Anda di halaman 1dari 30

RESUME ILMU

FIQIH1.Pengertian ilmu dan ushul


fiqih
Ushul fiqh berasal dari dua kata , yaitu ushul dan fiqh. Ushul adalah bentuk jamak da

kata Ashl ( ) yang artinya kuat (rajin),pokok,sumber,atau dalil tempat berdirinya


sesuatu. Kalau ada pokok pasti ada cabang,sesuatu yang berada di bawah pokok tersebut
dinamai farun ( = ) cabang . perkataan ushul fiqih ini sering juga di sebut dengan
mushtahab, yatu sesuatu yang menyertai sesuatu yang telah ada.

Dalam masalah Qiyas. Dimaksud dengan ushul yaitu pokok yang menjadi ukuran atau
tempat menyerupakan sesuatu (standar) ( ) artinya alat ukur.

Adapun kata fiqh menurut bahasa artinya memahami,mengerti,yaitu bentuk masdar dari
( ) artinya faham,mengerti,pintar dan kepintaran. Sebagaimana sabda Nabi saw.

( )

Artinya: Barangsiapa yang dikehendaki Allah mendapat kebijakan,niscaya allah akan


memberikan kepadanya ngerti agama. (HR. Bukhary).

Sedangkan menurut istilah yaitu semua hukum yang dipetik dari Al-quran dan sunnah
rasul melalui usaha pemahaman dan ijtihad tentang perbuatan orang mukallaf baik
wajib,haram,mubah, sah atau selain dari itu hanya berupa cabang-cabangnya saja.

Ada sebagian ulama yang membagi fiqh menjadi dua


bagian,yaitu:
1. Fiqih nabawi, yaitu hukum yang dikemukakan oleh Al-quran dan hadis dan tak perlu
diijtihadkan lagi.

2. Fiqih ijtihad, yaitu hukum-hukum hasil ijtihad dan istimbath hukum oleh ahli ijtihad.

Jadi ushul fiqh itu adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau jalan yang harus
ditempuh didalam melakukan istimbath hukum dari dalil-dalil syara
Usul fiqh itu juga berupa qaidah-qaidah dan pembahasan-pembahasan yang
dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnyayang bersifat amaliah dan
diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili.

Dalam rumusan lain. Ushul fiqh adalah pembahasan tentang dalil yang dapat
menunjukkan kepada sesuatu hukum secara ijmal (garis besar) yang masih memerlukan
keterangan dengan menggunakan qaidah-qaidah tertentu.

2.SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM


Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir yang
berarti wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang
utama adalah Al Quran dan sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan
kata dalil yang berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran.
Selain itu, ijtihad, ijma, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat
bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al Quran dan sunah
Rasulullah SAW
Secara sederhana hukum adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia
yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh
masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya. Bila definisi ini dikaitkan
dengan Islam atau syara maka hukum Islam berarti: seperangkat peraturan bedasarkan
wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang dikenai
hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam.
Maksud kata seperangkat peraturan disini adalah peraturan yang dirumuskan secara
rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.

A. Al Quran
Al Quran berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur
(mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Quran diawali
dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Quran merupakan
ibadah.
Al Quran merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban
untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi
manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan
menjauhi segala larangnannya

Al Quran memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.


1. Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg
berkaitan dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-
rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar

2. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki
budi pekerti yang baik serta etika kehidupan.

3. Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.

4. Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat

. Al-Quran Sebagai Dasar Hukum


Allah swt.menurunkan Al-Qur'an tiada lain supaya dijadikan dasar hukum dan
disampaikan kepada umat manusia untuk diamalkan segala perintah-Nya dan
ditinggalkan segala larangan-Nya, sebagaimana firman allah:


( : ).


"Maka berpegangteguhlah engkau kepada (agama) yang telah diwahyukan kepadamu."


(QS. Az-Zukhruf/43: 43)


( : ).


"Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu."(QS. Al-


M'idah/5: 67)

( : ).





"Dan ini adalah Kitab (Al-Qur'an) yang Kami turunkan dengan penuh berkah. Ikutilah, dan
bertakwalah agar kamu mendapat rahmat."(QS. Al-Anm/6: 155)

a. Prinsip Dasar Al-Quran dalam Menerapkan


Hukum
Al-Qur'an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad sebagai petunjuk dan pengalaran
bagi seluruh umat manusia.Dalam menetapkan perintah dan larangan Al-Qur'an selalu
berpedoman pada dua hal, yaitu:

1). Tidak memberatkan, sebagaimana firman Allah:


( : ).

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS. Al-
Baqarah/2: 286)


( : ).


"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu."


(QS. Al-Baqarah/2: 185)

Dengan dasar itulah, maka kita diperbolehkan:

a) Mengqashar salat (dari empat menjadi dua rakaat) dan menjamak (mengumpulkan
dua salat), yang masing-masing apabila dalam bepergian sesuai dengan syarat-
syaratnya.

b) Boleh tidak berpuasa apabila sedang bepergian jauh.

c) Boleh bertayamum sebagai ganti wudhu.

d) Boleh makan makanan yang diharamkan, jika dalam keadaan te

Sering kali kita mengucapkan kata hadits atau sunnah, tapi sebenarnya sudah tau belu
apa pengertian hadits menurut bahasa dan istilah? Jika belum mari kita simak satu
persatu ulasan dari hadis, sunnah, khabar dan atsar berdasarkan literature terpercaya
yang telah dipilih oleh Caraspot sebagai rujukan.
3.hadits
Dalam hal ini kita baru membahas pengertian dari kata hadisnya saja, belum soal apa itu
hadits Nabi?. Dan untuk ini kami membaginya dalam dua ulasan:

Menurut bahasa:

Ada tiga kata yang dijadikan makna dari hadis itu sendiri, yaitu:

Khabar Ini artinya warta atau berita, dalam istilahnya ini banyak diartikan
dengan segala sesuatu yang diperbincangkan atau ucapan yang dipindahkan dari
seseorang kepada orang lain atau yang lebih dikenal dengan ma yatahaddatsu
bihi wa yunqalu. Dari makna ini yang kemudian disebut perkataan hadis Nabi

Jadid Artinya baru, ini adalah lawan kata dari qadim yang berarti yang sudah
lama. Jadi, hadis bisa juga diartikan dengan sesuatu yang baru jika disandarkan
dalam katanya saja, kecuali jika disandarkan pada nabi maka maknanya lain lagi.

Qarib Bermakna yang dekat, atau yang belum lama ini berlangsung atau terjadi,
misalnya dalam kalimat haditsul ahdi bil-Islam yang artinya orang yang baru
masuk Islam. Adapun jamaknya huduts atau hidats.

4.ijma
IJMA MENURUT BAHASA DAN ISTILAH
Pengertian ijma Secara bahasa diucapkan untuk salah satu dari
dua makna :
a. Berkehendak untuk melakukan sesuatu, seperti sifulan
ingin melakukan sesuatu, diambil dari firman Allah surat yusuf
ayat 71 : Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah
sekutu-sekutumu (untuk menghancurkanku), dan sabda nabi :
Tidak sah puasanya orang yang tidak melakukan niat dimalam
hari.
b. Kesepakatan, contoh : Kaum sepakat atas hal ini. Maka
makna ini butuh terhadap kemurnian hati. Perbedaannya makna
yg pertama diarahkan pada seorang saja, sedangkan makna
kedua melibatkan beberapa orang.
Menurut jumhur, Pengertian ijma adalah kesepakatan para
mujtahid umat islam pada suatu masa setelah rosulullah wafat.
Lantaran ketika rosulullah masih hidup hanya beliaulah tempat
kembalinya hukum syariat, dengan demikian tidak terjadi
perbedaan mengenai hukum syariat islam dan tidak ada
kesepakatan, karena kesepakatan itu tidak akan pernah ada
kecuali terdiri dari beberapa orang. Jika terjadi suatu kejadian yg
dihadapkan kepada seluruh mujtahid umat islam pada waktu itu,
kemudian mereka sepakat terhadap suatu hukum mengenai
kejadian tersebut, maka kesepakatan mereka disebut sebagai
ijma.

Jamak dari kata hadis bisa hudtsan atau hidtsan dan biasa juga
disebut ahadits. Bahkan jamak yang terakhir disebut inilah yang
selalu digunakan untuk mengungkapkan hadis-hadis yang bersumber
dari nabi, yakni Ahaditsul Rasul.

Perlu diketahui bahwa kata ahadits yang merupakan bentuk jamak


bukanlah jamak dari kata hadits, melainkan isim jamak, sedangkan
kata tunggal atau mufradnya yang sebenarnya adalah dari kata
uhdutsah yang berarti berita yang disampaikan dari seseorang
kepada orang lain. Ini sepaham dengan pendapat Az-Zumakhsyary
dalam kitab Al-Kasysyaf.

Adapun dalil yang mengungkapkan bahwa hadis bermakna khabar


adalah dalam surah Ath-Thur ayat 34:

Maka hendaklah mereka mendatangkan suatu khabar yang


sepertinya jika mereka orang yang benar.

Menurut istilah dari ahli hadis


Oleh al-Hafidh dalam syarah Al-Bukhary menyebukan soal pengertian
hadis ini, yakni


Segala ucaban Nabi saw., segala perbuatannya dan juga segala
keadaan beliau.

Dikatakan juga bahwa makna segala keadaan Nabi adalah termasuk


juga dengan apa yang diriwayatkan dalam kitab sejarah yang sahih,
seperti kelahiran beliau, tempatnya dan segal yang menyangkut
dengan itu.

5. Qiyas
Secara bahasa, qiyas berasal dari bahasa Arab yaitu yang
artinya hal mengukur, membandingkan, aturan. Ada juga yang
mengartikan qiyas dengan mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain
dan kemudian menyamakan antara keduanya. Ada kalangan ulama
yang mengartikan qiyas sebagai mengukur dan menyamakan.[1]

Secara istilah, pengertian qiyas menurut ahli ushul fiqh adalah


menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-
Quran dan hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu
yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Definisi lain dari qiyas
menurut ahli ushul fiqh adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada
nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena
adanya persamaan illat hukum.[2]

Maka, apabila suatu nash telah menunjukkan hukum


mengenai suatu kasus dan illat hukum itu telah diketahui melalui
salah satu metode untuk mengetahui ilat hukum, kemudian ada
kasus lainnya yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu dalam
suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada kasus itu, maka
hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya,
berdasarkan atas persamaan illatnya, karena sesungguhnya hukum
itu ada di mana illat hukum ada.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa qiyas ialah menghubungkan suatu
masalah yang tidak terdapat nash syara tentang hukumnya dengan
suatu masalah yang terdapat nash hukumnya, karena adanya
persekutuan keduanya dari segi illah hukum dan meskipun defenisi
qiyas dari beberapa ulama berbeda beda, tetapi pada dasarnya sama,
dimana dari beberapa definisi tersebut mengandung unsur unsur
qiyas yaitu: al-ashl (dasar, pokok), al-faru (cabang), hukum ashl, dan
illah.Hal mengukur, membandingkan, aturan.Kemudian menyamakan
antara keduanya di sebut qiyas.

Di bawah ini beberapa contoh qiyas hukum syara yang dapat


menjelaskan definisi tersebut:

1. Meminum khamar adalah kasus yang ditetapkan hukumnya


oleh nash yaitu pengharaman yang ditunjuki oleh firman Allah SWT
QS Al-Ma'idah : 90.



Artinya : 90. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah[434], adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.[3]

Qiyas merupakan pengukur sesuatu atas sesuatu yang lain dan


kemudian menyamakan antara keduanya. Kemudian menerangkan
hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Quran dan hadits
dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash.

Selain mengetahui hukum syariah perbuatan, melalui peletakan


kaidah dan metode agar para mujtahid terhindar dari kesalahan.
Sehingga dapat dipahami bahwa seorang bole melakukan ijtihad
dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan
ayat-ayat al-Quran dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai
dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu.
Salah satunya dengan menggunakan qiyas.

Rasulullah SAW perna menggunakan qiyas waktu menjawab


pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya seperti Rasulullah
perna mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada
manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah
meninggal dunia dalam keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum
sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji.
Kemudian Rosulullah menjawab dengan mengqiyaskannya kepada
hutang. Maka jika seorang ibu mempunyai hutang saat meninggal
dunia maka anak wajid membayarnya.

Dan hendaknya berhati-hati dalam mengqiyaskan karena dituntut


untuk berhati-hati dalam memahami nash dan hukum serta harus teliti
dalam meneliti illat yang terdapat dalam cabang, sehingga dapat
diketahui apakah ada relevansi dengan pokok yang dijadikan sebagai
sandaran hukum didalam nash tersebut dan dalam persoalan baru
(cabang) yang telah disebutkan nash. Jika illat sudah diketahui antara
pokok dan cabang maka segera dilakukan qiyas antara keduanya.

6.ISTIHSAN
Istihsan merupakan salah satu daripada sumber hukum perundangan
Islam tetapi ianya tergolong dalam sumber hukum yang tidak
disepakati. Oleh yang demikian, ulama berselisih pendapat tentang
kehujahan Istihsan, ini kerana terdapat ulama yang menerima dan
juga menolak Istihsan. Antara ulama yang menerima kehujahan
Istihsan ialah ulama Hanafiah, Imam Malik dan sebahagian ulama
Hanbali. Manakala pula, antara ulama yang menolak kehujahan
Istihsan ialah Imam Shafie dam ulama shafiI serta sebahagian ulama
Hanbali.(Abdul Latif Muda 1997:117)

Ulama yang menerima Istihsan berpendapat bahawa Istihsan adalah


salah satu cara untuk mencari penyelesaian terbaik bagi kepentingan
awam. Manakala pula, menurut sebahagian ulama yang menolak
kehujahan Istihsan, jika Istihsan dibenarkan ini boleh membuka jalan
ke arah penggunaan akal fikiran tanpa sekatan yang mana ia terdedah
kepada kesilapan dalam menetapkan hukum. Hal ini kerana hukum
akan dibuat berdasarkan nafsu dan fikiran, sedangkan yang berhak
membuat hukum adalah Allah s.w.t. (Amir Husin Mohd Nor 2002:36)

Pengertian Istihsan

Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang


baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah
ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau
kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara`.

Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum


kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara` yang
mengharuskan untuk meninggalkannya.

Misal yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa


ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di zaman khalifah
Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong
tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini
ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan
pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu
yang menguatkannya.

Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya


berdasar nash, yaitu pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian
ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan
hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah
kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama dianggap
kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.

Pengertian Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah menurut bahasa berartimencapai


kemaslahatan dan menurut istilah yaitu:

maslahah mursalah ialah maslahah yang tidak disyariatkan hukum


oleh syariat untuk menwujudkannya dan tidak ada dalil syara yang
menganggapnya atau mengabaikannya.

Jadi maslahah mursalah adalah sesuatu kejadian yang syara atau


ijma tidak menetapkan hukumnya dan tidak pula nyata ada illat yang
menjadi dasar syara menetapkan satu hukum,tetapi ada pula sesuatu
yang munasabah untuk kemaslahatan dan kebaikan umum.

menurut istilah yaitu:

maslahah mursalah ialah maslahah yang tidak disyariatkan hukum


oleh syariat untuk menwujudkannya dan tidak ada dalil syara yang
menganggapnya atau mengabaikannya.

Jadi maslahah mursalah adalah sesuatu kejadian yang syara atau


ijma tidak menetapkan hukumnya dan tidak pula nyata ada illat yang
menjadi dasar syara menetapkan satu hukum,tetapi ada pula sesuatu
yang munasabah untuk kemaslahatan dan kebaikan umum.

Kedudukan maslahah mursalah sebagai sumber hukum


Penggunaan maslahah mursalah adalah ijtihad yang paling subur
untuk menetapkan hukum yang tak ada nashnya dan jumhur ulama
menganggap maslahah mursalah sebagai hujjah syariat karena:

1. Semakin tumbuh dan bertambah hajat manusia terhadap


kemaslahatannya ,jika hukum tidak menampung untuk
kemaslahatan manusia yang dapat diterima,berarti kurang
sempurnalah syariat mungkin juga beku.

2. Para shahabat dan tabiin telah mentapkan hukum berdasarkan


kemaslahatan,seperti abu bakar menyuruh mengumpulkan
musyaf al-quran demi kemaslahatan umum.

Diantara ulama yang banyak menggunakan maslahah mursalah ialah


imam malik,dengan alasan,bahwa tuhan mengutus rasulnya untuk
kemaslahatan manusia,maka kemaslahatan ini jelas dikehendaki
syara,sebagaimana Allah berfirman:

()




tidaklah semata-mata aku mngutusmu (muhammad) kecuali untuk
kebaikan seluruh alam. (Q.S Al-Anbiya 107).

Sedangkan menurut imam ahmad,bahwa maslahah mursalah adalah


suatu jalan menetapkan hukum yang tidak ada nash dan ijma.

Disamping orang yang menerima kehujjahan maslahah mursalah ada


juga ulama yang menolak untuk dijadikan dasar hukum,seperi imam
syafii,dengan alasan bahwa maslahah mursalah disamakan dengan
istihsan,selain itu alasannya ialah:

1. Syariat islam mempunyai tujuan menjaga kemaslahatan manusi


dalam keadaaan terlantar tanpa petunjuk,petunjuk itu harus
berdasarkan kepada ibarat nash,kalau kemaslahatan yang tidak
berpedoman kepada itibar nash bukanlah kemaslahatan yang
hakiki.
2. Kalau menetapkan hukum berdasarkan kepada maslahah
mursalah yang terlepas dari syara tentu akan dipengaruhi oleh
hawa nafsu,sedangkan hawa nafsu tak akan mampu memandang
kemaslahatan yang hakiki.

3. Pembinaan hukum yang didasarkan kepada maslahah mursalah


berarti membuka pintu bagi keinginan dan hawa nafsu yang
mungkin tidak akan dapat terkendal

7.istihsab
Pengertian Istishab menurut bahasa adalah menetapi dan
menuntut kebersamaan. Dikatakan :
Pengertiannya :

Seseorang menuntut dan mengaku bersama dengan dia, dan


menjadikannya bersama dengannya.

Pengertian Istishab menurut istilah adalah menjadikan hukum


yang sudah ada sebelumnya tetap menjadi hukum hingga
sekarang sampai ada dalil yang menunjukkan adanya
perubahan. Contohnya seperti hak kepemilikan yang sudah
tetap dengan adanya akad jual beli sebelumnya, Maka hak
kepemilikan itu tetap sampai sekarang, sampai ada dalil yang
menunjukkan adanya perubahan, hukum suci yang sudah ada
sebelumnya, maka tetap menjadi hukum hingga sekarang,
sampai ada dalil yang menunjukkan atas hilangnya hukum
suci tersebut, dan seterusnya.

1. Mayoritas ulama Syafiiyyah, Hanabillah, dan Dhohiriyah


berpendapat bahwa al istishab adalah hujjah secara mutlaq
baik untuk menolak atau menetapkan.
2. Mayoritas ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat
bahwa al istishab adalah hujjah untuk menolak, bukan untuk
menetapkan .

Para ulama lain serta kebanyakan ulama Mutakallimin


berpendapat bahwa al istishab bukan merupakan hujjah
secara mutlaq. Perbedaan pendapat antara para ulama ini
akan tampak perpedaannya pada masalah-masalah berikut ini,
diantaranya yaitu masalah keadaan yaitu orang yang
hilang dari negaranya sekira tidak diketahui jejaknya .

1. Ulama Syafiiyyah dan ulama yang sesuai dengan


pendapatnya mengatakan bahwa al mafqud ini bisa menerima
hak-haknya yang bersifat ijabiyah dari orang lain, oleh sebab
itu dia bisa mewarisi harta orang lain dan wasiatnya, karena
dihukumi masih hidup. Disisi lain, semua hak-hak yang dia
miliki sebelum dia hilang itu masih tetap menjadi miliknya.

2. Ulama Hanafiyah dan ulama yamg sesuai dengan


pendapatnya mengatakan bahwa al mafqud tidak bisa
memiliki hak-hak yang bersifat ijabiyah, seperti mewarisi dan
menerima wasiat dari orang lain. Yang bisa dijaga hanyalah
hak-hak yang bersifat salabiyah yaitu harta yang dia miliki
masih menjadi miliknya sebelum dia hilang.

Maka dalil istishab yaitu menganggap dia masih hidup itu bisa
berfungsi menolak hukum-hukum yang timbul dari
kematiannya yaitu hartanya dibagi kepada ahli warisnya,
terpisah dari istrinya, tetapi tidak berfungsi memindah harta
milik orang lain kepadanya .
8.maslahat dan
mursalah
Home / Ulumuddin / Pengertian, Syarat dan Hukum
Maslahah Mursalah
Pengertian, Syarat dan Hukum Maslahah Mursalah
Posted by: redaksi 13 Mei 2013 101,116 Views
Pengertian Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah menurut bahasa


berartimencapai kemaslahatan dan menurut istilah
yaitu:

maslahah mursalah ialah maslahah yang tidak
disyariatkan hukum oleh syariat untuk
menwujudkannya dan tidak ada dalil syara yang
menganggapnya atau mengabaikannya.
Jadi maslahah mursalah adalah sesuatu kejadian yang
syara atau ijma tidak menetapkan hukumnya dan
tidak pula nyata ada illat yang menjadi dasar syara
menetapkan satu hukum,tetapi ada pula sesuatu yang
munasabah untuk kemaslahatan dan kebaikan umum.
Kedudukan maslahah mursalah sebagai sumber
hukum
Penggunaan maslahah mursalah adalah ijtihad yang
paling subur untuk menetapkan hukum yang tak ada
nashnya dan jumhur ulama menganggap maslahah
mursalah sebagai hujjah syariat karena:
1.Semakin tumbuh dan bertambah hajat manusia
terhadap kemaslahatannya ,jika hukum tidak
menampung untuk kemaslahatan manusia yang
dapat diterima,berarti kurang sempurnalah
syariat mungkin juga beku.
2.Para shahabat dan tabiin telah mentapkan hukum
berdasarkan kemaslahatan,seperti abu bakar
menyuruh mengumpulkan musyaf al-quran demi
kemaslahatan umum.
Diantara ulama yang banyak menggunakan maslahah
mursalah ialah imam malik,dengan alasan,bahwa
tuhan mengutus rasulnya untuk kemaslahatan
manusia,maka kemaslahatan ini jelas dikehendaki
syara,sebagaimana Allah berfirman:

()




tidaklah semata-mata aku mngutusmu (muhammad)
kecuali untuk kebaikan seluruh alam. (Q.S Al-Anbiya
107).
Sedangkan menurut imam ahmad,bahwa maslahah
mursalah adalah suatu jalan menetapkan hukum yang
tidak ada nash dan ijma.
Disamping orang yang menerima kehujjahan maslahah
mursalah ada juga ulama yang menolak untuk
dijadikan dasar hukum,seperi imam syafii,dengan
alasan bahwa maslahah mursalah disamakan dengan
istihsan,selain itu alasannya ialah:
1.Syariat islam mempunyai tujuan menjaga
kemaslahatan manusi dalam keadaaan terlantar
tanpa petunjuk,petunjuk itu harus berdasarkan
kepada ibarat nash,kalau kemaslahatan yang tidak
berpedoman kepada itibar nash bukanlah
kemaslahatan yang hakiki.
2.Kalau menetapkan hukum berdasarkan kepada
maslahah mursalah yang terlepas dari syara tentu
akan dipengaruhi oleh hawa nafsu,sedangkan
hawa nafsu tak akan mampu memandang
kemaslahatan yang hakiki.
3.Pembinaan hukum yang didasarkan kepada
maslahah mursalah berarti membuka pintu bagi
keinginan dan hawa nafsu yang mungkin tidak
akan dapat terkendali.
Maslahah mursalah menurut bahasa berartimencapai
kemaslahatan dan menurut istilah yaitu:

maslahah mursalah ialah maslahah yang tidak disyariatkan


hukum oleh syariat untuk menwujudkannya dan tidak ada
dalil syara yang menganggapnya atau mengabaikannya.

Jadi maslahah mursalah adalah sesuatu kejadian yang syara


atau ijma tidak menetapkan hukumnya dan tidak pula nyata
ada illat yang menjadi dasar syara menetapkan satu
hukum,tetapi ada pula sesuatu yang munasabah untuk
kemaslahatan dan kebaikan umum.

9. Al-Am
1. Pengertian al-am
Dalam upaya untuk memahami al-am ini para ulama ushul telah memberikan sejumlah
definisi atau pengertian yang pada dasrnya mengandung maksud yang sama, meskipun
redaksinya berbeda satu sama lainnya. Syaikh Al-khudari Beik, menyebutkan sebagai
berikut:

al-am adalah lafadz yang menunjukan kepada pengertian dimana didalamnya tercakup
sejumlah objek atau satuan yang banya..

2. Karaktristik lafal al-Am


Berdasarkan penelitian para ulama ushul, bahwa banyak lafal nash yang mengandung
makna umum dengan karaktristiknya sendiri. Dan atas dasar ini, maka para ulama ushul
telah menyimpulkan ciri khas dan karaktristik lafal yang dikatagorikan kepada umum
tersebut. sebagaiman yang telah dikemukakan oleh Mustafa Said al-Khin, bahwa suatu
lafal dipandang umum bila didalam nash terdapat lafal-lafal seperti berikut:

Lafal ( ) yang artinya setiap

Lafal ( ) yang artinya semua atau seluruhnya

Jama atau mufrad dimarifatkan kepada alif lam al-jinsiyah dan lafal jama yang
diidofatkan

Isim maushul

Isim syarat

Isim nakirah yang dinafikan

4. Al-Khas
1. Pengertian al-Khas
Al-kahas mengandung pengertian sebaliknya dari al-am. Jika al-am mengandung arti
umum yaitu lafal yang didalamnya mencakup berbagai suatu objek yang banyak, maka
al-kahs adalah suatu lafal yang memiliki arti atau makna tertentu dan khusus. Tidak ada
perbedaan pendapat yang prinsipil dikalangan ulama ushul tentang pengertian al-kahs.
Beberapa pengertian berikut ini dapat dipahami bahwa lafal al-kahs merupakan arti
tertentu dan tidak terdapat perbedaan dikalangan ulama ushul, kecuali dari segi redaksi
saja.[3

al-khas ialah suatu lafal yang digunakan untuk menunjukan pengertian pada suatu
satuan objek tertentu saja.

A. Amar dan Nahi


1. Pengertian Amar
Amar menurut bahasa berarti perintah, sedangkan menurut istilah:

Amar adalah perkataan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang
lebih rendah tingkatannya.
Dengan kata lain, amar adalah suatu lafal yang dipergunakan oleh orang yang lebih
tinggi kedudukannya kepada orang yang lebih rendah derajatnya agar melakukan suatu
perbuatan. Seperti perintah Allah kepada manusia.
10.Bentuk-Bentuk Lafaz Amar
Lafaz yang menunjukkan kepada amar atau perintah tersebut mempunyai
beberapa bentuk diantaranya:

a. Fiil Amar, seperti1[6]:

Artinya:Dan berikanlah mahar kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan (Q.S.An-Nisa:4)

b. Fiil Mudhari yang diawali oleh seperti:

Artinya:Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebaikan (Q.S.Ali Imran:104)

c. Masdar pengganti Fiil, seperti:

-



Artinya:Dan berbuat baiklah kepada ibu bapak (Q.S.Al-Baqarah:83)

Hakikat pengertian amr (perintah) adalah lafaz yang dikehendaki supaya orang
mengerjakan apa yang dimaksudkan. Bentuk lafaz amar bermacam-macam diantaranya,
fiil amar, fiil mudhari yang diawali lam amar, masdar pengganti fiil, dan beberapa lafaz
yang mengandung makna perintah seperti, kutiba, amara, faradha. Kaidah-kaidah amar
dalam Al-Quran yaitu seperti kaidah pertama seperti pada dasarnya amar (perintah) itu
menunjukkan kepada wajib dan tidak menunjukkan kepada selain wajib kecuali dengan
qarinah-qarinah tersebut. Qarinah-qarinah tersebut seperti ibahah, nadb, irsyad, tahdid,
tajiz yang memalingkan makna asalnya yaitu wajib.

Kaidah kedua amar adalah Amr atau perintah terhadap sesuatu berarti larangan
akan kebalikannya. Kaidah ketiga amar yaitu perintah itu menghendaki segera
dilaksanakan kecuali ada qarinah-qarinah tertentu yang menyatakan jika suatu perbuatan
tersebut tidak segera dilaksanakan. Kaidah keempat adalah Pada dasarnya perintah itu
tidak menghendaki pengulangan ( berkali-kali mengerjakan perintah), kecuali adanya
qarinah atau kalimat yang menunjukkan kepada pengulangan. Para ulama
mengelompokkan menjadi 3 perintah tersebut dikaitkan dengan syarat, perintah
dikaitkan dengan illat, perintah dikaitkan dengan sifat atau keadaan yang bersifat illat.

1
Sedangkan Nahi adalah suatu lafaz yang mengandung makna tuntutan
meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada
orang yang lebih rendah tingkatannya. Bentuknya yaitu fiil yang didahului oleh la
nahiyah, beberapa lafaz yang mengandung makna nahi. Kaidah nahi yaitu pada dasarnya
larangan itu menunjukkan kepada haram kecuali ada qarinah-qarinah tertentu. Pada
dasarnya larangan itu menghendaki fasad ( rusak) secara mutlak. Pada dasarnya
larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu. Bagi para
mufassir sangat penting untuk mengetahui kaidah-kaidah tersebut karena memudahkan
dalam menafsirkan Al-Quran terutama ayat-ayat yang berhubungan dengn penggalian
suatu hukum.

Apabila lafaz mutlaq didapati di dalam sesuatu nas dan ia tidak dikaitkan dengan mana-
mana sifat di dalam nas yang lain, maka maknanya hendaklah ditafsirkan menurut
itlaqnya serta ia tidak boleh diqaydkan dengan mana-mana sifat, kecuali terdapat dalil
yang menunjukkan kaitannya

Takrif Al-Muqayyad

Muqayyad merupakan lafaz yang diqaydkan dengan satu qayd yang berasingan yang
akan mengurangkan jumlah qayd yang banyak. Lafaz ini juga menunjukkan kepada satu
makna atau beberapa makna secara menyeluruh dengan disertai oleh perkataan yang
menunjukkan kaitan dengan mana-mana sifat. Contohnya lelaki muslim

11. MUTLAQ DAN MUQAYYAD


Selepas melihat kepada takrif antara mutlaq dan muqayyad, dapat disimpulkan bahawa
terdapat perbezaan antara mutlaq dan muqayyad. Mutlaq ialah setiap yang menunjukkan
kepada sesuatu hakikat tanpa ada perkara yang mengqaydkannya dan tidak melibatkan
bilangan. Contohnya ialah lafaz ( ) menunjukkan tuntutan membebaskan
hamba dalam masalah zihar, tetapi tidak diqaydkan dengan bilangan hamba yang perlu
dibebaskan dan juga tanpa diberitahu hamba tersebut sama ada yang beriman ataupun
tidak beriman. ( Zuhayr t.th: 158 )

Muqayyad pula ialah setiap yang diqaydkan kepada sesuatu zat sama ada dengan
sesuatu sifat atau keadaan atau diqaydkan dengan sesuatu syarat. Contoh muqayyad
dengan sifat ialah ( ) Ayat tersebut menunjukkan dituntut membebaskan
hamba yang mumin. Manakala muqayyad dengan syarat ialah dalam masalah kafarah
sumpah ialah ( dituntut berpuasa selama 3 hari. Contoh muqayyad
dengan keadaan pula ialah ( ) Puasa diqaydkan hanya sehingga
malam sahaja. Maka menunjukkan puasa itu tidak harus bersambung antara 1 hari
dengan hari yang seterusnya.

( Zuhayr t.th: 158 )

PENTAFSIRAN NAS MUTLAQ BERDASARKAN NAS


MUQAYYAD
Pentafsiran nas mutlaq berdasarkan nas muqayyad itu terbahagi kepada 2 bahagian.
Pertama ialah itlaq dan taqyid berkaitan dengan sebab hukum dan bahagian yang kedua
ialah itlaq dan taqyid berkaitan dengan hukum itu sendiri.

MUJMAL DAN MUBAYYAN ()


(
Oleh : asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin rohimahulloh-

Definisi Mujmal ( ):

Mujmal secara bahasa : ( ) mubham (yang tidak diketahui) dan yang terkumpul.

Secara istilah :

Apa yang dimaksud darinya ditawaqqufkan terhadap yang selainnya, baik dalam
tayinnya (penentuannya) atau penjelasan sifatnya atau ukurannya.

Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam tayinnya : Firman Alloh taala :


(
(

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' (Al-
Baqoroh : 228)

Quru ( )adalah lafadz yang musytarok (memiliki beberapa makna, pent) antara haidh
dan suci, maka mentayin salah satunya membutuhkan dalil.

Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam penjelasan sifatnya: Firman Alloh taala :

Dan dirikanlah sholat (Al-Baqoroh : 43)


Maka tata cara mendirikan sholat tidak diketahui (hanya dengan ayat ini, pent),
membutuhkan penjelasan.

Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam penjelasan ukurannya : Firman Alloh taala :

Dan tunaikanlah zakat (Al-Baqoroh : 43)

Ukuran zakat yang wajib tidak diketahui (hanya dengan ayat ini, pent), maka
membutuhkan penjelasan.

Definisi mubayyan ( )
(:
Mubayyan secara bahasa : ( ) yang ditampakkan dan yang dijelaskan.

Secara istilah :

Apa yang dapat difahami maksudnya, baik dengan asal peletakannya atau setelah
adanya penjelasan.

Contoh yang dapat difahami maksudnya dengan asal peletakannya : lafadz : langit (),
bumi (), gunung (), adil (), dholim (), jujur (). Maka kata-kata ini dan yang
semisalnya dapat difahami dengan asal peletakannya, dan tidak membutuhkan dalil yang
lain dalam menjelaskan maknanya.

Contoh yang dapat difahami maksudnya setelah adanya penjelasan : firman Alloh taala :

Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat (Al-Baqoroh : 43)

Maka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, keduanya adalah mujmal, tetapi pembuat
syariat (Alloh taala) telah menjelaskannya, maka lafadz keduanya menjadi jelas setelah
adanya penjelasan.

MUBAYYAN
12. Pengertian Mubayyan
Al-Bayan artinya ialah penjelasan; maksudnya ialah menjelaskan lafadz atau susunan
yang mujmal. Mubayyan ialah lafadz yang terang maksudnya tanpa memerlukan
penjelasan dari lainnya. Jelasnya ialah:


Bayan ialah mengeluarkan sesuatu dari tempat yang sulit kepada tempat yang jelas.
A. Pengertian Mujmal

Secara bahasa berarti samar-samar dan beragam/majemuk. Secara istilah berarti: lafadz
yang maknanya tergantung pada lainnya, baik dalam menentukan salah satu maknanya
atau menjelaskan tatacaranya, atau menjelaskan ukurannya.

2. Macam-macam Mubayyan:
a. Mubayyan dengan perkataan; sebagaimana firman Allah swt.;













Barang siapa yang tidak dapat membeli binatang kurban hendaklah ia berpuasa tiga
hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kamu kembali;yang demikian itu sepuluh hari
sempurna. (Q.S.al-baqarah[2]: 196)

Lafadz tujuh dalam bahasa arab sering ditujukan kepada banyak yang diartikan lebih dari
tujuh. Untuk menjelaskan tujuh yang sebenarnya, Allah iringi dengan firmanNya sepuluh
hari yang sempurna. Penjelasan tujuh yang sebenarnya dalam ayat ini adalah dengan
ucapan.

b. Bayan dengan perbuatan; seperti penjelasan Nabi saw. Pada cara-cara sholat dan
haji:

Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku menjalankan sholat.(H.R. Bukhari).

Cara shalat ini dijelaskan dengan perbuatan oleh Nabi saw. Yakni beliau mengerjakan
sebagaimana beliau mengerjakan sambil menyuruh orang menirunya.

c. Bayan dengan isyarat; Misalnya penjelasan Nabi saw. Tentang jumlah hari dalam
satu bulan. Penjelasan ini diberikan kepada sahabat beliau dengan mengangkat sepuluh
jarinya tiga kali, yakni 30 hari. Kemudian mengulanginya sambil membenamkan ibu
jarinya pada kali yang terakhir. Maksudnya bahwa bulan arab itu kadang-kadang 30 hari
atau 29 hari.

d. Bayan dengan meninggalkan sesuatu; misalnya hadits ibnu hibban yang


menerangkan:

.
adalah akhir dua perkara pada Nabi saw. Tidak berwudhu karena makan apa yang
dipanaskan api,

Hadits ini sebagai penjelasan yang menyatakan bahwa Nabi saw tidak berwudhu lagi
setiap kali selesai makan daging yang dimasak.

e. Bayan dengan diam; Misalnya tatkala Nabi saw menerangkan wajibnya ibadah haji,
ada seorang yang bertanya Apakah setiap tahun ya Rasulullah?Rasulullah diam tidak
menjawab. Diamnya Rasulullah ini berarti menetapkan bahwa haji tidak wajib dilakukan
tiap tahun

13.Pengertian Nasikh dan


Mansukh.
Nasikh dan Mansukh secara etimologis adalah mengganti atau menghapus. Menurut
terminologi; mengganti hukum syari amali juzi dengan hukum syari amali juzi lain yang
berbeda ketentuan hukumnya yang datang kemudian atau merubah dan membatalkan
sesuatu dengan menempatkan sesuatu yang lain sebagai gantinya (
) . Pada dasarnya beragam pandangan dikalangan dikalangan ulama tentang
pengertian nasikh dan mansukh.

Paling tidak ada empat macam arti sebagai berikut :

1. pengertian pertama :

Nasakh adalah membatalkan hukum yang diperoleh dari nash ( dalil ) yang pertama,
dibatalkan dengan ketentuan nash yang datang kemudian.

1. Pengertian kedua :


Nasakh ialah meghapuskan hukum syara dengan memakai dalil syara pula

1. Pengertian ketiga :

Nasakh ialah meghapuskan hukum syara dengan memakai dalil syara pula dengan
adanya tenggat waktu , dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasakh itu tentulah
hukum yang pertama itu akan tetap berlaku.

1. Pengertian yang keempat, seperti yang diberikan sebagian ulama yang tidak setuju
dengan adanya nasakh :

Nasakh ialah membatasi keumuman nash yang terdahulu atau mengqayidi / menentukan
arti lafal mutlaknya dengan nash yang kemudian.

Macam-macam Nasikh dan Mansukh

1. Nasakh Al-Quran dengan Al-Quran

Seperti di-nasakh-nya firman Allah pada surah Al-Mujadilah ayat 12 dengan surah Al-
Mujadilah ayat 13

2. Naskh Al-Quran dengan Al-Sunnah

Seperti di-naskh-nya firman Allah:

Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika
dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara
yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa

14.Muradif dan mustamaq

1. Muradhif

Lafal Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna


Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua muradhif pada tempat yang lain
diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syara. Kaidah para Jumhur ulama
sebagai beriku:

Artinya: Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu
diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh syara.

Al-Quran semenjak di turunkanNya hingga datangnya hari Akhir senantiasa terjaga


sebagaimana pertama diturunkan-nya, tidak pernah ada ralat, tidak perlu dikritisi, tidak
memerlukan edisi revisi, ataupun pengurangan kosakata, begitu sangat sempurna, Dia-
lah Allah yang akan menjaga keutuhannya sepanjang masa, yang telah menurunkan-nya
juga kepada Nabinya Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam melalui delegasi
terpercanya Malaikat Jibril Alaihi-Salam. Maka karena itu tidak diperbolehkan
mengubahnya. Namun dalam lafal ibadah seperti takbir shalat, Malikiyah berpendapat
dan menyatakan bahwa takbir dalam shalat tidak diperbolehkan kecuali kaliamat Allahu
Akbar, sedang Imam Syafii hanya memperbolehkan Allahu Akbar atau Allahul Akbar
sedangkan Abu Hanifah memperbolekan semua lafal yang semisal dengannya, misalnya
kalimat Allahul Adjom, Allahul Ajal dan sebagainya.

Hukum Muradhif

Menurut jumhur ulama meletakkan lafal muradif di tempat lafal lainnya, diperbolehkan
apabila tidak ada halangan dari syara. Pendapat lain mengatakan bahwa diperbolehkan
asal masih satu bahasa. Tentang lafal Quran tidak ada perbedaan pendapat lagi bahwa
kita harus membaca lafal-lafal itu sendiri.

2. Musytarak

Kata Musytarak adalah bentuk mashdar yang berasal dari kata kerja yang berarti
bersekutu seperti dalam ungkapan yang berarti kaum itu bersekutu. Dari
pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama ushul merumuskan pengertian musytarak
menurut istilah. Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama ushul adalah
anatara lain:

Artinya: Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang
berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut

Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqh:


Artinya: Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-
beda batasannya dengan jalan bergantian

Maksudnya pergantian disini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua
makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus
diartikan dengan arti salah satunya. Seperti kata yang dalam pemakaian bahasa arab
dapat berarti masa suci dan bias pula masa haidh, lafadz bisa berarti mata, sumber
mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas, kata " musytarak antara
tangan kanan dan kiri, kata dapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula
tahun masehi.

a. Sebab-Sebab Terjadinya Lafadz Musytarak

Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa arab sangat banyak sekali,
namun ulama ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling mempengaruhi antara
lain sebagai berikut :

1. Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk


menunjukkan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata , dalam
satu kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti hasta secara sempurna () .
Satu kabilah untuk menunjukkan (). Sedangkan kabilah yang lain untuk
menunjukkan khusus telapak tangan.

2. Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan ) )antara makna hakiki dan


majaz.

3. Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan ))antara makna hakiki dan


makna istilah urf. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam arti
istilah, seperti kata-kata yang digunakan dalam istilah syara. Seperti lafadz yang
dalam arti bahasa bermakna doa, kemudian dalam istilah syara digunakan untuk
menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita malumi.

b. Ketentuan Hukum Lafadz Musytarak

Apabila dalam nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah terdapat lafadz yang musytarak, maka
menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul adalah sebagai berikut :

a. Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara


arti bahasa dan istilah syara, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara, kecuali ada
indikasi- indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah
bahasa.

b. Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang
ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan
menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah
haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai nash.
Sedangkan qarinah haliyah adalah keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab pada saat
turunnya nash tersebut.

c. Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz lafadz tersebut,
menurut golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat
menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafiiyah membolehkan
menggunakan salah satu artinya.

c. Contoh-contoh Lafadz Musytarak

Dalam Al-Quran banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 222 yaitu:














Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu


adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila
mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri.

Lafadz dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti tempat
keluarnya darah haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama diartikan
tempat keluarnya darah haidh. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang
arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-istrinya dalam waktu haidh.
Sehinnga yang dimaksud lafadz diatas adalah bukanlah waktu haidh akan tetapi
larangan untuk istimta pada tempat keluarnya darah haidh (qubul).

Contoh lain sebagaimana yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 228 sebagai
berikut:

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga


kali quru'.

Lafadz quru dalam pemakain bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti
masa haidh. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala
kemampuannya untuk mengetaui makna yang dimaksudkan oleh syari dalam ayat
tersebut.

Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz quru tersebut diatas. Sebagian
ulama yaitu Imam Syafii mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain
adalah karena adanya indikasi tanda muannats pada adad (kata bilangan : tsalatsah)
yang menurut kaida bahasa arab madudnya harus mudzakkar, yaitu lafadz al-thuhr
(suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini,
beliau beralasan bahwa lafadz tsalatsah adalah lafadz yang khas yang secara dzahir
menunjukkan sempurnanya masing-masing quru dan tidak ada pengurangan dan
tambahan. Hal ini hanya bisa terjadi jika quru diartikan haidh. Sebab jika lafadz quru
diartikan suci, maka hanya ada dua quru (tidak sampai tiga).

Dalam surat Al-Baqarah ayat 229:


Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.

Dalam ayat tersebut di atas lafadz al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara yaitu
melepaskan tali ikatan hubungan suami istri yang sah, bukan diartikan secara bahasa
yang berarti melepaskan tali ikatan secara mutlaq. Seperti dalam hal lain. Dirikanlah
shalat dan tunaikanlah zakat. Lafadz pada ayat tersebut dapat bisa mengandung
arti dalam istilah bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam istilah syara yaitu ibadah
yang mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu. Berikut ini contoh lafadz yang
diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman Allah dalam surata Al-Ahzab
ayat 56:

Artinya: Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk


Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah
salam penghormatan kepadanya.

Lafadz pada ayat tersebut bukan bermakna sholat dalam ibadah tertentu, akan
tetapi mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena dalam ayat
tersebut dinisbatkan kepada Allah dan para malaikat. Sedangkan sholat dalam istilah
syara hanya diwajibkan kepada manusia.

Anda mungkin juga menyukai