Disusun oleh :
PROGRAM STUDI
MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM UNIVERSITAS PTIQ
JAKARTA
AL-QUR’AN SUMBER ILMU PENGETAHUAN :
DISKURSUS SEPUTAR PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG PENAFSIRAN
ILMIAH ( TAFSIR ILMI )
Moh Sony Nasrullah (2370134021), Arham (2370134002)
Mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan Islam Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta
Korespodensi: sony.narullah@gmail.com
Korespodensi: moh.zainussubkhan@gmai.com
ABSTRAK
Usaha menafsirkan Al-Qur‘an adalah upaya memahami arahan dan kehendak Allah
serta operasionalisasi kehendak itu dalam hidup manusia. Dialog peradaban Islam dengan
peradaban Yunani, India, dan Persia berawal sejak diterjemahkannya beberapa karya mereka
pada masa keemasan Islam. Hal itu berpengaruh pada lahirnya beraneka ragam metode dan
aliran penafsiran al-Qur‘an. Corak penafsiran Al-Qur‘an juga beragam, mulai dari yang
bernuansa fiqhi, balaghi, isyari, sampai kalami atau falsafi. Ditemukan juga metode tafsir ‘ilmi
yang orientasinya adalah pemanfaatan hasil temuan di bidang sains untuk membuktikan
berbagai kebenaran fakta ilmiah yang disebutkan dalam al-Qur‘an. Corak penafsiran ilmi
dalam khazanah ilmu tafsir Al-Qur‘an menimbulkan pro dan kontra di kalangan para ulama
dan mufassir. Artikel ini bertujuan untuk menelusuri pentingnya memahami hubungan Al-
Qur‘an dan ilmu pengetahuan, hubungan antara ayat-ayat Qur’aniyyah dengan ayat-ayat
Kauniyyah, juga menelusuri upaya pemahaman Al-Qur‘an dalam bentuk tafsir selalu
berkembang seiring perkembangan peradaban manusia, hingga dalam perjalanannya sains
dan al-Qur‘an kemudian dapat dipertemukan secara dialogis, meskipun tentunya dengan
prasyarat-prasyarat penafsiran yang jelas. Metode penelitian ini bersifat kualitatif dengan
menggunakan metode deskriptif melalui analisis teori serta studi kepustakaan. Hasil dari
penelitian ini menyimpulkan ilmu pengetahuan merupakan isi pokok kandungan kitab suci Al-
Qur’an dan terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai penafsiran ilmiah. Penelitian ini
memiliki signifikasi untuk pengembangan diskursus ilmu literatur Ulumul Qur’an. Kesimpulan
pada penelitian ini adalah tujuan ilmu pengetahuan dan agama adalah satu ialah menciptakan
kebahagiaan jasmani dan ruhani manusia, sebagaimana tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Keyword: Al-Qur’an, Tafsir, Ilmu Pengetahuan, Ijaz
ABSTRACK
The effort to interpret the Qur'an is an effort to understand God's direction and will and the
operationalization of that will in human life. The dialogue between Islamic civilization and Greek, Indian and
Persian civilization began when several of their works were translated during the golden age of Islam. This
influenced the birth of various methods and schools of interpretation of the Koran. There are also various
styles of interpretation of the Qur'an, ranging from nuances of fiqhi, balaghi, isyari, to kalami or falsafi. The
scientific interpretation method was also found, the orientation of which is the use of findings in the field of
science to prove the truth of various scientific facts mentioned in the Qur'an. The style of scientific
interpretation in the treasures of Al-Qur'an exegesis gives rise to pros and cons among scholars and
interpreters. This article aims to explore the importance of understanding the relationship between the Al-
Qur'an and science, the relationship between the verses of the Qur'aniyyah and the verses of the Kauniyyah,
as well as exploring efforts to understand the Al-Qur'an in the form of interpretation which always develops
along with the development of human civilization. so that in the course of its journey science and the Qur'an
can then be brought together dialogically, although of course with clear interpretive prerequisites. This
research method is qualitative using descriptive methods through theoretical analysis and literature study.
The results of this research conclude that science is the main content of the holy book Al-Qur'an and there
are differences of opinion among scholars regarding scientific interpretation. This research has significance
for the development of discourse on the literature of Ulumul Qur'an. The conclusion of this research is that
the goal of science and religion is one, namely to create human physical and spiritual happiness, as stated in
the verses of the Qur'an.
1. PENDAHULUAN
Tujuan utama setiap usaha menafsirkan Al-Qur’an sejak masa lalu hingga saatini
adalah menjelaskan kehendak Allah Swt dan operasionalisasi kehendak itu di bidang
akidah dan hukum syar’i yang dikandungnya, serta nilai-nilai etis dan keadaban yang
dibawa oleh Al-Qur’an untuk perbaikan dan pembersihan jiwa manusia. Pada masa
peradaban, muncul berbagai metode dan aliran tafsir Al-Qur’an.
Selain ditemukan corak tafsir, ditemukan pula metode tafsir ilmi yang berorientasi
pada pemanfaatan hasil temuan di bidang sains untuk membuktikan berbagai kebeneran
fakta ilmiah yang pernah disebutkan oleh Al-Qur’an.
Ada beberapa tokoh seperti Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H), Fakhruddin Al-
Razi (w 606 H), Ibn Abi Al-Fadl Al-Mursi (570-655 H) adalah representasi pemikir
muslim klasik yang menandakan gelombang pertama berupa isyarat keharusan
menafsirkan Al-Qur’an dengan bantuan penemuan sains di zamannya.
Sains dalam literatur diperkuat dengan ‘Ulum Al-Qur’an terutama dua karya yang
sangat populer yaitu ‘al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an’ yang disusun oleh Badruddin al-
Zarkasyi (w 794 H) dan ‘al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an’ yang ditulis oleh Jalaluddin al-
Suyuthi (w 911 H). Maksud dari pada sains di sini adalah ilmu-ilmu pengetahuan tentang
alam semesta seperti: ilmu teknik, astronomi, matematika, biologi, kimia, ekonomi-
sosial, flora-fauna, geologi dan lain sebagainya.
Ada beberapa definisi yang diberikan beberapa pakar tentang tafsir ilmi/saintifik
ini, diantaranya:
Pertama, definisi yang diajukan oleh Amin al-Khuli adalah: “Tafsir yang
memaksakan istilah-istilah keilmuan kontemporer atas redaksi Al-Qur’an, dan berusaha
menyimpulkan berbagai ilmu dan pandangan-pandangan filosofis dari redaksi Al-
Qur’an itu.”
Kedua, definisi yang diajukan oleh ‘Abdul Majid ‘Abdul Muhtasib adalah:
“Tafsir yang mensubordinasikan redaksi Al-Qur’an ke bawah teori dan istilah-
istilah sains-keilmuan dengan mengerahkan segala daya untuk menyimpulkan berbagai
masalah keilmuan dan pandangan filosofis dari redaksi Al-Qur’an itu.”1
Kedua definisi di atas tampak mirip, dan dapat kita beri catatan dalam dua hal;
Pertama, kedua definisi tersebut mendiskreditkan model tafsir saintifik, sebab memberi
kesan bagi orang awam yang membaca definisi itu bahwa corak tafsir itu harus dihindari
karena dinilai telah “menundukkan redaksi Al-Qur’an” ke dalam teori-teori sains yang
kerap berubah-ubah. Lagi pula sosok Abdul Muhtasib ini dikenal berada di barisan
ulama yang kontra dan tak menyetujui corak tafsir ini.
Kedua, definisi tersebut tidak mampu menggambarkan konsep sebenarnya yang
diinginkan para pendukung tafsir ilmi. Para pendukungnya tak pernah berkeinginan
untuk memaksakan istilahistilah keilmuan modern dalam redaksi Al-Qur’an, atau
menundukkan redaksi Al-Qur’an itu pada teori-teori sains yang selalu berubah.
1 Abuddin Nata, Islam dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), 8.
Oleh sebab itu, kiranya definisi yang lebih cocok untuk corak tafsir ilmi dan sesuai
dengan realitas di lapangan adalah: “Tafsir yang berbicara tentang istilah- istilah sains
yang terdapat dalam Al-Qur’an dan berusaha sungguh-sungguh untuk menyimpulkan
berbagai ilmu dan pandangan filosofis dari istilah-istilah Al-Qur’an itu.”5 Atau definisi
lain yang dapat dikemukakan di sini adalah: “Tafsir yang diupayakan oleh penafsirnya
untuk:
1. Memahami redaksi-redaksi Al-Qur’an dalam sinaran kepastian yang dihasilkan oleh
sains modern
2. Menyingkap rahasia kemukjizatannya dari sisi bahwa Al-Qur’an telah memuat
informasi-informasi sains yang amat dalam dan belum dikenal oleh manusia pada
masa turunnya AlQur’an, sehingga ini menunjukkan bukti lain akan kebenaran fakta
bahwa Al-Qur’an itu bukan karangan manusia, namun ia bersumber dari Allah swt,
pencipta dan pemilik alam semesta ini.
2. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif-deskriptif.2 Penelitian kualitatif
dikatakan sebagai rangkaian penelitian yang mampu menghasilkan data berupa
deskriptif kata-kata baik tertulis atau lisan dari objek atau perilaku manusia yang dapat
diamati.3 Penelitian ini juga menggunakan analisis teori dan studi kepustakaan.Analisis
teori adalah salsah satu teknik dalam penelitian yangg menjadiikan teori sebagai acuan
dari kebenaran, fakta, dan keadaan objek yang diteliti. Analisis teori digunakan sebagai
alat pembacaan realitas yang kemudian dikonstruksikan menjadi deskripsi yang
argumentatif.4 Studi kepustakaan dipakai untuk memperkaya literaturpenelitian, agar
kemudia dapat ditarik sebuah kesimpulan.
2 Wahyudin Darmalaksana, “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi Lapangan,” Pre- Print Digital
Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020, 1–6, http://digilib.uinsgd.ac.id/32855/1/Metode Penelitian
Kualitatif.pdf.
3 L. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 8.
4 Hamad, “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana,” Jurnal Komunikasi, 2007, 325–44.
5 Abuddin Nata, Islam dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), 8.
Qur’an atau Hadis Nabi yang kemudian ditelaah dengan metode-metode tertentu
baik secara tekstual, rasional, maupun kontekstual. Ilmu pengetahuan yang
mempelajari sifat-sifat nama dan bilangan menurut tanggapan manusia dikenal
dengan ilmu eksakta, sedangkan ilmu pengetahuan yang menyelidiki kehidupan
manusia termasuk kehidupan rohaninya disebut ilmu sosial.
Jadi ilmu pengetahuan adalah salah satu ilmu dalam kitab suci Al-Qur’an. Kata
‘ilm disebut dalm Al-Qur’an sebanyak 105 kali. Al-Qur’an adalah kitab induk dari
segala rujuan ilmu baik ilmu pengetahuan ataupun sains. Di dalam Al-Qur’am semua
sudah diatur, baik yang berhubungan dengan Allah (hablum minallah), sesama
manusia (hablum minannas), alam, lingkungan, ilmu akidah, ilmu sosial, ilmu alam,
ilmu empiris, ilmu agama, ilmu pengetahuan, ilmu umum dan sebagainya.
Salah satu kemukjizatan (keistimewaan) Al-Qur’an yang paling utama adalah
hubungannya dengan ilmu pengetahuan, Allah menurunkan Ayat AL-Qur’an yang
pertama kali mengenai pentingnya ilmu pengetahuan, yakni QS. Al-‘Alaq: 1-5.
ّ ّ ّ
) اقرأ و ربك األكرم2( )خلق االنسان من علق1(اقرأ باسم ربك الذي خلق
ّ ّ ّ
)5( ) علم االنسان ما لم يعلم4( ) الذي علم بالقلم3(
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu lah yang Maha
Pemurah, yang mengajar manusia dengan perantara kalam, Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Ayat yang pertama turun mengingatkan manusia bahwa Allah telah
memuliakan atau menjunjung tinggi martabat manusia melalui bacaan. Dengan
proses belajar manusia dapat menguasai ilmu-ilmu pengetahuan dan dengan ilmu
manusia dapat mengetahui rahasia alam semesta yang sangat bermanfaat bagi
kesejahtraan hidup. surat Al-Alaq ayat 1-5 dijelaskan bahwasanya manusia itu
dijadikan oleh Allah dari segumpal darah yang melekat di rahim seorang ibu. Ayat
ini diturunkan ketika Nabi Muhammad Saw berkhalwat di Gua Hiro, ketika itu beliau
berusia 40 tahun. Ayat-ayat pertama yang diturunkan sekaligus merupakan tanda
pengangkatan Nabi Muhammad Saw sebagai Rasul Allah.
AL-Qur’an berusaha mengangkat derajat manusia pada kedudukan yang tinggi
dengan menunjukkan bahwa manusia diberikan kemampuan untuk melihat dan
memahami sifat-sifat sejati Allah dan kemudian merenungkan akan kebesaran- Nya,
sebagaimana firman Allah (QS Ali Imran [3]: 18)
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan
keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang
demikian itu). Tidak ada Tuhan melinkan Dia, Yang Maha perkasa lagi Maha
bijaksana”. (QS Ali Imran [3]: 18).
Ayat ini jelas memberikan bukti bahwa hanya orang yang berilmu pengetahuan
dan memiliki pemahaman sajalah yang mampu melihat hakikat yang ada di balik
struktur materi dari alam semesta ini. Hanya mereka yang memiliki kemampuan
untuk menyaksikan kekuasaan. Al-Haqq, Zat yang mengendalikan dan mengatur
seluruh kehidupan semesta raya. Dialah yang Haqq (Riil), sedangkan segalasesuatu
yang lain hanyalah bayangan-bayangan yang akan berlalu. Mereka yang tidak
mampu melihat kebenaran hakiki ini di dalam alam semesta akan kehilangan rasa
keadilan dan kekuatan pemahaman yang telah Allah anuggerahkan kepada mereka.6
6Afzalur Rahman, Ensiklopidiana Ilmu dalam Al-Qur’an, Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al-
Qur’an (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2007). 28.
diciptakan bagi kepentingan hidup manusia. Al-Qur’an juga menunjukkan cara
memanfaatkan kekayaan materi dengan tepat sebagai pembuka untuk memasuki
pintu kehidupan alam akhirat, sebuah dunia yang berada di belakang pembatasan
alam dunia, dan bahkan sampai menembus ruang kosmis.7
7 Afzalur Rahman, Ensiklopidiana Ilmu dalam Al-Qur’an, Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al-
Qur’an (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2007). 31.
8 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an..., hal. 136.
9 Muhammad Ali Sabuni, Al-Tibyȃn fī „ulȗm al-Qur’ȃn, Damascus : Maktaba al-Ghazālī, 1401 H, hal. 61.
10 Muhammad Abd al-Azim Al-Zarqani, Manȃhil al-Irfȃn fī ulȗm al-Qur’ȃn, Kairo: Dȃr Iḥyā al-Kutub al-Arabiya,
Vol.1 hal.471.
Qur’an dan secara sungguh-sungguh berusahamendalami berbagai bidang ilmu
pengetahuan. ilmu pengetahuan dan sudut pandang filosofis dari ayat-ayat
tersebut. Sebagaimana dikatakan Abd al-Majȋd al-Salam al-Muhtasib dalam
bukunya Ittijahat al-Tafsr al-’Ashr al-Hadȋts, bahwa al-Tafsȋr al-’ilmi adalah tafsir
yang dimaksudkan oleh para mufassir untuk tujuan menemukan suatu
ungkapan. Dan mengungkapkan apa kandungan dalam ayat Al-Qur’an terhadap
teori-teori ilmiah atau temuan ilmiah dan mencoba menggali berbagai masalah
ilmiah dan pemikiran filosofis.11
Izzatul Laila berpendapat bahwa al-Tafsȋr al-’ilmi adalah sebuah ijtihad atau
upaya serius para penafsir untuk mengungkap dan menghubungkan ayat-ayat
kauniyyah Al-Qur’an dengan temuan-temuan ilmiah dalam rangka
merepresentasikan salah satu keajaiban Al-Qur’an. Izzatul Laila mengutip Yusuf
Qardawi, mengungkapkan makna yang lebih luas dari interpretasi ilmiah ini
dengan mengatakan bahwa interpretasi ilmiah Al-Qur’an adalah interpretasi
yang dibuat dengan menggunakan alat-alat sains kontemporer dengan unsur-
unsur fakta dan fakta dan teori yang ada untuk tujuan menafsirkan tujuan. dan
makna.12
Menurut Husain az-Zahabiy, tafsir ilmi membahas istilah-istilah ilmu
pengetahuan dalam penuturan ayat-ayat al Qur'an, serta berusaha menggali
dimensi keilmuan dan menyingkap rahasia kemukjizatannya terkait informasi-
informasi sains yang mungkin belum dikenal manusia pada masa turunnya
sehingga menjadi bukti kebenaran bahwa al Qur'an bukan karangan manusia.
Namun wahyu sang Pencipta dan pemilik alam raya.
Dari beberapa tafsir tersebut, setidaknya dapat disimpulkan bahwa al-Tafsȋr
al-’ilmi adalah tafsir ilmiah terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an
ditafsirkan menggunakan model ini dalam kaitannya dengan ayat-ayat kauniyyah
(kalimat yang berkaitan dengan peristiwa dan fenomena alam). Sambil
menafsirkan ayat-ayat tersebut, para mufassir juga menambahkan teori-teori
ilmunya sendiri (sains). Dan juga mencoba untuk mengungkapkan dan
menunjukkan bagaimana keajaiban Al-Qur’an dari sudut pandang ilmiah.13
Tafsir ilmi atau penafsiran al Qur'an dengan pendekatan ilmiah,
merupakan salah satu bentuk tafsir yang digunakan untuk memamhami ayat-
ayat kauniyah. Ayat-ayat kosmologi baik yang tertulis dalam kitab suci maupun
yang terbentang di alam raya.
Penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat sains dalam al Qur'an dimungkinkan
karena al Qur'an tidak hanya mengandung ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu
umum termasuk ilmu alam, sebagai cikal bakal sains dan teknologi.
Tafsir perspektif sains memungkinkan al Qur'an selalu hadir di tengah-
tengah masyarakat pada setiap zaman dan ruang, kapanpun dan dimanapun.
11 Abd al-Majid Abd al-Salam al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fȋ al-’Ashr al-Hadis, Jilid 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1973,
hal. 247.
12 Izzatul Laila, Penafsiran Al-Qur’an Berbasis Ilmu Pengetahuan..., hal. 48.
13 Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie Al-Kattani, Jakarta: Gema
14 Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, 2002,
hal. 314.
15 Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie Al-Kattani…, hal. 532.
18 Muhammad Husain Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000, J. 2, hal. 454.
ada pada saat itu, jadi interpretasi ini tidak boleh dianggap sebagai
korespondensi yang mencari pembenaran untuk setiap penemuan ilmiah yang
ada sebagai sesuatu dalam Al-Qur’an.19
Ayat-ayat kauniyyah adalah istilah yang digunakan oleh para ulama atau
ahli tafsir untuk menyebut ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang
alam dan segala isinya seperti membahas langit, bumi, hewan, tumbuhan
termasuk manusia. Istilah kauniyyah berasal dari kata al-kaun yang berarti alam
yang meliputi langit dan bumi dan segala sesuatu di antaranya.20 Istilah lain yang
digunakan mufassir untuk menyebut ayat- ayat kauniyyah, seperti Tantawi
Jauhari, yang menyebutnya sebagai ayat al-’Ulȗm.21 Jumlah ayat-ayat kauniyyah
yang terdapat dalam Al-Qur’an lebih banyak daripada yang mengandung
hukum Islam, bahkan ayat-ayat hukumnya hanya 1/5 dari jumlah ayat-ayat
dalam kauniyyah.22
Corak penafsiran tafsir ilmiah (corak tafsir ilmi) ini dapat digolongkan
sebagai metode tafsir tahlili (interpretasi analitik). Hal ini terlihat dari cara
penafsir memilih kalimat yang ingin ditafsirkannya, mencari makna kata
(mufrȃd), kemudian menganalisisnya untuk menemukan makna dan makna yang
ingin diucapkannya. Namun penafsiran ini tidak menyeluruh karena terbatas
pada penafsiran parsial terhadap ayat-ayat yang tidak memerlukan
pertimbangan hubungan ayat- ayat sebelum dan sesudahnya.23
Adapun dalam memahami corak tafsir ilmi secara lebih ringkas maka
dibutuhkan pengertian dan bentuk dari ciri-ciri tafsir ‘ilmi, berikut dibawah ini
mengenai tafsir ‘ilmi yaitu :
1. Tafsir yang didukung oleh riset dan penemuan ilmu pengetahuan untuk
mengetahui ilustrasi dan simbol-simbol baru bagi hal-hal yang telah
diisyaratkan di dalam Al-Qur’an. Biasanya ilustrasi serta simbolbaru ini
sesuai dengan simbol yang dipahami oleh apa yang orang baca dan
temukan di dalam ayat. Pada corak tafsir ilmi biasanya tanda yang
terdapat dalam Al-Qur’an bisa berupa makna terselubung yang
terkandung di dalam ayat-ayat kauniyyah.
2. Tafsir yang dibantu dengan teori-teori ilmiah untuk dapatdihubungkan
dengan ayat-ayat dengan keserasian tema atau pembahasan.
3. Tafsir yang banyak dipengaruhi (dibantu) dengan penemuan- penemuan
ilmiah, setelah itu dicarikan sebuah keselarasan sehingga bisa
menetapkan bagaimana Al-Qur’an telah terlebih dahulu menyinggung
pembahasan tersebut, dalam keselarasan terhadap ayat dan teori ilmiah
yang dijadikan sebuah bukti bahwa ada kemukjizatan ilmiah di dalam
Al-Qur’an.24
19 Rubini, “Tafsir Ilmi,” dalam Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, Vol. 5 No. 2 Tahun 2016, hal. 94.
20 Mansur Muhammad Hasan al-Nabi, al-Ayat al-kauniyyah fȋ Daw’ al-’Ilm al-Hadis, Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th.
hal. 3.
21 Tantawi Jauhari, Al-Jawahir fȋ Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 2004, hal. 3.
23 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Cet. XIX Bandung: Mizan, 1999, hal.183.
24 Muhammad Izuddin Taufiq, Dalil Anfus Al-Qur’an dan Embriologi Ayat-Ayat Tentang Penciptaan Manusia,
Dalam pembahasan dalam corak tafsir ilmi data dari ayat-ayat Al- Qur’an
dan penemuan-penemuan ilmiah harus sesuai meliputi dari hal pengertian
umum diluar bidang relativitas serta variabel dan juga jelas bahwa tidak boleh
adanya suatu kontradiksi atau penghalang diantara kedua data tersebut. Al-
Qur’an juga menegaskan bahwa hakikat inti dari hubungan antara pesan Al-
Qur’an dan hukum Allah, adalah karena umat manusia dituntut menjalankan
perannya di bumi dalam kerangka Al- Qur’an sebagai sumbernya.
32 Ahmad Hanafi, Al-Tafsir al-’Ilmiy li al-Ayat al-Kawniyyat fȋ Al-Qur’an, Beirut: t.p,t.th., cet. II hal. 6.
34 Ach. Maimun, “Integrasi Agama dan Sains Melalui Tafsir „Ilmi”..., hal. 44.
45 Mahmud Syaltut, Tafsir Al-Qur’an al Karim al-’Ajza al-Asyarah al-’Ula, Beirut: Dar al-Syuruq, 1974, hal. 9.
Kritik modern atas corak tafsir ilmi ini banyak ditunjukkan oleh Amȋn al-
Khȗlȋ. Menurutnya corak tafsir ilmi memiliki empat kelemahan mendasar, yaitu:
Pertama, kelemahan dari sisi leksiologis, yakni makna- makna kata di dalam Al-
Qur’an tidak membawa perubahan dalam bidang ilmu pengetahuan modern.
Kedua, kelemahan filologis, bahwa Al-Qur’an ditujukan kepada orang-orang
Arab, yang tidak dapat memuat apa yang tidak dipahami atau diketahui pada
saat asalnya. daripada perspektif kosmologis. Keempat, kelemahan logika, yaitu
kemustahilan sebuah Al- Qur’an terbatas jumlahnya untuk mencakup segala
sesuatu yang berkembang hingga abad ke-20 M, apalagi semua pengetahuan
yangberkembang tanpa batas.46
Muhammad Husain al-Zahabi juga mengkritik corak tafsir ‘ilmi ini, al-
Zahabi membaginya menjadi tiga aspek. Pertama, aspek kebahasaan dimana
apabila ada kata-kata di dalam Al-Qur’an yang belum diketahuiartinya dan
baru diketahui pada tahun-tahun berikutnya sesuai denganperkembangan ilmu
pengetahuan itu berarti terdapat kata yang tidakberguna pada masa diturunkan.
Ini menjadi sebuah ketidaklogisan secara kebahasaan, karena pada
kenyataannya Al-Qur’an memakai kata yangbiasa digunakan oleh orang Arab
sehingga dapat dipahami dengan mudaholeh mereka. Jika tidak dapat dipahami
oleh orang Arab sendiri, berarti itubukan bahasa mereka dan itu menjadi aneh
dalam sebuah komunikasi. Kedua, dimensi kesusastraan, Balaghah sebagai
kesusastraan Arab ialah mutabaqȃt al-kalȃm lȋ muqtada al-ẖȃl (kesesuaian
ungkapan dengantuntutan keadaan). Dengan begitu apabila terdapat kata atau
ungkapan di dalam Al-Qur’an yang tidak dipahami oleh objek bicaranya
(mukhathattab) dan baru dipahami lewat teori-teori ilmiah beberapa tahun
kemudian, berarti Al-Qur’an ghayr balȃgh (tidak memiliki aspekbalaghah, tidak
sesuai dengan situasi objek bicaranya sehingga pesannyatidak tersampaikan).
Ketiga, dimensi teologis, di dalam keyakinan umat Islam, Al-Qur’an
mengandung kebenaran. Tidak terdapat kesalahansekecil apapun di dalam Al-
Qur’an, karena Al-Qur’an adalah wahyu Allah, akan tetapi jika Al-Qur’an
ditafsirkan dengan teori ilmiahsedangkan teori ilmiah tidak selalu stabil tetapi
dapat berubah dan berkembang karena adanya kesalahan yang direvisi oleh
ilmuwan berikutnya, hal ini mengandung arti bahwa Al-Qur’an menyajikan
sesuatuyang tidak selamanya benar. Jika Al-Qur’an ditafsirkan menggunakan
suatu teori dan ternyata cocok kemudian pada perkembangan sesudahnyateori
tersebut terbukti salah, artinya Al-Qur’an yang dinilai sesuai dengan teori
pertama juga salah. Secara teologis ini tidaklah benar karena Al-Qur’an tidak
mengandung kesalahan baik sebelum maupun sesudahnya.47
Abdul Mustaqim berpendapat apabila seseorang berusaha melegitimasi
teori-teori ilmu pengetahuan dengan ayat-ayat Al-Qur’an maka akan
dikhawatirkan apabila teori tersebut runtuh oleh teori yangbaru maka akan
membuahkan kesan bahwa ayat yang membahasnya jugaikut runtuh bahkan
46 Amin al-Khuli, Manahij al-Tajdid fȋ al-Nahw wa al-Balagah wa al-Tafsir wa al- Adab, Kairo: Dar al Ma’rifah,
1961, hal. 86.
47 Muhammad Husain Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun..., hal. 491.
seakan-akan kebenaran ayat itu bisa dipatahkan olehteori ilmu pengetahuan
yang baru. Untuk itu tidak perlu melakukan penafsiran dengan memakai corak
ilmi jika hanya dilakukan untuk melegitimasi teori-teori ilmu pengetahuan yang
bersifat relatif.48
Golongan yang menolak ini beranggapan bahwa tidak mungkin
menjembatani ayat Al-Qur’an dengan teori ilmiah, penafsiran dengan corak
ilmiah seolah memaksa mufassir untuk memaknai ayat Al-Qur’an dari makna
zhahȋr ayat tersebut. Menurut golongan ini, tafsir Al-Qur’an harus didasarkan
dengan pemaknaan ayatnya terlebih dahulu dan tidak dimaksudkan dengan
ilmu pengetahuan yang tidak konsisten.49
Kritik-kritik yang yang dilakukan oleh para ulama setidaknya dapat
disimpulkan sebagai berikut:
4. Al-Qur’an diturunkan kepada kaum yang ummi, maka disesuaikan
dengan tingkat pengetahuan mereka. Oleh sebab itu, tidak mungkin
memuat hal-hal di luar jangkauan bangsa Arab pada masa itu.
5. Rasulullah Saw. dan para sahabat adalah orang-orang yang paling
mengerti terhadap makna ayat-ayat, dengan menganggap bahwa ada
ayat-ayat yang maknanya baru diketahui pada zaman modern ini seakan-
akan sama saja dengan merendahkan Rasulullah Saw. dan sahabat-
sahabatnya. Mereka jelas tidak mengerti penemuan- penemuan ilmu
pengetahuan mutakhir. Padahal Rasulullah Saw. yang “ummi” adalah
penafsir pertama dan para sahabat mengambil ilmu dari Rasulullah Saw.
dan menambahkan dengan ijtihad mereka.
6. Petunjuk bagi orang yang takwa, dan bukan ilmu pengetahuan mengenai
hakikat semesta atau fenomena alam. Corak tafsir ilmi mengalihkan
manusia dari usaha mendapatkan petunjuk ke arah usaha-usaha ilmiah.
Salah satu kesalahan kaum muslimin dalam menafsirkan adalah
menyibukkan diri pada pembahasan mengenaiilmu-ilmu alam.
7. Kebenaran ilmiah tidak konsisten dan bisa berubah-ubah, apa yang benar
hari ini menurut ilmu dan penemuan sekarang belum tentu benar di
kemudian hari.
8. Harus dibedakannya antara Tafsir Al-Qur’an dengan I’jȃz Al- Qur’an.50
Dalam konteks integrasi Islam dengan sains, corak tafsir ilmi yang pada
perkembangannya disebut Bucaillisme oleh Sardar atau juga dikenal dengan sains
Islam ditentang oleh banyak saintis Muslim seperti Hoodbhoy yang menolak
sains Islam secara umum, juga Mehdi Golshani sendiri yang setuju dengan sains
Islam. Menurut Hoodbhoy, sains Islam yang merupakan perkembangan dari
model Bucaillis tidak dapat memenuhi syarat untuk disebut sains Islam dengan
alasan. Pertama, objek kajian di luar wilayah sains. Kedua, tidak dapat
hal. 7.
diverifikasi. dan Ketiga, tidak memberikan sebuah teori baru selain dari apa yang
sudah ada.51
Corak tafsir ilmi seperti yang dipraktikan oleh Bucaille dinilai masih
problematis dikarenakan pada dasarnya upaya itu cenderung mekanistik dan
tidak kreatif karena hanya menunggu temuan ilmiah kemudian dicari ayat-ayat
yang cocok. Bahkan menurut Mehdi Golshani, upaya ini tidak sejalan dengan
semangat dasar Al-Qur’an yang mendorong kajian atas alam, bukan sekedar
menunggu temuan orang lain yang menjadi sasaran kritik atas Bucaillisme dan
corak tafsir ilmi secara umum adalah resiko perubahan atau kesalahan suatu teori
yang terlanjur dipakai sebagai penjelasan suatu ayat, karena hal itu akan berarti
kesalahan pada ayat yangterkait.52
Kritik pada dasarnya adalah kritik pada corak tafsir ilmi yang perlu diamati
lebih teliti agar Al-Qur’an tetap sesuai dengan tujuan dasarnya untuk memberi
petunjuk kepada manusia. Kritik ini ditujukan kepada sains Islam yang
merupakan eksplorasi ilmiah ayat-ayat yang dinilai tidak proporsional karena
hendak mengilmiahkan segala hal yang di luar jangkauan sains atau tidak perlu
didekati dengan pendekatan saintifik.Dengan begitu kritik tersebut memang
tidak seluruhnya tepat karena tafsir ilmi tidak sepenuhnya menyimpang, seperti
juga tafsir ilmi dan turunnya yang diklaim sains Islam dinilai sepenuhnya tepat
karena memang ada beberapa penyimpangan di dalamnya.53
Al-Ghazali adalah orang yang paling banyak memasarkan corak tafsir
ilmiah di tengah percaturan keilmuan Islam. Dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulȗm al-Dȋn
pada pasal IV menyinggung mengenai pemahaman dan penafsiran Al-Qur’an
secara rasional tanpa menggunakan Naql (Al-Qur’an - Hadis), beliau sepakat
dengan pandangan beberapa ulama bahwa Al- Qur’an mengandung 77.200
macam/buah ilmu, karena setiap kata adalah sebuah ilmu.54 Al-Ghazli juga
mengemukakan bahwa segala sesuatu yang susah dipahami dengan
penginderaan dan penalaran sehingga menimbulkan berbagai teori yang
bersimpangan satu sama lain sebenarnyatelah dijelaskan dan dirumuskan dalam
Al-Qur’an yang mana semuanya dapat diketahui oleh para pemikir.55
Al-Ghazali menunjukkan dalil aqli dan naqli merupakan sumber ilmu
pengetahuan yang sifatnya tidak terbatas, karena di dalamnya diungkapkan af’al
dan sifat Allah, yang hanya bisa ditemukan oleh orang yang memahaminya.
Dalam kitab Jawȃhir, al-Ghazali memberikan beberapa contoh ayat yang tidak
bisa dipahami secara manqul, tetapi hanya bisa dipahami oleh orang yang
memiliki ilmu pengetahuan. Ayat- ayat yang menggambarkan bagaimana
peredaran matahari, bulan dan bintang-bintang hanya dapat dimengerti oleh
mereka yang pakar dalam bidang fisika dan astronomi. Untuk mengerti ayat-ayat
mengenai kejadian manusia dibutuhkan ilmu mengenai manusia itu sendiri
51 Pervez Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas, Diterjemahkan oleh Sari Meutia, Bandung: Mizan, 1996,
hal.138-139.
52 Ach. Maimun, “Integrasi Agama dan Sains Melalui Tafsir „Ilmi”..., hal. 54-55.
53 Ach. Maimun, “Integrasi Agama dan Sains Melalui Tafsir „Ilmi”..., hal. 55.
59 Ach. Maimun, “Integrasi Agama dan Sains Melalui Tafsir „Ilmi’..., hal. 56-57.
ayat-ayat Al-Qur’an adalah isyarat-isyarat tentang ilmu pengetahuan bukan
penjelasan ilmiah yang detail. Hal tersebut lebih ditujukan sebagai motivasi dan
stimulus pemahaman atas realitas sehingga bisa mengokohkan keimanan
mengenai kekuasaan Allah. Dengan begitu isyarat-isyarat ilmiah Al-Qur’an
untuk kepentingan teologis bukan hanya semata-mata untuk kepentingan ilmiah
saja.60
Kedua, penjelasan-penjelasan ilmiah dengan teori-teori memang dapat
memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai apa yang terkandung
di dalam Al-Qur’an, tetapi tidak semua teori yang dikenal di dalam sains dipakai
tanpa adanya relevansi dengan ayat yang dibahas. Karena apabila ditemukan
adanya revisi teori ilmiah di waktu berikutnya akan menjadikan ayat tersebut
dianggap tidak benar, terlebih lagi apabila penafsiran ilmiah yang dilakukan
terkesan berlebihan dengan memaksakan suatu ayat dan menarik jauh sehingga
keluar dari apa yang seharusnya dimaksud serta konteksnya di dalam Al-
Qur’an. Terkadang suatu ayat yang sebenarnya tidak bertujuan membahas
aspek-aspek ilmu ditarik ke ranah ilmu pengetahuan, contohnya: tongkat Nabi
Musa yang diperintahkan untuk memukul batu dan ternyata memancarkan air
dalam kisah eksodus Bani Israil dari Mesir ditarik pada isyarat teknologi
pengeboran. Sikap yang seperti ini terhadap ayat Al-Qur’an akan tidak
proporsional dan inilah yang menjadi bahan kritik bagi mereka yang kontra
dengan corak tafsir ilmi.
Ketiga, elaborasi pada ayat-ayat tertentu atas bagian dari ilmu pengetahuan
tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu keistimewaan Al-Qur’an (i’jaz Al-
Qur’an), akan tetapi menyebutnya sebagai sains Islam hanya karena adanya
kesesuaian ayat dengan teori sains merupakan suatu hal yang dianggap
berlebihan, karena sains tidak menjadi Islami hanya karena melalui pemasangan
atau penyesuaian dengan ayat Al-Qur’an, karena tak ada perbedaan prinsip
teoritis dan metodologis atas sains tersebut untuk akhirnya disebut sebagai sains
yang tak sama dari sains yang universal. Dengan penyesuaian tersebut, sejatinya
Islam dalam konteks ini tidak memberikan kontribusi baik secara teoritis maupun
metodologis atas suatu teori sains, dengan begitu Islam hanya menunjukkan
kesesuaian ayat walaupun tidak disesuaikan dengan ayat teori itu tetap akan
diterima oleh masyarakat dunia apabila hal tersebut teruji secara ilmiah. Lebih
tidak proporsional jika berawal dari ayat Al- Qur’an lalu merumuskan model
sains yang tidak dapat diuji secara ilmiah,seperti halnya melakukan pengukuran
kuantitatif pada tema-tema spiritual dan eskatologis yang dibicarakan oleh Al-
Qur’an seperti contohnya: pahala salat, panas neraka, atau penggunaan jin
sebagai alternatif energi panas karena terbuat dari api.61
Segi negatif dari corak tafsir ilmi lebih cenderung kepada arah adanya
pemaksaan ayat-ayat yang pada akhirnya bisa menimbulkan sebuah keraguan
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, dan juga sering terjadi pada mufassir-mufassir
corak tafsir ilmi adalah dengan mengetahui sebuahteori ilmiah lalu mencari ayat-
60 Ach. Maimun, “Integrasi Agama dan Sains Melalui Tafsir „Ilmi”..., hal. 58.
61 Ach. Maimun, “Integrasi Agama dan Sains Melalui Tafsir „Ilmi”..., hal. 57-59.
ayat yang mendukung teori tersebut, sebagai akibatnya bukanlah ilmu
pengetahuan yang menafsirkan melainkan justru Al-Qur’an yang menafsirkan
ilmu pengetahuan. Ketika teori-teori tersebut terbantahkan maka ayat tersebut
pun akan dianggap tidak sesuai lagi karena adanya teori baru yang
membantahnya.62 Pernah ada orang yang menguatkan argumen yang
menyatakan bahwa planet hanya ada tujuh dengan ayat-ayat yang menunjukkan
bahwa ada tujuh langit, dan akhirnya ada pembantahan bahwa planet-planet
yang ditemukan pada tata surya sebanyak 10 planet, di samping itu terdapat
jutaan bintang yang memenuhi langit sedangkan kesepuluh planet itu seperti
setetes air dalam lautan bila dibandingkan dengan banyaknya bintang di seluruh
jagat raya.63
Pendapat para mufassir kontemporer dalam menyikapi keberadaan corak
tafsir ilmi, mereka lebih moderat di dalam menyikapi perkembangan ilmu
pengetahuan yang diselaraskan (dikorelasikan) dengan teks-teks Al-Qur’an,
diantaranya:64
a. Muhammad Musthafa al-Maraghi. Salah seorang Syeikh al-Azhar,beliau
berpendapat dalam pengantar buku al-Islȃm wa al-Tibb al- Hadȋts karya
Abd al-’Aziz Ismail, komentarnya, Al-Qur’an bukanlah kitab suci yang
memuat segala ilmu pengetahuan secara terperinci dengan metode
pengajarannya yang masyhur, akan tetapi sesungguhnya Al-Qur’an itu
mengandung kaidah dasar umum yang sangat penting untuk diketahui
oleh setiap manusia agar dapat mencapai kesempurnaan jiwa dan raga.
Menurutnya Al-Qur’an telah membuka pintu yang luas bagi ahlinya
untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan agar bisa diuraikan kepada
semua orang secara terperinci, sesuai dengan zaman sang mufassir itu
hidup. Tetapi mengingat tidak diperbolehkan bagi seorang mufassir
menarik ayat- ayat Al-Qur’an kemudian memakainya untuk
menguraikan kebenaranilmu pengetahuan untuk menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an akan tetapi apabila ada kesesuaian antara ilmu pengetahuan
yang sudah tetap dan pasti dengan zahir ayat-ayat Al-Qur’an maka tidak
menjadi masalah menafsirkan Al-Qur’an dengan bantuan ilmu
pengetahuan ini.
b. Ahmad Umar Abu Hajar penulis al-Tafsȋr al-’Ilmiy fȋ al-Mizȃn. Beliau
memaparkan alasannya setelah memperlihatkan perbedaan pandangan
para ulama terhadap corak tafsir ilmi menurutnya mereka yang
berpendapat bahwa Al-Qur’an jauh dari pada corak tafsir ilmi sudah
melakukan suatu kebenaran apabila tafsir yang dimaksud berlandaskan
pada ilmu pengetahuan yang bersifat perkiraan dan tidak pasti atau ilmu
hanya berlandaskan argumen murni tanpa bukti otentik penelitian
62 Rahmat Jalaludin, Islam Alternatif, kumpulan ceramah di berbagai perguruan tinggi, Bandung: Mizan, 1998, hal.
192.
63 Mutma’innah dan Junaidi, “Plus Minus Tafsir Ilmi”..., hal. 9.
64 Udi Yulianto, “Al-Tafsir Al-’Ilmi Antara Pengakuan dan Penolakan,” dalam Jurnal Khatulistiwa-Journal Of
69 Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam Al-Qur’an Mengerti Mukjizat Ilmiah Firman Allah…, hal. 669.
70 M. Hasbi as-Shiddiqie, Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1989, hal.205.
71 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, hal. 155.
72 W. Montgo Mery Watt, Pengantar Studi Islam, Diterjemahkan oleh Taufik Adnan Amal, Jakarta: Rajawali Press,
74 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, j. II, Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1993, hal.
75 Armainingsih, “Studi Tafsir Saintifik: Al-Jawahir fȋ Tafsir Al-Qur’an Al-Karim,” dalam Jurnal At-Tibyan, Vol. 1
No. 1 Tahun 2016, hal. 103-106
76 Abdul Mustaqim, “Kontroversi Tentang Corak Tafsir Ilmi”..., hal. 38.
meningkat, dan Kementerian Agama fokus pada kajian Al-Qur’an. Upaya
untuk meneliti dan memelihara Al-Qur’an untuk memverifikasi
keabsahannya. Menurut aturan ini, tata kerja Lajnah Pentasihan mencakup
tiga bidang: pentasihan Al-Quran, pembelajaran Al-Quran dan
dokumentasi.166
Tafsir Ilmiah Kementerian Agama diterbitkan atas peran Kementerian
Agama yaitu melakukan kegiatan penelitian dan menyusun tafsir ilmi tentang
ayat-ayat kauniyah. Metode yang digunakan dalam penelitian dan
penciptaannya menggunakan metode interpretasi tematik. Selama beberapa
tahun, telah terjadi kerjasama antara Kementerian Agama dan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk menafsirkan ayat-ayat kauniyyah. Sejak
2009, kedua lembaga tersebut melanjutkan kerjasamanya, melakukan
penelitian dan menghasilkan interpretasi ilmiah. Tim penelitian dan
penyusunan tafsir ilmiah ini terdiri dari para ahli dari berbagai latar belakang
keilmuan dan dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang
menguasai masalah bahasa dan masalah lain yang berkaitan dengan tafsir Al-
Qur’an. Kedua, ahli dalam kajian ilmiah. Keduanya bersinergi dalambentuk
Ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) dalam menafsirkan ayat-ayat kauniyyah dalam
Al-Qur’an.167
5. KESIMPULAN
Ilmu dibedakan menjadi tiga: ilmu keislaman, ilmu eksakta dan ilmu sosial. Ilmu
keislaman adalah ilmu yang berasal dari wahyu Tuhan yang terdapat dalam Al-Qur’an
atau Hadis Nabi yang kemudian ditelaah dengan metode-metode tertentu baik secara
tekstual, rasional, maupun kontekstual. Ilmu pengetahuan adalah salah satu ilmu dalam
kitab suci Al-Qur’an. Kata ‘ilm disebut dalm Al-Qur’an sebanyak 105 kali. Al-Qur’an
adalah kitab induk dari segala rujuan ilmu baik ilmu pengetahuan ataupun sains.
Beberapa ulama yang diidentifikasi mendukung bolehnya menafsirkan Al- Qur’an
dengan pendekatan sains antara lain, Imam al-Gazali, Imam as-Suyuthi, Imamar-Razi, dan
al-Mursyi. Sementara kelompok yang menolak di antaranya Imam asy- Syatibi. Dari
kalangan ulama modern mereka yang mendukung antara lain seperti, Muhammad
Abduh, Tantawi Jauhari, dan Ahmad Hanafi, yang bersebrangan di antaranya Mahmud
Syaltut, Amin al-Khulli, dan Abbas Aqqad. Menyikapi dua pendapat ulama ini, Abdul
Fattah memilih berada di tengah. “Saya berada di tengah,di antara dua kecenderungan
pendapat yang menolak atau menerima. Bila dikatakan bahwa Al-Qur’an tidak
mengandung isyarat ilmiah sama-sekali, itu adalah sikap yang ekstrim, dan sebaliknya,
mengatakan Al-Qur’an mengandung segala bentuk ilmu pengetahuan, juga tidak benar.”
Abdul Fattah mengatakan, “Kita boleh manafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara
ilmiah, menggali ilmu pengetahuan dengan berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an, dan boleh
menghubungkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hasil-hasil temuan sains dengan tiga
persyaratan di atas,” tegasnya.
6. DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Islam dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018),
Afzalur Rahman, Ensiklopidiana Ilmu dalam Al-Qur’an, Rujukan Terlengkap Isyarat-
Isyarat Ilmiah dalam Al-Qur’an (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2007).
al-Ghazali. Ihya ‘Ulumuddin, Jilid I. Kairo: Al-Tsaqofah al-Islamiyah, 1356 H.
-------. Ihya’ Ulum al-Din 1, Kairo: Mu’assasah al-Halbi, 1370.
-------. Jawȃhir Al-Qur’an Beirut: Darul Ihya al-„Ulum, 1406
al-Khuli, Amin. Manahij al-Tajdid fȋ al-Nahw wa al-Balagah wa al-Tafsir wa al-Adab,
Kairo: Dar al Ma’rifah, 1961.
al-Razi, Fakhruddin. Mafȃtih al-Ghayb, Juz 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Armainingsih, “Studi Tafsir Saintifik: Al-Jawahir fȋ Tafsir Al-Qur’an Al- Karim,” dalam
Jurnal At-Tibyan, Vol. No. Tahun 2016.
al-Bustani, Fuad Irfan. Munjid al-Thullab, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986. Dewan Redaksi,
Ensiklopedi Islam, j. II, Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1993.
Darmalaksana, Wahyudin. “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi
Lapangan.” Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020, 1–6.
http://digilib.uinsgd.ac.id/32855/1/Metode Penelitian Kualitatif.pdf.
Hamad. “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana.” Jurnal Komunikasi, 2007, 325–44.
Fuad Nashori, Mimpi Nurbuat, Agustus 2002
Harun Yahya,Pustaka Sains Populer Islami, Jejak Bangsa-Bangsa Terdahulu, Desember
1999.
Iwan Yanuar, Surga Juga Buat Remaja, GIP, cet. ke-2 April 2004 M dan Said Hawa, Allah,
Pustaka Mantiq, cet. ke-6, Agustus 1994.
Jauhari, Tantawi. Al-Jawahir fȋ Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al- Kutub al-
’Ilmiyah, 2004.
M.A. Husaini. “Pangan Potensial untuk Meningkatkan Pertumbuhan Fisik, Daya Fikir dan
Produktivitas serta Mencegah Penyakit Degeneratif Seminar dan Lokakarya Pra Widya
Pangan dan Gizi VI”, Semarang, November 1997.
Moleong, L. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Mustaqim, Abdul. “Kontroversi Tentang Corak Tafsir Ilmi,” dalam Jurnal Studi Ilmu-
Ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Vol.7, No.1, Tahun 2017.
Pusat Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993..
Qardhawi, Yusuf. Berinteraksi dengan Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie Al-
Kattani, cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1999.
-------. Mukjizat Al-Qur’an ditinjau dari aspek kebahasaan, isyarat ilmiah dan
pembertitaan ghaib, cet. 1, Bandung: Mizan, 2004
-------. Membumikan Al-Qur’an, cet. XIX, Bandung: Mizan, 2007.
-------. Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: Pustaka Rizqi Putera, 2009.
-------. Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2015.
-------. Mukjizat Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2013.
Sabuni, Muhammad Ali, Al-Tibyȃn fī „ulȗm al-Qur’ȃn, Damaskus : Maktaba al-Ghazālī,
1401 H.
Watt, W. Montgo Mery. Pengantar Studi Islam, Diterjemahkan oleh Taufik Adnan Amal,
Jakarta: Rajawali Press, 1991.