Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PENGERTIAN, FILOSOFI DAN SEJARAH KRITIK PENAFSIRAN AL-QUR’AN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Metodologi Kritik

Tafsir

Dosen Pengampu:

Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA

Dr. H. Muhammad Ulinnuha, MA

Oleh:

AGUS RIFKI RIDWAN

Program Studi: Ilmu Al-Quran dan Tafsir

PROGRAM PASCA SARJANA STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN


TAFSIR INSTITUT ILMU AL-QUR’AN JAKARTA
2022M/ 1443H
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tafsir Al-Qur’an merupakan jalan memahami nilai-nilai yang terkandung di
dalam teks Al-Qur’an yang dipatrikan Tuhan. Sebagai sebuah jalan, secara
fungsional Tafsir tidak sekadar memahami nilai-nilai tersebut. Lebih jauh, ia juga
merupakan merupakan upaya memenuhi dasar-dasar teologis dan praktis manusia
yang lebih luas dalam melakukan proses dialektika dengan kehidupan di mana
sang penafsir hidup dan berada. Dengan demikian, Tafsir merupakan proses dan
sekaligus produk budaya yang tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial politik
ketika Tafsir ditulis, oleh siapa Tafsir diproduksi dan dipresentasikan, serta
bagaimana konteks realitas sosial politik yang terjadi ketika praktik Tafsir terjadi.1
Metode2 penelitian Tafsir3 Al-Qur’an4 secara umum merupakan cara ilmiah
untuk mendapatkan data Tafsir Al-Qur’an dengan tujuan dan kegunaan tertentu.
Berdasarkan hal tersebut terdapat empat kata kunci yang perlu di perhatikan yaitu
cara ilmiah, data tujuan dan kegunaan. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu
berdasarkan pada ciri-ciri kelimuan yaitu rasional, empiris, dan sistematis.
Rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara yang masuk
akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia. Empiris berarti cara-cara yang
dilakukan itu dapat diamati oleh indra manusia, sehingga orang lain dapat
mengamati dan mengetahui cara-cara yang digunakan. Sistematis artinya proses
dilakukan dalam penelitian tersebut menggunakan langkah tertentu yang bersifat
logis. Selain cara ilmiah, data yang diperoleh harus valid bersifat reliabel5 dan
obyektif, begitu juga tujuan dan kegunaan penelitian secara umum bersifat

1
Jurnal Maghza Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN
Surakarta. Vol. 1, No.2, 2016.
2
Metode menurut KBBI adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan
agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan
suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
3
Tafsir menurut KBBI adalah keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Alquran agar
maksudnya lebih mudah dipahami.
4
Al-Qur’an adalah kalam Allah swt yang qadim tidak makhluk, sebaliknya kaum jahmiyyat,
muktazilah dan lain-lain yang menganut bahwa tuhan tak mempunyai sifat, menyatakan bahwa Al-Qur’an
ialah makhluk tidak qadim.
2
5
Reliabel menurut KBBI adalah mempunyai atau mendatangkan hasil yang sama pada setiap
percobaan yang berhasil.
penemuan, pembuktian dan pengembangan.6
Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
maksud.7 Dalam Ensiklopedi Indonesia Metode cara melakukan sesuatu atau cara
mencapai pengetahuan.8 Bentuk adalah sistem, susunan, pendekatan.9 Dalam hal
ini berarti berbicara mengenai hubungan Tafsir Al-Qur’an dengan media atau alat
yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Media untuk memperoleh
pengetahuan dan pemahaman teks-teks atas nash10 Al-Qur’an dapat berupa nash
(Al-Qur’an dan Hadits), akal, ataupun intuisi.11 Sedangkan corak adalah Paham
atau macam.12
Kajian kritis terhadap dalil normatif menurut Amin sangat penting dilakukan
untuk mendapatkan pemahaman baru yang sejalan dengan kondisi masyarakat
modern. Ini karena disiplin Fiqh dan Tafsir yang dihasilkan ulama klasik tidak
terlepas dari konteks sosiokultural pada zamannya, maka diperlukan
kontekstualisasi pemaknaan terhadap teks-teks wahyu menurut konteks
sosiokultural masa kini.13
Tafsir secara etimologi mengikuti wazan taf’il, berasal dari kata fasr yang
berarti al-idah, al-sharh dan al-bayan14 (penjelasan atau keterangan). Ia juga
berarti al-ibanah (menerangkan), al-kashf (menyingkap) dan izhar al-ma’na al-
ma’qul (menampakkan makna yang rasional)15. Melihat penjelasan diatas penulis
akan memaparkan sekelumit pembahasaan yang berkaitan dengan Pengertian,
Filosofi Dan Sejarah Kritik Penafsiran Al-Qur’an.

6
Lukman Nul Hakim, Metode Penelitian Tafsir, (Palembang: Noerfikri. 2021). hal. 2-3.
7
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai
Pustaka. 1989). hal. 580-581.
8
Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve. t.t.) hal. 2230
9
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka. 1989). Hal. 103-104.
10
Nash adalah wahyu Allah atau teks yang ada dalam Al-Qur’an atau teks yang ada dalam Al-
Qur’an dan as-Sunah Nabi Muhammad saw.
11
Bard Al-Din Muhammad Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid II,( Dar al-
Fikr: Beirut, 1988). hal. 200.
12
Bard Al-Din Muhammad Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid II, (Dar al-
Fikr: Beirut, 1988). hal 200.
13
Jurnal At-Ta’dib UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Vol. 10. No. 2. Desember 2015.
14
Luis Ma’luf, Al–Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Beirut: Dar al- Mashriq, 1986), hal. 583.
15
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an (Riyad: Manshurat al- ‘Asr al-Hadith, t.t.),
3
hal. 323. Lihat juga Muhammad Ali al-Sabuni, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an (Jakarta: Dar al-Kutub al-
Islamiyyah, 2003), hal. 65.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis merumuskan
pemaparan tersebut beberapa poin diantaranya:
1. Bagaimana Pengertian Kritik Tafsir Al-Qur’an?
2. Bagaimana Filosofi Kritik Tafsir Al-Qur’an?
3. Bagaimana Sejarah Kritik Tafsir Al-Qur’an?
C. Tujuan Masalah
Dalam sebuah tulisan idealnya mengacu pada sebuah rumusan masalah,
sehingga akan fokus terarah pada tujuan-tujuan yang akan dibahas sebagai berikut:
1. Mengetahui Kritik Tafsir Al-Qur’an.
2. Mengetahui Filosofi Kritik Tafsir Al-Qur’an.
3. Mengetahui Sejarah Kritik Tafsir Al-Qur’an.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kritik Tafsir Al-Qur’an


Istilah “kritik” dapat dipahami dari berbagai sisi. Secara etimologis kata “kritik”
berasal dari kata “krites” (kata benda) yang dalam bahasa Yunani Kuno berarti “hakim”,
karena berasal dari kata kerja “krinein” yang artinya menghakimi.16 Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “kritik” diartikan sebagai proses kecaman,
kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya
atau pendapat.17 Sementara dalam bahasa Arab dikenal istilah “al-naqd” dari kata
naqada-yanqudu-naqdan. Dalam istilah Arab, kata al-naqd digunakan secara beragam
seperti memberikan dengan segera (kontan) sebagai lawan dari penangguhan
pembayaran. Memilih atau membedakan sesuatu, seperti memilih dirham (mata uang)
yang baik dari yang buruk. mengintai sesuatu. Mengkritik dengan menyatakan baik
atau buruk.18
Secara istilah, kata kritik sebagaimana didefinisikan oleh M. H. Abrams dan
Geoffrey Galt Harpham adalah suatu usaha dalam menganalisis, menafsirkan,
mendefinisikan, mengklasifikasikan dan mengevaluasi sebuah karya untuk ditimbang
dan dinilai kesesuaiannya dengan standar kriteria (norma-norma) yang berlaku.19
Sebagaimana juga yang telah didefinisikan oleh H. James Jansen, bahwa kritik merupakan
usaha-usaha sistematis dalam menemukan kesalahan/ kekurangan terhadap seuatu karya
dengan cara menganalisis kemudian memberikan penilaian, evaluasi dan apresiasi
terhadapnya.20
Sedangkan menurut Mohammed Arkoun memahami kritik sebagai usaha dalam
merekonstruksi dan rekonfigurasi struktur nalar dalam menggali pemikiran-pemikiran
baru.21 Selanjutnya, pemahaman kritik yang lebih radikal muncul dari Ali Harb, yang

16
Ahmad Maymun, Skripsi: Tafsir Al Qur’an Sebagai Kritik Sosial (Studi Terhadap Tafsir Tajul
Muslimin Min Kalami Rabbi Al Alamin Karya Kh Misbah Mustafa (Jakarta : PTIQ. 2020).
17
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hal. 761.
18
Ibn Manzur, Lisān al-Arab (Beirut: Dar-Al-Ma’rifah, 1979), hal. 4571.
19
Jurnal Theologia Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Vol. 28. No.1. Juni. 2017.
20
5
Jurnal Theologia Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Vol. 28. No.1. Juni. 2017.
21
Mohammed Arkoun, al-Fikr al-Islāmi Naqd wa Ijtihād (Aljazair: al-Mu’assasash al-Wataniyah
menyatakan bahwa kritik tidak berarti harus mengungkap kelemahan, atau sekadar
mengoreksi dan menggugurkan pendapat, tetapi melampaui dari itu, yakni kritik
dipahami sebagai sebuah sistem pembacaan terhadap apa yang belum terbaca (qirā’ah
mā lam yuqrā).22
Kritik juga dapat dipahami sebagai bentuk progresivitas23 yang mendasar
dengan selalu mempertanyakan, mengevaluasi, dan mencari berbagai pemikiraan atau
alternatif baru untuk mendapatkan berbagai kemungkian yang lebih baik. Immanuel
Kant adalah sosok filsuf kritis kenamaan yang telah mengembangkan teori kritik dalam
bidang ilmu pengetahuan. Kant menekankan tiga ide besar terhadap budaya kritisisme,
yakni critique der reinen vernunft (kritik atas rasion murni), critique der praktischen
vernunft (kritik atas rasio praktis), dan critique der urteliskr (kritik atas daya
pertimbangan). Kant mencoba mendobrak pemikiran rasional an-sich yang terkungkung
oleh dogmatisme. Menurut Kant, kemampuan rasio murni tidak akan mampu
mencapai pemahaman realitas secara komprehensif. Karena rasio memiliki
keterbatasan yang hanya sampai pada dunia penginderaan (fenomena). Maka, dalam
hal ini, Kant memahami “kritik” sebagai sebuah tawaran dalam memaksimalkan
kemampuan rasio untuk memecahkan berbagai problem kehidupan manusia dengan
menyintesiskan pemikiran rasionalisme dengan empirisme.24
Sedangkan, secara metodologis, istilah kritik dapat dipahami sebagai; “the
analysis, study, and evaluation of individual works of art, as well as the formulation of
general methodological or aesthetic principles for the examination of such works.”25
Sehingga, kritik adalah suatu cara atau metode untuk mencari kesalahan (fault-finding)
sekaligus untuk memuji (to praise) dengan jalan menelaah (to study), mengamati (to
observe), membandingkan (to compare), mengkaji (to discuss), menafsir (to interpret),
menyeleksi (to classify), meninjau (to review), komentar (to commentary), menilai (to
judge), mengevaluasi (to evaluate), dan menikmati (to appreciate).26

li al-Kitab, 1988).
22
Ali Harb, Kritik Kebenaran, terj. Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LKiS, 2004), hal. 11. Istilah kritik
telah banyak digunakan oleh para pemikir Muslim kontemporer lainnya seperti, Mohammed Arkoun dengan
proyek Kritik Nalar Islami, Muhammad Abed al-Jabiri dengan Kritik Nalar Arab, Nasr Hamid Abu Zayd
dengan Kritik Tekstualitas al-Qur’an dan Hassan Hanafi dengan proyek Kiri Islam (al-Yassar al-Islami).
23
Progresivitas menurut KBBI adalah kemampuan bergerak maju secara psikologis.
24
Jurnal Theologia Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Vol. 28. No.1. Juni. 2017.
6
25
Jurnal Theologia Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Vol. 28. No.1. Juni. 2017.
26
Jurnal Theologia Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Vol. 28. No.1. Juni. 2017.
Oleh karena itu, berdasarkan wacana “kritik” di atas, dapat disimpulkan bahwa
setidaknya kritisisme bermuara pada dua fungsi utama yaitu; pertama, al-hukm
(judgment) yang berarti memberi penilaian terhadap sesuatu; kedua, al- tafsir (interpretasi)
atau al-tahlil (analisis). Maka, yang dimaksud sebagai “kritik” ialah usaha menganalisis
dan mengklasifikasi teks untuk mengetahui seluk beluknya dan menyelami kedalaman
kandungannya.27 Dengan demikian, kritik diartikan sebagai tanggapan objektif dari
seseorang terhadap suatu karya orang lain dengan menguraikan secara rinci baik buruknya
sebuah karya berdasarkan argumentasi (dalīl) dan parameter (ḍawābit) yang ilmiah.
Maka kritik dapat bersifat menjatuhkan/merugikan (destruktif), juga dapat bersifat
membangun (konstruktif).28
Sementara itu, istilah Tafsir terambil dari bahasa Arab yang secara bahasa tersusun
dari huruf fa’-sin-ra’, merupakan bentuk ism masdar (kata benda abstrak) dari kata
fasara-yufassiru-tafsīran yang artinya menerangkan sesuatu agar menjadi jelas.29 Tafsir
bisa berarti al-ibānah (menjelaskan), al-kashf (menyingkap), dan al-iḍhar
(menampakkan) makna atau pengertian yang tersembunyi.30
Menurut Muhammad Husain al-Dhahabi, Tafsir adalah usaha dalam menjelaskan
atau menyingkap makna-makna yang terkandung di dalam teks-teks Al-Qur’an sesuai
dengan kemampuan manusia.31 Sedangkan, al-Zarkashi (1344-1392) dalam master
piece-nya al-Burhān menjelaskan bahwa Tafsir adalah cara manusia untuk memahami
Al-Qur’an menggunakan perangkat, metode atau pendekatan sesuai keinginan mufasir
untuk memperjelas suatu makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an.32
Melihat dari keterangan diatas sehingga, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan kritik tafsir atau lebih tepatnya metode kritik tafsir merupakan suatu
cara, langkah-langkah atau prosedur yang sistematis, terarah, dan ilmiah untuk melakukan
analisis, telaah, evaluasi dan penilaian terhadap suatu produk penafsiran Al-Qur’an.
Dalam hal ini kritik tafsir bermuara pada usaha mengembalikan peran Al-Qur’an

27
Muhammad Ulinnuha, Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir (Jakarta: Azzamedia, 2015), hal.
36.
28
Jurnal Theologia Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Vol. 28. No.1. Juni. 2017.
29
Abu al-Ḥusain Aḥmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, Juz IV, Tahqiq,
Muḥammad Harun (Beirut: Dār al-Fikr, 1979), hal. 504.
30
Ibn Manzur, Lisān al-‘Arab, hal. 3412-3413.
31
Muḥammad Husain al-Dhahabi, al-Tafsīr wa ’l-Mufassirūn, Juz I (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), hal.
12-13. 7
32
Badr al-Dīn al-Zarkashi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’ān, tahqiq Ahmad Ali (Qahirah: Dār al-
Ḥadīth, 2006), hal. 22.
sebagai hudan wa shifā’an bagi alam semesta. Walaupun hasil kritik Tafsir
memberikannya baik atau kurang baik.

B. Filosofi Tafsir Al-Qur’an


Kata filsafat dalam bahasa Arab falsafah yang dalam bahasa Inggris
philosophy yang berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia terdiri
atas kata philein artinya cinta dan sophia artinya kebijaksanaan, sehingga secara
etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau bisa juga diterjemahkan sebagai
cinta kearifan dalam arti yang sedalam-dalamnya. Jadi seorang filsuf adalah
pencinta atau pencari kebijaksanaan. Arti kata tersebut belum memperhatikan
makna yang sebenarnya dari kata filsafat, sebab pengertian “mencintai” belum
memperlihatkan keaktifan seorang filsuf untuk memperoleh kearifan atau
kebijaksanaan itu.
Secara terminologi pengertian filsafat yang dirangkum dari pendapat
beberapa ahli filsafat yaitu filsafat adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang
menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan mempergunakan
akal sampai pada hakikatnya. Filsafat tidak mempersoalkan tentang gejala-gejala
atau fenomena, tetapi mencari hakikat dari suatu gejala atau fenomena.33 Adapun
filsafat menurut filosof yaitu:
1. Plato Mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mencapai
kebenaran yang asli, karena kebenaran mutlak ditangan tuhan atau disingkat
dengan pengetahuan tentang segala yang ada.
2. Aristoteles Filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang
terkandung didalamnya ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi,
politik, sosial budaya dan estetika atau menyelidiki sebab dan asas segala
benda.34
3. Cicerio Filsafat ialah induk dari segala ilmu pengetahuan, sesuatu yang
diciptakan Tuhan.
4. Al- Farrabi (950 SM) Filsafat adalah pengetahuan tentang yang maujud dan
bertujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya.
5. Imannuel Kant (1724-1804) Filsafat adalah ilmu pokok dan pangkal segala

33
Muliadi, Filsafat Umum. (Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
8
2020), hal. 5.
34
Edi Sumanto, Filsafat Jilid 1(Bengkulu: Penerbit Vanda. 2019), hal. 7.
pengetahuan yang mencakup didalamnya empat persoalan yaitu: Apakah yang
dapat kita ketahui ? (dijawab oleh metafisika). Apakah yang boleh kita
kerjakan ? (dijawab oleh agama). Sampai dimanakah pengharapan kita?
(dijawab oleh etika). Apakah yang dinamakan manusia ? (dijawab oleh
filsafat antropolog).
6. Rene Descrates (1590-1650) Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan
dimana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
7. Hasbullah Bakry Memberi defenisi filsafat dengan “ilmu yang menyelidiki
segala sesuatu dengn mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan
manusia sehingga dapat pengetahuan tentang bagaimana hakekatnya sejauh
yang dapat dicapai manusia”.
Beberapa pengertian dari para ahli filsafat mendefinisikan filsafat dari
titik tolak,sudut pandangan yang berbeda sesuai dengan latar belakang dan
merumuskan tentang filsafat secara berbeda-beda. Setiap sudut pandangan
yang digunakan para filsuf tidaklah bertentangan satu sama lain melainkan
mereka salin melengkapi kepentingannya masing-masing. Dengan
perbedaan latar belakang yang mereka miliki.35
Kritik berasal dari bahasa Yunani kuno krites yang berarti hakim.
Bentuk aktif krites adalah krinein yang berarti menhakimi. Berdasarkan
makna ini, maka dalam proses penghakiman diperlukan syarat-syarat untuk
menghakimi sebuah karya. Ini berarti sebuah karya tafsir dapat dikatakan
memenuhi standar sebagai sebuah karya ilmiah, ketika ia berdasarkan
kriteria tersebut.36
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritik adalah kecaman,
kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu
hasil karya atau pendapat. Orang yang ahli dalam memberikan pertimbangan
bahasan tentang baik dan buruknya sesuatu disebut kritikus. Dengan
demikian, kritik dapat diartikan sebagai tanggapan objektif dari seseorang
terhadap suatu karya orang lain dengan menguraikan secara rinci baik
buruknya sebuah karya berdasarkan argumentasi dan parameter yang

35
Edi Sumanto, Filsafat Jilid 1 (Bengkulu: Penerbit Vanda. 2019), hal. 9-10.
9
36
Muhammad Ulinnuha, Disertasi: Rekontruksi Metodologi Kritik Tafsir: Studi Buku Al-Dakhil
Karya Fayed. (Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah, 2015), hal. 31.
ilmiah.37
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Tafsir adalah keterangan atau
penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an.38 Kata Tafsir berasal dari “al-fasr”
yang berarti “menjelaskan atau mengungkapkan.” Ada pula yang
mengatakan berasal dari “tafsirah” yakni alat yang dipergunakan dokter
memeriksa pasiennya.39
Tafsir sepanjang pengertian bahasa berarti “mengunggkapkan sesuatu
yang halus“ dan menjelaskan makna sesuatu yang dapat dipikirkan”. Arti
yang kedua inilah yang erat hubungannya dengan Tafsir Al-Qur’an. Dari
segi istilah dapat kita kemukakan beberapa definisi.
Tafsir adalah pengetahuan yang membahas bagaimana caranya
mengucapkan lafadz-lafadz Al-Qur’an, membahas sesuatu yang di tunjuk
oleh lafadz itu, hukum-hukumnya pada waktu dia menjadi kalimat tunggal
dan waktu berada dalam susunan kalimat dan makna-makna yang
dikandungnya dan yang menyempurnakan.40
Dari segi bahasa Tafsir adalah “menjelaskan atau menerangkan”
seperti pemakaian:
ۡ
ً ‫سنَ ت َۡفس‬
‫ِيرا‬ ِ ‫َو ََل يَأتُونَكَ ِب َمثَ ٍل ِإ اَل ِج ۡئ َٰنَكَ ِب ۡٱل َح‬
َ ‫ق َوأَ ۡح‬
Artinya:
“tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa)
sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu
sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.”41

Melihat dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwasannya


filosofi kritik Tafsir yaitu ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu
dan menjelaskan atau menerangkan lafadz-lafadz Al-Qur’an yang
diterangkan oleh para mufasir, lalu di benarkan atau disalahkan oleh para
ilmuan.

37
Muhammad Ulinnuha, Disertasi: Rekontruksi Metodologi Kritik Tafsir: Studi Buku Al-Dakhil
Karya Fayed. (Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah, 2015), hal.33
38
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, Cetakan 1.), hal 882.
39
Zaini Dahlan Dan Ahmad Bahauddin Noersalim, Mukadimah Al-Qur’an Dan Tafsirnya.
(Yogyakarta: UII Press, 2006), hal.39.
40
Zaini Dahlan Dan Ahmad Bahauddin Noersalim, Mukadimah Al-Qur’an Dan Tafsirnya.
10
(Yogyakarta: UII Press, 2006), hal.39.
41
QS. AL-FURQAN (25): 33.
C. Sejarah Kritik Tafsir Al-Qur’an

Metode kritik sejarah secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu usaha
untuk mendapatkan informasi mengenai setting dari suatu teks dengan tujuan untuk
memberikan pertanggungjawaban historis yang akurat mengenai apa yang
sesungguhnya terjadi pada teks yang dipertanyakan tersebut. Jadi metode kritik
sejarah ini dipraktekkan agar dapat memberikan petunjuk terhadap keabsahan
sebuah tafsir dan menguraikan makna yang sesungguhnya.42

Tradisi kritisisme sejatinya sudah ada sejak sebelum manusia di ciptakan.


Dioalog antara tuhan dengan malaikat yang direkam dalam QS. Al-Baqarah (2):
30 dapat dipahami sebagai bentuk kritisisme paling awal. Malaikat mengkritisi
penciptaan dan penunjukan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Kritisisme
malaikat itu didasari anggapan mereka, bahwa manusia adalah mahluk yang suka
berbuat kerusakan di bumi. Terlepas dari bahwa penunjukan manusia sebagai
khalifah merupakan hak prerogatif tuhan. Yang jelas, itulah dialog kritis malaikat
yang terekam dalam kitab suci Al-Qur’an.43

Sikap kritis tidak hanya terjadi pada malaikat, tapi juga terjadi pada umat
manusia. Kritisisme pada manusia adalah sesuatu yang niscaya, sebab tabiat
dasar manusia selalu menginginkan perubahan dan salah satu aspek terpenting
untuk melakukan perubahan adalah sikap kritis. Diantara sikap kritis yang paling
fenomenal yang direkam Al-Qur’an adalah adegan kritis yang dipertontonkan
Ibrahim. Sikap kritis Ibrahim terhadap kebiasaan buruk sang ayah dan umatnya
dalam hal pemujaan berhala mampu mengantarkan Ibrahim menjadi satu-satunya
rasul yang mendapat predikat kekasih Allah swt.

Dalam konteks penafsiran Al-Qur’an, sejatinya kritisisme itu juga sudah


ada, bahkan bahkan dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw. Beliau adalah
manusia pertama yang melakukan kritik terhadap pemahaman sahabat atas Tafsir
Al-Qur’an. Kritisisme Rasulullah saw ini ditujukan untuk mengevaluasi atau
meluruskan metodologi, pendapat dan perbuatan yang dilakukan sahabat

42
Muhammad Ulinnuha, Disertasi: Rekontruksi Metodologi Kritik Tafsir: Studi Buku Al-Dakhil
Karya Fayed. (Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah, 2015), hal.60.
11
43
Muhammad Ulinnuha, Disertasi: Rekontruksi Metodologi Kritik Tafsir: Studi Buku Al-Dakhil
Karya Fayed. (Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah, 2015), hal. 37.
berdasarkan pemahaman yang kurang tepat terhadap Al-Qur’an.

Dalam banyak riwayat disebutkan, misalnya Rasul pernah mengkritisi


pemahaman literal seorang sahabat atas QS. Al-Furqan (25):34. Sahabat itu ragu
bila di hari kiamat kelak, orang kafir akan dibangkitkan dan berjalan menghadap
Tuhan dengan alas wajah, bukan kaki mereka. Kemudian dia bertanya kepada
Rasulullah saw: “wahai Nabi, bagaimana mungkin orang kafir pada hari
kebangkitan kiamat nanti bisa berjalan dengan menggunakan wajahnya? ”Nabi
saw menjawab: “bukankah dzat yang mampu menjalankan manusia dengan
kedua kaki di dunia juga mampu menjalankan mereka dengan wajah mereka di
hari kiamat? “Qatadah menjawab: “ya tentu, maha agung Allah, Tuhan kami”
(HR. Bukhari dari Anas Ibn Malik).

Di lain waktu, Rasul mengkritisi pemahaman sesorang yang kurang tepat


terhadap QS. Ali Imran (3): 133. Menurut pemahamannya, bahwa ketika luas
surga itu sama dengan luas langit dan bumi, sebagaimana informasi ayat tersebut,
maka tidak ada space untuk neraka. Lalu dia bertanya kepada Nabi saw: “wahai
Muhammad, bukankah luas surga itu seluas langit dan bumi, lantas dimanakah
letak neraka? “Rasul menjawab dengan sebuah pertanyaan: “tidakkah kamu
melihat ketika malam tiba semua tertutup gulita, maka dimanakah posisi siang?
“lelaki itu menjawab: “hanya tuhan yang tahu” Rasul berkata: “demikian juga
dengan letak neraka, tuhan maha kuasa untuk melakukan yang dia khendaki”
(HR. Ibn Hibban dari Abu Hurayrah).44

Rasulullah saw adalah juru penerangan Al-Qur’an pertama,


perkembangan ilmu Tafsir Al-Qur’an telah mencapai kemajuan pesat sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dari abad ke abad para ilmuan
tafsir tampil ke panggung ilmu menyumbangkan fikirannya bagi umat manusia
dalam rangka memahami dan menghayati Al-Qur’an sebagai sumber hidayah
dan ilmu.

Tafsir Al-Qur’an yang banyak corak ragamnya tersusun dalam kitab-


kitab yang tipis dan yang tebal-tebal tumbuh semenjak Rasulullah saw. Beliau
yang pertamakali menerangkan kitabullah sesuai dengan kedudukannya sebagai
12
44
Muhammad Ulinnuha, Disertasi: Rekontruksi Metodologi Kritik Tafsir: Studi Buku Al-Dakhil
Karya Fayed. (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2015). hal. 38.
utusan Allah. Allah swt berfirman:

ِ ‫َوأَنزَ ۡلنَا ٓ ِإ َل ۡيكَ ٱلذ ِۡك َر ِلتُبَيِنَ ِللنا‬


َ‫اس َما نُ ِز َل ِإ َل ۡي ِه ۡم َو َلعَ ال ُه ۡم يَتَفَ اك ُرون‬

Artinya:

“dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan


kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.”45

Beliau menerangkan berdasarkan yang diterima dari Jibril dan kemudian


beliau jelaskan dengan bahasa beliau sendiri. Penjelasan terhadap kitab suci
bukan fikiran Rasul, melainkan sumber dari wahyu, maka segala penuturan
Rasulullah mengenai agama tidak terlepas dari wahyu dan tiada mungkin beliau
berbicara menurut kemauan sendiri.

Sebagaimana Firmannya:

ٓ َٰ ‫ع ِن ۡٱل َه َو‬
‫ي يُو َح َٰى‬ٞ ‫ ِإ ۡن ه َُو ِإ اَل َو ۡح‬. ‫ى‬ َ ‫نط ُق‬
ِ َ‫َو َما ي‬
Artinya:

“dan tiadalah yang diucapkan (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa


nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya.46

Dari keterangan yang ringkas ini, dapat disimpulkan bahwa Rasulullah


adalah yang berhak menerangkan kitabullah dan keterangan beliau adalah
benar. Oleh karena itu, seetiap penafsiran Al-Qur’an hendaklah lebih dahulu
memperhatikan keterangan beliau, kemudian beliau diterangkan dengan ijtihad
yang benar. Pada masa Rasulullah saw, hanya beliau yang menafsirkan Al-
Qur’an. Para sahabat tidak berani memberikan komentar atau penjelasan
tentang ayat-ayat suci Al-Qur’an, setelah Rasulullah saw wafat dan semua
wahyu itu telah beliau sampaikan kepada sahabat, barulah tampil ulama atau
sahabat menggantikan beliau sebagai juru penerang Al-Qur’an. Mereka tetap
memegang teguh prinsip di atas bahwa Tafsir ayat suci sejauh mungkin harus
berdasarkan kepada penuturan yang mereka terima dari Nabi. Mereka tiada
menyeleweng dari prinsip ini, sekali pun pada masa sahabat benih ijtihad mulai
13
45
QS. An-Nahl (16): 44.
46
QS. An-Najm (53): 3-4.
tumbuh.47

Tradisi kritik dalam khazanah intelektual Islam terlebih dahulu dimulai


dalam tradisi ‘ulūm al-ḥadīth. Istilah kritik menjadi semakin populer ketika
ulumul hadits menjadi disiplin ilmu yang mapan dan baku, dengan munculnya
pemikiran kritik sanad (naqd al-sanad). Munculnya kritisisme di bidang hadis,
dilatarbelakangi oleh munculnya pemalsuan hadis yang disebabkan oleh
kepentingan-kepentingan politik, aliran (ideologi) dan ekonomi. Kelompok yang
memiliki kepentingan tersebut sering mencari bahkan membuat hadis-hadis palsu
yang dapat dijadikan justifikasi (pembenaran) terhadap tindakan ataupun
paham mereka. Hal inilah yang menyebabkan hadis-hadis palsu dengan yang
asli menjadi tercambur baur dan sulit untuk dikenali, dipisahkan dan
diklasifikasikan. Maka, seiring munculnya pemikiran kritik sanad (naqd al-
sanad), telah memberikan angin segar dalam meneliti untuk menguji dan
mencari hadis-hadis yang benar-benar autentik berasal dari Nabi SAW. Bahkan
tradisi kritisisme hadis tidak berhenti pada wilayah kritik sumber (critical source),
tetapi telah sampai kepada kritik matan (naqd al-matan). Hingga pada
akhirnya, pemikiran kritis di bidang hadis telah mempertegas perbedaan antara
apa yang disebut sebagai sunnah dan ḥadīth.48

Seiring dengan tradisi kritik dalam ‘ulūm al-ḥadīth, budaya kritisisme mulai
menyebar hingga ke bidang penafsiran Al-Qur’an. Seiring dengan merebaknya
penafsiran Al-Qur’an yang bernuansa politis-ideologis, telah “memaksa” umat
Islam untuk bergumul dengan budaya kritis. Meskipun, sebenarnya embrio
kritisisme penafsiran atau tradisi kritik tafsir telah dimulai sejak zaman
Rasulullah. Hal ini misalnya, bisa dilacak melalui beragam riwayat yang
mengisahkan bahwa Rasulullah melakukan kritik terhadap pola pemahaman para
sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an. Sebagai seorang mubayyin sekaligus
mufassir, kritisisme Nabi ini ditujukan untuk mengevaluasi atau meluruskan
metodologi (cara memahami), pendapat, dan perbuatan (aktualisasi) yang
dilakukan sahabat berdasarkan pemahaman yang kurang tepat terhadap Al-

47
Zaini Dahlan Dan Ahmad Bahauddin Noersalim, Mukadimah Al-Qur’an Dan Tafsirnya.
(Yogyakarta: UII Press yogyakarta 2006) hal. 121-122. 14
48
Fazlur Rahman, Islamic Methodo- logy in History (Islamabad: Islamic Research Institute, 1995),
hal. 27.
Qur’an.49

Pasca wafatnya Rasulullah, tradisi kritisisme penafsiran Al-Qur’an masih


tetap berlanjut, meskipun mengalami keredupan akibat menguatnya absolutisme
penafsiran oleh kelas sosial yang disebut ulama. Sebagai pemegang otoritas
tertinggi karena didukung oleh penguasa tidak jarang justru diselewengkan menjadi
sebuah otoritarianisme untuk mendikte keislaman masyarakat awam.50
Semarak kritisisme penafsiran pada era ini dapat dikatakan lebih bernuansa
politik-ideologis. Yaitu lazimnya hanya dilakukan oleh para oposisi yang berusaha
merongrong kekuasaan atau sebaliknya legitimasi kekuasaan atas ideologi
tertentu. Sehingga, tradisi kritisisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam
cenderung bias kepentingan, baik aspek ideologis, politis maupun ekonomis.
Kritisisme yang berjalan pun belum terbangun secara sistematis dalam sebuah
metodologi kritik yang praktis dan terstruktur, sebagaimana dalam disiplin ilmu
hadis. Karenanya kritisisme yang ditemukan masih bersifat sporadis dan belum
ada metode baku yang dapat digunakan bagi para pengkaji tafsir untuk melakukan
kerja kritisisme penafsiran.51

Seiring terjadinya rennaissance di Barat, yaitu dibukanya kran modernisme


yang ditandai dengan revolusi industri di Inggris dan revolusi politik di Prancis,
serta meningkatnya daya efektifitas dan efisiensi yang mendukung peningkatan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Telah memberikan angin baru dalam dunia
penafsiran Al-Qur’an. Perkembangan ilmu-ilmu sosial humaniora yang pesat
mencoba dimanfaatkan oleh intelektual Muslim untuk memberikan pendekatan
dan interpretasi baru terhadap Al-Qur’an. Sehingga, tradisi kritisime di era
modern telah memunculkan tokoh-tokoh yang mencoba untuk melakukan
tawaran metodologi kritik tafsir. Seperti Amin al-Khuli (1895-1966) dengan
teori kritik sastra-nya, Husain al-Dhahabi (1915-1977) dengan teori kritik
inhiraf-nya, Muhammad Abu Shahbah (1914-1983) dengan metode kritik
isrāiliyat-nya, Fazlur Rahman (1919-1988), seorang intelektual organik asal
Pakistan menawarkan metode kritik double movement-nya, Mohammed Arkoun

49
Muhammad Ulinnuha, Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir, hal. 42.
50
MK. Ridwan, “Tradisi Kritik Tafsir: Diskursus Kritisisme Penafsiran dalam Wacana Qur’anic Studies” 15
dalam Jurnal THEOLOGIA, Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Vol. 28, No.1, Juni 2017, hal. 56.
51
Muhammad Ulinnuha, Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir, hal. 42-43.
(1928-2010) dengan kritik nalar Islam-nya, M. Abed al-Jabiri (1935-2010)
dengan kritik nalar Arabisme-nya, Hassan Hanafi (l. 1935) asal Mesir
menawarkan produk hermeneutika fenomenologis-nya dan Abd al-Wahhab Fayed
(1936- 1999) dengan metode kritik al-dakhil-nya serta beberapa tokoh
terkemuka lainnya seperti Muhammad Shahrur dan Ali Harb. Meskipun harus
dikatakan bahwa gagasan yang dihasilkan tokoh-tokoh tersebut bukanlah
sesuatu yang final. Dibutuhkan kritisisme untuk melakukan reformulasi dan
restrukturasi, karena metode dan teori mereka masih berserakan dalam berbagai
karyanya. Oleh karena itu, menurut M. Ulinnuha berbagai metode yang masih
tersebar dan berserakan itu, perlu untuk dikumpulkan, dihimpun, disusun, dan
direkonstruksi secara ilmiah dan sistematis, sehingga akan memunculkan
bangunan metodologi kritik tafsir yang utuh dan komprehensif.52

Melihat dari keterangan diatas bahwasannya sejarah kritik tafsir bermula


dari Rasulullah Muhammad saw, yang mana Rasulullah Muhammad saw
mengkritik atas pandangan dan pemahaman para sahabat terkait isi Al-Qur’an
yang tidak sesuai dan kurang tepat, sehingga Rasulullah Muhammad saw sebagai
pencentus kritik tafsir Al-Qur’an.

16

52
Muhammad Ulinnuha, Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir, hal. 44.
BAB III

KESIMPULAN

1. Kritik tafsir atau lebih tepatnya metode kritik tafsir adalah suatu cara, langkah-langkah
atau prosedur yang sistematis, terarah, dan ilmiah untuk melakukan analisis, telaah,
evaluasi dan penilaian terhadap suatu produk penafsiran Al-Qur’an. Dalam hal ini kritik
tafsir bermuara pada usaha mengembalikan peran Al-Qur’an sebagai hudan wa shifā’an
bagi alam semesta.
2. Filosofi kritik Tafsir yaitu ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dan
menjelaskan atau menerangkan lafadz-lafadz Al-Qur’an yang diterangkan oleh
para mufasir, lalu di benarkan atau disalahkan oleh para ilmuan.

3. Sejarah kritik tafsir bermula dari Rasulullah Muhammad saw, yang mana Rasulullah
Muhammad saw mengkritik atas pandangan dan pemahaman para sahabat terkait isi Al-
Qur’an yang tidak sesuai dan kurang tepat, sehingga Rasulullah Muhammad saw sebagai
pencentus kritik tafsir Al-Qur’an.

17
DAFTAR PUSTAKA

Al-Dhahabi, Muḥammad Husain, al-Tafsīr wa ’l-Mufassirūn, Juz I, Kairo: Maktabah Wahbah,


2000.

Al-Qattan, Manna’ Khalil, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an, Riyad: Manshurat al- ‘Asr al-
Hadith, t.t.

Al-Sabuni, Muhammad Ali, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jakarta: Dar al-Kutub al-
Islamiyyah, 2003.

Al-Zarkashi, Badr al-Dīn, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’ān, tahqiq Ahmad Ali, Qahirah: Dār
al- Ḥadīth, 2006.

Al-Zarkasyi, Bard Al-Din Muhammad Abdullah, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid II,
Dar al-Fikr: Beirut, 1988.

Arkoun, Mohammed, al-Fikr al-Islāmi Naqd wa Ijtihād, Aljazair: al-Mu’assasash al-


Wataniyah li al-Kitab, 1988.

Dahlan, Zaini, Dan Ahmad Bahauddin Noersalim, Mukadimah Al-Qur’an Dan Tafsirnya,
Yogyakarta: UII Press, 2006.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka, 1989.

Hakim, Lukman Nul, Metode Penelitian Tafsir, Palembang: Noerfikri. 2021.

Harb, Ali, Kritik Kebenaran, terj. Sunarwoto Dema, Yogyakarta: LKiS, 2004.

Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008.

Ma’luf, Luis, Al–Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al- Mashriq, 1986.

Manzur, Ibn, Lisān al-Arab, Beirut: Dar-Al-Ma’rifah, 1979.

Maymun, Ahmad, Skripsi: Tafsir Al Qur’an Sebagai Kritik Sosial: Studi Terhadap Tafsir
Tajul Muslimin Min Kalami Rabbi Al Alamin Karya Kh Misbah Mustafa, Jakarta :
PTIQ. 2020.

Muliadi, Filsafat Umum. Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati
Bandung. 2020.

Rahman, Fazlur, Islamic Methodo- logy in History, Islamabad: Islamic Research Institute,
1995. 18

Ridwan, MK.,“Tradisi Kritik Tafsir: Diskursus Kritisisme Penafsiran dalam Wacana Qur’anic
Studies” dalam Jurnal THEOLOGIA, Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Vol. 28,
No.1, Juni 2017.

Shadily, Hassan, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve. t.t.

Shalahuddin, Henri dan Mohd. Fauzi bin Hammat, “Analisis Kritis Terhadap Metode
Kritik Sejarah Berbasis Gender Dalam Studi Islam di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta Indonesia.” dalam Jurnal at-Ta’dib, Vol. 10, No. 2, Desember 2015.

Sumanto, Edi, Filsafat Jilid 1, Bengkulu: Penerbit Vanda. 2019.

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cetakan 1.

Ulinnuha, Muhammad, Disertasi: Rekontruksi Metodologi Kritik Tafsir: Studi Buku Al-
Dakhil Karya Fayed, Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah, 2015.

Ulinnuha, Muhammad, Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir, Jakarta: Azzamedia, 2015.

Zakaria, Abu al-Ḥusain Aḥmad bin Faris bin, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, Juz IV, Tahqiq,

19

Anda mungkin juga menyukai