Anda di halaman 1dari 12

USHUL FIQH

AL AHKAM AS-SYARI’YYAH

MAKALAH

DISUSUN OLEH:

AKHIRI SYAKBAN

MUSLAILI MAULANA

DINI MARSADINDA

SURYAH

DOSEN PENGAMPU:

KHAIRIL ANWAR,M.IRKH

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH SYAR’IAH)

JURUSAN SYAR’IAH DAN EKONOMI ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) BENGKALIS

TP. 2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang.

Manusia membutuhkan pedoman atau panduan untuk mengatur tata laku


kehidupannya. Pedoman itu menentukan perbuatan yang boleh dan tidak boleh
dilakukan. Sebagai umat Islam, pedoman itu kita dapat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kita wajib mentaatinya. Al-Qur’an adalah sumber pokok hukum Islam yang pertama
dan As-Sunnah berfungsi untuk memperkuat, memperjelas dan menetapkan yang
belum disebut dalam Al-Qur’an. Rasulullah SAW menjadi uswatun hasanah bagi kita.

B. Rumusan masalah

1. Pengertian al-ahkam,
2. Pengertian dan penjelasan mahkum fih,
3. Pengertian dan penjelasan mahkum alaih,
4. Pengertian dan penjelasan al-hakim,

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari al-ahqam,


2. Mengetahui pengertian dari mahkum fih,
3. Mengetahui pengertian dari mahkum ‘alaih,
4. Mengetahui pengertian dari al-hakim,
BAB III

PEMBAHASAN

AL AHKAM AS-SYARI’YYAH

A. AL AHKAM
1.Pengertian Al ahkam
Pengertian hukum secara etimologis, yaitu memimpin, memerintah, menetapkan, dan
memutuskan', mencegah Qadha" Sedangkan secara terminologis, menurut jumhur
ushuliyyin, hukum yaitu: ‫» خطاب هللا المتعلق بأفعال المكلفين باالقتضاء أو التخيير أو الوضع‬
“Khitab (kalam) Allah yang berhubungan dengan perbuatan seorang mukalla baik
berupa iqtidha’ (perintah, larangan, anjuran untuk mengerjakan atau anjuran untuk
meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara
melakukan dan tidak melakukan), atau wadhi (ketentuan yang menetapkan sesuatu
sebagai sebab, syarat, atau mani’ (penghalang).” Menurut fuqaha, pengertian hukum
adalah: ‫مقتض خطاب هللا المتعلق بأفعال المكلفي‬. “Tuntutan dari khitab (firman) Allah yang
berhubungan dengan perbuatan perbuatan seorang mukallaf “5 Wahbah Zuhaili
memasukan ke dalam kategori hukum wadh’i di atas hukum sah, fasad/batal, ‘azimah,
dan rukhshah. Khitabullah yang dimaksud dalam definisi tersebut di atas ialah kalam
Allah. Kalam Allah adalah hukum baik langsung, seperti ayat-ayat hukum dalam Al-
Qur’an, atau secara tidak langsung seperti hadis-hadis hukum dalam Sunnah
Rasulullah Saw. Yang mengatur amal perbuatan manusia. Hadis hukum dianggap
sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena apa yang diucapkan Rasulullah Saw.
Di bidang tasyri’ tidak lain adalah petunjuk Allah juga. Hal ini sesuai firman Allah dalam
surah An-Nazm (53): 3-4: ‫إن هو إال وح يوح‬: ‫ وما ينطق عن الهوى‬. Dan tidaklah yang
diucapkan itu (Al-Qur’an) menurut ketentuan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Kedua ayat tersebut di atas
menjelaskan bahwa Rasulullah Saw, tidak mengucapkan sesuatu kecuali berdasarkan
wahyu.” Sedangkan menurut fuqaha, definisi hukum adalah suatu karakter (sifat) yang
merupakan implikasi dari kitab tersebut. Dalam pegertian hukum, terdapat perbedaan
terminologi, para ushuliyin menjadikan hukum sebagai ilmu tentang khitab syari’
(Allah), yang menuntut mukallaf.

Untuk berbuat atau tidak, atau khitab itu menjadi suatu sebab, syarat atau penghalang
atas suatu perbuatannya.” Seperti firman Allah Surah Al-Baqarah (2): 43:
‫– وأقيموا الصلوة وعاثوا الزكوة وأركعوا مع الراكعي‬
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.

Adapun menurut fuqaha, hukum itu adalah sifat yang merupakan implikasi dari khitab
tersebut, seperti kewajiban shalat, perintah untuk mencatat utang, keharaman zina,
kemakruhan jual beli waktu azan jumat dikumandangkan, pembolehan berburu
setelah melakukan ihram, penyebab wajibnya shalat setelah tergelincirnya
matahari,(dari titik kulminasi). Perbedaan dalam terminologi ini tidak memiliki
implikasi praktis. Sedangkan kata syara's secara harfiyah artinya membuat peraturan,
undang-undang, membuka, memulai, menjelaskan, menerangkan," jalan ke tempat
mata air, atau tempat yang dilalui air sungai, atau peraturan.
Menurut Faruq Nabhan, secara istilah, syara’ berarti “segala sesuatu yang disyariatkan
Allah kepada hamba-hamba-Nya. Sedangkan menurut Manna’ Al-Qathan, syara’
berarti “segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambanya, baik
menyangkut akidah, ibadah, akhlak maupun mu’amalah”. Dari beberapa definisi di
atas dapat disimpulkan bahwa syara, itu identik dengan pengertian diin (agama).

Memang pada mulanya kata syariah meliputi semua aspek ajaran agama yakni akidah,
syariah (hukum), dan akhlak. Ini terlihat pada syariat setiap agama yang diturunkan
sebelum Islam. Karena bagi setiap umat, Allah memberikan syariat dan jalan yang
terang (Al-Maidah (5):48)Oleh karena itu, Mahmud Syaltut dalam bukunya al Islam
Aqidah wa Syariah, mendefinisikan syariah dengan peraturan yang diturunkan Allah
kepada manusia agar dipedomani dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan
sesamanya, dengan lingkungan dan dengan kehidupan. 10 Sedangkan menurut Prof.
Dr. Achmad El Ghandur, syariat ialah sesuatu yang diturunkan oleh Allah melalui
Rasulnya yang mulia, untuk umat manusia agar mereka ke luar dari kegelapan ke
terang benderang dan mendapatkan petunjuk ke arah yang lurus."
Walaupun pada mulanya syara' diartikan dengan diin (agama), tetapi kemudian ia
dikhususkan untuk hukum 'amaliyah. Pengkhususan ini untuk membedakan antara
agama dengan syari'ah, karena pada hakikatnya agama itu satu dan berlaku secara
universal. Sedangkan syariah berbeda antara satu umat dengan umat lainnya.
Qatadah, menurut yang diriwayatkan oleh Thabari, mengkhususkan lagi pemakaian
kata syariah untuk hal hal yang menyangkut kewajiban, sanksi hukum, perintah, dan
larangan. Beliau tidak memasukkan akidah, hikmah-hikmah, dan ibarat-ibarat yang
tercakup dalam agama ke dalam syara'.
Dalam perkembangan selanjutnya kata syara' tertuju atau digunakan untuk
menunjukkan hukum-hukum Islam, baik yang ditetapkan langsung oleh Al-Qur'an dan
Sunnah, maupun yang telah dicampuri oleh pemikiran manusia (ijtihad).

Istilah syara' erat kaitannya dengan istilah tasyri'. Syara' tertuju pada materi hukum,
sedangkan tasyri' merupakan penetapan materi syari'ah tersebut. Pengetahuan
tentang tasyri' berarti pengetahuan tentang cara. proses, dasar, dan tujuan Allah
menetapkan hukum-hukum tersebut.

B.MAHKUM FIIH
1.Pengertian Mahkum fiih

Definisi mahkum fih, menurut Abdul Wahab Khallaf, yaitu:


‫هو فعل المكلف الذي تعلق به حكم الشارع‬.
Mahkum Fiih yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengannya hukum Syari’.
Misalnya firman Allah dalam surah Al-Maidah (5): 1:
‫يأيها الذين امنوا أوفوا بالعقود أجلت لكم بهيمة األنعام إال ما يتىل عليكم غي محىل الصيد وأنتم حرم إن هللا‬
‫حكم ما يريد‬
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah agad-agad itu dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Yang menjadi objek perintah dalam ayat tersebut adalah perbuatan orang mukallaf
yaitu perbuatan menyempurnakan janji yang diwajibkan dengan ayat tersebut.

2.Syarat-Syarat Mahkum fiih


Ada beberapa persyaratan bagi sahnya suatu perbuatan hukum, yaitu:
a. Perbuatan itu diketahui secara sempurna oleh mukallaf, sehingga ia mampu
mengerjakan perintah Allah secara lengkap. Misalnya perintah mendirikan shalat.
Nash Al-Qur'an dan hadis telah menjelaskan tentang rukun, syarat, dan tata cara
shalat.
b. b. Seorang mukallaf mengetahui, bahwa perintah itu datang dari Allah atau Rasulullah
Saw. Itulah sebabnya setiap upaya mencari pencarian hukum yang paling pertama
dilakukan adalah pembahasan keshahihan dalil sebagai simber hukum syara’.
c. Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang itu haruslah perbuatan yang mampu
dilaksanakan oleh manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Baqarah
(2): 286:

‫ال يكلف هللا نفسا إال وسعها لها ما كسبت وعليها ما اكتسبت ربنا ال تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا ربنا وال تحمل علينا‬
‫ وأعف عنا واغفر لنا وارحمنا أنت مولينا‬،‫إضرا كما حملته على الذين من قبلنا ربنا وال تحملنا ما ال طاقة لنا به‬
‫– فأنصرنا على القوم الكافرين‬

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia


mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa):
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri
maaflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami,
maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.

C.MAHKUM ‘ALAIH

1.Pengertian Mahkum ‘Alaih

Menurut Syaikh Muhammad Khudari Biek, Mahkum 'Alaih yaitu mukallaf³ (orang yang
dibebani hukum atau subjek hukum). Sedangkan definisi Mahkum 'alaih menurut
Abdul Wahab Khallaf, yaitu:

" .‫ هو المكلف الذي تعلق حكم الشارع بفعله‬:‫المحكوم عليه‬

Mahkum ‘alaih adalah seorang mukallaf yang berhubungan dengan kemampuan


nengerjakan hukum syari’.”

2.Persyaratan Mahkum ‘Alaih

Seseorang baru dianggap layak (al-ahliyah) dibebani hukum taklif, bilamana pada
dirinya terdapat beberapa persyaratan:
a.Mampu memahami

"‫ وعن ا نون حتى يعقل‬،‫ وعن الصبي حتى يحتلم‬،‫ النائم حتى يستيقظ‬:‫"رفع القلم عن ثالثة‬
Diangkat kalam (tidak ada tuntutan) dari tiga (golongan), di antaranya orang yang tidur
sampai ia bangun, anak kecil sehingga ia baligh (mimpi), dan orang gila sehingga ia sadar.”
(HR Tirmidzi)

Yang dimaksud paham adalah mengerti makna kata-kata yang dipergunakan dalam taklif. Hal
ini karena maksud Syari’ dengan pengarahan seruan adalah mengamalkan atau menolak
hujjah dari manusia. Allah Swt. Berfirman An-Nisa’ (4): 165:

‫رسال مسلمين ومدرين لما يكون للناس على هللا حجة بعد الرسل وكان هللا عنا حكيما‬
(mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar
supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.
Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Pengamalan dan penolakan hujjah tersebut mustahil timbul dari orang-orang yang tidak
memilki perasaan, di mana tuntutan atas sesuatu yang mustahil adalah tidak mungkin.
Pengertian ini ditujukan kepada firman Allah dalam surah Ibrahim (14): 4:

) ‫ لمين لهم فضل هللا من يشاء ويهدي من يشاء وهو العزيز الحكيم‬، ‫وما أرسلنا من رسول إال بلسان قومه‬
Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat
memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia
kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan yang
Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.

b.Mempunyai ahliyah (Kecakapan hukum)

Ulama ushul fiqh membagi ahliyah kepada dua macam, yaitu:

1) Ahliyah al-wujub. Yang dimaksud ahliyah al-wujub, menurut Wahab Khallaf yaitu

‫صالحية اإلنسان ألن تثبت له حقوق وتجب عليه واجبات‬


Kecakapan manusia yang tetap baginya menerima hak-hak dan dikenai kewajiban.

Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi setiap manusia ditinjau dari segi bahwa ia adalah
makhluk Allah, semenjak ia dilahirkan sampai ia meninggal dunia.

Dan ahliyah al-wujub juga dibagi kepada dua bagian, yaitu:

• Ahliyah al-wujub naqishah. Kecakapan dikenai hukum secara lemah, yaitu kecakapan
seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban, atau
kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak. Contoh
kecakapan untuk menerima hak, tetapi tidak untuk menerima kewajiban adalah bayi
dalam kandungan ibunya. Bayi atau janin itu telah berhak menerima hak kebendaan
seperti waris dan wasiat, meskipun ia belum lahir. Realisasi dari hak itu berlaku
setelah ternyata ia lahir dalam keadaan hidup. Bayi dalam kandungan itu tidak
dibebani kewajiban apa-apa, karena secara jenis ia belum bernama manusia. Contoh
kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak cakap menerima hak adalah orang
yang mati tetapi masih meninggalkan utang. Dengan kematian itu, ia tidak akan
mendapatkan hak apa apa lagi, karena hak adalah untuk manusia yang hidup. Tetapi
si orang mati itu akan tetap dikenai kewajiban untuk membayar utang yang dibuatnya
selama ia masih hidup. Kewajiban ini tentunya yang menyangkut harta benda yang
dapat dilakukan oleh orang lain. Adapun kewajiban yang menyangkut pribadi, seperti
shalat yang tertinggal menjadi gugur oleh kematiannya karena pelaksanaan kewajiban
seperti itu tidak dapat digantikan oleh orang lain.
• Ahliyah al-Wujub Kamilah, yaitu seseorang yang secara potensial dipandang
sempurna memiliki kecakapan untuk dikenai kewajiban sekaligus diberi hak.
Kecakapan potensial untuk secara sempurna memikul kewajiban dan menerima hak
itu berlaku sejak seseorang lahir ke dunia sampai akhir hayatnya. Contohnya ialah bayi
dipandang cakap menerima hak, seperti hak menerima warisan dari pewarisnya,
sekaligus dipandang cakap dikenai kewajiban tertentu seperti kewajiban zakat fitrah
dan kewajiban zakat atas hartanya, menurut sebagian ulama. Demikian juga orang
sedang berada dalam kondisi menghadapi kematian (sakaratul maut). Meskipun
berada di penghujung hidupnya, namun karena ia masih hidup, maka selain tetap
dikenai kewajiban zakat fitrah dan zakat atas hartanya, ia juga tetap memiliki hak
menerima harta warisan sebagai ahli waris dari pewarisnya yang lebih dahulu wafat
darinya.

2).Ahliyah al-Ada'. Ahliyah al-ada' menurut Abdul Wahab Khallaf, yaitu:

‫صالحية المكلف ألن تعتبر شرعا أقواله وأفعاله‬

Kecakapan seorang mukallaf secara hukum syara' untuk berkata dan berbuat.

Atau kecakapan bertindak secara hukum, kecakapan bertanggung jawab secara hukum atas
semua perkataan dan perbuatannya. Ulama Ushul Fiqh membagi ahliyah al-ada' kepada dua
bagian, yaitu:

1) Adimul ahliyah li al-ada' (Tidak memiliki kecakapan untuk bertindak), yaitu manusia sejak
lahir sampai mencapai usia tamyiz sekitar umur 7 tahun.

2) Ahliyah al-ada al-Nagishah (Kecakapan bertindak tidak sempurna), yaitu cakap berbuat
hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah mencapai usia tamyiz (kira-kira 7 tahun)
sampai batas dewasa. Penamaan lemah karena memang akalnya belum sempurna, sedangkan
taklif berlaku bagi akal yang sempurna. Manusia dalam batas umur ini dalam hubungannya
dengan hukum, sebagian tindakannya telah dikenai hukum.

3).Ahliyah al-ada’ al-Kamilah (Kecakapan bertindak secara sempurna), yaitu seseorang yang
telah mencapai usia dewasa (usia baligh). Pada usia ini seseorang dikenai beban hukum taklifi,
seperti wajib mengerjakan shalat, puasa, haji, dan lain-lain. Segala perbuatannya pun dikenai
hukum, seperti membunuh dikenai qishash, bila berzina dikenai hukuman had, bila qadzaf
akan dicambuk 80 kali. Ia akan dikenai hukuman dan siksa menurut syara’, apabila melanggar
atau mengerjakan hal-hal yang dilarang oleh syara’.
Adapun dalam masalah akad, transaksi dan penggunaan harta, walaupun ia sudah baligh,
tetapi kalau ia dipandang tidak cakap. (rusydi), maka para ulama sepakat tidak diperbolehkan.
Hal ini berdasarkan kepada firman Allah dalam surah An-Nisa’ (4): 5:

: ‫ أمولكم التي جعل هللا لكم قيما وأرزقوهم فيها وأكسوهم وقولوا لهم قوال معروفا‬،‫وال تؤتوا الشفها‬
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, 10 harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan berilah
mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata
yang baik.

c. Awaridh Al-Ahliyah

Awaridh al-ahliyah atau penghalang kecakpan terbagi kepada dua macam, yaitu:

1) Awaridh Samawiyah, yaitu penghalang yang datangnya bukan dari diri manusia, dan bukan
pula dari kemauannya, tetapi memang datangnya dari Allah Swt.

2) Awaridh muktasabah, yaitu penghalang yang terjadi dengan kehendak manusia, baik dari
dirinya sendiri, maupun dari luar dirinya. Adapun yang termasuk awaridh samawiyah, yaitu di
antaranya adalah:

a) Al-Junun (Gila)

b) Usia kanak-kanak

3) An-Naum (tidur). Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah Saw riwayat Tirmidzi:

“."‫ وعن المجنون حتى يعقل‬،‫ وعن الصبي حتى يحتلم‬،‫ النائم حتى يستيقظ‬:‫رفع القلم عن ثالثة‬

Diangkat kalam (tidak ada tuntutan) dari tiga (golongan), di antaranya orang yang tidur
sampai ia bangun, anak kecil sehingga ia baligh (mimpi), dan orang gila sehingga ia sadar.” (HR
Tirmidzi)

4) Al-Ittah (Lemah akalnya/Dungu/Idiot). Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah Saw. Riwayat
Tirmidzi:

‫عن علي أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال رفع القلم عن ثالثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يشب وعن‬
‫المعتوه حتى يعقل‬
Dari Ali, bahwasanya Rasulullah Saw. Bersabda, “Diangkat kalam (tidak ada tuntutan) dari tiga
golongan; dari orang yang tidur sampai ia terjaga, dari anak kecil sampai ia menjadi pemuda,
dan dari orang yang dungu (idiot) sampai ia dapat berpikir.”

5) An-Nisyan (Lupa).

6) Al-Khata (kesalahan/kekeliruan)

7) Al-ikrah (dipaksa). Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Saw. Riwayat Ibnu Majah sebagai
berikut.

‫عن ابن عباس عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال إن هللا وضع عن أمني الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه‬
Dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menghukum
umatku karena tersalah,lupa,dan dipaksa.

8) Al-Ighma (Pingsan)

9) Al-maradh (Sakit). Misalnya orang yang sakit boleh tidak berpuasa, sesuai dengan firman
Allah dalam surah Al-Baqarah (2): 184:

‫ فدية طعام مسكين فمن تطوع‬,‫أياما معدودات فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر وعلى الذين يطيقونه‬
- ‫ وأن تصوموا خير لكم إن كنتم تعلمون‬,‫خيرا فهو خير له‬
yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya Gjika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan
seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Itulah
yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

10) Haidh dan Nifas

11) Al-maut (Mati) Adapun yang termasuk awaridh muktasabah, yaitu di antaranya adalah:

a) As-Sakr (Mabuk)

b) Al-Hazl (Bergurau/main-main)

c) As-safah (Bodoh). Menurut ijma’, jika safah belum mencapai usia baligh, maka ia dilarang
membelanjakan hartanya berdasarkan firman Allah surah An-Nisa’ (4): 5:

: ‫وال تؤتوا السفهاء أموالكم التي جعل هللا لكم قيما وأرزقوهم فيها وأكسوهم وقولوا لهم قوالً معروفا‬
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah
mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata
yang baik.

d. As-safar (Perjalanan)
Contohnya terdapat dalam Surah Al-Baqarah (2): 185
‫شهر رمضان الذي أنزل فيه القرءان هدى للناس وبينت من الهدى والفرقان فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان‬
‫مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر ير يد هللا بكم اليسر وال پريد بكم العسر ولتكملوا العدة ولتكبروا هللا على ما هديكم‬
( – ‫ولعلكم تشكروت‬Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena
itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah
Baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-
Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
D Al-Hakim

1. Pengertian al-hakim

Menurut Abdul Wahab Khalaf, hakim yaitu:


‫ وهو من صدر عنه‬:‫ الحاكم‬.‫الحكم‬

“Hakim adalah yang menetapkan hukum atau yang memutuskan hukum.”

Tidak terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqh, bahwa al-hakim itu adalah
Allah Swt., dan tidak ada syariat yang sah melainkan dari Allah Swt. Hal ini sesuai dengan
firman Allah Swt. Dalam Surah Al ‘An’am (6); 57:

ِ ‫ّلِل ۗ َي ُقصُّ ْال َحـقَّ َوه َُو َخي ُْر الْ ٰف‬
َ‫ص ِليْن‬ ْ ‫ع ٰلى َب ِينَ ٍة م ِْن َّر ِب ْي َو َك َّذبْتُ ْم ِبه ۗ َما ِع ْن ِد‬
ِ ‫ي َما تَ ْستَ ْع ِج ُل ْونَ ِبه ۗ ا ِِن ْال ُح ْك ُم ا َِّال ِ ه‬ َ ‫ُقلْ ا ِِن ْي‬
Qul innii ‘alaa bayyinatim mir robbii wa kazzabtum bih, maa ‘ingdii maa tasta’jiluuna bih, inil-
hukmu illaa lillaah, yaqushshul-haqqo wa huwa khoirul-faashiliin

“Katakanlah (Muhammad), “Aku (berada) di atas keterangan yang nyata (Al-Qur’an) dari
Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan azab)
yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak
Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.””
(QS. Al-An’am 6: Ayat 57)
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Hukum secara etimologis, yaitu memimpin, memerintah, menetapkan, dan memutuskan’,


mencegah Qadha” Sedangkan secara terminologis, menurut jumhur ushuliyyin, hukum yaitu Khitab
(kalam) Allah yang berhubungan dengan perbuatan seorang mukalla baik berupa iqtidha’ (perintah,
larangan, anjuran untuk mengerjakan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi
orang mukallaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadhi (ketentuan yang
menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ (penghalang).” Mahkum Fiih yaitu perbuatan
mukallaf yang berhubungan dengannya hukum Syari’. Menurut Syaikh Muhammad Khudari Biek,
Mahkum 'Alaih yaitu mukallaf (orang yang dibebani hukum atau subjek hukum). Sedangkan
definisi Mahkum 'alaih menurut Abdul Wahab Khallaf, yaitu Mahkum ‘alaih adalah seorang
mukallaf yang berhubungan dengan kemampuan nengerjakan hukum syari’.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Ushul FFiqh, Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin,

Anda mungkin juga menyukai