Anda di halaman 1dari 10

A.

Genealogi Kajian Living Qur’an

Kajian living Qur’an merupakan kajian baru yang ada dalam studi Qur’an. Tahun
2005, Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis se-Indonesia (FKMTHI) mengadakan
kongres dan seminar tentang studi Qur’an. Tema seminar yang diusung adalah Living
Qur’an: al-Qur’an dalam Kehidupan Sehari-hari. Beberapa dosen UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta terlibat aktif untuk mendiskusikan tema tersebut dengan beberapa dosen
lainnya. Salah satu dosen yang gencar mengusung tema ini adalah Muhammad Mansur
dan Ahmad Rafiq. Kemudian, sekitar tahun 20071 dosen-dosen Tafsir Hadis (nama jurusan
sebelum sekarang dipecah menjadi dua jurusan) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi
penggagas pertama munculnya kajian ini. Gagasan ini dimulai dengan diskusi ringan para
dosen mengenai perkembangan kajian studi Qur’an. Dari hasil diskusi tersebut, mulailah
gencar diskusi wacana kajian baru tersebut di beberapa kampus lain.

Tema living Qur’an ini terus digemakan oleh sejumlah dosen di TH (Tafsir Hadis)
UIN Sunan Kalijaga. Pada tanggal 8-9 Agustus 2006, jurusan TH Fakultas Ushuluddin
UIN Suka mengadakan Workshop Metodologi Living Qur’an dan Hadis dengan
mengundang beberapa dosen luar, seperti Dr. Ahimsa dari UGM, dengan tujuan
merancang metodologi yang jelas untuk kajian living Qur’an dan Hadis. Hal ini
dikarenakan pada waktu itu -dan perkiraan sejumlah dosen- belum ada satu karya yang
menjelaskan metodologi living Qur’an dan Hadis. Makalah-makalah yang dipresentasikan
sejumlah dosen dalam workshop tersebut telah dibukukan setahun kemudian, dengan judul
Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis yang diterbitkan oleh penerbit Teras pada
tahun 2007. Buku ini yang sampai saat ini dipakai sebagai pedoman dalam kajian living
Quran dan hadis.
Apabila dirunut dalam sejarah, praktik memperlakukan al-Qur’an dalam
kehidupan masyarakat sudah banyak dilakukan. Pada bagian atau lapisan masyarakat
tertentu kebermaknaan al-Qur’an sudah ada dalam ranah praksis sejak al-Qur’an
diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Ketika Nabi
Muhammad masih hidup, semua perilaku umat Islam dibimbing oleh Nabi Muhammad
sendiri menggunakan wahyu Allah yang berupa al-Qur’an. Lihat saja ketika sahabat

1
Data ini didapatkan dari hasil diskusi dengan para akademisi yang awal mewacanakan kajian living
Qur’an dan juga diterbitkannya buku M. Masur, dkk, Metodelogi Penelitian Living Qur’an dan Hadis,
(Yogyakarta: Teras, 2007).
menyembuhkan orang sakit dengan bacaan surat al-Fatihah, kemudian sahabat
mengklarifikasikan kepada nabi, nabi pun tidak melarang perbuatan tersebut.2

Dengan berjalannya fungsi al-Qur’an pada masa nabi tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa ada fungsi lain dari al-Qur’an di luar fungsi teksnya. Karena, apabila
dilihat dari isi surat al-Fatihah misalnya, ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan
penyembuhan suatu penyakit. Oleh karena itu, fenomena ini merupakan fenomena fungsi
al-Qur’an di luar fungsi tekstualnya atau semantisnya.3 Ini merupakan suatu bentuk
konsekuensi lahirnya teks normatif (al-Qur’an) dengan realitas waktu dan lokal budaya
masyarakatnya.

Hal ini karena apa yang dilakukan oleh Nabi ketika itu pasti akan terus bergulir
terus sampai ke generasi-generasi selanjutnya. Apalagi ketika al-Qur’an masuk dalam
ruang di mana ada kesenjangan antara al-Qur’an dengan local wisdom masyarakat tertentu,
maka akan terjadi perkembangan dalam perlakuannya. Misalnya, masyarakat yang bahasa
dasarnya bukan bahasa Arab, maka peluang untuk memperlakukan makna ayat-al-Qur’an
akan lebih besar daripada ketika al-Qur’an masih berada dalam ruang masyarakat Arab.4
Analisis-analisis dari hal tersebutlah yang menyebabkan munculnya anggapan bahwa ada
praktek memfungsikan al-Qur’an di luar ruang tekstualnya. Praktek pemaknaan al-Qur’an
tidak hanya mengacu pada pemahaman atas pesan tekstualnya, tetapi berlandaskan
anggapan bahwa adanya fadilah dari bagian-bagian tertentu dari al-Qur’an bagi keseharian
masyarakat.

Ada istilah dirasat ma fi an-nass dan ma haula nass yang berkembang dalam studi
sastra turut juga berkembang dalam studi Qur’an.5 Penelitian living Qur’an awalnya
disebut sebagai perkembangan terhadap teori Amin al-Khulli tentang dirasat ma haula
nass atau disebut dengan studi tentang sesuatu yang ada di sekitar teks al-Qur’an. Kajian
tentang asbabun nuzul merupakan akar awal para sarjana studi Qur’an mempunyai
gagasan bahwa al-Qur’an tidak lepas dari konteks masyarakat. Dari hubungan antara dua
hal ini yang melatar belakangi munculnya gagasan dalam perkembangan kajian studi
Qur’an.

2
Riwayat Abi Said al-Khudry ketika ada sahabat yang diminta menyembuhkan kepala suku yang sakit
terkena sengatan kalajengking.
3
M. Mansur, dkk, Metodelogi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, hlm. 3.
4
M. Masur, dkk, Metodelogi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, hlm. 4.
5
Amin al-Khulli, Mana>hij Tajdi>d fi al-Nahw wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al-Adab, (Mesir:
Dar al-Ma’rifah, 1961), hlm. 310-313.
Dengan adanya semangat perkembangan zaman yang semakin jauh dari turunnya
teks al-Qur’an dan wilayah di luar komunitas al-Qur’an diturunkan, maka ada pula banyak
bentuk respon masyarakat muslim dalam memahami al-Qur’an. Salah satu bentuk respon
masyarakat adalah resepsi terhadap teks tertentu dan hasil dari penafsiran tertentu6.
Resepsi ini bisa disebut sebagai resepsi sosial. Resepsi sosial terhadap al-Qur’an dapat
ditemui dalam kehidupan sehari-hari, seperti tradisi bacaan ayat tertentu dalam suatu
seremoni (upacara). Fenomena sosial ini yang melatarbelakangi para sarjana muslim
mengembangkan kajian studi Qur’an bukan hanya kajian teks, melainkan juga kajian
lapangan.

Sebenarnya penelitian living Qur’an adalah fenomena qur’an in everyday life yang
berarti makna dan fungsi al-Qur’an dipahami dan dialami masyarakat menjadi objek baru
dalam studi Qur’an. Embrio studi ini sudah ada sejak Islam datang, akan tetapi ulama pada
era klasik belum mengenal pendekatan sosial yang notabene produk keilmuan sarjana
Barat.7 Sehingga, dimensi sosial-budaya tidak memiliki porsi besar dalam obyek kajian
studi Qur’an.

Pemerhati kajian di luar teks al-Qur’an itu awalnya adalah para sarjana Barat. Bagi
mereka, banyak hal yang menarik di tengah kehidupan umat Islam yang berbentuk
fenomena sosial. Tokoh-tokoh seperti Neal Robinson8, Farid Essack9, dan para peminat
kajian sosial lainnya. Farid Essac mengeksplorasi pengalaman masyarakat terhadap al-
Qur’an di lingkungannya. Sama halnya dengan Taha Husein dalam mempelajari al-Qur’an
di Mesir mengenai komunitas muslim Anak di Benua India tentang memposisikan al-
Qur’an dalam kehidupan kesehariannya.

Beberapa karya-karya sarjana al-Qur’an terkemuka yang membahas Qur’an as


living phenomenon yang bisa dirujuk sebagai dasar kajian. Di antaranya adalah
Discovering The Qur’an: A Contemporary Approaches to A Veiled Text (1996) karya Neil
Robinson, The Art of Reciting the Qur’an (2001) karya Kristena Nelson, The Qur’an: Man
and God Communication (2000) dan Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistics

6
Mahmoud M. Ayoub, The Quran and Its Interpreters, vol. 1 (Albany: State University of New York
Press, 1984), hlm. 23.
7
Sarjana Barat membagi kajian al-Qur’an menjadi tiga: Kajian teks atau exegesis, History of
Interretations dan The Role of the Recitation. Lihat N.K. Singh A.R Agwan, Encyclopaedia of the Qur’an, (India:
Global Vision Publishing House, 2002), hlm. 1563.
8
Neal Robinson, Discovering the Qur’an: A Contemporary Approach to A Vailed Text, (Georgetown
University Press, 2003).
9
Farid Esack, The Qur’an: a User’s Guide, (Oxford: Oneworld Publication. 2005), hlm. 2-3.
Hermeneutics karya Nasr Hamid Abu Zaid (d. 2010), The Qur’an a User’s Guide (2006)
karya Farid Esack, The Qur’an an Introduction (2007) karya Abdullah Saeed, Women,
the Recited Qur’an and Islamic Music in Indonesia (2010) karya Anne K Rasmussen,
Perfection Makes Practice (2010) karya Anna M. Gade dan sebagainya.10

Kajian ini bukan mengenai klaim benar salah atau mana hitam mana putih. Tidak
ada tendensi keagamaan yang menyebabkan adanya ortodoksi beragama yang
mengakibatkan adanya kematian dalam memahami al-Qur’an. Kajian baru ini menjadikan
masyarakat yang mempraktekkan teks al-Qur’an atau makna dari al-Qur’an untuk
mengetahui kearifan dari masing-masing masyarakat yang melakukannya. Oleh karena itu,
objek kajian baru ini menjadi fokus dari para sarjana kontemporer dalam bidang studi
Qur’an.

Kajian living Qur’an merupakan bentuk apropriasi, yakni pertemuan antara teks
dan tradisi masyarakat. William Graham pernah mengatakan bahwa sifat dasar kitab suci
adalah relasional. Secara sosiologis, kitab suci menjadi suci ketika ada orang yang
menghadirkan teks tersebut menjadi suci. Al-Qur’an itu multi-interpreted dan tidak hanya
bermakna tunggal. Atas landasan inilah, kajian living Qur’an menjadi penting untuk dikaji.

B. Definisi Living Qur’an

Dalam pengantar buku Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, Sahiron
Syamsuddin membagi genre penelitian al-Qur’an menjadi empat: Pertama, penelitian
yang menempatkan teks al-Qur’an sebagai objek kajian. Kedua, penelitian yang

10
Untuk artikel di jurnal, mungkin kita bisa baca misalnya Anna M. Gade, “Taste, Talent, and the
Problem of Internalization: A Qur’anic Study in Religious Musicaliy from Southeast Asia” dalam History of
Religions, Vol. 41, No. 4, (May, 2002); Charles Hirschkind, “The Ethics of Listening: Cassette-Sermon Audition
in Contemporary Egypt” dalam American Ethnologist, Vol. 28, No. 3 (Aug., 2001); Thomas Hoffmann, “Ritual
Poeticity in the Qur'an: Family Resemblances, Features, Functions and Appraisals” dalam Journal of Qur'anic
Studies, Vol. 6, No. 2 (2004); Lois al Fārūqī, “Qur'ān Reciters in Competition in Kuala Lumpur” dalam
Ethnomusicology, Vol. 31, No. 2 (Spring - Summer, 1987); dan Lois Ibsen al Faruqi, “The Cantillation of the
Qur'an” dalam Asian Music, Vol. 19, No. 1 (Autumn - Winter, 1987); Janne Dammen McAuliffe, “The Persistent
Power of the Qur’an”,, dalam Proceedings of the American Philosophical Society, Vol. 147, No. 4 (Dec., 2003);
Anna. M. Gade ‘Recitation’ dalam The Blackwell Companion to the Qur’an, Andrew Rippin (ed). (USA:
Balckwell Publishing, 2006); Nasr Hamid Abu Zaid, “Qur’an in Everyday Life” dalam Encyclopaedia of the
Qur’an, Janne Dammen McAuliffe (ed.) (Leiden: Brill, 2001); Frederick M. Denny “Qur’an Recitation: A
Tradition of Oral Performance and Transmission” dalam Oral Tradition, 4/1-2 (1989): 5-26; Kristina Nelson,
“Reciter and Listener: Some Factors Shaping the Mujawwad Style of Qur'anic Reciting” dalam Ethnomusicology,
Vol. 26, No. 1, 25th Anniversary Issue (Jan., 1982); Anne K. Rasmussen, The Qur'ân in Indonesian Daily Life:
The Public Project of Musical Oratory” dalam Ethnomusicology, Vol. 45, No. 1 (Winter, 2001).Untuk karya-
karya sarjana al-Qur’an Indonesia, selain yang penulis sebut di awal, di antaranya adalah Islah Gusmian, Al-
Qur’an Surat Cinta Sang Kekasih (Yogyakarta: Galangpress, 2005); Emha Ainun Nadjib, ‘Kitab Suci’ dalam
Indonesia Bagian dari Desa Saya, (Yogyakarta: SIPRESS, 1992).
menempatkan hal-hal di luar teks al-Qur’an, namun berkaitan erat dengan
‘kemunculannya’, sebagai objek kajian (Dirasat Ma Haula al-Qur’an). Ketiga, penelitian
yang menjadikan pemahaman terhadap teks al-Qur’an sebagai objek kajian. Keempat,
penelitian yang memberikan perhatian pada respon masyarakat terhadap teks al-Qur’an
dan hasil penafsiran seseorang. Termasuk dalam pengertian ‘respon masyarakat’ adalah
resepsi mereka terhadap teks tertentu dan hasil penafsiran tertentu. Resepsi sosial terhadap
al-Qur’an dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari, seperti tradisi bacaan surat atau
ayat tertentu pada acara atau seremoni sosial keagamaaan tertentu. Teks al-Qur’an yang
‘hidup’ di masyarakat itulah yang disebut dengan the Living Qur’an.11
Jadi yang dibidik dalam kajian living Qur’an adalah fenomena di mana al-Qur’an
‘hidup’ dalam masyarakat. Apa itu fenomena? Yezdullah Kazmi dalam The Qur’an as
Event and Phenomenon, menjelaskan bahwa event itu sesuatu yang terjadi sekali dalam
sejarah dan tidak akan berulang lagi. Perang, seperti perang dunia I dan II adalah event.
Masing-masing perang memiliki keunikannya sendiri dan unrepeatable event. Sedangkan
fenomena adalah sesuatu yang terbuka di dalam waktu/periode di mana event itu terjadi,
yang menandai keunikan sebuah peristiwa sehingga ia membentuk sesuatu yang khusus.
Perang dunia I adalah event atau peristiwa, namun perangnya sendiri disebut fenomena.
Musabaqah Tilawatil Qur’an adalah event. Namun isi dari event MTQ itu fenomena. Jadi
fenomena adalah isi dari event. Tanpa adanya event, fenomena tidak ada.12
Jadi, istilah living Qur’an itu sebenarnya ingin mengungkapkan fenomena (isi
sebuah kejadian) yang bersinggungan dengan al-Qur’an atau—kalau boleh disebut Living
Fenomenon of Qur’an (fenomena-fenomena yang terkait dengan al-Qur’an yang hidup
[dalam masyarakat]. Nasr Hamid Abu Zayd (w. 2010) menyebutnya The Qur’an as a
living phenomenon, al-Qur’an itu seperti musik yang dimainkan oleh para pemain musik,
sedangkan teks tertulisnya (mushaf) itu seperti note musik (ia diam).13
Kajian-kajian tentang fenomena-fenomena sosial dan budaya yang bersinggungan
dengan al-Qur’an terhitung masih jarang—untuk mengatakan tidak ada sama sekali.
Mengapa? Mungkin ada anggapan bahwa fenomena-fenomena tersebut bukanlah
termasuk dalam ruang lingkup kajian al-Qur’an atau tafsir, melainkan sosiologi,

11
Sahiron Syamsuddin, “Ranah-ranah Penelitian dalam Studi al-Qur’an dan Hadis” dalam Metodologi
Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2007), h. xii-xiv
12
Yezdullah Kazmi, “The Qur’an as Event and Phenomenon” dalam Islamic Studies, Vol. 41. No. 2
(Summer 2002), hlm. 193.
13
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Toward a Humanistic Hermeneutics, (Amsterdam:
SWP Publisher, 2004), hlm. 13.
antropologi atau cultural studies. Atau, mungkin juga anggapan bahwa fenomena-
fenomena tertentu, seperti penggunaan teks al-Qur’an sebagai jimat atau obat, pembacaan
surah-surah tertentu dalam kondisi tertentu dianggap bid’ah.14 Hal senada diungkapkan
oleh Anna M. Gade bahwa fenomena Qur’anic Healing, penyembuhan melalui praktik-
praktik Qur’ani tradisional selalu menjadi perdebatan dalam wacana kontemporer.
Mengapa? Pertama, karena praktik-praktik tersebut dianggap bid’ah (innovation) yang
dianggap menyimpang dari ajaran murni Islam, meskipun praktik seperti ini sudah
diperkenalkan sejak dulu (masa Nabi Muhammad SAW.). Kedua, praktik semacam ini
dianggap sebagai tradisi-tradisi takhayul masa lampau, yang sudah tidak memiliki tempat
lagi di zaman kebangkitan Islam atau dunia pengobatan modern.15

Dengan demikian, kajian baru bertujuan agar kajian-kajian Qur’an as living


phenomenon ini diakui secara akademis sebagai wilayah kajian studi al-Qur’an dan apapun
praktik-praktik baik yang dilakukan oleh umat Islam terhadap al-Qur’an tidak buru-buru
dicap bid’ah. Sebab setiap praktik memiliki alasan dan alur pikirnya sendiri dan ada
presedennya (apabila mau dicari).
Fenomena al-Qur’an menempatkan kajian Qur’an secara sosio-antropologis yang
sinkronik bukan teologis. Fenomena al-Qur’an di masyarakat itu selalu berubah dan
berbeda di setiap tempat dan waktu tertentu. Kajian ini disebut living, karena orang-orang
bertemu sesuatu atau merespon hadirnya Qur’an dalam kehidupannya dalam bentuk yang
selalu berubah dan berbeda.
Secara ontologis, kajian living Qur’an berpusat pada manusia sebagai penerima
teks. Personal atau masyarakat menerima teks dengan adanya proses resepsi dalam dirinya.
Setiap penerimaan teks pasti terjadi secara unik, selalu berubah, dan juga dinamis, serta
kontekstual.
Lihat saja contoh penerimaan surat al-Ikhlas. Pada masa konteks pewahyuan, surat
al-Ikhlas turun ketika nabi diminta orang-orang Quraisy untuk menunjukkan mengenai
Tuhan Muhammad, dan Nabi pun menjawab definisi Tuhan dengan surat al-Ikhlas
tersebut. Kemudian, dalam berjalannya waktu ketika Nabi Muhamamd berada di Madinah,
ada sahabat yang lapor kepada Nabi. Sahabat tersebut lapor tentang ada seorang sahabat
lain yang dalam sholatnya selalu membaca surat al-Ikhlas. Nabi pun menanyakan langsung
kepada sahabat yang bersangkutan, jawaban dari sahabat tersebut adalah ‫ اﺣﺐ ﺣﺒﺎ ﺷﺪﯾﺪا‬.

14
Hamam Faizin, “Living Qur’an: Sebuah Tawaran” dalam Jawa Pos, 10 Januari 2005 .
15
Anna M. Gade The Qur’an: an Introduction, (England Oneworld Publication, 2010), hlm. 183
Menurut sahabat tersebut bahwa surat al-Ikhlas menerangkan tentang sifat-sifat Allah.
Makna itu yang membuatnya senang melafadzkan surat al-Ikhlas. Mendengar cerita
seperti itu, Nabi menjawab dengan kalimat ‫ﺣﺒﻚ اﯾﮭﺎ ادﺧﻞ اﻟﺠﻨﺔ‬. Selain itu, Nabi pun pernah
berkata bahwa surat al-Ikhlas sama halnya dengan membaca sepertiga dari al-Qur’an.
Surat al-Ikhlas ketika ada di ruang saat ini, surat al-Ikhlas bukan lagi berfikir makna dan
konteks pewahyuan masa lalu, namun surat al-Ikhlas sebanyak 3 kali dibaca ketika
mengkhatamkan al-Qur’an.
Fenomena-fenomena al-Qur’an yang berlandaskan surat yang sama namun
bentuknya selalu berubah dan unik di setiap waktu dan tempat. Inilah objek kajian living
Qur’an. Karena pada dasar substantifnya, al-Qur’an fungsinya adalah sebagai petunjuk
(‫)ھﺪى‬. Dari makna substantif inilah, maka orang membaca atau merespon al-Qur’an juga
berbeda-beda

C. Fenomena al-Qur’an pada Masa Nabi

Al-Qur’an diturunkan pada abad ke-7 Masehi. Pada saat itu pula, al-Qur’an sudah
mengalami proses resepsi. Resepsi adalah suatu respon atau penerimaan seseorang
terhadap sesuatu. Sehinggaa, resepsi al-Qur’an adalah adanya hubungan timbal balik
antara menerima dan bereaksi terhadap al-Qur’an dengan cara menerima, merespon,
memanfaatkan, atau menggunakannya baik sebagai teks sintaksis ataupun sebagai suatu
kanon atau susunan kata dari al-Qur’an yang memiliki makna tertentu. Hal seperti ini
sudah ada sejak nabi masih ada ketika itu.

Praktik resepsi al-Qur’an pada masa nabi dapat dilihat dari bagaimana nabi
menggunakan ayat-ayat al-Qur’an baik secara makna kebahasaannya atau secara fungsi
dari kemukjizatan al-Qur’an. Nabi mempraktekkan keajaiban al-Qur’an yang mempunyai
fadilah tertentu untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada saat itu. Lihat saja
nabi menggunakan al-Qur’an untuk bentuk tujuan praksis, bukan dalam bentuk
menafsirkan atau menjelaskan dengan ilmu kebahasaan. Praktek-praktek yang dilakukan
Nabi dalam menginternalisasikan al-Qur’an dalam segala hal di kehidupan kesehariannya
dapat dilihat dari hadis-hadis Nabi. Dalam kitab-kitab hadis nabi, seperti Shahih Bukhari,
ad-Darimi, maupun kitab hadis lainnya pasti ada bab tentang fadhailul Qur’an.

Bukti yang bisa dilihat sampai sekarang jika pada masa Nabi sudah terjadi proses
resepsi al-Qur’an dalam kehidupan para sahabat. Beberapa buktinya bisa dilihat dalam
kitab karya Imam al-Nawawi yang berjudul al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an,
Khazinatul Asror, dan lainnya. Suatu kitab yang membahas mengenai etika terhadap al-
Qur’an. Salah satu isi kitab tersebut adalah adanya sejumlah sahabat yang melewati suatu
kaum di perjalanan. Ada sahabat yang membantu mengobati salah satu rombongan yang
sedang sakit tersebut dengan membacakan surat al-Fatihah sebanyak tujuh kali. Setelah
itu, orang yang menyembuhkan tersebut menghadap kepada Nabi, dan Nabi balik bertanya
kepadanya, “apa yang membuatmu menyadari bahwa itu tadi merupakan suatu ruqyah ?.16
ini salah satu contoh living Qur’an yang ada pada masa Nabi ketika itu.

Selain peristiwa yang di atas, ada pula peristiwa lain yang terjadi pada masa Nabi.
Misalnya gambaran tentang aturan umum persiapan ketika akan membaca al-Qur’an,
seperti bersiwak, bewudhu, tayammum, mencari tempat yang bersih (di masjid), dan
menghadap ke kiblat. Seorang sahabat yang akan menyentuh mushaf al-Qur’an harus
dalam keadaan suci dan mushaf tersebut di tempatkan lebih tinggi dari poisisi seseorang.
Ini merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap al-Qur’an. Inilah yang disebut
dengan William Graham bahwa kitab suci itu suci bukan hanya karena kitab suci memang
suci secara teologis, namun ada orang yang mensucikannya.

Untuk memahami mengenai peristiwa apa saja yang terjadi pada masa nabi
mengenai fungionalisasi al-Qur’an, karya al-Nawawi ini sangatlah lengkap untuk
dijadikan rujukan. Banyak contoh-contoh praktik di zaman Nabi yang masih melestari
hingga sekarang. Namun, pembahasan-pembahasan seperti ini tidaklah tersentuh dalam
tema umum dalam studi Qur’an, khususnya mengenai pembahasan historisitas atau sejarah
al-Qur’an.

D. Pertautan antara Teks dan Budaya dalam Islam

16
‫ ﻓَﺄ َْﺳﻠََﻢ ﺛ ُﱠﻢ أ َْﻗﺒََﻞ َراِﺟﻌًﺎ ِﻣْﻦ ِﻋْﻨِﺪِه ﻓََﻤﱠﺮ َﻋﻠَﻰ ﻗَْﻮٍم‬-‫ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬- œ ِ ‫ﺳﻮَل ﱠ‬ ُ ‫ﻰ َﻋْﻦ َﻋِّﻤِﮫ أ َﻧﱠﮫُ أ َﺗ َﻰ َر‬ ّ ِ ‫ﺖ اﻟﺘ ﱠِﻤﯿِﻤ‬ ِ ‫ﺼْﻠ‬ ‫َﻋْﻦ َﺧﺎِرَﺟﺔَ ْﺑِﻦ اﻟ ﱠ‬
َ‫ﻄﻮِﻧﻰ ِﻣﺎﺋ َﺔ‬ُ ‫ب ﻓَﺒََﺮأ َ ﻓَﺄ َْﻋ‬
ِ ‫ﺎ‬َ ‫ﺘ‬‫ﻜ‬ِ ْ
‫ﻟ‬ ‫ا‬ ‫ﺔ‬
ِ ‫ﺤ‬‫ﺗ‬
ِ
َ ِ‫ﺎ‬َ ‫ﻔ‬‫ﺑ‬ ُ ‫ﮫ‬ ُ ‫ﺘ‬‫ﯿ‬ْ َ ‫ﻗ‬‫ﺮ‬َ َ ‫ﻓ‬ ‫ﮫ‬
ِ ‫ﯾ‬‫و‬ ‫ا‬َ ‫ﺪ‬
ِ ٌ ُْ ‫ﺗ‬ ‫ء‬‫ﻰ‬‫ﺷ‬َ ‫ك‬َ َ ‫ﺪ‬‫ﻨ‬ْ ‫ﻋ‬
ِ ْ
‫ﻞ‬ ‫ﮭ‬َ ‫ﻓ‬ ‫ﺮ‬
َ ٍ ِ َ َ‫ﯿ‬
ْ َ
‫ﺨ‬ ‫ﺑ‬ ‫ء‬ ‫ﺎ‬‫ﺟ‬ ْ
‫ﺪ‬ َ ‫ﻗ‬ ‫ا‬َ ‫ﺬ‬‫ھ‬َ ‫ﻢ‬‫ﻜ‬ُ ‫ﺒ‬
ْ َ َ‫ﺣ‬ِ ‫ﺎ‬ ‫ﺻ‬ ‫ﱠ‬
‫ن‬ َ ‫أ‬ ‫ﺎ‬َ ‫ﻨ‬ ْ ‫ﺛ‬ّ ‫ﺪ‬
ِ ‫ﺣ‬
ُ ‫ﺎ‬‫ﱠ‬ ‫ﻧ‬‫إ‬ِ ُ ‫ﮫ‬ُ ‫ﻠ‬‫ھ‬ْ َ ‫أ‬ ‫ل‬
َ ‫ﺎ‬ َ ‫ﻘ‬َ ‫ﻓ‬ ‫ﺪ‬
ِ ‫ﯾ‬‫ﺪ‬ ِ ‫ﺤ‬ ْ
‫ﻟ‬
َ ِ ‫ﺎ‬‫ﺑ‬ ٌ
‫ﻖ‬ َ ‫ﺛ‬ ‫ﻮ‬‫ﻣ‬ُ ‫ِﻋْﻨﺪَُھْﻢ َرُﺟٌﻞ َﻣْﺠﻨُﻮٌن‬
‫ ﻗَﺎَل » ُﺧْﺬَھﺎ‬.َ‫ﺖ ﻻ‬ ُ ‫ ﻗُْﻠ‬.« ‫ﺖ َﻏْﯿَﺮ َھﺬَا‬ َ ‫ﺿٍﻊ آَﺧَﺮ » َھْﻞ ﻗُْﻠ‬ ِ ‫ﺴﺪﱠدٌ ِﻓﻰ َﻣْﻮ‬ َ ‫ َوﻗَﺎَل ُﻣ‬.« ‫ ﻓَﺄ َْﺧﺒَْﺮﺗ ُﮫُ ﻓَﻘَﺎَل » َھْﻞ ِإﻻﱠ َھﺬَا‬-‫ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬- œ ِ ‫ﺳﻮَل ﱠ‬ُ ‫ﺖ َر‬ ُ ‫ﺷﺎٍة ﻓَﺄ َﺗ َْﯿ‬
َ
ٍ ّ ‫ﺖ ِﺑُﺮْﻗﯿَِﺔ َﺣ‬
‫ﻖ‬ َ ‫» ﻓَﻠَﻌَْﻤِﺮى ﻟََﻤْﻦ أ ََﻛَﻞ ِﺑُﺮْﻗﯿَِﺔ ﺑَﺎِطٍﻞ ﻟَﻘَْﺪ أ ََﻛْﻠ‬.

Dari Kharijah bin Shalt at Tamimi dari pamannya, dia datang ke Madinah untuk menemui Rasulullah
lantas masuk Islam. Saat hendak pulang dari Madinah menuju kampung halamannya beliau melewati suatu
perkampungan. Di kampung tersebut terdapat orang gila yang dipasung dengan besi. Salah satu keluarga orang
gila tersebut berkata kepada pamanku, “Kami dapat kabar bahwa nabimu mengajarkan kebaikan. Apakah anda
memiliki sesuatu untuk mengobatinya?”. Pamanku lantas me-ruqyahnya dengan hanya membacakan surat
alfatihah. Setelah diruqyah orang tersebut sembuh seketika. Mereka pun memberiku seratus ekor kambing.
Akhirnya kudatangi Nabi dan kuceritakan apa yang telah terjadi. Beliau merespon dengan bertanya, “Apakah
engkau hanya meruqyah dengan membacakan surat alfatihah?” “Tidak ada yang lain”, jawabku. Sabda Nabi,
“Ambillah seratus ekor kambing tersebut sungguh engkau termasuk mendapat upah dengan ruqyah yang benar,
bukan dengan ruqyah yang batil” [HR Abu Daud, hasan].
Adanya teks al-Qur’an yang dikanonisasi sampai kepada umat Islam sampai
sekarang. Kanonisasi al-Qur’an adalah kodifikasi mushaf sebagai satu satunya sumber
ajaran Islam yang tertinggi. Apabila melihat terhadap posisi al-Qur’an pada masa awal,
sebenarnya tidak tergantung terhadap teks tertulis, akan tetapi lisan. Periwayatan al-Qur’an
bertumpu pada transmisi lisan. Tradisi oral ini berkembang kepada tradisi tulis. Dari
situlah terwujudnya bentuk kanonisasi al-Qur’an.

Mengkaji al-Qur’an bukan hanya mengkaji teks tertulis, akan tetapi akan membaca
masyarakat di mana al-Qur’an dibaca, ditafsirkan, dipraktikkan, dan juga dipergunakan
untuk berbagai tujuan, dari tujuan yang bersifat religius dan juga yang besifat duniawi.
Sehingga, antara teks dan fenomena budaya serta sosio-historis mempunyai posisi yang
sangat bertautan satu sama lain.

Untuk memahami resepsi yang sedang terjadi pada masyarakat terhadap al-Qur’an,
tidak akan selesai apabila memandang bahwa al-Qur’an hanya sebuah teks. Akan tetapi,
harus memandang bahwa al-Qur’an juga merupakan suatu produk budaya. Al-Qur’an
hidup di tengah masyarakat yang berbudaya. Ruang teks dan ruang budaya berjalan secara
beriringan ketika memahami bahwa al-Qur’an sebagai suatu kanon yang hidup di setiap
langkah kehidupan umat Islam.

Komponen-komponen al-Qur’an sangat mempengaruhi dalam ruang sosial


budaya. Budaya itu keseluruhan perilaku manusia yang disadarinya, yaitu belajar dari
orang lain. Sehingga, budaya itu berbagai macam bentuknya, baik teks, pengetahuan, seni,
hukum, moral, custom. Segala capaian yang diinginkan itu ada dalam masyarakat dan
manusia ada di dalamnya. Sehingga, antara manusia, budaya, dan konteks sosial itu saling
bersinggungan satu sama lain dan tidak bisa terpisahkan.

Ada beberapa unsur dalam budaya, yakni sistem religi, organisasi masyarakat,
pengetahuan, pencaharian hidup masyarakat, teknologi, bahasa, dan juga kesenian.
Keterkaitannya dengan sistem religi, maka memperlihatkan bahwa sistem religi itu adalah
unsur dasar terbentuknya suatu kebudayaan. Sehingga, capaian intelektual manusia
terhadap al-Qur’an akan membentuk sistem budaya yang berupa cara pandang yang
terwujud dalam setiap tingkah laku dalam kehidupan kesehariannya.
Dalam tulisannya Robert Redfield dikatakan bahwa ada dua bentuk tradisi dalam
agama, yakni tradisi besar dan tradisi kecil.17 Tradisi besar (great tradition) merupakan
bentuk ortodoksi dari ekspresi agama atau budaya yang seringkali biasanya berbentuk
tekstual. Sementara tradisi kecil (little tradition) merupakan bentuk heterodoksi dari
budaya/agama pinggiran. Sifat dari bentuk beragama ini adalah memasukkan praktik-
praktik dari tradisi lokal ke dalam agama. Banyak orang menyebutnya sebagai tradisi lokal
atau agama popular. Di mana bentuk tradisi yang menggabungkan budaya dengan teks
agama ini jarang dilakukan untuk penelitian oleh para peneliti etnografi.

Bentuk dan model tradisi ini ada di tengah masyarakat. Lihat saja di suatu daerah
ada seorang ulama, namun selain ulama pasti masih ada ‘dukun’ yang tidak bisa
dinegasikan dari lingkungan daerah tersebut. Dari hal ini, dapat diketahui bahwa cara
beragama masyarakat tidak hanya bergantung pada sisi tekstual, akan tetapi juga akan
bersinggungan dengan tradisi atau budaya. Ada proses universalisasi dalam penerjemahan
simbol-simbol teks dalam Islam yang diekspresikan melalui diksi atau tindakan yang
memiliki makna dalam budaya lokal.18 Misalnya teks al-Qur’an yang berbicara tentang
shodaqah. Ajaran agama ini diekspresikan oleh masyarakat muslim Indonesia ke dalam
tradisi selametan19. Dengan demikian, teori Robert Redfield antara tradisi besar dan tradisi
kecil keduanya merupakan komunikasi yang kompleks.

Dengan demikian, teks tidak saja berperan sebagai simbol, akan tetapi sebagai
representasi yang menghubungkan antar komunitas muslim. Penyampaian teks secara
kontinyu di suatu komunitas berfungsi untuk menjawab persoalan dari masyarakat yang
menjadi objek dari teks. Bukan karena teks itu membangun kerangka berfikir, akan tetapi
otoritas dari teks itu juga dibantu oleh religious reader, cultural broker dalam suatu
komunitas muslim untuk sama sama merasakan kebenaran dari Tuhan melalui teks.

17
Robert Redfield, Peasant Society and Culture, (US: Chicago University Press, 1956).
18
Ronald A. Lukens-Bull, “Between Text and Practice: Considerations in the Anthropological Study of
Islam”. Journal of Religious Studies, Philips Marbourg University, Vol. 4, No. 2, Desember 1999, hlm. 2.
19
Saifuddin Zuhri dan Subkhani Kusuma Dewi, Living Hadis: Praktik, Resepsi, Teks, dan Transmisi,
(Yogyakarta: Q-Media, 2018), hlm. 32.

Anda mungkin juga menyukai