ABSTRAK
Artikel ini membahas tentang konsep penafsiran berbasis maqa>s}id atau yang
dikenal dengan al-tafsir al-maqa>s}idi>. Jenis tafsir ini salah satu terobosan baru sarjana
kontemporer dalam menghadapai berbagai keterbatasan metode penafsiran yang ada.
Metode ini dibangun dari konsep maqa>s}id yang dulunya hanya sebatas doktrin,
kemudian dikembangkan menjadi sebuah metode atau paradigma berfikir dan
beragama. Tulisan yang didasarkan studi kepustakaan ini berusaha menemukan
konstruksi tafsir maqa>s}idi> dengan menekankan pada perumusan metode khusus dalam
menafsirkan al-Quran. Penyingkapan makna terdalam (maqa>s}id) al-Quran dalam rangka
menyukseskan misi al-Quran sebagai kitab hidayah yang dapat memberikan solusi
terhadap problematika kemanusiaan yang terus berkembang disinyalir menjadi ciri khas
model tafsir ini.
Kata kunci: tafsir maqa>s}idi, maqa>s}id al-Quran, maqa>s}id al-shari>’ah
1|Page
PENDAHULUAN
Usaha memahami maksud al-Quran (tafsir) dan berbagai metodologi penafsiran
yang telah ada merupakan salah satu disiplin ilmu yang senantiasa mengalami
perkembangan mengikuti situasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan peradaban
manusia.1 Bahkan kemungkinan besar mengalami apa yang disebut oleh Thomas Khun
sebagai pergeseran paradigma (shifting paradigm).2
Sebuah paradigma dalam setiap disiplin ilmu, memiliki asumsi, metode dan
pendekatan tertentu yang berbeda dari paradigma ilmu yang lain. Paradigma merupakan
sistem keyakinan dasar atau pandangan fundamental yang membimbing seseorang
termasuk penafsir dalam memilih metode dan cara-cara yang secara ontologis dan
epistimologis sangat fundamental.3 Keyakinan atau pandangan fundamental tersebut
menjadi pijakan awal (starting point) seseorang untuk melakukan kajian. Meski tidak
selalu diungkapkan secara eksplisit oleh mufassir, dalam penafsiran al-Quran sejatinya
keyakinan dasar berupa asumsi-asumsi serta pertimbangan-pertimbangan logis tentang
teks al-Quran sebagai objek studinya itu dapat ditemukan.4
Selanjutnya, dari ragam pijakan atau keyakinan dasar itu berimplikasi terhadap
penentuan pendekatan (approach) dan metode yang relevan. Pendekatan menjadi sudut
pandang (starting view) bagaimana suatu permasalahan didekati, dibahas dan dianalisis
berdasarkan sudut pandang (ilmu atau teori) tertentu, sehingga menghasilkan
kesimpulan.5 Sedangkan metode yang identik dengan arti cara atau teknik, harus
menjadi hal yang lebih teknis dan sejalan dengan pendekatan. Maka kaitannya dengan
tafsir al-Quran, pendekatan dimaksudkan sebagai cara memandang, membahas dan
menganalisa teks al-Quran dengan menggunakan ilmu-ilmu atau teori-teori tertentu
sebagai alat bantu, sedangkan metode dimaksudkan sebagai cara yang ditempuh oleh
mufassir untuk menemukan makna teks al-Quran, sejalan dengan pendekatannya.
1
Abdul Mustaqim dkk, Studi Al-Quran Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), h. ix.
2
Menurut Thomas S Khun bahwa Setiap zaman tertentu memiliki karakteristik pengetahuan yang berbeda,
sehingga tidak secara otomatis dapat berlaku untuk zaman selanjutnya. Paradigma lama sebagai ilmu yang
dipandang normal dan berlegitimasi pada masanya gagal menjawab masalah-masalah baru yang timbul, dan
selanjutnya hanya akan menerbitkan anomali-anomali. Keadaan seperti itu akan mengundang paradigma baru yang
bisa menawarkan alternatif. Lihat Thomas S. Khun, The Structur of Scientific Revolutions, terj. Tjun Surjaman,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012)
3
Guba & Lincoln, ―Competing Paradigm in Qualitative Reaseach‖, dalam Denzin & Lincoln, Handbook of
Qualitative Reaseach (California: SAGE Pub., 1994), 105. Dalam Ali Mudlofir, Paradigma Tafsir Tarbawi, jurnal
Al-Tahrir Vol.11, No. 2 November 2011, h. 263
4
Saifullah, Nuansa Inklusif Dalam Tafsir al-Manar (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag, 2012), h.33
5
Moh. Nuhakim, Metodologi Studi Islam (Malang: UMM Press, 2006),
2|Page
Gabungan dari adanya keyakinan dasar atau dikenal dengan asumsi, pendekatan
dan metode yang diterapkan dalam menemukan makna teks al-Quran, meniscayakan
lahirnya sebuah paradigma tafsir yang berdasar pada jenis pendekatan dan metode yang
ditempuh. Pada akhirnya, paradigma tafsir maqasidi disinyalir sebagai paradigma baru
yang memilki konstruk berupa asumsi-asumsi, pendekatan dan metode tersendiri dalam
kajian ilmu tafsir.
Istilah tafsir maqa>s}idi> tersusun dari dua kata yakni kata tafsir, dimana secara
etimologi berasal dari akar kata fa-sa-ra ( )فسزyang berarti menjelaskan, menyingkap,
dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak.6 Sedangkan secara
terminologi memiliki beberapa definisi dari para ulama, menurut Abu> hayya>n ialah ilmu
yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz al-Quran, petunjuk-petunjuknya,
hukum-hukumnya (baik ketika berdiri sendiri maupuan ketika tersusun) dan makna-
makana yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang
melengkapinya.7 Sedangkan menurut al-Zarkashi>, tafsi>r adalah ilmu memahami kitab
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya
serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.8
Dan maqas}i>di> secara etimologi, menurut was}fi ‘a>shu>r dapat diartikan dengan
tujuan, rahasia, induk, tujuan, dan kemajuan. Sedangkan secara terminologi menurut
was}fi adalah sesuatu yang ditetapkan oleh sha>ri’9(Allah dan Rasul-Nya) berupa
penetapan ketentuan-ketentuan islam untuk mencapai kepentingan bersama di dunia dan
akhirat.10
Dalam konteks ilmu tafsir, maqas}i>d juga berarti maqas}i>d al-Quran dan maqas}i>d
al-shari‟ah, kedua istilah ini memang berbeda. Posisi maqas}i>d al-Quran sebagai dasar
dari maqas}i>d al-shari‟ah. Itu artinya segala kemaslahatan dalam maqas}i>d al-shari‟ah
6
Prof. Dr. H. Amroeni Drajat, ulumul qur’an pengantar ilmi-ilmu al-qur’an,(Depok: Kencana,2017). hal 123
7
Ibid,. hal 124
8
Ibid
9
Kata al-Sha>ri’ dalam kamus al-ma’a>ni>, secara istilah dalam ilmu fikih diartikan sebagai isim fa’il yang berarti
‚sesuatu yang menetapkan hukum pertama kali yakni Allah SWT dan Rasulullah SAW.
10
Siti khotijah, kurdi fadal, maqasid al quran dan intepretasi wasfi ashur abu zayd,( QiST:journal of quran and
tafseer studies, vol 1 no.22,2022)hal.148
3|Page
akan bermuara pada maqas}i>d al-Quran.11 maqas}i>d al-shari‟ah, seperti yang didefinisikan
'Allal al-Fasy, adalah tujuan akhir yang ingin dicapai oleh shari‟ah dan rahasia-rahasia
dibalik setiap ketetapan dalam hukum shari‟ah.12 Senada dengan al-Fasy, ar-Raisuny
mendefinisikan maqas}i>d al-shari‟ah sebagai tujuan-tujuan yang ingin diwujudkan dalam
penetapan shari‟at untuk kemaslahatan hamba.13
Adapun maqas}i>d al-Quran juga memiliki pengetian tersendiri. Ridlwan Jamal
dan Nisywan Abduh setelah mengamati berbagai pendapat ulama terkait maqas}i>d al-
Quran, mereka berdua mendefinisikan maqashid al-Quran sebagai hikmah, rahasia, dan
tujuan-tujuan yang ingin diwujudkan dengan diturunkannya Al-Quran demi
kemaslahatan dan menolak kerusakan.14 Gabungan dua kata itulah istilah tafsir
maqas}i>di> terbentuk. Karena tafsir ini masih jenis baru dalam disiplin ilmu tafsir, para
pakar masih berupaya mendefinisikannya dengan definisi yang tepat.
Menurut Ridwan Jamal, tafsir maqas}i>di> adalah: Jenis tafsir yang membahas
makna-makna lafadz al-Quran dan perluasan makna lughowinya, disertai penjelasan
hikmah-hikmah dan tujuan-tujuan yang hendak diwujudkan melalui diturunkannya al-
Quran dan disyariatkannya hukum-hukum Islam.15 sedangkan menurut was}fi ‘a>shu>r
Abu Zaid mendefinisikannya sebagai salah satu corak dari berbagai corak tafsir yang
membahas pengungkapan makna-makna dan hikmah-hikmah yang melingkupi Al-
Quran, baik yang universal ataupun yang parsial, serta menjelaskan cara
penggunnaannya dalam mewujudkan kemaslahatan hamba.16
Sejarah tafsir maqas}i>di> dapat digolongkan menjadi tiga fase besar yang
merupakan poin-poin pokok dari sejarah tafsir secara umum, yaitu : masa ta’si>s, masa
tadwin, masa tajdid. Pertama, masa ta’si>s yang merupakan embrio tafsir maqa>s}idi yang
mempertemukan maslahat al- shari‟ah dan maslahat al- mukhat}a>b. Keduanya ini
dipertemukan sehingga kemaslahatan yang merupakan pokok dari syari‟at dapat
11
Ahmad kamaludin, saefudin, pola implementasi tafsir maqashidi ( MUMTAZ:jurnal studi al-Quran dan
keislaman, vol 5 no. 02, 2021)Hal 183
12
Allal Al-Fasi, Maqasid Al-Shari'at Al-Islamiyah Wa-Makarimuha (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1993), hlm.
111.
13
Al-Raisuni, Nazhariyah al-Maqaṣid 'inda al-Imam al-Syatibi, hlm. 19.
14
Ridlwan Jamal dan Nisywan Abduh, ‚Al-Jadhur Al-Tarikhiyah Li-Tafsir Al-Maqasidi Lil-Quran Al-Karim‛ 8
(2011): hlm. 196
15
Jamal dan Abduh, hlm. 197.
16
Zayd, ‚al-Tafsir al-Maqasidi li Suwar al-Quran al-Karim,‛ hlm. 7.
4|Page
terwujud. Misalnya pemikiran ‘Umar ibn Khat}t{a>b tentang pengumpulan naskah al-
Quran yang awalnya tidak diterima oleh Abu Bakar dan Zaid Bin Thabit. Namun, ketika
‘Umar ibn Khat}t{a>b menjelaskan maqa>s}id nya, maka akhirnya usulan dari ‘Umar ibn
Khat}t{a>b diterima.
Kedua, Pada masa tadwin, maṣlaḥah yang merupakan maqāṣid al-sharīʻah sudah
mulai dirumuskan teorinya. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan maṣlaḥah yang
dipandang sebagai maqāṣid itu justru nampak bertentangan dengan naṣ. Jika maṣlaḥah
bertentangan dengan naṣ yang qoṭ‟ī al-dilalah, maka jumhur ulama (kecuali al-Thufi)17
sepakat untuk lebih mendahulukan naṣ. Tetapi, jika pertentangan tersebut terjadi dengan
naṣ yang dhannī al-dilalah, maka dalam hal ini ulama berbeda pendapat bahwa jika
maṣlaḥah bertentangan dengan naṣ maka didahulukan. Ketiga, pada masa tajdīd, diubah
oleh sebagian muslim kontemporer seperti Jasser Auda menjadi konsep yang baru dan
bersifat development and rights.
17
Pendapat Sulaiman al-Thūfī yang mendahulukan maṣlaḥah dari pada naṣ, baik naṣ tersebut bersifat qoṭ’ī maupun
dhannī, hanya saja wilayah cakupannya pada bidang muamalah saja.
18
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Syari’ah, Jilid 2, (Al-Qahirah: Musthafa Muhammad, t,t), 2-3
5|Page
kemaslahatan hamba, jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan), Maqashid
hajiyat (dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan), dan Maqashid tahsiniyat
(sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan
keburukan). D{aru>riya>t jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu:
1. Menjaga agama (hifzh al-din)
6|Page
Maqa>s}id al-shari‟ah al-khasshah: adalah tujuan syariat yang
khusus, yakni tentang muamalat, yang di dalamnya mengupas
berbagai isu maqa>s}id al- shari‟ah, misalnya maqa>s}id al- shari‟ah
hukum keluarga, maqa>s}id al- shari‟ah penggunaan harta, maqa>s}id
al- shari‟ah hukum perundang-undangan dan kesaksian, dan
sebagainya19.
Jika disimpulkan, maka secara garis besar ragam maqa>s}id al- shari‟ah
ada 2, yakni:
19
Siti Muhtamiroh, ‚Muhammad Thahir bin ‘Asyur dan Pemikirannya tentang Maqashid al-Syari’ah‛, Jurnal
at-Taqaddum, Vol. 5, No. 2, (Novembr 2013), UIN Walisongo Semarang, hlm. 271-272.
20
Tajul Islam, Maqasid Al-Quran: A Search for A Scholarly Definition. Research Fellow Center of the Qur’anic
Research (CQR) University of Malaya, Kuala Lumpur. 2018. 5.
21
Said Nursi, Isyaratu al Ijaz fi Madzani al `Ijaz .. 23.
7|Page
2. Al-Maqashad Al-Kully atau al-Maqashad al-Am yaitu
mengajarkan manusia untuk beribadah.
3. Al-Maqasid al-Suwar wa al-Ayat al-Quraniyyah ada tujuan yang
terkandung dalam setiap surat dan tampak pada tiap surat, tiap
ayat, bahkan tiap lafadz Alquran.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wasfi Asyur, beliau membagi
maqashid Al-Quran menjadi , 5 yakni22 :
1. Maqashid umum Al-Quran
2. Maqashid khusus Al-Quran(melingkupi tema dan topik Al-Quran)
3. Maqashid surat-surat Al-Quran
4. Maqashid terperinci dari ayat-ayat Al-Quran
5. Maqashid kata dan huruf Al-Quran
Dari konsep dan ragam dari masing-masing maqa>s}id al- shari‟ah dan
maqa>s}id AlQur‟an, maka dapat disimpulkan bahwasanya secara garis besar,
ragam maqashid Al-Quran dari berbagai pendapat ulama' dibagi menjadi 2,
yaitu:
Maqa>s}id umum Al-Quran: maqa>s}id Al-Quran secara universal
tanpa ada batas-batas khusus.
Maqa>s}id khusus Al-Quran: kekhususan maqashid yang dimaksud
disini melingkupi sifat-sifat maqashid secara khusus, baik yang
bersifat tematik seperti beberapa topik dan landasan khusus,
maupun bersifat tekstual struktural seperti maqashid per-surat,
ayat, kata, atau huruf tertentu dalam Al-Quran.
Tentunya ada beberapa syarat dan aturan yang terlebih dahulu harus dipahami
sebelum seseorang sebelum akhirnya memasuki langkah-langkah dalam penafsiran
Maqashid al-Quran. Adapun Syarat-syaratnya yang berkaitan :
1. Memahami bahasa Arab dan penerapannya
2. Melakukan tadabur dan berusaha untuk hidup bersama Al-Quran
22
Waṣfī ‘Āsyūr Abū Zayd, Nahwa Tafsir Maqashidi Li al-Qur'ān al-Karīm: Ru’yah Ta’sīsiyah Li
Manhaj Jadīd Fī Tafsīr, ..,22.
8|Page
3. Mengamalkan Al-Quran, mengajarkannya, dan berjihad dengannya
4. Bertolak dari kebutuhan umat terhadap maqashid umum Al-Quran23.
Setidaknya ada 4 aturan yang harus diketahui, sebelum masuk dalam lagkah-
langkah penafsiran Maqashidi dan hal ini dibahas oleh Wasfi Asyur yang secara
kesimpulan :
1. Disimpulkan dari proses yang benar
2. Memenuhi syarat-syarat mufasir Maqashidi
3. Mengutamakan Maqashid tekstual dan original dari Al-Quran
4. Mengedepankan Maqashid umum Al-Quran Membuktikan keselarasan
antara kalimat, ayat, surat, dan Al-Quran secara keseluruhan24.
Dalam melakukan penafsiran berbasiskan maqashid, ada langkah-langkah yang
perlu diperhatikan untuk menemukan maqshad dari suatu nash yang hendak ditafsirkan.
Khusus maqashid „ammah dari al-Quran, al-Raisuni menjelaskan bahwa hal tersebut
dapat diketahui melalui dua cara: Pertama, al-Quran menjelaskan sendiri tujuan yang
diinginkan dari penjelasan al-Quran itu sendiri, terdapat banyak maqashid al-Quran
yang didapatkan, diantaranya25:
Mentauhidkan dan menyembah Allah (Q.S. Hud ayat 1-3, Q.S. Al-i ayat
1-2)
Petunjuk keagamaan dan duniawi bagi hamba (Q.S.Al-Baqarah ayat 185,
Q.S. Ali Imran ayat 1-4, Q.S. al-Isra‟ ayat 9)
Tazkiyah dan mengajarkan hikmah (Q.S. al-Baqarah ayat 151, Q.S. Ali
Imran ayat 164)
Rahmat dan kebahagiaan (Q.S. al-Anbiya‟ ayat 107, Q.S. al-Isra‟ayat 82,
Q.S. Taha ayat 1-3)
Menegakkan kebenaran dan keadilan (Q.S. al-Hadid ayat 25, Q.S. al-
An‟am ayat 115).
Langkah yang kedua adalah melalui istinbat para ulama‟ dalam mencari
maqashid al-Quran. Beberapa ulama‟ memiliki pendapat yang beraneka ragam terkait
dengan maqashid al-Quran. Seperti Imam al-Ghazali yang menyatakan bahwa maqashid
23
Dr. Wasfi Asyur Abu Zayd, Metode Tafsir Maqasidi. (Jakarta: Qaf, 2020), 111-133.
24
Ibid, hlm : 135-168.
25
Al-Raisuni, Nazhariyah al-Maqashid ‘inda Al-Imam Al-Syatibi, (Riyadh: Dar Al-Alamiah lil kitab Al-Islami,
1995), 364-365
9|Page
al-Quran itu ada enam; tiga pokok, dan tiga pelengkap. Imam „Izz al-Din ibn Abdis
Salam menyatakan maqashid al-Quran seluruhnya tercakup dalam jalb almashalih wa
dar‟u al-mafasid.
Sedangkan dalam wilayah ijtihad Maqashidi dalam hal ini juga penafsiran ar-
Raisuni juga memberikan langkah-langkah yang harus diperhatikan. Langkah-langkah
tersebut adalah:
1. Teks-teks dan hukum tergantung pada tujuannya (al-Nushus wa al-
Ahkam bi Maqashidiha)
2. Mengumpulkan antara Kulliyât al-„Ammah dan Dalil-dalil Khusus
3. Jalbu al-Masalih wa Dar‟u al-Mafasid (Mendatangkan Kemaslahatan
Dan Mencegah Kerusakan) secara Mutlak26.
10 | P a g e
juga poliandri lawan dari poligami, yaitu istri memilki beberapa orang suami dalam
waktu yang bersama.28
Pada dasarnya, praktek poligami sudah dilakukan dalam tradisi pra-Islam
(Arab), dimana kala itu seorang laki-laki bisa melakukan perkawinan dengan jumlah
istri yang tidak terbatas. Para laki-laki memiliki hak penuh untuk memiliki dan memilih
siapa dan berapa yang menjadi istirnya. Untuk itu, dengan misi keadilan yang diusung,
Islam datang merubah praktek demikian dengan memberikan jumlah batasan yang dapat
dijadikan istri serta menekankan persyaratan yang mesti dipertimbangkan bagi suami.
28
Musda Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), h.2
11 | P a g e
ayat ini sebagai dasar hukum poligami. Hanya saja mendasarkan pemahaman ayat pada
langkah ini tidaklah cukup, melainkan diperlukan langkah selanjutnya pada tahap
identifikasi makna ayat dan elaborasi hikmah yang menjadi maqasid ayat.
Untuk identifikasi makna ayat, maka pemahaman atas konteks historis dan asbab
al-nuzul ayat adalah unsur terpenting dalam tahapan ini. Bagi Rasyid Ridha, ayat 3 surat
an-Nisa„ ini diturunkan pasca terjadinya perang uhud, dimana saat itu banyak mujahid
dan tentara muslim yang syahid di medan perang. Akibatnya, banyak anak yatim beserta
ibunya yang terabaikan dan membutuhkan perlindungan dalam kehidupan, karena
ditinggal mati oleh ayah dan suaminya.
Atas dasar ini Rasyid Ridha berpendapat, bahwa ayat tersebut menjelaskan
masalah hukum terkait dengan status wanita-wanita yang berada dalam kekuasaan
walinya, sebagaimana yang diriwayatkan dalam al-Sahihain, Sunan al-Nasa„i dan al-
Baihaqi serta tafsir Ibnu Jarir, Ibnu Munzir dan Ibn abi Hatim disebutkan bahwa Urwah
Ibn al-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah Ra, perihal ayat air. Lalu Aisyah
menjawab bahwa yang dimaksud al-yatama„ dalam ayat ini adalah wanita-wanita yang
berada dalam kekuasaan walinya. Selain wali memiliki tugas unutk mengatur dan
mengelola hartanya, Ia juga ikut menginginkan harta itu serta kecantikannya, sehingga
wali tersebut berkeinginan untuk mengawininya berdasarkan harta dan kecantikannya,
tanpa ingin memberikan mahar sebagaimana selayaknya. Maka dari situ, turunlah
larangan untuk menikahi wanita-wanita tersebut, kecuali dengan komitmen untuk
berlaku adil dan memberikan hak mahar yang semestinya. Kalau tidak demikian,
diperbolehkan untuk menikahi lebih daripada wanita lain yang bukan dari kalangan
wanita-wanita yatim tersebut.29
Dengan demikian, Penekanan untuk berlaku adil pada wanita-wanita tersebut
menjadi makna utama dari pada ayat ini. Sedangkan makna keadilan pada ayat 129,
adalah keadilan yang sifatnya lahiriah, bukan batiniyah yang bersumber pada perasaan
hati, sehingga setiap orang tidak mampu untuk membagi perasaan batin, termasuk
baginda Rasulullah SAW sendiri.Sebab, pada masa akhir hidupnya, beliau pernah lebih
condong terhadap salah satu istrinya (Aisyah Ra.) dibandingkan dengan para istri
lainnya.30
29
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Quran al-Hakim (Kairo, Dar al-Manar, 1947), cet. Ke 2, vol. 4, h.344.
30
Ibid,. h.148
12 | P a g e
Sedangkan tahap elaborasi maqa>s}id al- shari‟ah pada ayat ini dapat dilakukan
dengan mempertimbangkan makna ayat yang telah ditemukan. Memang secara zahir
dan eksplisit ayat ini memperbolehkan poligami, tetapi ajaran poligami yang terdapat
dalam ayat ini merupakan salah satu alternatif dari sekian banyak alternatif lainnya
untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat, khususnya bagi perempuan yatim.
Sehingga dapat ditetapkan bahwa prinsip keadilan dan anjuran untuk menegakkan
keadilan merupakan maksud dan tujuan akhir dari ayat ini.
Terkait masalah hukum poligami ini, Rasyid Ridha juga menambahkan bahwa
(1) dalam Islam tidak mewajibkan atau menganjurkan untuk melakukan praktek
poligami, akrena kemungkinan-kemungkinan besar perbuatan zalim disalah satu pihak
akan muncul, (2) Islam tidak secara mutlak menolaj poligami, namun tida pula terlalu
longgar dalam hal ini, menimbang watak dasar laki-laki yaitu memiliki kemampuan
dalam berbagai hal, termasuk juga dalam hal reproduksi, selain itu melihat jumlah
perempuan yang semakin banyak akibat banyak pergolakan zaman dan melahirkan para
janda-janda yang selayaknya diayomi dan diselamatkan, (3) Islam memberikan hukum
mubah (boleh) dengan syarat ketat yang telah ditentukan, mengingat juga akan dampak
buruk yang ditimbulkan.31
Berdasarkan keterangan diatas, dapat dikatakan bahwa Rasyid Ridha melihatnya
bukan hanya dalam tataran normatif tetapi lebih kepada wilayah praktis. Dia berangkat
dari situasi dan kondisi di sekitarnya yang acap kali menimbulkan kezaliman pada pihak
perempuan yang tidak menapatkan perlakuan adil. Namun bila perlakuan adil, jaminan
keselamatan dan kehidupan bagi kaum janda dan anak yatim sebagai individu yang
mempunyai hak dan kewajiban, serta terwujunya kemaslahatan sosial untuk menjaga
stabilitas masyarakat dan bangsa, maka Rasyid Ridha membolehkannya.32
KESIMPULAN
Tafsir maqashidi, walaupun secara istilah baru muncul belakangan, namun sebenarnya
secara praktis telah hadir sejak fase awal penafsiran al-Qur‟an, yakni pada era shahabat
dan tabi‟in. jadi tafsir maqashidi bukan lah barang baru dalam wilayah kajian tafsir Al-
Qur‟an. Dengan berbasis pada mashlahah, tafsir maqashidi memiliki kedudukan yang
31
Rasyid Ridha, Nida’ lil al-Jins al-Lathif; Huquq al-Nisa fi al-Islam (Beirut: Maktabah al-Islami, 1984), h. 45-46
32
Abdul Majid Abd al-Salam, Visi dan Paradigma Tafsir al-Quran Kontemporer, terj. Moh. Maghfur
(Jatim; Bangil: Al Izzah, 1997), h.112
13 | P a g e
penting yang menengahi dua aliran mainstream penafsiran, yaitu tafsir dengan
pandangan literalis (tekstual) dan tafsir yang kontekstulis. Dengan keistimewaan
tersebut, diharapkan tafsir maqashidi benar-benar bisa mewujudkan tujuan utama dari
ajaran Islam secara umum, dan syari‟ah Islam secara khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid Abd al-Salam, Visi dan Paradigma Tafsir al-Quran Kontemporer, terj.
Moh. Maghfur (Jatim; Bangil: Al Izzah, 1997)
Ahmad kamaludin, saefudin, pola implementasi tafsir maqashidi (MUMTAZ:jurnal
studi al-Quran dan keislaman, vol 5 no. 02, 2021)
Allal Al-Fasi, Maqasid Al-Shari'at Al-Islamiyah Wa-Makarimuha (Beirut: Dar al-Gharb
al-Islami, 1993),
Al-Raisuni, Nazhariyah al-Maqashid „inda Al-Imam Al-Syatibi, (Riyadh: Dar Al-
Alamiah lil kitab Al-Islami, 1995),
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Syari‟ah, Jilid 2, (Al-Qahirah: Musthafa
Muhammad, t,t)
Dr. Wasfi Asyur Abu Zayd, Metode Tafsir Maqasidi. (Jakarta: Qaf, 2020)
Prof. Dr. H. Amroeni Drajat, ulumul qur‟an pengantar ilmi-ilmu al-qur‟an,(Depok:
Kencana,2017).
Ridlwan Jamal dan Nisywan Abduh, “Al-Jadhur Al-Tarikhiyah Li-Tafsir Al-Maqasidi
Lil- Quran Al-Karim (2011)
Siti khotijah, kurdi fadal, maqasid al quran dan intepretasi wasfi ashur abu zayd,( QiST:
journal of quran and tafseer studies, vol 1 no.22,2022)
Siti Muhtamiroh, “Muhammad Thahir bin „Asyur dan Pemikirannya tentang Maqashid
al-Syari‟ah”, Jurnal at-Taqaddum, Vol. 5, No. 2, (Novembr 2013)
Tajul Islam, Maqasid Al-Quran: A Search for A Scholarly Definition. Research Fellow
Center of the Qur‟anic Research (CQR) University of Malaya, Kuala Lumpur.
2018.
14 | P a g e