Anda di halaman 1dari 13

SUMBER HUKUM

ISLAM YANG DI
SEPAKATI
(MUTTAFAQ)
1. AL – QUR’AN
1. Pengertian Al-Qur’an
Menurut bahasa (etimologi) kata Al-Qur’an berasal dari kata “qara-yaqrau-qur
anan”artinya bacaan atau yang dibaca.
Sedangkan menurut istilah (terminologi) Al-Qur’an adalah Kalamullah yang
diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, dengan
menggunakan bahasa Arab, ditulis dimushhaf, disampaikan secara mutawatir, dibaca
bernilai ibadah. Diawali dengan surat Al-Fatihan dan diakhiri dengan surat An-Nas.
2. Pokok-pokok isi Al-Qur’an
Pokok-pokok isi Al-Qur’an ada lima yaitu :
a. Tauhid
b. Ibadah
c. Janji dan ancaman
d. Jalan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat
e. Riwayat dan cerita ( qishah umat terdahulu). ( A.Hanafie : 1981, hal 103 )
3. Dasar Kehujjahan Al-Qur’an dan Kedudukannya sebagai Sumber Hukum
Sebagimana kita ketahui Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan
kepada umat manusia adalah untuk wajib diamalkan semua perintah-Nya dan wajib ditinggalkan
segala larangan-Nya. Firman) Allah SWT :
Artinya : "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu denganmembawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantan karena membela orang-orang yang khianat". (An-Nisa :105).

ya : "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (Al-Maidah: 49).

Al-Qur'an merupakan number hukum utama dalam Islam dan menempati kedudukan pertama dari
sumber- sumber hukum Islam yang lain, ia merupakan aturan dasar yang paling tinggi. Semua
sumber hukum dan ketentuan norma yang ada tidak boleh bertentangan dengan isi Al-Qur'an.
4. Pedoman AI-Qur'an dalam Menetapkan Hukum.
Pedoman Al-Qur'an dalam menetapkan hukum sesuai dengan perkembangan dan kemampuan manusia, baik secara
fisik maupun rohani. manusia selalu berawal dari kelemahan dan ketidak mampuan. Untuk itu Al­Qur'an
berpedoman kepada tiga hal, yaitu

a. Tidak memberatkan ( ) Firman Allah SWT


Artinya : "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..." (Al-Bagarah : 286).
Artinya : "...Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu". (Al-
Bagarah : 185)
Contoh :Azimah (ketentuan-ketentuan umum Allah) misal sholat wajib dll

b. Meminimalisir beban
Dasar ini merupakan konsekwensi logis dari dasar yang pertama. Dengan dasar ini kita
dapati rukhshah (keringanan) dalam beberapa jenis ibadah, seperti Menjama’ dan mengqashar sholat apabila dalam
perjalanan dengan syaratyang telah ditentukan.

c. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum


Al-Qur'an dalam menetapkan hukum adalah secara bertahap, hal ini bisa kitatelusuri dalam hukum haramnya
meminum-minuman keras, berjudi serta perbuatan-perbuatan yang mengandung judi ditetapkan dalam Al­
Qur'an (QS. Al-Baqarah: 219, QS. An-Nisa’ : 43 dan QS. Al-Maidah : 90). ( HM. Suparta : 2006, hal 59-61
2. HADIST
1. Pengertian Al-Hadits
Menurut bahasa (etimologi) Al-Hadits berarti ”yang baru”, ”yang dekat”,
atau”warta” yaitu sesuatu yang dibicarakan. Sedangkan menurut istilah (terminologi)
Al-Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan) beliau. (MS. Wwawan : 2008, hal
27).

2. Bentuk-bentuk Al-Hadits
Berdasarkan definisi istilah diatas, maka bentuk hadits dapat dibedakan menjadi 3
macam yaitu :
a. Qauliyah ( ucapan )
b. Fi’liyah ( perbuatan )
c. Taqririyah ( keputusan/ketetapan )
3. Dasar Kehujjahan Al-Hadits dan Kedudukannya sebagai Sumber Hukum
Banyak kita jumpai ayat - ayat Al-Qur'an dan Hadits-hadits yang memberikan pengertian bahwa
hadits merupakan sumber hukum Islam selain Al-Qur'an yang wajib diikuti, dan diamalkan baik
dalam bentuk perintah maupun larangannya. Uraian di bawah ini merupakan penjelasan secara
rinci tentang dasar kehujjahan hadits sebagai sumber hukum Islam dengan mengambil beberapa
dalil, baik naqli maupun aqli.

a. DaliI Al-Qur'an
Banyak kita jumpai ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang kewajiban mempercayai dan
menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup
sehari-hari . Di antara ayat-ayat dimaksud adalah:
Firman Allah SWT :
Artinya: Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-
orang yang berimandalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk
(munafiq) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada
kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara Rasul-
rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya; dan jika kamu beriman
dan bertaqwa, maka bagimu pahala yang besar. (QS. Ali lmran (3): 179).
b. Dalil Al-Hadits
Mari kita pahami Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaandengan kewajiban
menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, disamping Al-Qur'an sebagai pedoman utamanya,
beliau bersabda:
Artinya: "Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi
kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya". (HR.
Malik).
Saat Rasulullah ingin mengutus Mu'adz bin Jabal untuk menjadipenguasa di Negeri Yaman,
terlebih dahulu dia diajak dialog oleh RasulullahSAW.

Artinya: "(Rasul bertanya), bagaimana kamu akan menetapkan hukum bila dihadapkan padamu
sesuatu yang memerlukan penetapan hukum? Mu'az menjawab: saya akan menetapkannya
dengan kitab Allah. Lalu Rasul bertanya; seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam kitab
Allah, Mu'az menjawab: dengan Sunnah Rasulullah. Rasul bertanya lagi, seandainya kamu
tidak mendapatkannya dalam kitab Allah dan juga tidak dalam Sunnah Rasul, Mu'az menjawab:
saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri. Maka Rasulullah menepuk-nepuk belakangan
Mu'az seraya mengatakan "segala puji bagi Allah yangtelah menyelaraskan utusan seorang Rasul
dengan sesuatu yang Rasul kehendaki". (HR. Abu Daud dan Al-Tirmidzi).
4. Fungsi Hadits terhadap al-Qur’an

a. Bayanut taqrir
Menetapkan dan menguatkan atau menggarisbawahi suatu hukum yang ada dalam al-
Quran, sehingga hukum-hukum itu mempunyai dua sumber, yaitu ayat yang menetapkannya dan
hadits yang menguatkannya.

b. Bayanut tafsir
Menjelaskan atau memberi keterangan menafsirkan dan merinci redaksi al-Qur’an
yang bersifat umum.

c. Bayanut tasyri’
Menetapkan hukum yang tidak dijelaskan oleh al-Qur’an.
3. IJMA’
1. Pengertian Ijma'
Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), kata Ijma' merupakan masdar (kata benda verbal) dari kata yang artinya
memutuskan dan menyepakati sesuatu. Ia juga bisa berarti kesepakatan bulat (konsensus).
Menurut Abdul Wahhab Khalaf, secara istilah Ijma' adalah :
Artinya : "Ijma' adalah kesepakatan (konsensus) seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu sesudah
wafatnya Rasul atas hukum syara' untuk satu peristiwa (kejadian) ".
Dari rumusan di atas dapat diambil beberapa penjelasan sebagai berikut :­

2. Dasar kehujjahan ijma’ dan kedudukannya sebagi sumber hukum Islam


a. Al-Qur’an
Artinya :” Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang yang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan kami memasukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali
(Q.S an-Nisa’ ayat 115)
b. Al-Hadits
Dari ibnu Umar, Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengumpulkan
umatku atau beliau bersabda : umat Muhammad Saw Di atas kesesatan dan tangan Allah bersama Jama’ah, dan
barang siapa yang menyempal maka mereka menyempal menuju neraka. (HR. Imam at-Tarmizi)
3. Rukun dan syarat Ijma’
Yang menjadi rukun Ijma’ yaitu kesepakatan ulama
Syarat-syarat Ijma’ menurut Wahba Zuhaili ada enam, yaitu :
1. Haruslah yang melakukan Ijma’ itu dalam jumlah yang banyak
2. Seluruh mujtahid menyetujui hukum syara’ yang telah mereka putuskan
3. Mujtahid yang melakukan kesepakatan mestilah terdiri dari berbagai daerah Islam
4. Kesepakatan itu haruslah dilahirkan oleh dari masing-masing mereka secara tegas
5. Kesepakatan hendaklah dilakukan oleh mujtahid yang bersifat dan menjauhi hal-hal yang
bid’ah
6. Hendaklah dalam melakukan ijma’ mujtahid bersandar kepada sandaran hukum yang
disyari’atkan.
3. Macam –macam Ijma’
Dilihat dari cara memperolehnya Ijma’ dibagi 2, yaitu :
a. Ijma' Sharih
b. ljma' Sukuti
Dilihat dari dalalahnya juga terbagi 2, yaitu
a. Ijma’ Qath’i
b. Ijma’ Zanni
4. QIYAS
1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan atau mengukurkan sesuatu dengan yang lain. Para ahli Ushul Fiqih merumuskan
qiyas dengan:
Artinya : "Menyamakan atau mengukur satu kejadian yang tidak ada nash tentang hukumnya dengan kejadian yang ada nash
tentang hukumnya di dalam hukum yang disebutkan di dalam nash karena ada kesamaan antara dua kejadian itu di
dalam ilat hukum tersebut".

2. Kehujjahan Qiyas dan kedudukannya sebagi sumber hukum Islam


a. Al- Quran
Artinya :” Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul dan ulil amri diantara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S an-Nisa’ ayat 59)
b. Al-Hadits
(Rasul bertanya) bagaimana kamu akan menetapkan hukum apabila dihadapkan padamu sesuatu yang memerlukan
penetapan hukum? Mu’az menjawab :” saya akan menetapkannya dengan kitab Allah” lalu rasul bertanya :”seandainya kami tidak
mendapatkannya dalam kita Allah, Mu’az menjawab :”dengan sunnah Rasulullah” Rasul bertanya lagi, “seandainya kamu tidak
mendapatkannya dalam kita Allah dan juga tidak dalam Sunnah Rasul?” Mu’az menjawab:” saya akan berijtihad dengan pendapat saya
sendiri”. Maka Rasulullah menupuk-nepuk belakang Mu’az seraya mengatakan:”segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan utusan
seorang Rasul dengan sesuatu yang Rasul kehendaki” (HR. Abu Daud dan at-Tarmizi).
3. Rukun Qiyas
Dari rumusan diatas dapat dijelaskan beberapa rukun qiyas sebagai berikut :
a. Kejadian adalah peristiwa, perbuatan, tindakan yang tidak ada hukumnya atau belum jelas
hukumnya baik di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Dalam ilmu Ushul Fiqih hal ini
disebut "Far'un"
Suatu peristiwa dapat disebut far'un apabila : adanya kemudian, ada kesamaan illat dengan
peristiwa yang akan disamainya.
b. Kejadian yang telah ada ketentuan hukumnya baik di dalam Al-Qur'an maupun sunnah
disebut ashal a atau disebut juga "maqiis'alaih"
yaitu sesuatu yang akan diqiyaskan kepadanya, atau "musyabbah bih" yaitu sesuatu yang akan
diserupakan dengannya.
Suatu kejadian dapat disebut ashl apabila :
1) Hukumnya adalah hukum syari'ah amali dan berdasar nash.
2) illat hukumnya dapat Diketahui secara aqli
3) Hukumnya bukan merupakan cabang (far'un) dari ashal mansukh
4) Nash hukum ashal tidak meliputi hukum far'un.
5) Hukum ashal adalah hukum yang disepakati dan tidak mansukh
6) Hukum pada ashal tidak mempunyai qiyas rangkap.
c. Illat yaitu suatu sifat yang menjadi dasar hukum pada ashal.
d. Hukum ashal yaitu hukum suatu kejadian yang sudah disebutkan dan akan ditetapkan bagi far'un
karena sama sifatnya (illatnya).
4. Macam-macam Qiyas.

a. Qiyas aula,
yaitu apabila illat mewajibkan adanya hukum dan keadaan furu’ lebih utama mendapat hukum dari
pada ashal.

b. Qiyas musawi,
yaitu apabila 'illat mewajibkan adanya hukum dan keadaan furu’ sama dengan ashal untuk
mendapatkan hukum.

c. Qiyas adna yaitu qiyas yang furu’nya lebih rendah kedudukannya dari pada ashal untuk
mendapatkan hukum.

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai