikut:
“Hari ini saya memulai tafsir dengan memohon pertolongan kepada Allah
Yang Maha Penyayang dan Maha Mengetahui, dengan merenungkan apa yang
telah menjadi keyakinanku. Mudah-mudahan Allah membukakan dengan tafsir
ini hati manusia memberikan petunjuk kepada bangsa-bangsa mengangkat kabut
yang menutupi mata kebanyakan kaum muslimin sehingga mereka memahami
ilmu-ilmu alamiah, mudah-mudahan kitab ini menjadi dorongan yang kuat
untuk mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi serta rendah, dan supaya muncul dari
umat ini orang-orang yang melebihi orang barat dalam bidang pertanian,
kedokteran, pertambangan, matematika, geometri, ilmu falak, dan lain- lain, juga
dalam bidang sains dan teknologi. Mengapa tidak, padahal dalam Al-Qur’an
terdapat ayat-ayat tentang ilmu lebih dari 750 ayat, sedangkan ayat-ayat yang
jelas tentang fikih, tidak lebih dari 150 ayat. sudah dituliskan dalam tafsir ini
hukum-hukum, akhlak, dan keajaiban alam, yang diperlukan seorang muslim.
Dimuat di dalamnya keanehan sains dan keajaiban makhluk yang mendorong
kaum muslimin dan muslimah untuk menangkap hakikat makna ayat-ayat yang
jelas tentang fauna dan flora, tentang bumi dan langit. Wahai kaum
cendekiawan, bahwa tafsir ini adalah hadiah Rabbaniyah, petunjuk suci, kabar
gembira diperintahkan kepadaku dengan jalan ilham. aku yakin bahwa
kebesaran tafsir ini akan dikenal seluruh makhluk, dan akan menjadi sebab-sebab
utama yang mengangkat kaum mustadh’afȋn di bumi”.57 Imbauan Tanthawi
Jauhari segera mendapatkan sambutan dengan berbagai munculnya buku yang
mengupas secara ilmiah. Hanafi Ahmad mengarang al-Tafsȋr al-Ilm Li al-Ayah al-
Kauniyyah, Ahmad Mahmud Sulaiman menulis wa al-Ilmi, Mahmud Mahdi
menulis I’jȃz al-Ilmi, Ya’qub Yusuf menulis Lafatat Ilmiyah min, dan berbagai buku
lainnya yang terus bermunculan hingga kini.58
Untuk menyikapi kritik terhadap tafsir ilmi pada dasarnya memakai
temuan ilmiah yang sudah dipastikan kebenarannya, atau dalam bahasa Bucaille

56 Al-Ghazali, Jawȃhir Al-Qur’an, Beirut: al-’Ulum, 1406, hal. 29-30.


57 Tantawi Jauhari, Al-Jawahir fȋ Tafsir Darul Ihya Al-Qur’an al-Karim..., hal. 273.
58 Mutma’innah dan Junaidi, “Plus Minus Tafsir Ilmi”..., hal. 6.
“sudah menjadi fakta yang tidak mungkin berubah atau salah”,131 dalam usaha
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait serta bisa diterima setidaknya
dengan beberapa syarat sebagai berikut:
1. Pembahasannya tidak keluar dari tujuan dasar Al-Qur’an sebagai “kitab
petunjuk”. Dengan tujuan dan fungsi dasar ini harus tetap jelas dan tidak
menjadi hilang karena penjelasan ilmiah. Tafsȋr al-Jawȃhir karya Tantawi
Jauhari banyak dikritiki para mufassir lain, bahkan muncul ungkapan kull
syaȋ’ fihi illa al-Tafsȋr (semua ada di dalamnyakecuali tafsir).132 Ungkapan
ini menunjukkan penjelasan ilmiah yang sangat detail dari segala
aspeknya telah meniadakan pesan utama dari Al-Qur’an itu sendiri dan
tak lagi terlihat sebagai sebuah tafsir, malahlebih terlihat sebagai sebuah
ensiklopedi ilmu pengetahuan.
2. Penjelasan-penjelasan ilmiah ditujukan untuk memperdalam
pemahaman dan ditegaskan untuk memperkuat pesan dari Al-Qur’an
sehingga mampu memperkuat keimanan dan keabsahan dari Al- Qur’an
juga untuk melindungi keimanan yang mengganggu. Dengan ini teori
ilmiah yang dipakai berfungsi untuk mendukung dan memperkokoh isi
kandungan Al-Qur’an, bukan malah mempersoalkan kandungan Al-
Qur’an sehingga memancing keraguanorang-orang yang menelaahnya.
3. Pembahasan itu dimaksudkan untuk mendorong kebangkitan umatIslam
di bidang ilmu pengetahuan, semakin mengerti keagungan Allah dan
bisa memaksimalkan kegunaan alam raya yang dianugerahkan Allah
kepada manusia. Al-Qur’an adalah kitab petunjuk bukan sebagai kitab
ilmu pengetahuan. Serta yang lebih penting bukan kandungan ilmiah
yang terkandung di dalam Al- Qur’an, tetapi motivasi untuk
mengembangkan ilmu dengan berbagai bentuk ungkapan, baik perintah,
rangsangan, atau tantangan kepada manusia.
4. Perlu ditegaskan bahwa pembahasan ilmiah tersebut bukan tafsir yang
mengandung makna dari nash Al-Qur’an yang dijelaskan, dari penjelasan
ilmiah tersebut harus diposisikan sebagai perluasan penjelasan atau
ilustrasi lebih jauh bukan dari makna nash itu sendiri. Dengan demikian
teori-teori yang dipakai tidak akan mencemari kesucian dan kemutlakkan
kebenaran Al-Qur’an apabila ternyata teoriyang dijadikan penjelasan itu
pada akhirnya terbukti salah secarailmiah.59
Corak tafsir Ilmi memanglah tidak sepenuhnya dapat diterima tetapi juga
tidak sepenuhnya ditolak, karena hal tersebut mempunyai signifikansi sendiri,
terutama dalam upaya memahami Al-Qur’an. Kritik yang muncul pada
prinsipnya karena terdapat hal-hal yang kurang proporsional pada corak tafsir
ilmi. Diantaranya: Pertama, saat dinyatakan Al-Qur’an mengandung semua jenis
ilmu pengetahuan, secara teologis. Allah memang pasti tahu segala hal, tapi
bukan berarti segalanya termuat di dalam Al-Qur’an dalam bentuk penjelasan
ilmiah. Al-Qur’an memuat beberapa penjelasan yang sesuai dengan temuan
ilmiah meskipun tidak semua ilmu pengetahuan. Yang sering muncul dalam

59 Ach. Maimun, “Integrasi Agama dan Sains Melalui Tafsir „Ilmi’..., hal. 56-57.
ayat-ayat Al-Qur’an adalah isyarat-isyarat tentang ilmu pengetahuan bukan
penjelasan ilmiah yang detail. Hal tersebut lebih ditujukan sebagai motivasi dan
stimulus pemahaman atas realitas sehingga bisa mengokohkan keimanan
mengenai kekuasaan Allah. Dengan begitu isyarat-isyarat ilmiah Al-Qur’an
untuk kepentingan teologis bukan hanya semata-mata untuk kepentingan ilmiah
saja.60
Kedua, penjelasan-penjelasan ilmiah dengan teori-teori memang dapat
memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai apa yang terkandung
di dalam Al-Qur’an, tetapi tidak semua teori yang dikenal di dalam sains dipakai
tanpa adanya relevansi dengan ayat yang dibahas. Karena apabila ditemukan
adanya revisi teori ilmiah di waktu berikutnya akan menjadikan ayat tersebut
dianggap tidak benar, terlebih lagi apabila penafsiran ilmiah yang dilakukan
terkesan berlebihan dengan memaksakan suatu ayat dan menarik jauh sehingga
keluar dari apa yang seharusnya dimaksud serta konteksnya di dalam Al-
Qur’an. Terkadang suatu ayat yang sebenarnya tidak bertujuan membahas
aspek-aspek ilmu ditarik ke ranah ilmu pengetahuan, contohnya: tongkat Nabi
Musa yang diperintahkan untuk memukul batu dan ternyata memancarkan air
dalam kisah eksodus Bani Israil dari Mesir ditarik pada isyarat teknologi
pengeboran. Sikap yang seperti ini terhadap ayat Al-Qur’an akan tidak
proporsional dan inilah yang menjadi bahan kritik bagi mereka yang kontra
dengan corak tafsir ilmi.
Ketiga, elaborasi pada ayat-ayat tertentu atas bagian dari ilmu pengetahuan
tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu keistimewaan Al-Qur’an (i’jaz Al-
Qur’an), akan tetapi menyebutnya sebagai sains Islam hanya karena adanya
kesesuaian ayat dengan teori sains merupakan suatu hal yang dianggap
berlebihan, karena sains tidak menjadi Islami hanya karena melalui pemasangan
atau penyesuaian dengan ayat Al-Qur’an, karena tak ada perbedaan prinsip
teoritis dan metodologis atas sains tersebut untuk akhirnya disebut sebagai sains
yang tak sama dari sains yang universal. Dengan penyesuaian tersebut, sejatinya
Islam dalam konteks ini tidak memberikan kontribusi baik secara teoritis maupun
metodologis atas suatu teori sains, dengan begitu Islam hanya menunjukkan
kesesuaian ayat walaupun tidak disesuaikan dengan ayat teori itu tetap akan
diterima oleh masyarakat dunia apabila hal tersebut teruji secara ilmiah. Lebih
tidak proporsional jika berawal dari ayat Al- Qur’an lalu merumuskan model
sains yang tidak dapat diuji secara ilmiah,seperti halnya melakukan pengukuran
kuantitatif pada tema-tema spiritual dan eskatologis yang dibicarakan oleh Al-
Qur’an seperti contohnya: pahala salat, panas neraka, atau penggunaan jin
sebagai alternatif energi panas karena terbuat dari api.61
Segi negatif dari corak tafsir ilmi lebih cenderung kepada arah adanya
pemaksaan ayat-ayat yang pada akhirnya bisa menimbulkan sebuah keraguan
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, dan juga sering terjadi pada mufassir-mufassir
corak tafsir ilmi adalah dengan mengetahui sebuahteori ilmiah lalu mencari ayat-

60 Ach. Maimun, “Integrasi Agama dan Sains Melalui Tafsir „Ilmi”..., hal. 58.
61 Ach. Maimun, “Integrasi Agama dan Sains Melalui Tafsir „Ilmi”..., hal. 57-59.
ayat yang mendukung teori tersebut, sebagai akibatnya bukanlah ilmu
pengetahuan yang menafsirkan melainkan justru Al-Qur’an yang menafsirkan
ilmu pengetahuan. Ketika teori-teori tersebut terbantahkan maka ayat tersebut
pun akan dianggap tidak sesuai lagi karena adanya teori baru yang
membantahnya.62 Pernah ada orang yang menguatkan argumen yang
menyatakan bahwa planet hanya ada tujuh dengan ayat-ayat yang menunjukkan
bahwa ada tujuh langit, dan akhirnya ada pembantahan bahwa planet-planet
yang ditemukan pada tata surya sebanyak 10 planet, di samping itu terdapat
jutaan bintang yang memenuhi langit sedangkan kesepuluh planet itu seperti
setetes air dalam lautan bila dibandingkan dengan banyaknya bintang di seluruh
jagat raya.63
Pendapat para mufassir kontemporer dalam menyikapi keberadaan corak
tafsir ilmi, mereka lebih moderat di dalam menyikapi perkembangan ilmu
pengetahuan yang diselaraskan (dikorelasikan) dengan teks-teks Al-Qur’an,
diantaranya:64
a. Muhammad Musthafa al-Maraghi. Salah seorang Syeikh al-Azhar,beliau
berpendapat dalam pengantar buku al-Islȃm wa al-Tibb al- Hadȋts karya
Abd al-’Aziz Ismail, komentarnya, Al-Qur’an bukanlah kitab suci yang
memuat segala ilmu pengetahuan secara terperinci dengan metode
pengajarannya yang masyhur, akan tetapi sesungguhnya Al-Qur’an itu
mengandung kaidah dasar umum yang sangat penting untuk diketahui
oleh setiap manusia agar dapat mencapai kesempurnaan jiwa dan raga.
Menurutnya Al-Qur’an telah membuka pintu yang luas bagi ahlinya
untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan agar bisa diuraikan kepada
semua orang secara terperinci, sesuai dengan zaman sang mufassir itu
hidup. Tetapi mengingat tidak diperbolehkan bagi seorang mufassir
menarik ayat- ayat Al-Qur’an kemudian memakainya untuk
menguraikan kebenaranilmu pengetahuan untuk menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an akan tetapi apabila ada kesesuaian antara ilmu pengetahuan
yang sudah tetap dan pasti dengan zahir ayat-ayat Al-Qur’an maka tidak
menjadi masalah menafsirkan Al-Qur’an dengan bantuan ilmu
pengetahuan ini.
b. Ahmad Umar Abu Hajar penulis al-Tafsȋr al-’Ilmiy fȋ al-Mizȃn. Beliau
memaparkan alasannya setelah memperlihatkan perbedaan pandangan
para ulama terhadap corak tafsir ilmi menurutnya mereka yang
berpendapat bahwa Al-Qur’an jauh dari pada corak tafsir ilmi sudah
melakukan suatu kebenaran apabila tafsir yang dimaksud berlandaskan
pada ilmu pengetahuan yang bersifat perkiraan dan tidak pasti atau ilmu
hanya berlandaskan argumen murni tanpa bukti otentik penelitian

62 Rahmat Jalaludin, Islam Alternatif, kumpulan ceramah di berbagai perguruan tinggi, Bandung: Mizan, 1998, hal.
192.
63 Mutma’innah dan Junaidi, “Plus Minus Tafsir Ilmi”..., hal. 9.

64 Udi Yulianto, “Al-Tafsir Al-’Ilmi Antara Pengakuan dan Penolakan,” dalam Jurnal Khatulistiwa-Journal Of

Islamic Studies, Vol. 1, No. 1 Tahun 2013, hal. 40.


ilmiah, akan tetapi apabila berlandaskan ilmu yang sudah pasti
kevaliditasnya maka tidak ada halangan untuk mengambil manfaat
kebenaran ilmu ini guna menjelaskan Al-Qur’an. Dia juga menambahkan
bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Allah, sedangkan alam adalah
bagian dari ciptaan-Nya, maka pasti ayat-ayat Al-Qur’an tidak
bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan.
c. Ayatullah Makarem al-Syirazi salah seorang mufassir Iran bermazhab
Syiah Imamiyah yang termasuk dalam jajaran ulama yang moderat
dalam menanggapi keberadaan corak tafsir ilmi. Berargumen dalam
kitabnya Tafsir al-Amtsȃl ia memakai sebagian corak tafsir ilmi untuk
mengungkapkan kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi keilmuannya. Ia
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan saat ini sudah mengambil
posisinya dalam menafsirkan Al-Qur’an, dan yang dimaksud ilmu di sini
ialah ilmu yang sudah pasti dan tidak berubah dengan perubahan zaman.
Ilmu yang selalu berubah menurutnya tidak bisa menjelaskan Al-Qur’an
yang sudah tetap. Adapun ilmu pengetahuan seperti ilmu biologi dan
astronomi yang mengkaji alam dan pergerakan bumi menurutnya adalah
jenis ilmu yang telah terbukti kebenarannya dan sudah tetap, jenis ilmu
inilah yang bisa diterima untuk menjelaskan Al-Qur’an.
d. Ayatullah Ja’far Subhani, juga salah seorang mufassir yang moderat
dalam menanggapi keberadaan corak tafsir ilmi. Ia menetapkan syarat
seorang mufassir itu manusia harus memperhatikan teori-teori keilmuan
guna membuka pikiran luas manusia untuk mencapai pemahaman yang
dinamis terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Menurutnya: ilmu-ilmu
pengetahuan ini dicapai karena kekuatan pikiran filsafat, keilmuan
manusia dan terbukanya pemahaman mufassir sehingga memberikan
kemampuan sempurna untuk mengambil manfaat dari ayat-ayat Al-
Qur’an. Akan tetapi tidak bermaksud untuk menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur’an menggunakan ilmu-ilmu modern yang belumpasti kebenarannya
lalu mencocok-cocokannya dengan Al-Qur’an,tidak. Karena hal seperti
ini dianggap sebagai jenis tafsir bi al-ra’yi (tafsir dengan pendapat murni)
yang sudah jelas dilarang oleh agama dan tidak sejalan dengan agama.65

4. Contoh Penafsiran Ilmi


Salah satu pembuktian mengenai kebenaran Al-Qur’an ialah ilmu
pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkan. Di dalam kandungan
Al-Qur’an benar terbukti bahwa begitu banyak ayat Al- Qur’an yang
membahas tentang hakikat ilmiah yang tidak diketahui pada masa turunnya
tetapi terbukti kebenarannya di tengah-tengah perkembangan ilmu
pengetahuan, contohnya:
a. Matahari adalah planet yang bercahaya, sedangkan bulan adalah
pantulan dari cahaya matahari seperti diisyaratkan Al-Qur’an dalam

65 Udi Yulianto, “Al-Tafsir Al-’Ilmi Antara Pengakuan dan Penolakan”..., hal.41.


surah Yȗnus/10:5,66 sebagai berikut:
َ ً ُ َ َ َ ْ َ ً َ َ ْ َّ َ َ َ َّ
‫ورا َوق َّد َر ُه َم َن ِاز َل‬ ‫ُه َو ال ِذ ي ج ع ل الش م س ِض ي اء وال ق م ر ن‬
َّ َ َٰ َ ُ َّ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ ّ َ َ َ ُ َ ْ َ
‫الس ِن ين وال ِح س اب ۚ م ا خ ل ق َّللا ذ ِل ك ِإ ال‬ ِ ‫ِل ت ع ل م وا ع د د‬
َ
‫ات ِل َق ْو ٍم َي ْع ل ُم و َن‬ َ‫ص ُل ْاْلي‬
ّ َ‫ب ْال َح ّق ۚ ُي ف‬
ِ ِ ِ ِ
Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya.Dialah
pula yang menetapkan tempat-tempat orbitnya agar kamu mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan (waktu) Allah tidak menciptakan
demikian itu, kecuali dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada kaum yang mengetahui. (Yȗnus[10]:5).
Ketika berbicara tentang matahari, Al-Qur’an menggambarkannya
sebagai mulia dan salah satu sifat matahari adalah bersinar, dan Al-Qur’an
menggambarkan bulan sebagai mulia dan menerima cahaya dari matahari.
Karakteristik ini sangat sesuai dengan pendapat ahli. Tingkat akurasi yang
sangat tinggi yang terkandung dalam Al-Qur’an terkait dengan perbedaan
antara cahaya yang memancar dari Matahari, yang menyala sendiri dan
bersinar, dan cahaya yang dipantulkan dari Bulan, yang menerima cahaya
dari Matahari. Disebutkan dalam Al Qur’an sekitar 1.400 tahun yang lalu,
tetapi tidak diketahui umat manusia kecuali setelah abad ke-19.67

b. Bahan hijau daun (klorofil) terlibat dalam mengubah radiasi matahari


menjadi energi kimia melalui proses fotosintesis yang menghasilkan
energi. Al-Qur’an, al-syajar al-akhdhar (pohon hijau) sebenarnya lebih
tepat daripada klorofil (daun hijau). Zat ini ditemukan di semua bagian
pohon, bukan hanya daunnya. Yang hijau adalah cabang dan ranting.
Sebagaimana Al-Qur’an mengisyaratkan dalam surah Yȃsȋn/36:80,68
seperti sebagai
berikut:
ُ‫ض ر َن ا ً ا َف إْ َذ اُ َأ ْن ُت ْم م ْن ه‬
َ ْ َُ ْ َ َّ َ ْ ُ َ َ َ َ
‫خ‬ ‫األ‬ ‫ر‬ ‫ج‬ ‫الش‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ج‬ ‫ي‬ ‫ذ‬
َّ
‫ال‬
ِ ِْ ‫ر‬ ِ ِ ِ ِ
‫ُت و ِق ُد و َن‬
ُ
(Dialah) yang menjadikan api untukmu dari kayu yang hijau.
Kemudian, seketika itu kamu menyalakan (api) darinya. (Yȃsȋn[36]:80).
Ayat ini menyiratkan bahwa energi yang digunakan oleh manusia
sebenarnya berasal dari pohon-pohon hijau, tetapi ilmu pengetahuan
modern kemudian menemukan bahwa minyak yang diambil dari bumi

66 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, hal. 98.


67 Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam Al-Qur’an Mengerti Mukjizat Ilmiah Firman Allah, Jakarta:
Zaman, 2013, hal. 410-412.
68 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, hal. 98.
berasal dari tanaman yang terkubur dan dihilangkan oleh tekanan bumi, dan
menemukan bahwa itu berubah menjadi minyak cair.69
Dari contoh ayat-ayat di atas kita dapat melihat bagaimana Al-Qur’an
menunjukkan hal-hal yang sangat berbeda tentang sains atau penemuan-
penemuan ilmiah, tetapi hal ini berangsur- angsur berubah melalui
penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan modern.

5. Kitab yang Membahas Tafsir Ilmi


a. Tafsir Mafȃtih_ al-Ghȃib
Fakhruddin al-Razi adalah pengarah kitab Mafȃtih_ al-Ghȃib atau yang
biasa popular dengan Tafsir al-Kabȋr. Secara keseluruhan karyanya termasuk
ke dalam tafsir dengan pendekatan tafsir bi al- ra’yi, karena pada
penafsirannya, al-Razi condong terhadap pendapatnya (dalil-dalil aqliyah)
atas ayat yang ditafsirkan.70 Walaupun tidak sepenuhnya sependapat dengan
al-Ghazali, namun kitab tafsirnya, Mafȃtih_ al-Ghȃib, dipenuhi dengan
pembahasan ilmiah menyangkut filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi,
kedokteran, dan sebagainya. Sampai-sampai kitab tafsirnya tersebut
dianggap secara berlebihan sebagai mengandung segala sesuatu kecuali
tafsir.71
Jika melihat dari corak penafsirannya, Tafsir Mafȃtih_ al- Ghȃib
tidak secara keseluruhan ditafsirkan dengan corak ilmi. Ada banyak pola
berbeda yang digunakan, seperti ilmiah, filosofis, dan adabi. Ketiga pola ini
dapat dilihat dari sisi yang berbeda. Pertama, penggunaan gaya ilmiah ketika
pembahasan atau bagian yang ditelititerkait dengan teks kauniyyah. Kedua,
gaya filsafat yang populer dapat dilihat dari banyak pendapat para filosof dan
Karam. Ketiga, pola adabi terlihat ketika Al-Razi menggunakan analisis
linguistik untuk menafsirkan penelitiannya.72
Metode yang digunakan dalam penafsiran ini adalah metode Tahriri
ُ
dan metode Muqarran, karena penafsiran dilakukan secara berurutan dan
sistematis, dan terkadang al-Razi membandingkan pendapat ulama dengan
ayat yang ditafsirkan. Contoh corak ilmi di dalam kitab tafsir ini, seperti
dalam surah al-Fȃtihah/1:2 sebagai berikut: ُ
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.(al-Fȃtihah/1:2)
Kata al-’Alamȋn, yang merupakan bentuk jama’, al-Razi memaknainya
bahwa alam yang diciptakan Allah bukan hanya sebuah alam, akan tetapi
merupakan banyak alam. Al-Razi menilai bahwa banyak aspek-aspek dalam
alam semesta ini di mana tempat manusia berada.73

69 Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam Al-Qur’an Mengerti Mukjizat Ilmiah Firman Allah…, hal. 669.
70 M. Hasbi as-Shiddiqie, Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1989, hal.205.
71 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, hal. 155.

72 W. Montgo Mery Watt, Pengantar Studi Islam, Diterjemahkan oleh Taufik Adnan Amal, Jakarta: Rajawali Press,

1991, hal. 267.


73 Fakhruddin al-Razi, Mafȃtih al-Ghayb, Juz 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, hal. 14.
b. Tafsir Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’a’n al-Kari’m
Tafsir al-Jawȃhir adalah sebuah karya yang berawal dari salahseorang
mufassir bernama Tanthawi Jauhari. Kajian tafsirnyabersifat ilmiah, dan ini
berkat Tanthawi yang meyakini bahwa cara meningkatkan taraf keilmuan
umat Islam adalah dengan mempelajari Al-Qur’an melalui pengembangan
ilmu.74
Tafsir ini mendorong umat Islam untuk menekuni penelitian ilmiah
agar Islam dapat bangkit dan mengungguli Eropa dalam berbagai bidang
pertanian, kedokteran, pertambangan, matematika, arsitektur, astronomi, dan
ilmu-ilmu industri lainnya. Metode penyusunan tafsir ini menggunakan
metode tahlili dengan gaya tafsir ilmiah. Tafsir yang dikembangkan fokus
pada analisis Al-Qur’an secara keseluruhan, terutama yang berkaitan dengan
ilmu pengetahuan. Dalam tafsir ini, banyak hadis juga dibicarakan untuk
mendukung penguatan dan penafsiran.75
Kitab karya Syeikh Thanthawi Jauhari ini terdiri dari 25 jilid, dicetak di
Mesir pada tahun 1351 M. Syeikh Thanthawi banyakmengadopsi temuan teori
ilmu pengetahuan dari orang-orang Eropa, untuk mengomentari ayat-ayat
yang berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu
motivasinya adalah ingin membuktikan, bahwa al-Qur’an itu sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.76

c. Tafsir Ilmiah Salman


Tafsir Ilmiah Salman merupakan kitab yang disusun berawal dari kajian
tafsir ilmi yang diadakan mingguan di masjid Salman ITB. Kajian ini
dilaksanakan berawal pada bulan Oktober 2010. Kitab ini berfokus kepada
pembahasan mengenai ayat-ayat kauniyyah sehingga Tafsir Salaman
menggunakan corak ilmiah dalam proses penafsirannya. Ada sekitar 26
kontributor dalam penyusunan dan mereka bukan hanya dari lingkungan ITB
saja tetapi ada dari UGM, Universitas Padjajaran dan Universitas lainnya.
Selain para akademik juga ada dari kalangan ahli agama yang dilibatkan
dalam penyusunannya.

d. Tafsir Ilmi Kementrian Agama


Kehadiran Tafsir Ilmi Kementerian Agama diawali dengan Peraturan
Menteri Agama, yang tertuang dalam Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an
Bab 1 Pasal 1 Tahun 2007, menjadi badan yang peduli dengan penelitian,
pembelajaran, dan pendidikan. Dandengan peraturan itu, lembaga Lajnah
ini berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Agama Republik
Indonesia dan bertanggung jawab kepada kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, tugas Lajnah

74 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, j. II, Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1993, hal.
75 Armainingsih, “Studi Tafsir Saintifik: Al-Jawahir fȋ Tafsir Al-Qur’an Al-Karim,” dalam Jurnal At-Tibyan, Vol. 1
No. 1 Tahun 2016, hal. 103-106
76 Abdul Mustaqim, “Kontroversi Tentang Corak Tafsir Ilmi”..., hal. 38.
meningkat, dan Kementerian Agama fokus pada kajian Al-Qur’an. Upaya
untuk meneliti dan memelihara Al-Qur’an untuk memverifikasi
keabsahannya. Menurut aturan ini, tata kerja Lajnah Pentasihan mencakup
tiga bidang: pentasihan Al-Quran, pembelajaran Al-Quran dan
dokumentasi.166
Tafsir Ilmiah Kementerian Agama diterbitkan atas peran Kementerian
Agama yaitu melakukan kegiatan penelitian dan menyusun tafsir ilmi tentang
ayat-ayat kauniyah. Metode yang digunakan dalam penelitian dan
penciptaannya menggunakan metode interpretasi tematik. Selama beberapa
tahun, telah terjadi kerjasama antara Kementerian Agama dan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk menafsirkan ayat-ayat kauniyyah. Sejak
2009, kedua lembaga tersebut melanjutkan kerjasamanya, melakukan
penelitian dan menghasilkan interpretasi ilmiah. Tim penelitian dan
penyusunan tafsir ilmiah ini terdiri dari para ahli dari berbagai latar belakang
keilmuan dan dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang
menguasai masalah bahasa dan masalah lain yang berkaitan dengan tafsir Al-
Qur’an. Kedua, ahli dalam kajian ilmiah. Keduanya bersinergi dalambentuk
Ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) dalam menafsirkan ayat-ayat kauniyyah dalam
Al-Qur’an.167

4. SARAN DAN UCAPAN TERIMAKASIH


Alhamdulillah kami panjatkan syukur kepada Allah Robb Al-Ghaffur atas
selesainya karya ini walaupun banyak kekurangan karena kebodohan penulis, mohon
dimaafkan yang sebesar-besarnya jika ada penulisan ataupun kata yang kurang tepat,
semoga Allah swt. mengampuni segala kekhilafan penulis. Kami berharap dengan
tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua yang membaca serta menjadi washilah
kebahagian dunia dan akhirat. Kami ucapkan juga jazakumullahu khoiron kepada semua
yang telah berkontribusi dalam penulisan ini semoga Allah swt balas dengan balasan
yang berlipat ganda.

5. KESIMPULAN
Ilmu dibedakan menjadi tiga: ilmu keislaman, ilmu eksakta dan ilmu sosial. Ilmu
keislaman adalah ilmu yang berasal dari wahyu Tuhan yang terdapat dalam Al-Qur’an
atau Hadis Nabi yang kemudian ditelaah dengan metode-metode tertentu baik secara
tekstual, rasional, maupun kontekstual. Ilmu pengetahuan adalah salah satu ilmu dalam
kitab suci Al-Qur’an. Kata ‘ilm disebut dalm Al-Qur’an sebanyak 105 kali. Al-Qur’an
adalah kitab induk dari segala rujuan ilmu baik ilmu pengetahuan ataupun sains.
Beberapa ulama yang diidentifikasi mendukung bolehnya menafsirkan Al- Qur’an
dengan pendekatan sains antara lain, Imam al-Gazali, Imam as-Suyuthi, Imamar-Razi, dan
al-Mursyi. Sementara kelompok yang menolak di antaranya Imam asy- Syatibi. Dari
kalangan ulama modern mereka yang mendukung antara lain seperti, Muhammad
Abduh, Tantawi Jauhari, dan Ahmad Hanafi, yang bersebrangan di antaranya Mahmud
Syaltut, Amin al-Khulli, dan Abbas Aqqad. Menyikapi dua pendapat ulama ini, Abdul
Fattah memilih berada di tengah. “Saya berada di tengah,di antara dua kecenderungan
pendapat yang menolak atau menerima. Bila dikatakan bahwa Al-Qur’an tidak
mengandung isyarat ilmiah sama-sekali, itu adalah sikap yang ekstrim, dan sebaliknya,
mengatakan Al-Qur’an mengandung segala bentuk ilmu pengetahuan, juga tidak benar.”
Abdul Fattah mengatakan, “Kita boleh manafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara
ilmiah, menggali ilmu pengetahuan dengan berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an, dan boleh
menghubungkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hasil-hasil temuan sains dengan tiga
persyaratan di atas,” tegasnya.

6. DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Islam dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018),
Afzalur Rahman, Ensiklopidiana Ilmu dalam Al-Qur’an, Rujukan Terlengkap Isyarat-
Isyarat Ilmiah dalam Al-Qur’an (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2007).
al-Ghazali. Ihya ‘Ulumuddin, Jilid I. Kairo: Al-Tsaqofah al-Islamiyah, 1356 H.
-------. Ihya’ Ulum al-Din 1, Kairo: Mu’assasah al-Halbi, 1370.
-------. Jawȃhir Al-Qur’an Beirut: Darul Ihya al-„Ulum, 1406
al-Khuli, Amin. Manahij al-Tajdid fȋ al-Nahw wa al-Balagah wa al-Tafsir wa al-Adab,
Kairo: Dar al Ma’rifah, 1961.
al-Razi, Fakhruddin. Mafȃtih al-Ghayb, Juz 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Armainingsih, “Studi Tafsir Saintifik: Al-Jawahir fȋ Tafsir Al-Qur’an Al- Karim,” dalam
Jurnal At-Tibyan, Vol. No. Tahun 2016.
al-Bustani, Fuad Irfan. Munjid al-Thullab, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986. Dewan Redaksi,
Ensiklopedi Islam, j. II, Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1993.
Darmalaksana, Wahyudin. “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi
Lapangan.” Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020, 1–6.
http://digilib.uinsgd.ac.id/32855/1/Metode Penelitian Kualitatif.pdf.
Hamad. “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana.” Jurnal Komunikasi, 2007, 325–44.
Fuad Nashori, Mimpi Nurbuat, Agustus 2002
Harun Yahya,Pustaka Sains Populer Islami, Jejak Bangsa-Bangsa Terdahulu, Desember
1999.
Iwan Yanuar, Surga Juga Buat Remaja, GIP, cet. ke-2 April 2004 M dan Said Hawa, Allah,
Pustaka Mantiq, cet. ke-6, Agustus 1994.
Jauhari, Tantawi. Al-Jawahir fȋ Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al- Kutub al-
’Ilmiyah, 2004.
M.A. Husaini. “Pangan Potensial untuk Meningkatkan Pertumbuhan Fisik, Daya Fikir dan
Produktivitas serta Mencegah Penyakit Degeneratif Seminar dan Lokakarya Pra Widya
Pangan dan Gizi VI”, Semarang, November 1997.
Moleong, L. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Mustaqim, Abdul. “Kontroversi Tentang Corak Tafsir Ilmi,” dalam Jurnal Studi Ilmu-
Ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Vol.7, No.1, Tahun 2017.
Pusat Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993..
Qardhawi, Yusuf. Berinteraksi dengan Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie Al-
Kattani, cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1999.
-------. Mukjizat Al-Qur’an ditinjau dari aspek kebahasaan, isyarat ilmiah dan
pembertitaan ghaib, cet. 1, Bandung: Mizan, 2004
-------. Membumikan Al-Qur’an, cet. XIX, Bandung: Mizan, 2007.
-------. Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: Pustaka Rizqi Putera, 2009.
-------. Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2015.
-------. Mukjizat Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2013.
Sabuni, Muhammad Ali, Al-Tibyȃn fī „ulȗm al-Qur’ȃn, Damaskus : Maktaba al-Ghazālī,
1401 H.
Watt, W. Montgo Mery. Pengantar Studi Islam, Diterjemahkan oleh Taufik Adnan Amal,
Jakarta: Rajawali Press, 1991.

Anda mungkin juga menyukai