Dosen Pengampu
Bahrudin Zamawi. M.Th.I
Pemakalah;
Ilham Dima
Harfin
20171700334007
B. Rumusan Masalah
1. Semantik dan Metode Penafsiran Klasik
2. Posisi semantik dalam penafsiran Al-Qur’an
3. Urgensi Semantik dalam Penafsiran Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A. Prinsip Tafsir klasik
Dalam dunia penafsiran klasik, prinsip-prinsip yang dipakai dalam
penafsiran era tersebut terdapat dalam beberapa era, yaitu, Tafsir Era
Rasulullah, Tafsir era Sahabat, dan Tafsir Era Tabi’in. Berikut beberapa
prinsip yang tertuang pada masing-masing era tersebut.
a) Tafsir Era Rasulullah
Dalam tafsir klasik condong untuk memegang prinsip untuk
menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan hadits dan riwayat yang berasal
dari para sahabat dan Tabi’in setelahnya. Otoritas Nabi Muhammad
SAW sebagai penerima wahyu serta pemahamannya tentu tidak
dapat disangkal lagi. Pada setiap kesempatan, apabila Nabi
mengalami kesulitan dalam menangkap pesan, beliau senantiasa
langsung berkomunikasi dan menanyakan langsung kepada Allah
Swt. dalam konteks ini pula, nabi mendapatkan otoritas langsung
dari Allah dalam hal menjaga dan menjelaskan makna Al-Qur’an
kepada umat manusia sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-
Qur’an.1
1
Baca, Hadi Mutamam, Kontribusi dan Kritik Tafsir Kontemporer (Al-Fikr. Volume 17. No. 1,
Tahun 2013) Hlm 154
2
Muhammad Ali Mustofa Kamal, Pembacaan Epistemologi Ilmu Tafsir Klasik (Jurnal, Maghza
Vol.1, No.1, Januari-Juni, 2016) Hlm 73
b) Perbedaan dalam pemahaman makna diantara mereka relatif
sedikit.
c) Mereka mayoritas merasa cukup atas makna-makna yang global
dan tidak selalu mendalami makna secara terperinci.
d) Mereka membatasi dan mencukupkan diri dengan penjelasan
makna bahasa yang mereka pahami, dengan bahasa yang lebih
ringkas.
e) Sedikit sekali penalaran ilmiah yang mereka lakukan dalam
masalah hukum-hukum fikih dan tidak ada motif kefanatikan
terhadap mazhab-mazhab agama, karena belum ada istilah
mazhab pada masa ini.
f) Tafsir pada masa ini belum sampai ke taraf pembukuan.
g) Pada masa ini tafsir masih berbentuk riwayat seperti halnya
hadits.
3
Nurwadjah Ahmad, Metodologi Tafsir Al-Qur’an; Strukturalisme, Semantik, Semiotik, &
Hermeneutik, (Bandung, CV. Pustaka Setia, Cet,1 November 2013) Hlm 37
Sulayman (w.767) dalam Tafsir Al-Qur’an. Misalnya, terkait
Q.S. Al-Baqarah: 189, “mereka bertanya kepadamu
(Muhammad) tentang bulan sabit...” Muqatil menjelaskan
sedetail mungkin tentang siapa yang bertanya, mengapa ia (atau
mereka) bertanya, apa yang mereka tanyakan, dimana dan kapan
pertanyaan itu muncul, dan seterusnya.
2) Tafsir legal (halkhic exegesis), tafsir ini berisi materi legal
(hukum) Al-Qur’an seperti dalam karya Muqatil yang lain dalam
Tafsir Khams Mi’ah min Al-Qur’an, yang berisi topik-topik
keimanan, peribadatan, kasih sayang, puasa, haji, pewarisan,
riba, alkohol, perkawinan, perceraian, pencurian, utang-piutang,
dan lain-lain.
3) Tafsir tekstual (mosoretic exegesis). Tafsir ini berusaha untuk
menjelaskan teks Al-Qur’an dengan merujuk pada aspek-aspek
leksikon.
4) Tafsir retorik (rhetorical exegesis). Di sini, perhatian dipusatkan
pada nilai sastra Al-Qur’an, seperti Majaz Al-Qur’ȃn karya Abu
‘Ubaidah (w.824).
5) Tafsir Alegoris (allegorical exegesis), yaitu jenis tafsir yang
mengungkapkan maksud simbol Al-Qur’an, yang mengangkat
makna lahir dan batin sebuah ayat Al-Qur’an. Tafsir sufistik
karya Sahl Ats-Tsauri (w.896) mencontohkan kecenderungan ini
pada periode klasik.
4
Moh Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer. (Jakarta, Prenamedia Group
Kencana, Edisi Pertama, Tahun 2016) Hlm 5
pembicaraan mengenai kemukjizatan Al-Qur’an, c) Penyusunan al-wujuh
wa al-Nazhair dalam Al-Qur’an, d) penyusunan kamus, dan e) pemberian
harakat pada mushaf Al-Qur’an. Namun pemakaian metode tersebut masih
belum diperhatikan sehingga cenderung mengacu kepada sumber
periwayatan dan ra’yi yang sesuai dengan zamannya.
Fokus kajian semantik terkait dengan makna bahasa, baik makna
dalam arti tekstual (leksikal dan gramatikal) maupun dalam arti kontekstual
(konteks teks dan konteks sosial). Fatimah menyebutkan bahwa ruang
lingkup semantik berkisar pada pola hubungan ilmu makna dalam
linguistik. Objek semantik adalah makna yang diperoleh dari proses analisis
terhadap struktur dalam seluruh level bahasa (fonologi, morfologi, dan
sintaksis).Toshihiku Izutsu menyebutkan bahwa penelitian semantik
mencoba menguraikan kategori semantik dari sebuah kata menurut kondisi
pemakaiannya.Tarigan menyebutkan bahwa ruang lingkup semantik dapat
dibagi menjadi dua bagian. Pertama, ruang lingkup yan luas, semantik
mengkaji seluruh fenomena bahasa. Kedua, lingkup sempit. Yaitu semantik
terdiri atas dua bagian, yaitu teori referensi ( denotatif dan ekstensi) dan
teori makna (konotasi dan intensi)
Semantik lebih menitikberatkan pada bidang makna daengan
berpangkal dari acuan simbol. Semantik adalah telaah makna, ia menelaah
lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna yang satu
dengan yang lain dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh
karena itu, semantik mencakup makna-makna kata, perkembangannya, dan
perubahannya. Hal ini berbeda dengan penafsiran klasik yang
menikberatkan penafsiran pada riwayat dan akal yang diladasi oleh
sejumlah pengetahuan yang dimiliki oleh seorang mufasissir.
5
Fauzan Azima, Semantik Al-Qur’an ; Sebuah Metode Penafsiran ( Makalah, Prodi Agama dan
Filsafat, UIN Sunan Kalijaga, 2012) Hlm 11
6
Baca, Fina Fatmah, Tafsir Al-Qur’an Kontekstual; Semantik, ( Makalah, Prodi Ilmu Hadits UIN
Sunan Kalijaga, 2018) hlm.4, dikutip dari M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan,
dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Al-Qur’an , (Tangerang: Lentera Hati,
2013) hlm.35
Qur’an, maka para sahabat, termasuk Umar, bertanya kepada Ibn Abbas,
bukan kepada orang lain. Karena ibn ‘Abbas dipandang otoritatif dibidang
itu-seperti diketahui bahwa beliau di doakan oleh Nabi SAW agar diberi
kemampuan menakwil ayat Al-Qur’an yang mutasyabihat.7
Kajian semantik yang mengambil Al-Qur’an sebagai objek kajian
telah banyak ditempuh para ahli dan melahirkan sejumlah karya mengenai
hal tersebut. Amin Al-Khulli dalam Manahij Tajdid fi Al-Nahw wa Al-
Balaghah wa At-Tafsir wa Al-Adab ( 1965) dan Binth Al-Syathi dalam Al-
Tafsir Al-Bayani li Al-Qur’an Al-Karim (1966) merupakan dua orang yang
disebut-sebut oleh J.J.G. Jansen sebagai dua tokoh mufassir muslim
terkemukan yang menggunakan semantik basis tafsir Al-Qur’an. Keduanya
menerapkan prinsip kajian linguistik dalam melacak berbagai makna Al-
Qur’an, yang dilansir oleh J.J.G. Jansen telah menempuh prosedur kajian
filologi.8
Toshiku Izutsu merupakan ilmuan yang secara konsisten
menerapkan analisis semantik dalam kajian Al-Qur’an. Ia terkenal karena
trilogi monumentalnya dalam bidang Al-Qur’an yang secara konsisten
berisi analisis semantik yang ketat, tajam, dan kaya data. Dalam
hubungannya dengan Al-Qur’an, sebagaimana kata Izutsu, tujuan analisis
semantik adalah memunculkan tipe ontologi hidup yang dinamis dari Al-
Qur’an dengan penelaahan analitis dan metodologis terhadap konsep-
konsep pokok, yaitu konsep-konsep yang memainkan peran menentukan
dalam pembentukan visi Qurani terhadap alam semesta. Dengan analisis
semantik (seperti dalam penjelasan semantik yang lain) capaian makna yang
hendak dicari tidak hanya terkait dengan elemen-elemen suatu kalimat,
korelasi antarkalimat, atau berkaitan dengan perluasan figuratif dalam arti
bentuk gramatikal dan style teks Al-Qur’an, tetapi menyangkut
weltanschauung Al-Qur’an, yaitu gagasan dan pandangan dunia Al-Qur’an
yang bisa diperoleh dengan membongkar signifikansi yang implisit atau
yang disebut oleh Abu Zayd sebagai al-maskūt ‘anhu di dalam struktur
wacana atau teks. Analisis semantik mencoba mengungkapkan yang tidak
terkatakan itu.
7
Ibid, hlm 6
8
Nurwadjah Ahmad, Metodologi Tafsir Al-Qur’an; Strukturalisme, Semantik, Semiotik, &
Hermeneutik, (Bandung, CV. Pustaka Setia, Cet,1 November 2013) Hlm 239-240
dapat diklarifikasikan menjadi metodologis paradigmatis dan dan subtantif
analitis.9
1) Alasan Metodologis-Paradigmatis
Beberapa hasil kajian itu memandang bahwa semantik memberikan
postulasi-paradigmatis dalam kajian Al-Qur’an yang tidak diberikan
metode (pendekatan) lainnya. Toshihiku Izutsu, misalnya, memandang
semantik lebih menekankan Al-Qur’an untuk menafsirkan konsepnya
tersendiri dan berbicara tentang dirinya sendiri dengan memusatkan
pembahasannya untuk menganalisis struktur semantik terhadap kata-
kata yang berharga dalam Al-Qur’an.
Pada sisi lain, Izutsu juga berpandangan bahwa cara yang paling
baik dalam meneliti kata adalah mencoba menguraikan kategori
semantik sebuah kata menurut kondisi pemakaian kata tersebut, keadaan
lingkungan, dan gambaran peristiwa tertentu ketika kata tersebut
digunakan. Hanya dengan berusaha menjawab persoalan semacam itu,
makna yang benar dari sebuah kata akan ditemukan. Izutsu pun
berpandangan bahwa dalam Al-Qur’an banyak sekali contoh serupa
mengenai penggunaan kata yang sempurna. Dengan mengumpulkan
kedalam satu tempat, membanding-bandingkannya, dan memeriksa kata
tersebut dengan kata lainnya, akan diperoleh definisi dan makna asli dari
kata tersebut.
Kajian dan pandangan ini bertolak dari pemikiran bahwa Al-Qur’an
merupakan satu-kesatuan makna. Pembahasan pada satu bagian tertentu
tidak dapat dipisah-pisahkan dari bagian-bagian yang lainnya.
Disamping itu, suatu kata bisa mempunyai makna denotatif, yaitu
makna sebenarnya berdasarkan hubungan antara kata yang diacu atau
dijadikan rujukan, juga bisa mempunyai makna konotatif yaitu makna
yang timbul diluar makna sebenarnya, berdasarkan perasaan, pikiran,
atau konteks. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan tinjauan
medan semantic, komponensial semantic, kombinatorial semantic, dan
analisi hubungan antara semantic.
Dengan demikian, penggunaan semantic dalam penelitian Al-
Qur’an bertujuan untuk mengungkapkan konsepsi makna yang tepat
bagi setiap istilah atau kata dalam Al-Qur’an dengan memerhatikan
makna dasar sesuai dengan weltanschauung untuk mengurai makna
relasionalnya. Analisis semantik terhadap kata-kata dalam Al-Qur’an
akan memberikan pemaknaan yang tepat sesuai dengan teks, konteks,
dan pragmatiknya.
9
Ibid, Hlm 249
2) Alasan Substansi-Analitis
Beberapa kajian memandang bahwa analisis semantik dipergunakan
hanya untuk keperluan analisis. Alasan ini tergambar dalam berbagai
kajian yang mencantumkan tujuaan kajiannya untuk meneliti secara
mendalam (mengenai) konsep-konsep tertentu dalam Al-Qur’an serta
untuk mengetahui perbedaan arti dan makna dari keyterm dalam Al-
Qur’an. Misalnya, beberapa peneliti menyebutkan bahwa antara mitsl
dan matsl memiliki akar kata yang sama, yaitu tersusun dari mim, tsa,
dan lam. Adapun yang membedakan keduanya adalah hanyalah fathah
dan dhammah. Akan tetapi, dalam penggunaannya, keduanya memiliki
fungsi dan makna yang berbeda. Melalui penelaahan semantik, variasi
makna yang dimiliki kedua kata tersebut dapat diungkap secara objektif.
Salah satu postulasi yang terdapat dalam analisis semantik adalah
jiyadat al-lafdz tadullu’ala ziyadat al-ma’na (penambahan huruf atau
lafadz menunnjukkan makna yang berbeda).
Analisis semantik memiliki keuntungan strategis untuk memahami
variasi dan konteks makan kata dari kata-kata kunci (keyterms) dalam
Al-Qur’an. Cara yang terbaik dalam meneliti Al-Qur’an adalah
mencoba menguraikan kategori semantik. Quraish Shihab menjelaskan
mengenai contoh-contoh tentang kekayaan kosakata bahasa arab serta
betapa telitinya bahasa tersebut memberikan gambaran tentang sesuatu.
Ini berarti bahwa pemilihan kata untuk menjelaskan atau menjawab
suatu pertanyaan harus disertai dengan kehati-hatian. Untuk
menguraikan terma-terma kunci dalam Al-Qur’an yang berbahasa Arab,
semantik memberikan sejumlah prosedur dalam mengurai keragaman
substantif makna bahasa Arab tersebut. Oleh karena itu, analisis
semantik ditujukan untuk menyelaraskan makna Al-Qur’an sesuai
dengan konteks pragmatiknya dan dinamika historikalitasnya serta
penyelarasan makna dalam konteks dialektika universalitas makna dan
lokalitas pemahaman dan penafsiran Al-Qur’an. Tanpa usaha untuk
menelusuri makna Al-Qur’an awal ( sebagaimana dipahami pada zaman
Rasulullah), derivasi makna akan selalu ada dan upaya intanthiq Al-
Qur’an ( menagajak dialog Al-Qur’an) tidak akan tercapai.
10
Moh Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer. (Jakarta, Prenamedia Group
Kencana, Edisi Pertama, Tahun 2016) hlm.9
11
Ibid, hlm.11
12
Baca, Eni Zulaiha, Tafsir Kontemporer: Metodolog, Paradigma, dan Standar Validitasnya,
(Wawasan, jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 1. Juni,2017) Hlm 88
Bahasa arab itu merupakan bahasa dinamis (lughat hayyah),
sehingga mengalami perubahan dari masa kemasa. Perubahan itu dapat
terjadi pada semua tataran linguistik, yaitu, fonologi, morfologi, sintaksis,
semantik, dan leksikon. Dinamika bahasa disebabkan hasil dari kebudayaan
manusia, karena manusia itu makhluk yang dinamis dan kereatif serta lebih
cenderung kepada perubahan. Menurut samsuri, proses perkembangan
bahasa baik yang bersifat penambahan, pengurangan, maupun penggantian
seperti bentuk leksikal dan gramatikal dapat dikatakan sebagai perubahan
bahasa.13
Berdasarkan alasan tersebutlah Penafsiran dengan menggunakan
metode semantik memang dibutuhkan dalam dunia penafsiran modern
(Kontemporer).
13
Adit Tiawaldi & Muhbib Abdul Wahab, Perkembangan Bahasa Arab Modern Dalam Perspektif
Sintaksis dan Semantik Pada Majalah Al-Jazeera,(Arabiyat, Jurnal Penddikan Bahasa Arab dan
Kebahasaaraban, 4,(1), 2017) Hlm 5
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah kita membaca pemaparan diatas maka kita dapat mengambil
kesimpulan, yaitu Sebelum dikenalnya semantik sebagai suatu kajian,
bangsa arab sebenarnya sudah menggunakan metode tesebut dalam setiap
penafsiran yang ada. Para pengkaji Al-Qur’an menyebutkan alasan yang
bervariasi dalam menggunakan dan memosisikan semantik, baik sebagai
metode penelitian, pisau analisis maupun sebagai pendekatan. secara
simplistis, Alasan-alasan tersebut dapat diklarifikasikan menjadi
metodologis paradigmatis dan dan subtantif analitis. Akhirnya yang perlu
kita pahami bahwa tujuan analisis semantik adalah memunculkan tipe
ontologi hidup yang dinamis dari Al-Qur’an dengan penelaahan analitis dan
metodologis terhadap konsep-konsep pokok.