Anda di halaman 1dari 20

41

Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

MENGENAL METODE AL-TAFSIR AL-TAHLILI


(TAFSIR AL-ZAMAKHSYARI DAN TAFSIR AL-RAZI)

KNOWING AL-TAFSIR AL-TAHLILI METHOD


(AL-ZAMAKHSYARI AND AL-RAZI INTERPRETATION)

Yuliza
IAIN Lhokseumawe, Lhokseumawe-Aceh
yulizafuad@gmail.com

Abstrak: Artikel ini membahas Tafsir tahlili yang merupakan salah satu
metode tafsir yang paling tua dan yang paling banyak digunakan oleh para
pengkaji Al-Quran Selain menjelaskan kosa kata dan lafaz, tahlili juga
menjelaskan sasaran yang dituju dan kandungan ayat, seperti unsur-
unsur i’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, serta menjelaskan apa
yang dapat diambil dari ayat tersebut untuk hukum fikih, dalil syar’i, arti secara
bahasa, dan norma-norma akhlak. Hampir seluruh kitab-kitab tafsir al-Qur’an
yang ada sekarang dan yang digunakan dalam studi tafsir adalah
menggunakan metode tafsir tahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
secara berurutan menurut urutan ayat-ayat yang ada dalam mushaf, mulai
dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Nas. Tujuan para mufassir
menggunakan tafsir tahlili dalam penafsiran Al-Quran untuk
meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman Al-Quran. Tafsir Al-
Quran dengan menggunakan metode tahlili sangat bermanfaat bagi
para penuntut ilm, terutama ilmu Al-Quran. Namun demikian setiap
metode tafsir memiliki kelebihan pada satu sisi dan kekurangan pada
sisi yang lain. Namun bukan berarti kelemahan dan kekurangan dalam
metode penafsiran merupakan sesuatu yang negatif. untuk itu, agar
mendapatkan pemahaman yang komprehensif tantang tafsir tahlili,
penulis membahasnya lebih lanjut dalam kajian ini.
Kata kunci: Tafsir Tahlili, Tafsir Al-Zamakhsyari, dan Tafsir Al-Razi

Abstract: This article discusses the Tafsir tahlili, which is one of the oldest and
most widely used methods of interpretation of the Koran. In addition to
explaining vocabulary and lafaz, tahlili also explains the intended target and
the contents of the verse, such as the elements of i'jaz, balaghah, and the
beauty of sentence structure, as well as explaining what can be taken from
the verse for fiqh law, syar'i argument, language meaning, and moral norms.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||


42
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

Almost all of the books that exist today and which are used in the study of
tafsir are using the method of tafsir tahlili, which is interpreting the verses of
the Al-Quran sequentially according to the order of the verses in the
manuscripts, starting from the beginning of the letter al-Fatihah to the end of
the letter al-Nas. The aim of the mufassirs is to use the interpretation of tahlili
in the interpretation of Al-Quran to lay the rational foundations for
understanding Al-Quran. The interpretation of Al-Quran using the tahlili
method is very beneficial for scientific claimants, especially Al-Quran
science. However, each method of interpretation has advantages on one side
and weaknesses on the other. However, it does not mean that weaknesses
and deficiencies in the method of interpretation are negative. Therefore, in
order to get a comprehensive understanding of the tahlili interpretation, the
author discusses it further in this study.
Keywords: Tafsir Tahlili, Tafsir Al-Zamakhsyari, and Tafsir Al-Razi

Pendahuluan

Susunan dan bahasa al-Qur’an merupakan alasan tersendiri


mengapa penafsiran dan penggalian terhadap makna ayat-ayatnya
justru menjadi tugas umat yang tak pernah berakhir. Hal ini ditopang
oleh keyakinan umat Islam bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang akan
berlaku abadi sepanjang masa. Oleh karena itu, ia memerlukan
interpretasi dan reinterpretasi secara kontinyu mengikuti
perkembangan zaman. Jelasnya, selalu dibutuhkan adanya
reaktualisasi nilai-nilai al-Qur’an sesuai dengan dinamika al-Qur’an
sendiri.

Tafsir, sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dan


kandungan al-Qur’an, telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi.
Sebagai hasil karya manusia, terjadinya keanekaragaman dalam corak
penafsiran adalah hal yang tak dapat dihindarkan. Berbagai faktor dapat
menimbulkan keragaman itu; perbedaan kecenderungan, interest, dan
motivasi mufassir; perbedaan misi yang diemban; perbedaan kedalaman dan
ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari;
perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi dan sebagainya. Semua ini
menimbulkan berbagai corak penafsiran yang kemudian berkembang menjadi

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||


43
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

aliran tafsir yang bermacam-macam, lengkap dengan metodenya masing-


masing.

Metode tafsir tahlili adalah yang paling tua dan paling sering
digunakan. Menurut Muhammad Baqir al-Shadr, metode ini, yang ia sebut
sebagai metode tajzi'i, adalah metode yang mufasir-nya berusaha
menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat al-Qur`an sebagaimana tercantum dalam al-
Qur`an. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat
demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur'an. Dia
menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran
yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan
keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat
yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain
sebagainya.

Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan al-Qur'an


dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi
pemahaman akan kemukzizatan al-Qur'an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi
kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu
pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan
yang beraneka ragam dan terpisah-pisah.

Perkembangan ilmu-ilmu keislaman yang tumbuh sejalan dengan


perkembangan dan perluasan Islam, mempengaruhi pula perkembangan
corak dan metode tafsir. Setiap mufassir yang memiliki bidang keahlian
tertentu cenderung menafsirkan al-Qur’an berdasarkan latar belakang
keahlian dan ilmu yang dimilikinya. Muncullah kemudian corak tafsir yang
bermacam-macam. Misalnya, tafsir yang bercorak fiqih, filsafat, tasawwuf,
keilmuan, kebahasaan, teologis, dan sebagainya.

Pengertian Metode Tafsir Tahlili

Metode adalah kata serapan yang masuk ke dalam bahasa Indonesia.


Jika dirunut akar katanya secara etimologis, maka kata “metode” yang berarti
jalan atau cara berasal dari dua bahasa, yaitu: (1) methodos dari bahasa

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||


44
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

Yunani.1 dan (2) method dari bahasa Inggris.2 Sementara kata metode dalam
bahasa Indonesia- berarti cara yang teratur dan berfikir baik-baik untuk
mencapai suatu maksud atau tujuan. Secara leksikal, KBBI mendefiniskan kata
metode yang digunakan dalam ilmu pengetahuan sebagai cara kerja yang
teratur dan saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna untuk mencapai suatu tujuan
yang ditentukan.3 Dalam bahasa Arab disebut manhaj jamaknya manāhij yang
diterjemahkan dengan jalan yang nyata. Di dalam surat al-Ma’idah ayat 48
disebutkan “untuk tiap-tiap umat di antara kamu kami berikan aturan dan
minhaj (jalan yang terang). Sementara itu kata tafsīr merupakan bentuk taf’īl
dari kata al-fasr yang berarti al-bayān wa al-kasyf (penjelasan dan
penyingkapan). Tafsir adalah penjelasan tentang maksud firman Allah sesuai
dengan kemampuan manusia.4
Secara harfiah, al-Tahlili berarti menjadi lepas atau terurai. Metode tahlili
disebut juga dengan metode deskriptif Analitis. Yang dimaksud dengan al-
tafsir al-tahlili ialah metode penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan
dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam
ayat-ayat al-Qur’an dengan mengikuti tertib susunan/urut-urutan surat-surat
dan ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri dengan sedikit banyak melakukan analisis
didalamnya.5 Menurut Nashruddin Baidan metode tahlili (analitis) adalah
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang
terkandung di dalam ayat-ayat yang di tafsirkan itu serta menerangkan
makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan
kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.6
Dalam metode tafsir tahlili, mufasir menguraikan makna yang
dikandung oleh al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan

1
Fuad Hasan and Koentjaraningrat, “Beberapa Asas Metodologi Ilmiah,” in Metode-
Metode Penelitian Masyarakat, ed. Koentjaraningrat (Jakarta: Gramedia, 1977), h. 16.
2
Webster, Webster’s New Twentieth Century Dictionary.
3
Departemen Pendidikan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 580-581.
4
Muhammad Husain al-Dzahabi, al Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Mesir: Dar al-Kutub al-
Haditsah, 1976), Jilid. 1, cet. 2, h. 2.
5
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an 2, cet. II. (Jakarta, Pustaka Firdaus
2001) h. 110.
6
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an , (Yogyakarta, Pustaka Pelajar
2005), h. 31

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||


45
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

urutan letak ayat-ayat dan surat-surat dalam al-Qur’an. Uraian tersebut


menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat seperti pengertian kosa
kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat (asbabun nuzul),
kaitannya dengan ayat-ayat yang lain, baik sebelum maupun sesudahnya
(munasabah), dan tak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan
berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh
Nabi, sahabat, para tabi’in, maupun ahli tafsir lainnya.7
Sementara expert yang lain menjelaskan bahwa metode tafsir tahlili
adalah metode penafsiran yang berusaha menjelaskan arti ayat-ayat al-Qur’an
dengan berbagai seginya berdasarkan urutan ayat dan surat dalam al-Qur’an
dengan menonjolkan pengertian dan kandungan lafazh-lafazhnya, hubungan
ayat-ayatnya, sebab-sebab nuzulnya, hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Yang
ada kaitannya dengan ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta pendapat para
sahabat dan ulama-ulama lainnya.8
Dari sekian metode tafsir yang ada, metode tahlili merupakan metode
yang paling lama usianya dan paling sering digunakan. Selain menjelaskan
kosa kata dan lafaz, tahlili juga menjelaskan sasaran yang dituju dan
kandungan ayat, seperti unsur-unsur i’jaz, balaghah, dan keindahan susunan
kalimat, serta menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat tersebut untuk
hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, dan norma-norma akhlak. Hampir
seluruh kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang ada sekarang dan yang digunakan
dalam studi tafsir adalah menggunakan metode tafsir tahlili, yaitu
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara berurutan menurut urutan ayat-ayat
yang ada dalam mushaf, mulai dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat al-
Nas. Di antara faktor yang mendorong munculnya metode ini adalah
ketidakpuasan terhadap metode ijmāli dalam menafsirkan ayat al-Qur’an
karena dianggap tidak memberi ruang dalam mengemukakan analisis yang
memadai.9

7
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran…h. 31
8
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an, cet I. (Bandung, Pustaka
Setia,2004). h. 94
9
Rosalinda, Tafsir Tahlili: sebuah Metode Penafsiran Al-Quran, Hikmah, Volume XV
no. 2 2019, h. 3

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||


46
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

Metode tafsir tahlili ini terus mengalami perkembangan, bahkan sampai


sekarang al-tafsir al-tahlili masih tetap mengalir.10 Dari beberapa penafsir baik
itu dari aliran tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi, tafsir al-isyari semuanya
menggunakan metode tafsir tahlili. Kitab-kitab tafsir al-Quran yang ditulis
pada masa-masa awal pembukuan tafsir hampir dan bahkan semuanya
menggunakan metode tafsir tahlili. sehingga dapat disimpulkan bahwa
munculnya tafsir tahlili karena kebutuhan umat Islam terhadap penjelasan
yang rinci terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Di antara karya tafsir dengan
menggunakan metode taḥlīlī adalah karangan Ibn jarir al-Thabari “Jami’ al-
Bayān ‘an Ta’wīl ayātil Qur’an” dan karangan al-Baghawi “Ma’alim al-Tanzīl”.11
Metode tahlili memliki ciri tersendiri dibandingkan dengan metode tafsir
yang lain. Berikut ini beberapa ciri-ciri dari metode tafsir tahlili: Membahas
segala sesuatu yang menyangkut satu ayat itu. Tafsir tahlili terbagi sesuai
dengan bahasan yang ditonjolkannya, seperti hukum, riwayat dan lain-lain.
Pembahasannya disesuikan menurut urutan ayat. Titik beratnya adalah
lafadznya. Menyebutkan munasābah ayat, sekaligus untuk menunjukkan
wihdah al-Qur’an. Menggunakan asbab nuzul ayat. Mufasir beranjak ke ayat
lain setelah ayat itu dianggap selesai meskipun masalahnya belum selesai,
karena akan diselesaikan oleh ayat lain.12 Ciri-ciri utama metode tafsir tahlili ini
antara lain:
1. Membahas segala sesuatu yang menyangkut ayat itu dari segala seginya.
2. Mengungkapkan asbab an-nuzul ayat yang ditafsirkannya, jika ayat
tersebut memang memiliki asbab an-nuzul.
3. Menafsirkan ayat per ayat secara berurutan, dalam pembahasannya
selalu melihat korelasi antar ayat, untuk menemukan makna penafsiran
itu
4. Tafsir tahlili bisa bercorak tafsir bil ma’tsur, kalau titik tekan
pembahasannya pada riwayat, baik berupa hadist, atsar sahabat, atau
pendapat ulama yang kemudian dikuatkan oleh rasio (ra’yu). Sebaliknya,
bisa bercorak tafsir bi al-ra’yi, jika titik tekan uraiannya berdasarkan rasio,

10
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu….. h. 111
11
Rosalinda, Tafsir Tahlili: sebuah …, h. 4
12
Rosalinda, Tafsir Tahlili: sebuah …, h. 5

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||


47
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

sementara riwayat diposisikan hanya sebagai penguat asumsi-asumsi


logika penafsiran tersebut.13

Karakteristik Metode Tafsir Tahlili

Setiap metode tafsir Al-Qur’an memiliki karakteristik tersendiri yang


menjadikannya sebagai ciri khas dari suatu metode penafsiran. Begitu juga
dengan tafsir tahlili yang memiliki beberapa karakteristik yang menjadi
indikator utama dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran atau penafsiran
lainnya Ada tiga karakteristik utama yang dapat dijadikan sebagai indikator
untuk mengenali bahwa suatu kitab tafsir atau produk penafsiran lainnya
dapat dimasukkan dalam kategori menggunakan metode Tafsīr Tahlili.14
Pertama, mufasir menguraikan makna yang terkandung dalam al-Qur’an dari
berbagai aspek penafsiran seperti pengertian kosakata, idea tau gagasan
dalam kalimat, latar belakang turunnya ayat (asbāb al-nuzūl), hubungan
keterkaitan (munāsabah) antara satu ayat dengan ayat lainnya baik sebelum
atau sesudahnya, serta pendapat-pendapat yang telah diberikan tentang
maksud dari ayat yang ditafsirkannya baik yang disampikan oleh nabi
Muhammad SAW, para sahabat, para tabi’in maupun dari sumber informasi
kitab tafsir atau produk penafsiran lainnya.

Kedua, mufasir menarasikan penafsirannya berdasarkan struktur


urutan susunan ayat dan surat dalam mushaf al-Qur’an mulai dari awal sampai
dengan akhir. Mufasir memberikan penjelasan mulai dari ayat pertama dan
surat pertama dalam al-Qur’an kemudian dilanjutkan yang kedua, yang ketiga,
dan seterusnya sampai dengan surat dan ayat terakhir dalam al-Qur’an Mushaf
Uthmānī.

13
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan ….. h. 94-95.
14
Faizal Amin, Metode Tafsīr TaḥlīlĪ: Cara Menjelaskan Al-Qur’an Dari Berbagai Segi
Berdasarkan Susunan Ayat, http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/KALAM Volume 11,
Nomor 1, Juni 2017. h. 248

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||


48
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

Ketiga, sebagai sebuah prosedur kerja, mufassir yang menggunakan


metode Tafsīr Taḥlīlī lazimnya melakukan lima langkah berikut ini:

(1) menerangkan munasabah, atau hubungan ayat yang ditafsirkan


dengan ayat sebelum atau sesudahnya, maupun antara satu surah
dengan surah lainnya;

(2) menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (asbāb al-nuzūl);

(3) menganalisis kosakata (mufradāt) dari sudut pandang bahasa Arab,


yang terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan sebagaimana
urutan dalam al-Qur’an, mulai dari surah al-Fatihah hingga surah
an-Naas;

(4) menjelaskan makna yang terkandung pada setiap potongan ayat


dengan menggunakan keterangan yang ada pada ayat lain, atau
dengan menggunakan hadith Rasulullah SAW atau dengan
menggunakan penalaran rasional atau berbagai teori dan disiplin
ilmu sebagai sebuah pendekatan;

(5) menarik kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan


hukum mengenai suatu masalah, atau lainnya sesuai dengan
kandungan ayat tersebut.15

Prosedur Penerapan Tafsir Tahlili

Cara mufassir (penafsir) dalam menafsirkan memberikan perhatian


sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang
ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap
bagian ayat. Dalam menafsirkan Al-Quran dengan metode tahlili mufassir
biasanya melakukan sebagai berikut:
1. Menerangkan hubungan (munasabah) baik antara satu ayat
dengan ayat yang lain maupun antara satu surat dengan surat yang
lain.

15
Abuddin Nata, Studi Islam Komperhesif. Jakarta: Kencana, 2011. h. 169

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||


49
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

2. Menerangkan sebab-sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul)


3. Menganalisis mufradat (kosa kata) dan lafal dari sudut pandang
bahasa Arab
4. Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
5. Menerangkan unsur-unsur fasahah, bayan, i’jaz-nya, bila dianggap
perlu.
6. Menerangkan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas,
kusus untuk ayat-ayat ahkam.
7. Menerangkan makna dan maksud syara’ yang terkandung dalam
ayat bersangkutan.16

Langkah lain yang digunakan oleh Para Mufassir dalam menafsirkan


Metode tahlili adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan dengan
menempuh cara sebagai berikut: Pertama, Menyebutkan sejumlah ayat pada
awal pembahasan. Pada setiap pembahasan dimulai dengan mencantumkan
satu ayat, dua ayat, atau tiga ayat Al Qur’an untuk maksud tertentu, yaitu
keterangan global (ijmal) bagi surat dan menjelaskan maksudnya yang
mendasar.17. Kedua, Menjelaskan arti kata-kata yang sulit. Setelah
menafsirkan dan menyebutkan ayat-ayat yang akan dibahas kemudian
diuraikan lafadz yang sulit bagi kebanyakan pembaca. Penafsir meneliti
muatan lafadz itu kemudian menetapkan arti yang paling tepat setelah
memerhatikan berbagai hal yang munasabah dengan ayat itu. Ketiga,
Memberikan garis besar maksud beberapa ayat. Untuk memahami pengertian
satu kata dalam rangkaian satu ayat tidak bisa dilepaskan dengan konteks
kata tersebut dengan seluruh kata dalam redaksi ayat itu. Keempat,
Menerangkan konteks ayat. Untuk memahami pengertian satu kata dalam
rangkaian satu ayat tidak bisa dilepaskan dengan konteks kata tersebut
dengan seluruh kata dalam redaksi ayat itu. Kelima, Menerangkan Sebab-
sebab turun ayat. Menerangkan sebab-sebab turun ayat dengan berdasarkan
riwaat sah. Dengan mengetahui sebab turun ayat akan membantu dalam
memahami ayat. Hal ini dapat dimengerti karena ilmu tentang sebab akan
menimbulkan ilmu tentang akibat. Keenam, Memerhatikan keterangan-

16
Quraish Shihab et.al., Sejarah dan Ulum al-Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus 2001). h.
173.
17
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2007), h. 68

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||


50
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

keterangan yang bersumber dari nabi dan sahabat atau tabi’in. Cara
menafsirkan al-Qur’an yang terbaik adalah mencari tafsirannya dari al-Qur’an,
apabila tidak dijumpai di dalamnya maka mencari tafsirannya dari sunnah.
Apabila sunnah. idak dijumpai, maka dikembalikan kepada perkataan sahabat
dan tabiin. Ketujuh, Memahami disiplin ilmu tertentu. Dinamika transformasi
peradaban akan membawa pengaruh terhadap pemahaman al-Qur’an. Sudah
jelas Al Qur’an sangat menghargai transformasi peradaban yang sarat dengan
inovasi-inovasi ilmiah. Al-Qur’an sangat menghargai penemuan-penemuan
ilmiah dengan berprinsip pada ada tidakya redaksi ayat yang dapat
membenarkan penemuan itu.18

Dalam penerapan metode tahlili para mufassir tidak sama dalam


menggunakan urutan langkah-langkahnya. Ada juga yang tidak menggunakan
salah satu dari langkah tersebut, sehingga lebih tergantung kepada hal yang
dianggap penting oleh mufassir.

Bentuk-bentuk metode Tafsir Tahlili

Para mufassir dalam mengkaji Al-Quran menggunakan berbagai


bentuk metode Penafsiran. Diantaranya dengan mengambil bentuk metode
tafsir tahlili ini. Penafsiran Al- Qur’an dengan metode tahlili dapat mengambil
beberapa bentuk (corak) penafsiran diantaranya:

Pertama, tafsir bil ma’tsur yaitu penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat;
penafsiran ayat dengan Hadith Nabi saw. untuk ayat yang dirasa sulit
dipahami oleh para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para
sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. Adapun
pengertian yang lainnya adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan
yang shahih yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, al- Qur’an dengan
sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan
sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui kitabullah, atau
dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in karena mereka pada umumnya
menerimanya dari para sahabat.19

18
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, h. 70.
19
La Ode Ismail Ahmad, Konsep Metode Tahlili Dalam Penafsiran Al-Qur’an Jurnal.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||


51
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

Tafsir bi al ma’tsur juga dikenal dengan tafsir bi al riwayah, artinya


penafsiran akan berjalan terus selama riwayat masih ada, jika riwayat habis,
maka penafsiran berhenti pula.20 Di antara kitab tafsir yang menggunakan
metode bi al ma’tsur adalah Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Imam
Ibn Jarir al-Tabari. Tafsir al-Qur’an al-’Adim karya Ibn Kathir.

Kedua, tafsir bi al ra’yi, yaitu penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad dan


penalaran21, terutama setelah seorang mufassir betul-betul mengetahui
perihal bahasa Arab, asbab al nuzul, nasikh-mansukh dan beberapa hal yang
diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir. Tafsir bi al ra’yi (rasional) juga
dikenal dengan tafsir bi al dirayah, artinya penafsiran akan berjalan terus
ada atau tidak adanya riwayat.22 Dalam menyikapi tafsir bi al ra’yi, para
ulama ada yang menerima dan ada yang menolak. Apabila ia memenuhi
persyaratan yang dikemukakan para ulama tafsir, maka penafsiran itu bisa
diterima. Sebaliknya, jika tidak memenuhi persayaratan, maka penafsirannya
ditolak.

Munculnya corak tafsir ini seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu


keislaman yang diwarnai dengan munculnya berbagai disiplin ilmu, aneka
warna metode penafsiran, serta lahirnya para pakar di berbagai bidang
keilmuan. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu al-
Qur’an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain, seorang mufassir
menggunakan segenap kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud
ayat-ayat Al-Quran di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ra’yi
adalah: Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil, karangan Mahmud al-Nasafi,
dan Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil karya Al-Khazin.

Ketiga, tafsir sufi, yaitu penafsiran yang dilakukan para sufi yang pada
umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan tersebut tidak dapat
dipahami kecuali oleh orang-orang sufi dan yang melatih diri untuk
menghayati ajaran tasawuf. Tafsir shufi disebut juga dengan tafsir Isyari yaitu
penafsiran orang-orang sufi terhadap al-Qur’an yang bermula dari anggapan
20
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran…. h. 132
21
Muhammad Husein al-Zahabi dalam Abd.Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (
Yogyakarta:Teras), 2005. h. 43.
22
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran .... h. 46.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||


52
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

bahwa riyadhah (latihan) rohani yang dilakukan seorang sufi bagi dirinya akan
menyampaikan ke suatu tingkatan di mana ia dapat menyingkapkan isyarat-
isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan al-Qur’an dan akan
tercurah pula ke dalam hatinya dari limpahan ghaib.23 Di antara kitab tafsir
sufi adalah kitab: Tafsir al-Qur’an al-’Adim, karya Imam al-Tusturi.

Keempat, tafsir fiqhi, yaitu penafsiran al-Qur’an yang berorientasi


pada persoalan-persoalan hukum Islam. Corak Tafsir Fikih adalah tafsir yang
lebih cendrung pada tinjauan hukum dari ayat yang di tafsirkan. Tafsir ini
banyak di temukan dalam kitab-kitab fikih yang dikarang oleh imam-imam dari
berbagai mazhab yang berbeda. Tafsir ini muncul seiring dengan kemunculan
tafsir bil ma’tsur. Hal tersebut karena dalam pembinaan masyarakat Islam di
Madinah nabi banyak sekali mendapat pertanyaan dari para sahabat terkait
dengan pertanyaan hukum24. Tafsir fiqhi banyak terdapat dalam sejarah islam
terutama setelah mazhab fiqih berkembang pesat. Di antara kitab tafsir
dengan menggunakan metode fikih adalah Tafsir Ahkam al-Qur’an, karya Al-
Jassah, dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Imam Al-Qurtubi.

Kelima, tafsir falsafi, yaitu penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan


pendekatan logika atau pemikiran filsafat yang bersifat liberal dan radikal.25
Pendekat filsafat yang digunakan adalah pendekatan yang berusaha
melakukan sintesis dan siskretisasi antara teori-teori filsafat dengan ayat-ayat
Al-Qur’an, selain itu juga menggunakan pendekatan yang berusaha menolak
teori-teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an.26
Contoh kitab tafsir falsafi adalah kitab Mafatih al-Ghayb karya Fakhr al-Din
al-Razi.

Keenam, tafsir ‘ilmi, Tafsir ini mulai muncul akibat dari perkembangan
ilmu pengetahuan, sehingga tafsir ini dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan

23
Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, terj., Madzakir AS, (Lentera
Antar Nusa; Jakarta, 2004), h. 465

24
Rosalinda, Tafsir Tahlili: sebuah …, h. 21
25
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu …. h. 134.
26
M. Quraish Shihab dkk, Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2008. h. 183

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||


53
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

menggunakan pendekatan alamiah atau dengan menggunakan teori-teori


ilmu pengetahuan. yaitu penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam
al-Qur’an, dengan cara mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan
modern.27 Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat teori-teori ilmiah dan
bukan sebaliknya. Di antara kitab tafsir ‘ilmi adalah kitab al-Islam Yata’adda,
karya Wahid al-Din Khan.

Ketujuh, tafsir adabi ijtima’i, yaitu corak penafsiran yang menjelaskan ayat-
ayat al-Quran berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun
dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya
al-Quran, lalu mengaplikasikannya pada tatanan social, seperti pemecahan
masalah-masalah umat islam dan bangsa pada umumnya.28 Di antara kitab
tafsir adabi ijtima’i adalah Tafsir al-Mannar karya Muhammad
’Abduh dan Rasyid Ridha

Keistimewaan dan Kelemahaman Metode Tahlili (Analitis)

Penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan metode tafsir tahlili


memiliki beberapa kelebihan karena penafsirannya dengan menggunakan
berbagai disiplin keilmuan. Diantara beberapa kelebihannya yaitu:

Pertama, metode ini meneliti setiap bagian nash al qur‟an secara


detail, tanpa meninggalkan sesuatupun. Sehingga metode ini memberi
pengetahuan yang komprehensif mengenai ayat yang dibahas baik kata atau
kalimat. Di mana metode ini menyajikan makna dan hukum yang terkandung
dalam nash.

Kedua, metode ini menyeru peneliti dan pembacanya untuk


mempelajari/mendalami ilmu-ilmu al qur’an yang beragam. Untuk itu mufasir
menjelaskan ayat dari berbagai segi dengan metode tahlili ini.

27
Rosalinda, Tafsir Tahlili: sebuah …, h. 4
28
Muhammad Husain al-Dzahabi dalam Quraish Shihab et.al., Sejarah dan Ulum al-
Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus 2001) h. 184.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||


54
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

Ketiga, metode ini memperdalam pemikiran, dan menambah kuat


dalam menyelami makna ayat, serta tidak puas hanya melihat makna gelobal
saja. Sehingga metode ini dapat membantu dalam meningkatkan kemampuan
untuk ber-istinbat, memilih ragam makna, memilih pendapat yang kuat dari
pendapat para ulama.

Keempat, dari metode ini, seorang alim dapat menggunakan informasi dalam
tafsir tahlili menjadi sebuah pembahasan tersendiri, seperti metode tafsir
maudhui. Oleh karena itu tafsir tahlili menjadi pengantar atau asas untuk tafsir
maudhui.29

Sementara menurut Nashiruddin Baidan, Keistimewaan metode ini


terletak pada

1. Ruang lingkupnya yang luas sehingga dapat menampung berbagai ide dan
gagasan dalam upaya menafsirkan al-Qur’an. Disamping itu, metode yang
digunakan oleh mufassir dapat dikembangkan lagi sesuai dengan keahlian
para mufassir.

2. Memuat berbagai ide sehingga para mufassir mempunyai kebebasan dalam


memajukan ide- ide dan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran al-
Qur’an. Barangkali kondisi inilah yang membuat tafsir tahlili lebih pesat
perkembangannya. 30

Sebaliknya, kelemahan metode tahlili bisa dilihat dari tiga hal:

1. Menjadikan petunjuk al-Qur’an parsial Hal ini menimbulkan kesan seakan-


akan Al Qur’an memberikan pedoman tidak utuh dan konsisten karena
adanya perbedaan, akibat dari tidak diperhatikannya ayat-ayat yang
mirip.

29
Saiful Rokhim, Mengenal Metode tafsir Tahlili, Al-Tadabbur, Jurnal ilmu-Ilmu
Alquran dan Tafsir. Vol 2 no. 03. 2017.
30
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran…. h. 53-54

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||


55
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

2. Melahirkan penafsiran yang subyektif Hal ini berakibat banyaknya


mufasir yang menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan kemauan hawa
nafsunya sesuai dengan ide-ide dan pemikirannya.

3. Membuka peluang masuknya pemikiran isra’iliyat 31 Terbentuknya opini


yang belum tentu cocok dengan yang dimaksud Allah di dalam firman-
Nya

Meskipun demikian, metodologi tahlili telah memberikan


pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari berbagai aspek:
bahasa, fikih, teologi, filsafat, sain dan sebagainya, sehingga metode tahlili
(analitis) lebih berperan dan lebih banyak diandalkan daripada metode-
metode yang lain.

Tafsir al-Zamakhsyari dan Tafsir al-Razi Sebagai Representasi Tafsir Tahlili


Tafsir al-Zamakhsyari
Uraian mengenai kitab tafsir al-Kasyaf tidak dapat dilepaskan dari latar
belakang kehidupan penyusunnya. Pengenalan mengenai identitas penyusun
dengan berbagai latar belakang kehidupannya merupakan suatu hal yang
penting dalam memberikan gambaran yang jelas, baik kehidupan sosial
maupun pengalaman hidup yang dialami penyusunnya, dalam perjalanan
pendidikan dan pengajarannya. Nama lengkap al-Zamakhsyari adalah Abu al-
Qasim Mahmud ibn ‘Umar ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Umar al-
Khuwarizmi al-Zamakhsyari. Ia lahir pada hari Rabu tanggal 27 Rajab 467 H,
bertepatan dengan tahun 1074 M di Zamakhsyar, suatu desa yang terdapat
dalam wilayah Khuwarizm, Turkestan, ia meninggal dunia pada 538 H di
Jurjaniah Khawarizm setelah kembali dari Mekah.32 Al-Zamakhsyari hidup di
tengah-tengah lingkungan sosial yang penuh dengan semangat kemakmuran
dan keilmuan. Tidak banyak yang diketahui tentang latar belakang keluarga
al-Zamakhsyari. Yang jelas bahwa lingkungan keluarganya adalah keluarga
yang berilmu dan taat beribadah.

31
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran…. h. 55-60
32
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur,an.( Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa). 2010. h. 530.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||


56
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

Kitab tafsir al-Kasyaf ini, menurut sejarahnya, disusun oleh al-


Zamakhsyari selama tiga tahun, mulai dari tahun 526 H sampai dengan 528 H,
di Makkah al-Mukarramah, ketika ia berada di sana untuk menunaikan ibadah
haji yang kedua kalinya. Waktu dan tempat penyusunan tafsir ini diketahui
melalui pengakuannya dalam muqaddimah tafsirnya. Ia menyatakan bahwa
lama penyusunannya itu sama dengan lama masa pemerintahan Abu Bakar al-
Shiddiq. Kitab al-kasyaf ini diakui oleh semua kalangan adalah kitab yang
sangat berpengaruh, dimana pengarangnya juga memberikan dua sifat yang
disebutkan tanpa ragu. pertama adalah tafsir yang beraliran Mazhab
Mu’tazilah.33 Ajaran-ajaran dasar yang dianutnya selalu menjadi pegangan
dan pedoman yang mewarnai hasil pemikirannya. Ia menyusun kitab al-
Kasysaf untuk mendukung akidah dan mazhabnya.34

Kedua, sifat yang dimiliki tafsir ini adalah keutamaan dalam nilai bahasa
arab baik dari segi I’jaz al-Qur’an, balaghah dan fasahah.35 kelebihan tafsir al-
Kasyaf karya al-Zamakhsyari terletak pada argumentasinya yang kuat yang
dibangun lewat fungsionalisasi kaidah-kaidah kebahasaan seperti halnya ilmu
bayan dan ma’ani. Menurut Ibnu Khaldun, tafsir Al-Kasysyaf karya Az-
Zamakhsyari tersebut, dalam hal bahasa, I’rab dan balaghahnya adalah kitab
tafsir paling baik. Hanya saja penulisnya termasuk pengikut fanatik aliran
Mu’tazilah.36 mungkin inilah yang menyebabkan al-Zamakhsyari tidak
memaparkan kandungan ayat yang ditafsirkannya secara umum, tidak melihat
ayat dari aspek hukum, tidak menguraikan hubungan antara satu ayat dengan
ayat yang lain maupun antara satu surah dengan surah yang lain.

Penafsiran yang dilakukan secara lengkap terhadap seluruh ayat yang


terdapat dalam al-Qur’an dari awal hingga akhir, dimulai dari ayat pertama
surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah al-Nas. Dari sisi ini pula

33
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para
Ahli Tafsir. (Jakarta:PT Raja Grafindo Perkasa, 2006). h. 226
34
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu …. h. 508
35
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir…. h. 226
36
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-
Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006). h. 460

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||


57
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan


menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-
ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung
di dalamnya sesuai dengan urutan bacaan (ayat dan surah) dalam mushaf
Utsmani.

Ada beberapa kelemahan yang terdapat dalam kitab al-Kasyaf,


diantaranya;

1. Dalam setiap tafsir ayat al-Quran tidak ada pengaruh batin yang
didapatkan oleh pengarang,
2. Pencelaan imam Zamakhsyari terhadap wali-wali Allah SWT., hal ini karena
dia lupa terhadap jeleknya perbuatan ini dan karena tidak mengakui
adanya hamba-hamba Allah SWT,
3. Banyaknya penyebutan syair dan amtsal,
4. Penyebutan kepada Ahlussunnah dengan kata-kata kotor.37

Tafsir al-Fakhr al-Razi

Fakruddin al-Razi adalah salah seorang ulama’ yang terkenal pada abad
ke-6 H. dari kalangan ahlussunnah. Ia dikenal sebagai ulama yang banyak
melontarkan ide-ide yang dikembangkan oleh Imam Ash’ary dan berpegang
pada mahdzab Imam asy-Syafi’i. Dia terkenal di masanya dan bahkan sampai
sekarang selalu disebut-sebut namanya baik dikalangan mutakallim (Ahli ilmu
kalam) dan ahli lughah apalagi dikalangan ahli tafsir. Imam Fahruddin Al-Razy
yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin al-Husin Al-
Taimi Al-Bakri Al-Tabaristani Al-Razi itu lahir di Rayy, Persia, tak jauh dari
Teheran, Iran modern, tahun 543 H. Di masa tuanya, Ar-Razi menetap di Herat,
Afghanistan. Di tempat itu ia membangun masjid, mengajar dan menulis
beberapa kitab hingga ajal menjemput nyawanya pada tahun 606 H/1209 M.
Di kota Herat itu pula jenazahnya dimakamkan.

Fakhruddin al-Razi adalah seorang intelektual muslim yang tersohor


dan menguasai banyak disiplin keilmuan. Ia adalah pakar tafsir, fiqh, ushul

37
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir…. h. 228-229

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||


58
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

fiqh, ilmu falak, ilmu alam dan ilmu akal. Fakhruddin al-Razi adalah seorang
ulama besar yang memiliki kualifikasi keilmuan yang sangat luas. Selama
hidupnya ia telah menyusun sejumlah karya, baik yang langsung ditulis oleh
Fakhruddin sendiri atau karya yang ditulis oleh muridnya, hasil dari beberapa
kuliah yang pernah disampaikannya. Diantara karyanya yang terkenal adalah:
Mafatih al Ghaib, Lawami’ al Bayyinat, syarah nama-nama Allah dan sifatnya,
ma’alim Ushuliddin, Muhashshil al Mutaqaddimin38 dan masih banyak lagi yang
lainnya yang menjadikan al-Razi sebagai tokoh sekaliber ulama-ulama besar
lainnya.

Kitab Mafatih al Ghaib atau dikenal juga dengan al Kabir adalah kitab
yang ditulis pada masa akhir hidupnya menurut beberapa pendapat, al-Razi
tidak sempat menyelesaikannya. Menurut Muhammad al-Dzahabi Imam al-
Razi telah menyelesaikan tafsirnya sampai surat Al-Anbiya’. Kemudian
Syihabuddin Al-Khaubi melanjutkannya namun ia tidak dapat
menuntaskannya. Selanjutnya Al-Qamuli datang menyempurnakannya.39
Kepiawaiannya dalam berbagai disiplin ilmu memberikan warna tersendiri
dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib. Pembahasan di dalamnya menggunakan
metode penalaran logika dan istilah-istilah ilmiah, serta banyak menguraikan
persoalan eksakta, fisika, falak, filsafat dan kajian masalah ketuhanan
(teologis) sesuai metode dan argumentasi kaum rasionalis, disamping juga
mengemukakan madzhab-madzhab fikih.40 Sampai-sampai, sebagian ulama
menilai “di dalamnya (Tafsir al-Razi) terkandung berbagai hal, kecuali tafsir”.
Dengan bahasa lain, Abu Hayyan menegaskan bahwa Fakhruddin ar-Razi
menghimpun dan menjelaskan banyak hal secara panjang lebar dalam
tafsirnya, sehingga (seolah-olah) tidak lagi membutuhkan ilmu tafsir. Dalam
hal ini, wajar kiranya bila al-Dzahabi menyebut tafsir ini sebagai ensiklopedi
akademis dalam bidang ilmu kalam (teologi) dan ilmu pengetahuan alam.

38
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir…. h. 321
39
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-
Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006). h. 458
40
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi…. h. 458

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||


59
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

Kesimpulan
Salah satu metodologi tafsir adalah metode tahlili dimana
metode tahlili merupakan metode yang paling tua usianya dan paling sering
digunakan. Keberadaan metode tahlili telah memberikan sumbangan yang
sangat besar dalam melestarikan dan mengembangkan khazanah intelektual
Islam, khususnya dalam bidang tafsir al-Qur’an. Jika menginginkan
pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari berbagai aspek,
maka tiada jalan lain kecuali menempuh atau menggunakan metode analitis
ini. Di sinilah terletak salah satu urgensi pokok bagi metode ini bila
dibandingkan dengan metode lainnya.

Pendekatan dari penafsiran dengan metode tahlili terdiri dari tujuh


pendekatan yaitu, tafsir bil-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi, tafsir al-fiqhi, tafsir al-shufi,
tafsir al-falsafi, tafsir al-‘ilmi, dan tafsir al-adabi al-ijtima’i Dari ketujuh
pendekatan tersebut, seorang mufassirin membuktikan suatu upaya yang
sungguh-sungguh dalam menelaah setiap ayat al-Qur’an sesuai dengan
kapasitas kemampuan dan tujuan dari suatu fungsi penelaahan yang dituju.
Sementara Tafsir Az-Zamakhsyari dan Ar-Razi adalah tafsir yang
menggunakan metode tahlili baik yang bercorak tafsir bi al-ma’tsur maupun bi
al-ra’yi.

Daftar Referensi
Abd.Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2005
Abuddin Nata. Studi Islam Komperhesif, Jakarta: Kencana, 2011.
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an, Bandung: Pustaka
Setia, 2004.
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an, cetI. Bandung:
Pustaka Setia, 2004.
Departemen Pendidikan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 580-581.
Fuad Hasan and Koentjaraningrat, “Beberapa Asas Metodologi Ilmiah,” in
Metode-Metode Penelitian Masyarakat, ed. Koentjaraningrat Jakarta:
Gramedia, 1977.
M. Quraish Shihab dkk, Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2008.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||


60
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 2 Juli – Desember 2020

Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode


Para Ahli Tafsir, Jakarta: PT.Raja Grafindo Perkasa, 2006.
Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, terj., Madzakir AS,
Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2004.

Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur,an. Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, 2010.
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001.
Muhammad Husain al-Dzahabi, al Tafsīr wa al-Mufassirūn, Jilid. 1, cet. 2 Mesir:
Dar al-Kutub al-Haditsah, 1976.
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005.
Quraish Shihab et.al., Sejarah dan Ulum al-Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001.
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2007.
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq
El-Mazni, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Webster, Webster’s New Twentieth Century Dictionary.
Saiful Rokhim, Mengenal Metode tafsir Tahlili, Al-Tadabbur, Jurnal ilmu-Ilmu
Alquran dan Tafsir. Vol 2 no. 03. 2017.
La Ode Ismail Ahmad, Konsep Metode Tahlili Dalam Penafsiran Al-Qur’an
Rosalinda, Tafsir Tahlili: sebuah Metode Penafsiran Al-Quran, Hikmah, Volume
XV no. 2 2019, hal. 3.
Faizal Amin, Metode Tafsīr Taḥlīlī: Cara Menjelaskan Al-Qur’an Dari Berbagai
Segi Berdasarkan Susunan Ayat, Volume 11, Nomor 1, Juni 2017.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||

Anda mungkin juga menyukai