Anda di halaman 1dari 21

A.

Pengertian Hukum Islam


Pengertian hukum islam dapat diketahui berdasarkan dua istilah atau kata
dasar yang membangunnya yaitu kata ‘hukum’ dan ‘Islam’. Hukum dapat diartikan
dengan peraturan dan undang-undang. Hukum dapat dipahami sebagai peraturan-
peraturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu
masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan
cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa (Ali, 1996: 38).
Kata kedua yaitu ‘Islam’, mengandung arti sebagai agama Allah yang
diamanatkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk mengajarkan dasar-dasar dan
syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua manusia serta mengajak
mereka untuk memeluknya (Syaltut, 1966: 9). Dengan pengertian yang sederhana,
Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. untuk
disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya baik di
dunia maupun di akhirat kelak.
Dari gabungan dua kata ‘hukum’ dan ‘Islam’ itulah muncul istilah hukum
Islam. Dengan kalimat yang lebih singkat, pengertian hukum islam dapat
dedefinisikan singkat sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam.

B. Sumber Hukum Islam

Didalam hukum Islam rujukan-rujukan dan dalil-dalil telah ditentukan


sedemikian rupa oleh syariat, mulai dari sumber yang pokok maupun bersifat
alternatif. Sumber tertib hukum Islam dapat dipahami dalam firman Allah dalam
QS. An-nisa: 59,
‫ُأ‬
ِ >‫َّس >و َل َو ولِي اَأْل ْم‬
ِ ‫>ر ِم ْن ُك ْم ۖ فَ >ِإ ْن تَنَ>>ا َز ْعتُ ْم فِي َش > ْي ٍء فَ > ُر ُّدوهُ ِإلَى هَّللا‬ ُ ‫يَ>>ا َأيُّهَ>>ا الَّ ِذينَ آ َمنُ>>وا َأ ِطي ُع>>وا هَّللا َ َوَأ ِطي ُع>>وا الر‬
‫َوال َّرسُو ِل ِإ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذلِكَ َخ ْي ٌر َوَأحْ َسنُ تَْأ ِوياًل‬

Terjemah Arti: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

dari ayat tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa umat Islam dalam
menjalankan hukum agamanya harus berdasarkan urutan:
 Selalu mentaati Allah dan mengindahkan seluruh ketentuan yang berlaku
dalam alquran.
 Mentaati Rasulullah dengan memahami seluruh sunnah-sunnahnya.
 Mentaati ulil amri (lembaga yang menguasai urusan umat Islam).
 Mengembalikan kepada alquran dan sunah jika terjadi perbedaan dalam
menetapkan hukum,
Secara lebih teknis umat Islam dalam berhukum harus memperhatikan sumber tertib
hukum :
1. Al-Quran
2. Sunah atau hadist Rasul
3. Ijtihad

1. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Utama


Al-Qur’an merupakan mukjizat yang terbesar diberikan Allah Swt terhadap
Rasul SAW dan membacanya merupakan ibadah.
Dalam Al-Qur’an juga disebut ada beberapa nama lain Al-Qur’an seperti :
 Al-kitab
 Al-Syifa (obat)
 Al-Huda’ (petunjuk)
 Al-Furqan (pembeda), dan
 Al-Mau’izhah (nasihat)

Artinya Al-Qur’an adalah kitab yang berisikan petujuk Allah SWT untuk
menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan hambanya,
membedakan antara haq dan bathil , serta menjadi peringatan, obat dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman Sebagaimana yang telah diwahyukan oleh Allah
Swt dalam QS.Al-Isra’ 82:

‫آن َما هُ َو ِشفَا ٌء َو َرحْ َمةٌ لِ ْل ُمْؤ ِمنِينَ ۙ َواَل يَ ِزي ُد الظَّالِ ِمينَ ِإاَّل خَ َسارًا‬
ِ ْ‫َونُنَ ِّز ُل ِمنَ ْالقُر‬

“ Dan kami turunkan dari Al-quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al-quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang
yang zalim selain kerugian”.

Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dan pertama dalam islam. Karena setiap
muslim wajib berpegang teguh kepada isi kandungan Al-Qur’an dan menempatka
Al-Qur’an sebagai rujukan utama dan pertama dalam menetapkan suatu hukum
Allah SWT berfirman yang artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut
apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS.
al-Maidah: 44).
Dalam ayat lain Allah berfirman:

Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, Akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata. (al- Ahjab: 36).
Kedua ayat ini menegaskan kepada kita untuk selalu berpegang teguh pada al-
qur’an dan hadis sebagai dasar dan sumber hukum-hukum islam dan melarang kita
untuk menetapkan suatu perkara yang tidak sesuai dengan al-qur’an dan hadis serta
dilarang untuk mendurhakai allah dan rasul-Nya.

2. Al-Hadits Sebagai Sumber Hukum Kedua


As-sunnah menurut istilah yang dirumuskan oleh ‘Ulama Hadis adalah
“Segala sesuatu yang diambil dari Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan,
perbuatan maupun taqrir (ketentuan), pengajaran, sifat, kelakuan dan perjalanan
hidup baik yang terjadi sebelum masa kenabian ayau sesudahnya”
Sedangkan menurut ‘ulama Fiqh : “ Segala sesuatu yang diambil dari Nabi
Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan(taqrir) yang
mempunyai kaitan dengan hukum “
Berdasarkan pengertian di atas , dapat diklasifikasikan kepada 4 macam
yaitu;
a. Hadis Qauliyah
Seluruh hadis yang bersumber dari perkataan Nabi Muhammad SAW, baik dalam
bentuk perintah, larangan, anjuran atau nasehat , dan lain-lain. Yang dapat dijadikan
dalil untuk menetapkan hukum syara’
b. Hadis Fi’liyah
Seluruh hadis yang bersumber dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan oleh
Nabi Muhammad SAW agar dicontohkan atau diteladani oleh umatnya.Contohnya:
tata cara wudu’ , shalat, haji, dan lain-lain yang diperbuat dan dicontohkan oleh
Nabi.

c. Hadis Taqririyah
Seluruh hadis yang berbentuk ketetapan atau persetujuan Nabi Muhammad SAW
terhadap suatu perkara yang dilakuakn sahabat atau umatnya. Dalam hal ini, Nabi
Muhammad SAW memberikan persetujuan atau ketetapan terhadap hal-hal positif
yang dilakukan sahabatnya. Sebagai contoh, nabi Muhammad SAW menyetujui
kalimat-kalimat azan yang dikumandangkan oleh sahabat yang bernama Bilal Nin
rabbah.

d. Hadis Hamiyah
Hadis nabi Muhammad SAW yang masih berbentuk harapan. Menurut ahli hadis,
bentuk hadis seperti ini sangat sedikit, bahkan ada yang mengatakan tidak ada,. Hal
ini dikarenakan Nabi Muhammad SAW adalah sosok teladan yang tidak pernah
meminta umatnya melakukan sesuatu sebelum ia sendiri melakukannya. Begitupun,
ada yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW pernah berniat untuk berpuasa
pada Muharram, tetapi sebelum ia menunaikannya, beliau telah dipanggil Allah
SWT inilah salah satunya sumber informasi tentang hadis hammiyah.
Hadis merupakan salah satu sumber hukum islam yang wajib kita taati. Allah SAW
telah mewajibkan agar kita mentaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW tersebut.
Hadits terdiri dari :
 Matan, yaitu isi atau kandungan dari suatu hadis yang memuat berbagai
pengertian.
 Sanad, yaitu jalan yang menyampaikan kepada matan hadis,yaitu nama-
nama para perawinya yang berurutan menjadi sandaran dalam periwayatan
hadis menjadi perantara Nabi Muhammad SAW sampai kepada perawi atau
orang yang meriwayatkan suatu hadis
 Rawi yaitu orang-orang yang meriwayatkan hadist

Klasifikasi Hadits
 Hadis Shahih
Yaitu hadits yang dapat dipakai sebagai landasan hukum. Hadits
yang sahih para perawinya bersambung sampai kepada Nabi saw, perawinya
orang yang taat beragama, kuat hafalannya dan isinya tidak bertentangan
dengan Al-Qur‟an.
 Hadits Hasan (baik)
Yaitu hadits yang memenuhi persyaratan seperti perawinya
semuanya bersambungan, perawinya taat beragama, agak kuat hafalannya,
tidak bertentangan dengan Al-Quran dan tidak cacat di dalamnya.
 Hadits Daif (lemah)

Yaitu hadits yang tidak memenuhi criteria persyaratan hadits hasan


apalagi shahih. Hadits daif tidak boleh dijadikan sebagai landasan hukum.

3. Al-Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Pelengkap


Menurut bahasa Ijtihad artinya bersungguh-sungguh. Menurut istilah Ijtihad
ialah bersungguh-sungguh menggunakan akal pikiran untuk merumuskan dan
menetapkan hukum atau suatu perkara yang tidak ditemukan kepastian hukumnya
dalam Al-Qur’an maupun Hadits.
Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga atau pelengkap. Hal itu
di dasarkan kepada hadis yang diriwiyatkan oleh Imam Tirmizi dan Abu Daud
yang berisikan dialoq antara Nabi Muhammad Saw dengan Mua’az bin Jabal, ketika
diutus ke negeri Yaman waktu itu Nabi bertanya kepada Mu’az “ Bagaimana kamua
akan menetapkan hukum kalau dihadapkan kepadamu sutu persoalan yang
memerlukan ketetapan hukum?” Mu’az menjawab,” saya akan menetapkan hukum
dengan Al-Qur’an ,” Rasul bertanya lagi “ kalau seandainya tidak ditemukan
ketetapannya dengan Al-quran?” Mu’az menjawab,” saya akan berijtihad denan
pendapat saya sendiri.” Kemudian rasulullah menepuk-nepuk bahu mu’az bin jabal
tanda setuju. Dan ini merupakan dasar hukum perlunya ijtihad. Al-quran
menjelaskan ada “ULIL AMRI ”yang berarti mereka yang berwenang menetapkan
suatu maslahat bagi umat. Q.S An-Nisa ayat 59.
Bentuk-bentuk Ijtihad
a. Ijma’
Menggunakan bahasa Ijma’ berarti menghimpun, mengumpulkan
dan menyatukan pendapat. Menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan
para ulama tentang hukum suatu masalah yang tidak tercantum di dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b. Qiyas
Menurut bahasa Qiyas berarti mengukur sesuatu dengan contoh yang
lain, kemudian menyamakannya. Menurut istilah, Qiyas adalah
menentukan hukum suatu maslaah yang tidak ditentukan hukumnya
dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan cara menganalogikan suatu
masalah dengan masalah yang lain karena terdapat kesamaan ‘illat
(alasan).
c. Istihsan
Menurut bahasa, Istihsan berarti menganggap/mengambil yang
terbaik dari suatu hal. Menurut istilah, Istihsan adalah meninggalkan
qiyas yang jelas (jali) untuk menjalankan qiyas yang tidak jelas (khafi),
atau meninggalkan hukum umum (universal/kulli) untuk menjalankan
hukum khusus (pengecualian/istitsna’), karena adanya alasan yang
menurut pertimbangan logika menguatkannya. Contoh: menurut istihsan
sisa minuman dari burung-burung yang buas seperti elang, gagak,
rajawali dan lain-lain itu tetap suci berbeda dengan sisa minuman dari
binatang-binatang buas seperti harimau, singa, serigala dan lain-lain
yang haram dagingnya karena sisa makanan binatang-binatnag buas ini
mengikuti hukum dagingnya, maka sisa minumannya juga haram (najis).
Alasan kesucian dari sisa minuman burung-burung buas tadi : meskipun
haram dagingnya, karena burung-burung itu mengambil air minumnya
dengan paruh yang berupa tulang (dimanan hukum tulang itu sendiri
suci) dan tidak dimungkinkan air liur / ludah yang keluar dari perutnya
(dagingnya) itu bercampur dengan sisa minuman tadi. Sedangkan
binatang-binatang buas mengambil air minum dengan mulutnya yang
sejenis daging sehingga dimungkinkan sekali sisa minumannya
bercampur dengan ludahnya.
d. Masalihul Mursalah
Menurut bahasa, Masalihul Mursalah berarti pertimbangan untuk
mengambil kebaikan. Menurut istilah, Masalihul Mursalah yaitu
penetapan hukum yang didasarkan atas kemaslahatan umum atau
kepentingan bersama dimana hukum pasti dari maslah tersebut tidak
ditetapkan oleh oleh syar’i (al Qur’an dan Hadits) dan tidak ada perintah
memperhatikan atau mengabaikannya. Contoh penggunaan masalihul
mursalah kebijaksanaan yang diambil sahabat Abu Bakar shiddiq
mengenai pengumpulan al Qur’an dalam suatu mush-haf, penggunaan
‘ijazah, surat-surat berharga dan sebagainya.

Dengan perkembangan zaman yang terus semakin maju, muncul


berbagai masalah baru yang belum dijumpai ketetapan hukumnya di dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits. Masalah-masalah baru tersebut membutuhkan
ijtihad, sehingga menjadi hukum bagi kaum muslimin. Hal ini menuntut kita
semua untuk selalu memperdalam ilmu pengetahuan dan wawasan
keagamaan kita,

C. Fungsi-fungsi Hukum Islam


Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri manusia
membutuhkan pertolongan satu sama lain dan memerlukan organisasi dalam
memperoleh kemajuan dan dinamika kehidupannya. Setiapa individu dan kelompok
sosial memiliki kjepentingan. Namun demikan kepentingan itu tidak selalu sama
satu saama lain, bahkan mungkin bertentangan. Hal itu mengandung poteensi
terjanya benturaan daan konflik. Maka hal itu membutuhkan aturan main. Agar
kepentingan individu dapaat dicapai secara adil, maka dibutuhkan penegakkan
aturan main tersebut. Aturan main itulah yang kemudian disebutdenngan hukum
islam yang dan menjadi pedomaan setiap pemeeluknya. Dalam hal ini hukum islam
memiliki tiga orientasi, yaitu:
 Mendidik indiividu (tahdzib al-fardi) untuk selalu menjadi sumber kebaikan,
 Menegakkan keadilan (iqamat al-‘adl),
 Merealisasikan kemashlahatan (al-mashlahah).
Oreintasi tersebut tidak hanya bermanfaat bagi manusia dalam jangka pendek
dalam kehidupan duniawi tetapi juga harus menjamin kebahagiaan kehidupan di
akherat yang kekal abadi, baik yang berupa hukum- hukum untuk menggapai
kebaikan dan kesempurnaan hidup (jalbu al manafi’), maupun pencegahan
kejahatan dan kerusakan dalam kehidupan (dar’u al-mafasid). Bbegitu juga yang
berkaitan dengan kepentingan hubungan antara Allah dengan makhluknya. Maupun
kepentingan orientasi hukum itu sendiri.
Sedangkan fungsi hukum islam dirumuskan dalam empat fungsi, yaitu:
 Fungsi ibadah. Dalam adz-Dzariyat: 56, Allah berfirman: “Dan tidak aku
ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu’. Maka
dengan daalil ini fungsi ibadah tampak palilng menonjol dibandingkan
dengan fungsi lainnya.
 Fungsi amar makruf nahi munkar (perintah kebaikan dan peencegahan
kemungkaran). Maka setiap hukum islam bahkan ritual dan spiritual pun
berorientasi membentuk mannusia yang yang dapat menjadi teladan
kebaikan dan pencegah kemungkaran.
 Fungsi zawajir (penjeraan). Adanya sanksi dalam hukum islam yang bukan
hanya sanksi hukuman dunia, tetapi juga dengan aancaman siksa akhirat
dimaksudkaan agar manusia dapat jera dan takut melakukan kejahatan.
 Fungsi tandzim wa ishlah al-ummah (organisasi dan rehabilitasi
masyarakat). Ketentuan hukum sanksi tersebut bukan sekedar sebagai batas
ancaman dan untuk menakut-nakuti masyarakat saja, akan tetapi juga untuk
rehaabilitasi dan pengorganisasian umat menjadi lebih baik. Dalam literatur
ilmu hukum hal ini dikenal dengan istilah fungsi enginering social.
Keempat fungsi hukum tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja
untuk bidang hukum tertentu tetapi saatu deengan yang lain juga saling terkait.

D. Kontribusi Umat Islam Dalam Perundang-undangan Indonesia


Hukum islam ada dua sifat, yaitu:
1. Al- tsabat (stabil), hukum islam sebagai wahyu akan tetap dan tidak berubah
sepanjang masa
2. At-tathawwur (berkembang),hukum islam tidak kaku dalam berbagai
kondisi dan situasi sosial.
Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam
pembangunan hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan
hukum Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu:
1. Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU Perkawinan, UU
Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat, dan
UU Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam serta beberapa undang undang
lainnya yang langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam, seperti UU
Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui keberadaan Bank Syari'ah
dengan prinsip syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
yang semakin memperluas kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
2. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama Islam
akan memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi
kepentingannya.
3. Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas
keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran
mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris.
4. Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat
menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat bagi
Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia.
Untuk lebih mempertegas keberadaan hukum Islam dalam konstalasi hukum
nasional dapat dilihat dari Teori eksistensi tentang adanya hukum Islam di dalam
hukum nasional Indonesia. Teori ini mengungkapkan bahwa bentuk eksistensi
hukum Islam di dalam hukum nasionallndonesia itu ialah:
a. ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional lndonesia.
b. ada dalam arti kemandirian, kekuatan dan wibawanya diakui adanya oleh
hukum nasional dan diberi status sebagai hukum nasional.
c. ada dalam hukum nasional dalam arti norma hukum Islam (agama) berfungsi
sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasionallndonesia.
d. ada dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional
Indonesia.
Bila dilihat dari realitas politik dan perundang-undangan di Indonesia
nampaknya eksistensi hukum Islam semakin patut diperhitungkan seperti terlihat
dalam beberapa peraturan perundangan yang kehadirannya semakin memperkokoh
Hukum Islam:
 Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan disahkan dan diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari
1974
 Undang-Undang Peradilan Agama. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal
29 Desember 1989 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 No.
49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3400).
 Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Undang-Undang No. 17
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disahkan dan
diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 No. 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia No. 3832).
 Undang-Undang Pengelolaan Zakat. Undang-Undang Nomor 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan dan diundangkan di Jakarta pada
tanggaI 23 September 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 No. 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3885).
 Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.
Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh disahkan dan diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Oktober 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun1999 No.172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
No.3893).
 Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh. Undang-Undang No. 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disahkan dan diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Agustus 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 No. 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4134).
 Kompilasi Hukum Islam. Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia
terkadang menimbulkan pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang
dijatuhkan sering terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu
diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan
hukum Islam. Keinginan itu akhirnya memunculkan Kompilasi Hukum
Islam (KHI), yang saat ini telah menjadi salah satu pegangan utama para
hakim di lingkungan Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama
tidak mempunyai buku standar yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana
halnya KUH Perdata. Dan pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden
menandatangani Inpress No.1 Tahun 1991 yang merupakan instruksi untuk
memasyarakatkan KHI.
 Undang-undang tentang Wakaf. Undang-Undang No. 41 Tahun 2004
tentang Wakaf disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 27
Oktober 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 159,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4459).
 Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, semakin menegaskan legalitas
penerapan syariat Islam di Aceh. Syariat Islam yang dimaksud dalam
undang-undang ini meliputi ibadah, al-ahwal alsyakhshiyah (hukum
keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha
(peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi'ar, dan pembelaan Islam. Di
samping itu keberadaan Mahkamah Syar'iyah yang memiliki kewenangan
yang sangat luas semakin memperkuat penerapan hukum Islam di Aceh.
Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang
beragama Islam dan berada di Aceh. Mahkamah ini berwenang memeriksa,
mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang al-
ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata)
tertentu, jinayah (hukum pidana) tertentu, yang didasarkan atas syari'at
Islam.
 Undang-undang Tentang Perbankan Syari'ah. Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, yang diundangkan pada tanggal 10 November 1998,
menandai sejarah baru di bidang perbankan yang mulai memberlakukan
sistem ganda duel system banking di Indonesia, yaitu sistem perbankan
konvensional dengan piranti bunga, dan sistem perbankan dengan peranti
akad-akad yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah .

E. Demokrasi Dalam Islam


Dalam Islam ada yang dikenal dengan istilah Syura atau musyawarah. Yang
merupakan derivasi (kata turunan) dari kata kerja ‘syawara’. Dan kata ‘syawara’
mempunyai beberapa makna, antara lain memeras madu dari sarang lebah;
memelihara tubuh binatang ternak saat membelinya; menampilkan diri dalam
perang. Dan makna yang dominan adalah meminta pendapat dan mencari
kebenaran.
Dan secara terminologis, syura bermakna “memunculkan pendapat-pendapat
dari orang-orang yang berkompeten untuk sampai pada kesimpulan yang paling
tepat.” (Nizhamul-Hukmi Fil-Islam, Dr. ‘Arif Khalil, hal. 236)
Meminta pendapat dan mencari kebenaran adalah salah satu prinsip dalam
demokrasi yang dianut sebagian besar bangsa di dunia. Didalam Islam
bermusyawarah untuk mencapai mufakat adalah hal yang disyariatkan.
“Dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS.
Asy-syura: 36)
Dengan ayat itu, kita memahami bahwa Islam telah memposisikan musyawarah
pada tempat yang agung. Syari’at Islam yang lapang ini telah memberinya tempat
yang besar dalam dasar-dasar tasyri’ (yurisprudensi). Ayat itu memandang sikap
komitmen kepada hukum-hukum syura dan menghiasi diri dengan adab syura
sebagai salah satu faktor pembentuk kepribadian Islam, dan termasuk sifat-sifat
mukmin sejati. Dan lebih menegaskan urgensi syura, ayat di atas menyebutkannya
secara berdampingan dengan satu ibadah fardhu ‘ain yang tidaklah Islam sempurna
dan tidak pula iman lengkap kecuali dengan ibadah itu, yakni shalat, infak, dan
menjauhi perbuatan keji.
Hal tersebut menunjukan bahwa, Islam secara langsung menerapkan prinsip
pengambilan keputusan;musyawarah yang menjadi sendi utama dalam demokrasi
modern (dari, oleh dan untuk kepentingan rakyat).
Yang menjadi poin penting dalam demokrasi bukan sistem trias politiknya,
yang membagi pemerintahan kedalam tiga lembaga (eksekutif, yudikatif dan
legislatif), melainkan sisitem checks and balances yang berlangsung dalam
pemerintahan itu. Tentunya agar bisa berjalan maka, harus ada keterbukaan dari
masing-masing elemen dalam pemerintahan itu. Dan keterbukaan itu dapat
diwujudkan dalam sebuah bentuk musyawarah yang efisien, efektif dan egaliter.
Tentu saja tujuan adalah kesejahteraan rakyat.

F. Hak Asasi Manusia Dalam Islam


Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang
umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun
individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah bersabda:
"Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." (HR.
Bukhari dan Muslim). Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-
hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak
ini.
Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi
setiap individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, tidak juga perbedaan muslim dan
non-muslim. Islam tidak hanya menjadikan itu kewajiban negara, melainkan negara
diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini. Dari sinilah kaum
muslimin di bawah Abu Bakar memerangi orang-orang yang tidak mau membayar
zakat.
Negara juga menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak
individu. Sebab pemerintah mempunyai tuga sosial yang apabila tidak dilaksanakan
berarti tidak berhak untuk tetap memerintah. Allah berfirman:
"Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di muka bumi,
niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf
dan mencegah perbuatan munkar. Dan kepada Allah-lah kembali semua urusan."
(QS. 22: 4)

Jaminan Hak Pribadi

Jaminan pertama hak-hak pribadi dalam sejarah umat manusia adalah dijelaskan Al-
Qur’an:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang
bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya...
dst." (QS. 24: 27-28)
Dalam menjelaskan ayat ini, Ibnu Hanbal dalam Syarah Tsulatsiyah Musnad Imam
Ahmad menjelaskan bahwa orang yang melihat melalui celah-celah ointu atau
melalui lubang tembok atau sejenisnya selain membuka pintu, lalu tuan rumah
melempar atau memukul hingga mencederai matanya, maka tidak ada hukuman
apapun baginya, walaupun ia mampu membayar denda.
Jika mencari aib orang dilarang kepada individu, maka itu dilarang pula
kepada negara. Penguasa tidak dibenarkan mencari-cari kesalahan rakyat atau
individu masyarakat. Rasulullah saw bersabda: "Apabila pemimpin mencari
keraguan di tengah manusia, maka ia telah merusak mereka." Imam Nawawi dalam
Riyadus-Shalihin menceritakan ucapan Umar: "Orang-orang dihukumi dengan
wahyu pada masa rasulullah saw. Akan tetapi wahyu telah terhenti. Oleh karenanya
kami hanya menghukumi apa yang kami lihat secara lahiriah dari amal perbuatan
kalian."
Muhammad Ad-Daghmi dalam At-Tajassus wa Ahkamuhu fi Syari’ah
Islamiyah mengungkapkan bahwa para ulama berpendapat bahwa tindakan
penguasa mencari-cari kesalahan untuk mengungkap kasus kejahatan dan
kemunkaran, menggugurkan upayanya dalam mengungkap kemunkaran itu. Para
ulama menetapkan bahwa pengungkapan kemunkaran bukan hasil dari upaya
mencari-cari kesalahan yang dilarang agama.
Perbuatan mencari-cari kesalahan sudah dilakukan manakala muhtasib telah
berupaya menyelidiki gejala-gejala kemunkaran pada diri seseorang, atau dia telah
berupaya mencari-cari bukti yang mengarah kepada adanya perbuatan kemunkaran.
Para ulama menyatakan bahwa setiap kemunkaran yang berlum tampak bukti-
buktinya secara nyata, maka kemunkaran itu dianggap kemunkaran tertutup yang
tidak dibenarkan bagi pihak lain untuk mengungkapkannya. Jika tidak, maka upaya
pengungkapan ini termasuk tajassus yang dilarang agama.

Nash Qur’an dan Sunnah tentang HAM


Meskipun dalam Islam, hak-hak asasi manusia tidak secara khusus memiliki
piagam, akan tetapi Al-Qur’an dan As-Sunnah memusatkan perhatian pada hak-hak
yang diabaikan pada bangsa lain. Nash-nash ini sangat banyak, antara lain:

Dalam al-Qur’an terdapat sekitar empat puluh ayat yang berbicara mengenai
paksaan dan kebencian. Lebih dari sepuluh ayat bicara larangan memaksa, untuk
menjamin kebebasan berfikir, berkeyakinan dan mengutarakan aspirasi. Misalnya:
"Kebenaran itu datangnya dari Rabb-mu, barangsiapa yang ingin beriman
hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir." (QS. 18:
29)
Al-Qur’an telah mengetengahkan sikap menentang kedzaliman dan orang-
orang yang berbuat dzalim dalam sekitar tiga ratus dua puluh ayat, dan
memerintahkan berbuat adil dalam lima puluh empat ayat yang diungkapkan dengan
kata-kata: ‘adl, qisth dan qishas.
Al-Qur’an mengajukan sekitar delapan puluh ayat tentang hidup,
pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana hidup. Misalnya: "Barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau
bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah
membunuh manusia seluruhnya." (QS. 5: 32). Juga Qur’an bicara kehormatan
dalam sekitar dua puluh ayat.
Al-Qur’an menjelaskan sekitar seratus lima puluh ayat tentang ciptaan dan
makhluk-makhluk, serta tentang persamaan dalam penciptaan. Misalnya: "... Orang
yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertawa diantara kamu." (QS.
49: 13)

Pada haji wada’ Rasulullah menegaskan secara gamblang tentang hak-hak asasi
manusia, pada lingkup muslim dan non-muslim, pemimpin dan rakyat, laki-laki dan
wanita. Pada khutbah itu nabi saw juga menolak teori Yahudi mengenai nilai dasar
keturunan.
Manusia di mata Islam semua sama, walau berbeda keturunan, kekayaan, jabatan
atau jenis kelamin. Ketaqwaan-lah yang membedakan mereka. Rakyat dan penguasa
juga memiliki persamaan dalam Islam. Yang demikian ini hingga sekarang belum
dicapai oleh sistem demokrasi modern. Nabi saw sebagai kepala negara juga adalah
manusia biasa, berlaku terhadapnya apa yang berlaku bagi rakyat. Maka Allah
memerintahkan beliau untuk menyatakan: "Katakanlah bahwa aku hanyalah
manusia biasa, hanya saja aku diberi wahyu, bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang
Esa." (QS. 18: 110).

Rumusan HAM dalam Islam


Apa yang disebut dengan hak asasi manusia dalam aturan buatan manusia
adalah keharusan (dharurat) yang mana masyarakat tidak dapat hidup tanpa
dengannya. Para ulama muslim mendefinisikan masalah-masalah dalam kitab Fiqh
yang disebut sebagai Ad-Dharurat Al-Khams, dimana ditetapkan bahwa tujuan
akhir syari’ah Islam adalah menjaga akal, agama, jiwa, kehormatan dan harta benda
manusia.
Nabi saw telah menegaskan hak-hak ini dalam suatu pertemuan besar
internasional, yaitu pada haji wada’. Dari Abu Umamah bin Tsa’labah, nabi saw
bersabda: "Barangsiapa merampas hak seorang muslim, maka dia telah berhak
masuk neraka dan haram masuk surga." Seorang lelaki bertanya: "Walaupun itu
sesuatu yang kecil, wahay rasulullah ?" Beliau menjawab: "Walaupun hanya
sebatang kayu arak." (HR. Muslim).
Islam berbeda dengan sistem lain dalam hal bahwa hak-hak manusia sebagai
hamba Allah tidak boleh diserahkan dan bergantung kepada penguasa dan undang-
undangnya. Tetapi semua harus mengacu pada hukum Allah. Sampai kepada soal
shadaqah tetap dipandang sebagaimana hal-hal besar lain. Misalnya Allah melarang
bershadaqah (berbuat baik) dengan hal-hal yang buruk. "Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya..." (QS. 2: 267).
1. Hak-hak Alamiah
Hak-hak alamiah manusia telah diberikan kepada seluruh ummat
manusia sebagai makhluk yang diciptakan dari unsur yang sama dan dari
sumber yang sama pula (lihat QS. 4: 1, QS. 3: 195).
a. Hak Hidup
b. Hak Kebebasan Beragama dan Kebebasan Pribadi
c. Hak Bekerja

2. Hak Hidup
Islam melindungi segala hak yang diperoleh manusia yang
disyari’atkan oleh Allah. Diantara hak-hak ini adalah :
a. Hak Pemilikan
b. Hak Berkeluarga
c. Hak Keamanan
d. Hak Keadilan
e. Hak Saling Membela dan Mendukung
f. Hak Keadilan dan Persamaan

Anda mungkin juga menyukai