Anda di halaman 1dari 15

Israiliyat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Israiliyat (Arab: ‫اسرائیلیات‬, Isra'iliyat, arti harfiah: "dari Isra'il") dalam ilmu hadits


dalam agama Islam adalah sekelompok hadits yang berasal dari tradisi Yahudi-Kristen. Ini berbeda dari
sumber-sumber yang umumnya dapat diterima, yaitu dari ucapan-ucapan Nabi Muhammad.[1] Hadits-
hadits Israiliyat umumnya berupa berbagai cerita dan tradisi non-Alkitab Yahudi (bahasa
Ibrani: midrashim) serta Kristiani yang memberikan informasi atau interpretasi tambahan mengenai
kejadian atau tokoh yang disebutkan di dalam kitab-kitab suci Yahudi.

Daftar isi

  [sembunyikan] 

1Penggolongan

2Tokoh

3Referensi

4Pranala luar

Penggolongan[sunting | sunting sumber]

Ahli hadist menggolongkan hadist-hadist Israiliyat ke dalam tiga kategori:[1]

Hadits yang dianggap benar, karena wahyu dari Nabi Muhammad menegaskan hadits tersebut.

Hadits yang dianggap palsu, karena wahyu dari Nabi Muhammad menolak hadits tersebut.

Hadits yang tidak dikenali baik kebenarannya atau kesalahannya.

Tokoh[sunting | sunting sumber]

Tokoh-tokoh yang terkenal meriwayatkan hadits israiliyat antara lain adalah Ka'ab al-Ahbar dan Wahb
bin Munabbih.[2]
Israiliyat dalam penafsiran

Israiliyyat dalam Tafsir

A.Pendahuluan

       Pada masa Rasullullah hidup, para sahabat manakala menemukan kesulitan dalam memahami suatu
ayat di dalam Al-Qur’an mereka langsung bertanya kepada Rasul. Kemudian Rasul menjawabnya dan
memberikan penjelasan terhadap makna kandungan ayat tersebut. Penafsiran Al-Qur’an pada masa
Rasul adalah penjelasan secara langsung oleh beliau sendiri, karena orang yang memahami Al-Quran
adalah Rasullullah. Keadaan ini berlangsung sampai Rasul wafat.

      Ketika Rasul wafat, para sahabat banyak menemukan kesulitan dalam memahami suatu ayat.
Sumber penafsiran pada masa sahabat yaitu mereka menggunakan Al-Qur’an, Hadits Rasul, mereka juga
menanyakan kepada sahabat yang terlibat langsung serta yang memahami ayat tersebut. Apabila hal
tersebut tidak ditemukan, mereka melakukan ijtihad yaitu yang dilakukan oleh orang-orang yang
mempunyai kapasitas intelektual dan juga harus memenuhi syarat-syarat tertentu.

        Sedangkan sumber penafsiran pada masa tabi’in adalah dengan menggunakan Al-Qur’an, Hadits
Rasul yaitu apa yang diriwayatkan Sahabat dari Rasullulah, dari apa yang diriwayatkan sahabat dari tafsir
mereka dan melakukan ijtihad yang berdasarkan Al-Qur’an dan hadits. Dan juga mengambil dari Ahli
kitab yang berdasarkan kitab mereka. Selain mereka bertanya kepada sahabat, mereka juga
menanyakan beberapa masalah, seperti kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an dan kisah-kisah
umat terdahulu kepada tokoh-tokoh Ahli Kitab yang telah memeluk islam yaitu orang Yahudi dan
Nasrani. Hal inilah yang kemudian menjadi awal lahirnya Israiliyat.

       Dalam pembahasan selanjutnya akan dijelaskan tentang pengertian israiliyat, bagaimana proses
masuk dan berkembangnya israiliyat dalam tafsir, tokoh-tokoh israiliyat, macam-macam israiliyat
beserta contohnya dan pandangan ulama terhadap israiliyat dalam penafsiran suatu ayat Al-Qur’an.

B.Pengertian Israiliyyat

       Secara bahasa kata Israiliyat merupakan kata jamak. Mufratnya diambil dari kataisrailiyah, yang


dinisbahkan kepada Bani Israil (keturunan Israil). Kata Israiliyah merupakan bentuk kata yang
dinisbahkan kepada kata Israil yang berasal dari kata Ibrani, Isra yang berarti hamba dan Il berarti
Tuhan/Allah. Bani israil adalah keturunan dari Nabi Ya’qub a.s. yang berkembang hingga Nabi Musa a.s.
dan seterusnya nabi yang datang silih berganti sehinggalah keturunan yang terakhir yaitu Nabi Isa a.s.
Keturunan Nabi Ya’kub atau Bani Israil sejak beberapa zaman lalu disebut dengan nama Yahudi[1].
Keturunan  pada masa Nabi Isa a.s. disebut dengan nama Nasrani. Istilah lain yang dipakai dalam Al-
Quran untuk umat Yahudi dan Nasrani adalah Ahl Kitab.

      Secara Istilah para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan Israiliyat. Menurut Syeikh
Muhammad Husein Az-zahabi adalah makna lahiriyah dari Israiliyat adalah pengaruh kebudayaan Yahudi
dan Nasrani terhadap penafsiran Al-Qur’an. Kisah yang dimasukkan dalam tafsir yang periwayatannya
kepada sumber Yahudi dan Nasrani[2]. Menurut Amin Al-Khuli Israiliyat adalah informasi-informasi yang
berasal dari ahli kitab yang menjelaskan nash-nash Al-Qur’an. Sedangkan Menurut Sayyid Ahmad Khalil
mendefinisikan Israiliyat adalah riwayat-riwayat yang berasal dari ahli kitab baik yang berhubungan
dengan agama mereka maupun yang tidak ada hubungannya sama sekali dengannya. Penisbahan
riwayat Israiliyat kepada Yahudi  karena para perawinya berasal dari kalangan mereka yang sudah masuk
islam.

       Orang-orang Yahudi kitab mereka yaitu kitab Taurat sebagaimana Firman Allah dalam Q.S. Al-
Maidah:44 yaitu:

‫إِنَّا أَن َز ْلنَا التَّوْ َراةَ فِيهَا هُدًى َونُو ٌر‬

Artinya: “Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya”...
(Q.S. Al-Maidah:44)

Dan di dalam ayat berikutnya dijelskan hukum yang terdapat di dalam kitab Taurat:

ٌ‫صاص‬ َ ‫نف َواألُ ُذنَ بِاألُ ُذ ِن َوالس َِّّن بِالسِّنِّ َو ْال ُجر‬
َ ِ‫ُوح ق‬ ِ َ‫س َو ْال َع ْينَ بِ ْال َع ْي ِن َواألَنفَ بِاأل‬ َ ‫َو َكتَ ْبنَا َعلَ ْي ِه ْم فِيهَا أَ َّن النَّ ْف‬
ِ ‫س بِالنَّ ْف‬
Artinya:”Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa dibalasdengan nyawa,
mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun
ada qisasnya (balasan yang sama)”... (Q.S.Al-Maidah:45)

      Kaum yahudi bukan hanya kitab taurat, akan tetapi ada nash-nash dan teks-teks lainnya yang tidak
ditulis yang terdapat pada masa Nabi Musa akan tetapi melalui musyafahah (lisan), sehingga didapatilah
kisah-kisah, sejarah-sejarah, tasyri’,cerita-cerita dan lain sebagainya[3].

       Sedangkan  Kaum Nasrani kitabnya adalah kitab Injil, sebagaimana Firman Allah:

‫يل‬
َ ‫نج‬ ِ َ‫ثُ َّم قَفَّ ْينَا َعلَى آث‬
ِ ِ ‫ار ِهم ِب ُر ُسلِنَا َوقَفَّ ْينَا بِ ِعي َسى ا ْب ِن َمرْ يَ َم َوآتَ ْينَاهُ اإْل‬
Artinya:”Kemudian kami susulkan rasul-rasul kami mengikuti jejak mereka dan kami susulkan (pula) Isa
Putra Maryam. Dan kami berikan berikan Injil kepadanya”..(Q.S.Al-Hadid:27)

           Kitab Taurat adalah kitab atau sumber pertama bagi kaum Yahudi, sedangkan Injil adalah kitabnya
kaum Nasrani. Apabila kita perhatikan dalam kitab Taurat dan Injil maka akan kita dapati bahwa banyak
juga mencakup di dalam Al-Quran, khususnya yaitu kisah-kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu[4].
Perbedaannya terletak pada secara umum dan terperinci. Maka Al-Quran apabila ingin mengisahkan
salah satu dari kisah para Nabi misalnya, maka menceritakannya dari segi lain yang tidak sama dengan
kitab Taurat dan injil. Di dalam Al-Quran tidak disebutkan secara mendetail permasalahan kisahnya dan
tidak disebutkan waktu kejadian sejarahnya dan tidak pula disebutkan orangnya (pelaku) karena Faedah
kisah-kisah dalam al-Quran adalah untuk mengambil ibrah (pelajaran). Sebagaimana Firman Allah
Q.S.Yusuf:111 yaitu:

َ‫َي ٍء َوهُدًى َو َرحْ َمةً لِّقَوْ ٍم ي ُْؤ ِمنُون‬ ِ ‫ق الَّ ِذي بَ ْينَ يَ َد ْي ِه َوتَ ْف‬
ْ ‫صي َل ُك َّل ش‬ ِ ‫ص ِه ْم ِعب َْرةٌ أِّل ُوْ لِي األَ ْلبَا‬
َ ‫ب َما َكانَ َح ِديثا ً يُ ْفت ََرى َولَـ ِكن تَصْ ِدي‬ َ َ‫لَقَ ْد َكانَ فِي ق‬
ِ ‫ص‬
Artinya: Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal.
(Al-Quran) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya,
menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.

C.Sejarah timbulnya Israiliyat dalam Tafsir                    


      Orang-orang Arab telah berinteraksi dengan orang Yahudi jauh sebelum Rasulullah datang membawa
ajaran Islam. Orang-orang Arab adakalanya menanyakan hal-hal yang  berkaitan dengan penciptaan
alam semesta, rahasia-rahasia yang terkandung dalam pencipataan alam, sejarah masa lalu, tokoh-tokoh
terdahulu atau suatu peristiwa yang terjadi pada masa lalu kepada orang Yahudi karena mereka
memiliki pengetahuan dari kitab Taurat atau kitab-kitab sebelumnya[5].

      Orang-orang Yahudi yang menerima ajaran islam yaitu yang telah memeluk agama islam seperti
Abdullah bin Salam dan Ka’ab al-Ahbar masuk islam pada masa pemerintahan khalifah Umar bin
Khattab. Para sahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu Abbas pernah bertanya kepada orang-orang Yahudi
tersebut tentang beberapa peristiwa masa lalu, akan tetapi tidak berhubungan dengan aqidah.
Rasulullah sendiri dalam menyikapi berita dari kalangan sahabat yang dulunya Ahl Kitab sangatlah
bijaksana. Beliau tidak menyatakan bahwa segala sesuatu yang bersumber dari orang Yahudi pasti salah
dan demikian juga tidak langsung membenarkannya. Beliau mengingatkan untuk berhati-hati dalam
menerimanya. Sebagaimana sabda Nabi:

‫ وقولوا آمنا باهلل وما أُنِز َل إلينا‬،"‫صدِّقوا أهل الكتاب وال تُ َك ِّذبوهم‬
َ ُ‫ال ت‬...

“Janganlah kamu membenarkan  (keterangan) Ahl Kitab dan jangan pula mendustakannya. Tetapi
katakanlah ‘ Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami...”(HR.Bukhari)

           Dan di dalam hadits lain Nabi memperingatkan para penyampai berita atau kisah-kisah itu agar
tidak menyimpang dalam menceritakannya.

‫بلغوا عني ولو اية و حد ثوا عن بني اسرائيل وال حرج و من كذب علي فليتبوا مقعده من النار‬

“Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat. Dan ceritakanlah dari Bani Israil karena yang demikian
itu tidak dilarang. Tetapi barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, bersiap-siaplah
menempati tempatnya di  tempatnya di neraka[6].”

        Ketika Ahli kitab masuk Islam, mereka membawa pula pengetahuan keagaamaan mereka berupa
cerita-cerita dan kisah-kisah keagaamaan  Saat mereka membaca  kisah-kisah dalam Al-
Quran  terkadang mereka paparkan rincian kisah tersebut yang terdapat dalam kitab-kitab mereka.
Ketika mereka membaca ayat Al-Quran dan ketika ayat Al-Quran itu menyinggung kisah yang sama,
mereka pun memberikan komentar berdasarkan apa yang pernah mereka baca dari kitab-kitab mereka
sebelumnya[7].

      Pada masa Tabi’in, periwayatan israiliyat semakin banyak disebabkan kecenderungan orang-orang
pada masa itu yang ingin mengetahui segala sesuatu tentang umat-umat terdahulu dan semakin
banyaknya ahli kitab yang memeluk agama islam, sehingga pengaruh israiliyat sangat besar dalam
penafsiran Al-Quran. Para mufassir klasik banyak memuat kisah-kisah israiliyat dalam kitab tafsirnya,
seperti kitab tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsiril Qur’an karya Ibnu Jarir Ath-Thabari dan kitab tafsir lainnya.

Tokoh-Tokoh Periwayat Israiliyat yaitu:

1.      Abdullah bin Salam nama lengkap beliau adalah Abu Yusuf Abdullah bin Salam bin Harist Al-Israil
Al-Anshari beliau mempunyai ilmu pengetahuan yang paling alim dikalangan bangsa Yahudi pada masa
sebelum masuk islam maupun sesudah masuk islam. Kitab-kitab tafsir banyak memuat riwayat-riwayat
yang disandarkan kepada beliau diantaranya Tafsir Ath-Thabari.

2.      Ka’ab Al-Akhbar nama lengkap beliau adalah Abu Ishaq Ka’ab bin Mani Al-Hindiari. Beliau berasal
dari Yahudi Yaman dari keluarga Ziraim.

3.      Wahab bin Munabbih nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Wahab bin Munabbih bin Sij Zinas
Al-Yamani Ash-Sha’ni lahir pada tahun 34 H dari keluarga keturunan Persia yang migrasi ke negeri Yaman
dan meninggal pada tahun 110 H.

4.      Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij. Beliau adalah orang Nasrani, orang pengarang pertama kitab
di Hijaz. Beliau adalah tokoh israiliyat pada masa tabi’in. Apabila kita melihat dalam kitab Tafsir Ath-
Thabari, yaitu ayat-ayat tentang Nasrani, maka riwayat israiliyat tersebut banyak diriwayatkan oleh Ibnu
Juraij[8].

       Para ulama berbeda pendapat dalam mengakui dan mempercayai Ahli Kitab tersebut, ada yang
menolak dan ada yang menerimanya. Perbedaan pendapat paling besar adalah mengenai Ka’ab Al-
Akhbar. Sedangkan Abdullah bin Salam adalah orang yang pandai dan paling tinggi kedudukannya.
Karena itu Bukhari dan Ahli hadits lainnya memegangi dan mempercayainya. Di samping itu kepadanya
tidak dituduhkan hal-hal yang bersifat buruk seperti yang dituduhkan pada Ka’ab Al-Akhbar dan Wahab
ibn Munabbih[9].

D.Macam-macam israiliyat beserta contohnya

      Macam-macam israiliyat berdasarkan kebenaran dan tidaknya terbagi menjadi dua yaitu:

-Contoh cerita israiliyat  yang benar (shahih), yaitu seperti cerita israiliyat yang membenarkan apa yang
ada di dalam Al-Qur’an mengenai sifat-sifat Rasullullah. Allah SWT berfirman:

٤٦- ً‫ َودَا ِعيا ً إِلَى هَّللا ِ بِإِ ْذنِ ِه َو ِس َراجا ً ُّمنِيرا‬-٤٥- ً‫يَا أَيُّهَا النَّبِ ُّي إِنَّا أَرْ َس ْلنَاكَ شَا ِهداً َو ُمبَ ِّشراً َونَ ِذيرا‬

Artinya:Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami Mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira
dan pemberi peringatan,(45) dan untuk menjadi penyeru kepada (agama) Allah dengan izin-Nya dan
sebagai cahaya yang menerangi.(46)

        Di dalam kitab Ibnu Katsir. Imam Ahmad meriwayatkan dari Atha’ bin Yasar bahwa ia telah bertemu
dengan Abdullah bin Amr, lalu beliau berkata kepadanya, “Beritahukan kepadaku tentang sifat nabi SAW
dalam taurat. Abdullah berkata, “baik” demi Allah beliau tersifat dalam Taurat seperti sifatnya dalam al-
qur’an, “Wahai Nabi, sesungguhnya bukan sebagai orang yang berperangai kasar dan bukan berwatak
keras. Allah SWT tidak akan mencabut nyawanya sehingga dengannya ia meluruskan agama yang
bengkok dengan mengatakan, tiada Tuhan selain Allah,dengannya ia membuka  hati yang tertutup,
telinga yang tuli dan mati (hati) yang buta[10].

       Atha’ berkata “Saya telah bertemu Wahab bin Munabbah lalu saya menanyainya tentang hal itu,
maka tidaklah  menyalahi satu huruf pun dalam menyifati nabi sebagaimana dalam Taurat dan Al-
Qur’an.

-Contoh israiliyat yang palsu, seperti legenda gunung “Qof” yang mengitari langit dan bumi.
            Menurut Muhammad Husein Adz-Dzahabi, macam-macam cerita israiliyat itu terbagi menjadi tiga
yaitu:

-cerita israiliyat yang shahih, itu boleh diterima. Seperti nama guru Nabi Musa a.s yaitu Nabi Khaidir

- israiliyat yang dusta yang kita ketahui kedustaannya karena bertentangan dengan syari’at, itu ditolak,
tidak boleh diterima[11].

-israiliyat yang tidak diketahui kebenaran dan kepalsuannya, itu didiamkan, tidak didustakan dan juga
tidak dibenarkan. Jangan mengimaninya dan jangan pula membohongkannya. Sebagaimana Sabda Nabi:

‫ وقولوا آمنا باهلل وما أُنِز َل إلينا‬،"‫صدِّقوا أهل الكتاب وال تُ َك ِّذبوهم‬
َ ُ‫ال ت‬...

“Janganlah kamu membenarkan  (keterangan) Ahl Kitab dan jangan pula mendustakannya. Tetapi
katakanlah ‘ Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami...”(HR.Bukhari)

        Seperti nama-nama ashabul kahfi, warna anjing mereka, tongkat nabi Musa dari pohon apa, nama
burung yang dihidupkan Allah kepada Nabi Ibrahim, nama sapi yang dipukul oleh Bani Israil dan lain
sebagainya[12].

E.Pendapat Ulama tentang Israiliyat dalam Tafsir

       Para ulama tidak menetapkan hukum secara mutlaq terhadap israiliyat dalam tafsir, boleh
mengambil riwayat israiliyat asal tidak berhubungan dengan aqidah. Hal ini di sebabkan adanya dalil
yang membolehkan untuk mengambil dari ahli kitab dan ada juga hadis rasulullah yang melarang hal
tersebut. Menyikapi kedua hal tersebut para ulama berpendapat bahwa yang dimaksud Rasulullah
untuk mengambil riwayat dari Ahli Kitab sesungguhnya tidaklah mutlak namun terikat hanya pada
riwayat yang baik dan cerita yang tidak jelas status benar atau dustanya. Kisah israiliyat telah tersebar di
sebagian kitab tafsir maka diperlukan sikap kehati-hatian bagi siapa saja yang mendapati berita-berita
yang bernuansa israiliyyat,yaitu dengan mengikuti kaidah-kaidah dalam periwayatan israiliyat sebagai
berikut:

1.      Melakukan penelitian terhadap rawi-rawi sanadnya.

2.      Melakukan pengamatan terhadap matan atau kandungan riwayat tersebut.

3.      Merujuk kepada para ulama yang mendalami persoalan ini .

F.Penutup    

        Al-Qur’an dalam menceritakan kisah-kisah umat terdahulu tidak bersifat rinci dan mendetail. Al-
Qur’an tidak menjelaskan secara runtut tentang nama tokoh-tokohnya, waktu dan tempat kejadian atau
bagian lain dari kisah tersebut. Karena tujuan kisah-kisah dalam Al-Qur’an  adalah untuk memberikan
ibrah atau pelajaran dan nilai-nilai yang bisa terwujud dari pemaparan tersebut. Israiliyat adalah kisah-
kisah yang disampaikan oleh Ahl Kitab yaitu orang Yahudi dan Nasrani setelah mereka memeluk islam.
Kisah-kisah yang mereka sampaikan itu adalah sesuatu yang terdapat didalam kitab mereka yaitu kitab
Taurat dan Injil. Banyak kisah-kisah yang terdapat di Al-Quran memiliki kesamaan di dalam kitab Taurat
dan Injil karena Al-Quran adalah membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu
dan sebagai petunjuk dan rahmah bagi orang-orang yang beriman kepada Allah SWT.
      Israiliyat adalah riwayat yang didapat dari orang-orang Yahudi dan Nasrani yaitu berupa kisah-kisah
atau ceerta-cerita yang berkaitan dengan fakta-fakta sejarah, keadaaan umat pada masa lampau dan hal
lainnya yang pernah terjadi pada para nabi dan rasul. Israiliyat digunakan dalam penafsiran dikarenakan
ada kesamaan antara Al-Quran dengan Taurat dan Injil dalam beebrapa masalah, khususnya yaitu
mengenai kisah-kisah umat terdahulu, dimana dalam Al-Quran dikisahkan secara singkat dan ringkas,
namun di dalam kitab-kitab sebelumnya dijelaskan secara panjang lebar. Sebagian contoh kisah-kisah
yang dijumpai dalam kitab-kitab tafsir adalah perahu Nabi Nuh, tentang nama-nama Ashabul Kahfi
beserta anjing mereka, tentang Ya’juj dan Ma’juj, Ratu Balqis negeri Saba’, dan kisah-kisah para Nabi
seperti Nabi Sulaiman,  Nabi Ayyub, Nabi Daud juga tentang Raja Dzulqarnain, malaikat Harut dan
Marut, tentang tongkat Nabi Musa dan lain sebagainya.

       Mengenai pendapat ulama tentang israiliyat dalam tafsir, para ulama Para ulama tidak menetapkan
hukum secara mutlaq terhadap israiliyat dalam tafsir, boleh mengambil riwayat israiliyat asal tidak
berhubungan dengan aqidah. Hal ini di sebabkan adanya dalil yang membolehkan untuk mengambil dari
ahli kitab dan ada juga hadis rasulullah yang melarang hal tersebut. Jika berita tersebut berupa kisah-
kisah atau cerita umat-umat tersebut boleh mengambil dari riwayat Ahli kitab asal tidak berhubungan
dengan aqidah. Berdasarkan Hadits Nabi, Beliau mengatakan bahwa supaya berhati-hati dalam
meriwayatkannya tidak mengatakan bahwa kisah israiliyat pasti salah dan demikian juga tidak langsung
membenarkannya.
Apa Itu Israiliyat?

Pertanyaan:

Israiliyat itu apa Ustadz?

Dari: Maher Said

Jawaban:
Bismillah wa shalatu was salamu ‘ala rasulillah

Berikut keterangan dalam kitab Ushul fi Tafsir:

Israiliyat adalah berita yang dinukil dari orang Bani Israil, baik yang beragama Yahudi atau Nasrani. Dan
umumnya berasal dari masyarakat Yahudi.

Ditinjau dari statusnya, israiliyat dibagi menjadi 3:

Pertama, berita yang diakui kebenarannya dalam Islam. Berita israiliyat semacam ini boleh dibenarkan.
Dan yang menjadi standar dalam hal ini adalah dalil Alquran atau hadis shahih.

Di antara contohnya adalah hadis dari Ibnu Mas’ud, bahwa ada seorang pendeta Yahudi yang
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengatakan,

‫ أنا الملك‬:‫ وسائر الخالئق على إصبع فيقول‬،‫ إنا نجد أن هللا يجعل السماوات على إصبع‬،‫يا محمد‬

“Wahai Muhammad, kami mendengar bahwa Allah menjadikan langit di satu jari dan semua makhluk
juga di salah satu jari. Lalu Allah berfirman: “Sayalah Raja.”

Mendengat hal ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung tertawa, sehingga terlihat gigi geraham
beliau, karena membenarkan ucapan si pendeta. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca
firman Allah,

َ‫َّات بِيَ ِمينِ ِه ُس ْب َحانَهُ َوتَ َعالَى َع َّما يُ ْش ِر ُكون‬ ْ ‫ات َم‬
ٌ ‫ط ِوي‬ ُ ‫ْضتُهُ يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة َوال َّس َما َو‬
َ ‫ق قَ ْد ِر ِه َواأْل َرْ ضُ َج ِميعا ً قَب‬
َّ ‫َو َما قَ َدرُوا هَّللا َ َح‬

“Mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya
dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci
Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Az-Zumar: 67)

(HR. Bukahri no. 4811 dan Muslim 2786)

Kedua, berita yang didustakan dalam Islam; berita semacam ini statusnya batil, dan wajib diingkari.
Misal, Nabi Isa adalah putra Allah, atau seperti yang disebutkan dalam hadis Jabir berikut:

‫ جاء الولد أحول‬،‫كانت اليهود تقول إذا جامعها من ورائها‬

“Orang Yahudi mengatakan, jika seorang suami mendatangi istrinya dari belakang maka anaknya nanti
juling.”
Kemudian Allah dustakan anggapan orang Yahudi ini dengan menurunkan firman-Nya:

‫ث لَ ُك ْم فَأْتُوا َحرْ ثَ ُك ْم أَنَّى ِش ْئتُ ْم‬


ٌ ْ‫نِ َسا ُؤ ُك ْم َحر‬

“Istri kalian addalah ladang bagi kalian, maka datangilah ladang kalian, dari mana saja yang kalian
inginkan.” (QS. Al-Baqarah: 223)

(HR. Bukhari 4528 dan Muslim 1435)

Ketiga, berita yang tidak dibenarkan dan tidak didustakan dalam Islam. Status berita semacam ini
disikapi pertengahan (tawaquf), tidak boleh didustakan, karena bisa jadi itu benar, dan tidak dibenarkan,
karena bisa jadi itu dusta.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Orang ahli kitab membaca Taurat dengan
bahasa ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada kaum muslimin.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ آ َمنَّا بِالَّ ِذي أُ ْن ِز َل إِلَ ْينَا َوأُ ْن ِز َل إِلَ ْي ُك ْم‬:‫ وقولوا‬،‫ال تصدقوا أهل الكتاب وال تكذبوهم‬

“Janganlah kalian membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakannya, namun ucapkan: Kami
beriman dengan kitab yang diturunkan kepada kami (alquran) dan kitab yang diturunkan kepada kalian.”
(HR. Bukhari, 4485)

Hanya saja, dalam syariat kita, dibolehkan menceritakan berita Bani Israil, tanpa untuk tujuan diimani
dan dibenarkan atau didustakan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ ومن كذب على متعمدا فليتبوأ مقعده م النار‬،‫ وحدثوا عن بني إسرائيل وال حرج‬،‫بلغوا عني ولو آية‬

“Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat. Sampaikan kabar dari Bani Israil, dan tidak perlu
merasa berat. Siapa yang berdusta atas namaku, hendaknya dia siapkan tempatnya di neraka.” (HR.
Bukhari 3461)

Dan umumnya, kabar israiliyat ini tidak memiliki banyak manfaat penting dalam agama. Hanya sebatas
cerita atau dongeng, seperti warna bulu anjing Ashabul Kahfi, siapa namanya, kisah tentang keluarga
nabi-nabi masa silam, yang itu jika diketahui, tidak menambah amal kita.

Sikap Ulama Terkait Israiliyat

Berita israiliyat ini banyak kita jumpai di berbagai buku tafsir, sebagai pelengkap tafsir yang mereka
sampaikan. Hanya saja, para ulama tidak sekata dalam menyikapi israiliyat. Ada ulama yang banyak
membawakan berita israiliyat, dengan sanadnya; semacam Ibnu Jarir At Thabari. Ada juga ulama yang
banyak membawakan berita ini, namun umumnya tidak menyebutkan sanadnya. Sebagaimana orang
yang mencari kayu bakar di malam hari.

Di antara yang bisa dijadikan contoh adalah Al-Baghawi. Dalam Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam (13/304)
mengatakan tentang Tafsir Al Baghawi: “Tafsir ini adalah ringkasan dariTafsir At Tsa’labi, hanya saja
dibuang bagian hadis-hadis palsu dan pemikiran-pemikiran menyimpang.” Beliau juga menjelaskan
tentang Tafsir At Tsa’labi: “Dia bak pencari kayu bakar di malam hari, mengumpulkan semua yang dia
dapatkan dalam buku tafsir, baik shahih, dhaif, maupun maudhu’.”
Ada ulama yang banyak menyebutkan israiliyat, kemudian beliau memberikan komentar tentang
statusnya yang dhaif atau bahkan mengingkarinya. Metode ini yang sering dilakukan Al-Hafidz Ibnu
Katsir. Bahkan ada juga ulama yang sangat keras dalam mengingkarinya dan tidak menyebutkannya
dalam buku tafsirnya. Semacam Muhammad Rasyid Ridha.

Allahu a’lam

Kisah isra iliyat

Israiliyat dalam Kitab Tafsir

Sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya bahwa Israilliyat adalah kisah-kisah terdahulu yang masuk ke
dalam Tafsir melalui Ahli Kitab yang telah masuk Islam karena adanya kesesuaian antara kisah-kisah
yang ada di dalam Kitab-kitab Samawi dengan Kitab Suci Al-Qur’an.

Yang harus kita sesali dari pertumbuhan tafsir, ialah sebagian tabi’in yang sangat besar perhatiannya
kepada Israiliyyat. Para mufasir itu sangat berbaik sangka kepada segala pemberita yang menyampaikan
kabar. Mereka beranggapan bahwa orang yang sudah masuk Islam, tentu tidak mau berdusta. Inilah
sebabnya para mufasir diketika itu tidak mengoreksi dan memeriksa lagi kabar-kabar yang mereka
terima. Pemuka-pemuka riwayat yang mempunyai Israiliyyat ialah Wahab Ibn Munabbih, seorang
Yahudi dari Yaman yang memeluk Islam. Dia banyak meriwayatkan Israiliyyat seperti dijumpai dalam
tafsir Ibn Jarir At-Thabary (tafsir Jami’ul Bayan). Oleh karena sebagian tabi’in banyak menerima
Israiliyyat dan memasukkannya ke dalam bidang tafsir, maka Malik Ibn Anas menolak riwayat Qatadah,
lantaran Qatadah banyak meriwayatkan Israiliyyat.[1]

Mengenai Wahab Ibn Munabbih, para ulama berbeda pendapat dalam mengenai keadilan dan dan
kejujurannya. Rasyid Ridha meragukan kejujuran dan keadilannya sebagaimana dia meragukan Ka’ab Al-
Akhbar.Tetapi Abu Anwar mengatakan bahwa Rasyid Ridha tidak mempunyai alasan yang kuat. Karena
hanya Ibnu Taimiyah sendiri, yang dijadikan alasan oleh Rasyid Ridha, dalam bukunya “Al-Jawabu Al-
Shahih Liman Baddala Dni Al-Masihiyah”yang dikutip oleh Nurcholis Madjid, dia (Rasyid Ridha)
mengatakan bahwa sesungguhnya sebagian besar yang terdapat di dalam Kitab Suci agama Kristen itu
benar.[2]

Ini bermula sejak masa sahabat, di mana ketika menemukan sebuah kisah dari al-Qur’an yang bersifat
global, mereka menanyakan rinciannya kepada ahli kitab yang telah masuk Islam. Kitab-kitab Samawi
memiliki kecocokan kisah-kisah yang disebutkan di dalamnya, bedanya terletak pada ringkas dan
rincinya. Namun sahabat menjaga diri mengenai hal itu. Mereka tidak menanyakan kepada Ahli Kitab
kecuali mengenai penjelasan yang mubham dan mujmal, yang dikemukakan oleh Rasulullah SAW.
Mereke juga tidak menyibukkan diri bertanya mengenai hal-hal remeh yang lebih mirip dengan bermain-
main, misalnya pertanyaan tentang warna anjing Ashhabul Kahfi, jenis semut yang diajak bicara oleh
Nabi Sulaiman, bocah yang dibunuh oleh Khidir dan lain-lain. Mereka   terlalu tinggi dan mulia
menanyakan hal-hal seperti itu, sehingga mereka tidak melanggar metode yang diperintahkan dan
digariskan olah Rasul SAW melalui hadits beliau: “Sampaikan dariku walau satu ayat. Ceritakanlah dari
Bani Isra’il dan tidak mengapa. Siapa yang mendustakan secara sengaja, maka hendaklah ia bersiap-siap
menempatkan diri di neraka.” (HR. Bukhari). Juga sabda beliau: “Jangan benarkan dan jangan dustakan
Ahli Kitab. Katakan kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan-Nya kepada Ibrahim, Isma’il,
Ishaq dan Ya’qub. (QS. Al-BAqarah: 136).” (HR. Bukhari).[3]

Bila hadits pertama membolehkan meriwayatkan dari Bani Isra’il dan yang kedua menganjurkan
menahan diri, maka pada hakekatnya tidak ada perbedaan di antara keduanya. Sebab yang pertama
berkaitan dengan apa yang diketahui benarnya dan yang mengandung pelajaran dan nasehat. Sedang
hadits  kedua berkenaan  dengan apa yang tidak diketahui secara pasti kebenarannya—misalnya karena
tidak ada penjelasan dari syari’at kita—dan tidak diketahui secara pasti kedustaannya—misalnya karena
tidak ada penjelasan syari’at kita yang berlawanan dengannya, maka kita harus menahan diri (tawaqquf)
dari membenarkan maupun mendustakan mereka. Hal itu tidak lain karena riwayat seperti itu mungkin
benar, mungkin juga salah.[4]

Al-Hafidh ibn Katsir mengatakan bahwa sebagian besar tafsir bil ma’tsur telah masuk ke para periwayat
melalui orang-orang zindik dari Kaum Yahudi, Persi dan Ahli Kitab yang telah masuk Islam. Sebagian
ulama berkata, umumnya hal itu berkenaan dengan kisah-kisah para rasul beserta kerabat mereka, hal-
hal berkenaan dengan kitab-kitab dan kemukjizatan mereka, sejarah selain mereka, seperti Ashabul
Kahfi, kota Irama Dzat al-Imad, sihir Babil, masalah-masalah ghaib, seperti tanda dan datangnya kiamat,
apa yang terjadi saat itu dan sesudahnya .[5]

Seperti keterangan-keterangan di atas, pada masa tabi’inlah beredarnya kisah-kisah Israiliyyat, sehingga
tidak jarang Israiliyyat mewarnai kitab-kitab tafsir pada masa itu. Terlebih lagi Tafsir bil Ma’tsur, karena
banyak dari para mufasir meriwayatkan berita-berita yang sebagian bersumber dari para Ahli Kitab yang
telah masuk Islam. Juga para mufasir menerimanya begitu saja, tidak memilah mana yang benar dan
mana yang salah.  

Kemudian di samping itu, terdapat pula segolongan mufasir mutaakhirin yang mendasarkan tafsirnya
kepada atsar, dengan mengikhtisarkan pula sanad, tidak menyandarkan riwayat kepada perawinya.
Karena itu, bercampurlah kisah yang benar dengan yang palsu dan penuhlah tafsir dengan kisah-kisah
dan israiliyyat. Di dalam tafsir-tafsir yang demikian itu diterangkan kisah nabi-nabi sebagai yang didapati
di dalam Israiliyyat, demikian pula keadaan kejadian alam dan so’al Ya’juj dan Ma’juj. Di antara tafsir
yang sedemikian keadaannya, ialah tafsir Al-Khazin.[6]

Contoh Kitab Tafsir yang Memuat Kitab Israiliyyat

  Jamiiul Bayan fi Tafsir Al-Qur’an

Tafsir ini disusun oleh Ibnu Jarir Al-Thabariy (224-310), seorang yang dikenal faqih, mufassir, dan ahli
dalam berbagai disiplin ilmu. Disebut-sebut sebagai Tafsir yang paling unggul dalam tafsir bil-Ma’tsur.
Paling shahih dan terkumpul di dalamnya pernyataan para sahabat dan tabi’in. Tafsir ini dianggap
sebagai referensi utama para mufassir. Bahkan sampai Imam An-Nawawi berkata, “Kitab Ibnu jarir
dalam tafsir tidak ada duanya.”
Bagi sebagian kalangan, dalam tafsir ini terdapat beberapa riwayat Israiliyyat dan ini dianggap
kesalahan. Riwayat itu banyak berasal dari Ka’ab Al-Ahbar, Wahhab bin Munabbih, Ibnu Juraij, As-Sudi
dan lain-lain.

Salah satu contoh beliau menafsirkan surat Al-Kahfi ayat 94:

“Mereka berkata: Hai Zulkarnain, ya’juj dan ma’juj itu perusak di muka bumi.”

Ibnu Jarir Al-Thabariy menyebutkan riwayat dengan isnad yang menyatakan: “Telah menceritakan
kepada kami Humaid”; ia berkata:”telah menceritakan kepada kami salamah” ia berkata: “Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq, yang berkata, “Telah menceritakan kepada kami salah
seorang ahli kitab yang telah masuk Islam, yang suka menceritakan kisah-kisah asing:“dari warisan-
warisan cerita yang diperoleh, dikatakan bahwa Zulkarnain termasuk salah seorang penduduk Mesir.
Nama lengkapnya Mirzaban bin Murdhiyah, bangsa Yunani keturunan Yunan bin Yafits bin Nuh dan
seterusnya.”

Oleh para muhaqqiq seharusnya Ibnu jarir tidak menukil riwayat-riwayat yang belum jelas kesahihannya
berkenaan dengan Israiliyyat. Namun, bagaimanapun juga beliau selalu menulis lengkap sanad-sanad
riwayat yang dinukilnya.

Tafsir Muqatil

Disusun oleh Muqatil bin Sulaiman wafat tahun 150 H. Dikenal sebagai ahli tafsir. Beliau banyak
mengambil hadis dari Mujahid, Atha bin Rabah. Dhahak, dan Atiyyah.

Tafsir karya Muqatil terkenal sebagai tafsir yang satrat dengan cerita-cerita Israiliyyat tanpa memberi
sanad sama sekali. Disamping itu tidak ditemukan komentar penelitian dan penjelasannya, mana yang
hak dan yang batil. Contoh yang diceritakan dalam tafsir ini hampir merupakan bagian dari khurafat.

Tafsir Al-Quranul Adzim

Kitab tafsir buah karya Al-Hafizh Imaduddin Ismail bin Amr bin Katsir  (700-774 H) ini adalah kitab yang
paling masyhur dalam bidangnya. Kedudukannya berada pada posisi kedua setelah Tafsir Ibnu Jarir At-
Thabari. Nama aslinya adalah Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim. Tafsir yang diterima di khalayak ramai umat
Islam.

Beliau menempuh metode tafsir bil ma’tsur dan benar-benar berpegang padanya. Ini diungkapkan
sendiri oleh beliau dalam muqaddimah tafsirnya,: “Bila ada yang bertanya, apa metode penafsiran yang
terbaik? Jawabannya, metode terbaik ialah dengan menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Sesuatu
yang global di sebuah ayat diperjelas di ayat lain. Bila engkau tidak menemukan penafsiran ayat itu,
carilah di As-Sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Al-Qur’an. Bahkan Imam Syafi’I menegaskan
bahwa semua yang ditetapkan oleh Rasulullah saw, itulah hasil pemahaman beliau terhadap Al-Qur’an.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al-Kitab dengan kebenaran, agar
engkau memutuskan perkara di antara manusia dengan apa yang Allah ajarkan kepadamu.” (QS. An-
Nisa’ 105) dan Rasul saw bersabda: sesungguhnya aku diberikan Al-Qur’an dan bersamanya yang semisal
(As-sunnah).

Murid Imam Ibnu Taimiyah ini menafsirkan dengan menyertakan ilmu al-Jarh wa at-ta’dil. Hadis-hadis
mungkar dan dlo’if beliau tolak. Terlebih dahulu beliau menyebutkan ayat lalu ditafsirkan dengan
bahasa yang mudah dipahami dan ringkas. Kemudian disertakan pula ayat-ayat lainnya
sebagai syahidnya. Beberapa ulama setelah beliau telah mengambil inisiatif menulisnya dalam
bentuk mukhtasar (ringkasan). Bahkan hingga saat ini.

Di dalam tafsir ini juga menurut DR. Al-Zhahabi, tafsir ini populer dengan Israiliyyat dan disertai
penjelasan dan komentar, hanya sedikit saja yang tidak dikomentari. Berbeda dengan Ibnu jarir, Ibnu
Katsir selalu mengingatkan para pembaca agar mewaspadai keganjilan dan kemungkaran kisah-kisah
Israiliyyat dalam tafsir bil-Ma’tsur.

Contoh saat menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 6:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyembelih sapi betina...”

Dalam tafsirnya, Ibnu katsir menceritakannya panjang lebar sampai hal aneh dengan menceritakan
bahwa mereka mencari sapi betina khusus dan berada pada seorang Bani Israil yang paling berbakti..”
setelah menceritakan hal tersebut beserta asal-usul riwayatnya, ia menjelaskan bahwa semua itu
berasal dari kitab-kitab bani Israil yang boleh diriwayatkan tapi tidak boleh dibenarkan atau
didustakan.http://nuaimy.org/index.php?option=com_content&view=article&id=177:dampak-
israiliyyat-dalam-penafsiran-al-quran&catid=30:tafsir-dan-hadits

Israiliyat dalam Kitab Hadits

Pernyataan Ahli Kitab  menyusup di kalangan ulama hadits melalui para pemalsu hadits dan para
pendusta, yang hendak menyebarkan apa yang ada pada mereka dengan menisbatkan kepada
Rasulullah SAW. Karena itu kita sering menjumpai hadits palsu yang berisi kisah-kisah Yahudi maupun
Nashrani, ataupun pernyataan-pernyataan yang ada di dalam kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru,
yang tidak layak dikatakan sebagai sabda Nabi SAW. Kadang-kadang ada di antaranya yang menyusup
melalui Ahlul Kitab yang telah masuk Islam. Mulanya, mereka memandang kaum muslimin berdasarkan
kitab-kitab mereka, bahkan mereka menjelaskan kitab-kitab mereka itu kepada kaum muslimin. Hal
itulah yang kemudian banyak masuk melalui para periwayat yang lengah atau para pemalsu hadits ke
dalam hadits-hadits Nabi SAW. Ada yang menjelaskan bahwa anak nabi Ibrahim yang disembelih adalah
Ishaq bukan Isma’il. Ada juga yang menjelaskan bahwa dunia ini terbatas umurnya, dan dapat diketahui
batasnya,  yaitu tujuh ribu tahun. Keduanya jelas merupakan kisah versi ahli kitab.[7]
Contoh Israiliyat dalam Hadits

Para periwayat, dengan sanad-sanad mereka yang muttashil, meriwayatkan hadits-hadits dari Nabi SAW,
para sahabat dan para tabi’in berkenaan dengan unsur peradaban baru yang berasal dari Ahlul Kitab,
melalui mereka yang kemudian masuk Islam, seperti Ka’ab Ibn Mati’ al-Humairy, Wahb ibn Munabbih,
dan lain-lain. Dan mereka  inilah yang banyak meriwayatkan kisah sepeerti itu (Israilliyat). Karena itu,
tidak aneh, bila suatu saat terjadi kekaburan pada diri periwayat. Bisa jadi, ia meriwayatkan hadits yang
sebenarnya marfu’ (sampai kepada Nabi SAW) tetapi disandarkan kepada ka’ab atau sebaliknya, hadits
yang sebenarnya hanya sampai kepada ka’ab, dikatakan berasal dari Nabi SAW.[8]

Banyak riwayat, yang periwayatnya mengalami kekeliruan seperti itu. Di antara  riwayat seperti itu, ada
yang bisa kita temukan di dalam kitab-kitab Sunan, ada pula yang di lainnya. Pertama, pada Kitab
Sunnan Abu Daud, Imam Abi Daud meriwayatkan sebuah hadits, dari Muhammad ibn Isa, dari Hammad,
dari Maimun ibn Jabban, dari Abi Rafi’, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Belalang
termasuk binatang laut.” Di samping itu Abu Daud dan at-Tirmidzi juga meriwayatkan sebuah hadits dari
Abu al-Hazim, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya (belalang) itu termasuk
binatang laut.” Abu Daud mengomentari kedua hadits itu: “Abu al-Hazm adalah periwayat dhai’f. Kedua
hadits itu lemah. Ada lagi hadits yang semakna, yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dan al-Khatib, dari
Anas dan Jabir sekaligus, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya belalang adalah ingus ikan
laut.” “Ibn Hajar berkata: “Sanad hadits itu lemah”. As-Suyuthi di dalam Jami’ al-Shigar juga
menyinggung ke-dha’if-an hadits itu. Bahkan Ibn al-Jauziy memasukannya di dalam kitabnya, al-
Maudhu’at.[9]

Kemungkinan, yang benar adalah informasi mengenai belalang merupakan ingus ikan laut atau termasuk
binatang laut, sama sekali tidak benar berasal dari Nabi, Hadits itu sebenarnya bersember dari Abu
Hurairah, dari Ka’b al-Akhbar. Tetapi ada periwayat yang melakukan kesalahan, sehingga ia menjadikan
hadits itu berasal dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW. Hal ini tidak mustahil terjadi pada diri periwayat 
yang memang meriwayatkan banyak hadits dari barbagai sumber. Karena begitu seringnya ia merangkai
sanad: “Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW….”, maka ketika ia mendengar perkataan “dari Abu
Hurairah….”, spontan ingatannya akan tertuju pada perkataan “dari Nabi SAW…”, tanpa menyadarinya,
bahwa yang betul adalah dari Abu Hurairah dari Ka’ab.[10]

Kenyataannya, Abu Daud telah meriwayatkan hadits itu dengan sanad yang benar, berasal dari Musa ibn
Isma’il, dari Hammad, dari Maimun Ibn Habban, dari Abi Rafi’, dari Ka’ab, ia berkata: “Belalang termasuk
binatang laut.” Kita lihat bahwa sanad itu berasal dari Hammad, dari Maimun ibn Jabban. Dari Abi Rafi’,
pada satu sanad, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, dan pada sanad lain, dari Ka’b. Karena sanad itu,
pada tiga periwayat berturut-turut sama, maka kita tidak bisa membenarkan penisbatan kedua riwayat
itu. Yang benar, hanya penisbatan kepada salah satu saja, kepada Rasul, atau kepada ka’ab al-Akhbar.
Abu daud cenderung memilih yang kedua, karena ia menilai yang pertama sebagai riwayat dla’if. Untuk
menentukan, siapa sebenarnya periwayat yang melakukan kekeliruan, al-Dzahabi menilai bahwa
Maimun Ibn Jabanlah orangnya.[11]
[1] Hasbi Ash-Shidiqiy, 1980, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, Cet.
VIII, hal.236.

[2] Abu Anwar,2005, Ulumul Qur’an sebuah Pengantar, Pekanbaru: Amzah, Cet. II, hal. 114-115.

[3] Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, 2007, Tafsir Al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para
Mufasir (Yunus Hasan Abidu, 1428, Dirasaat  wa Mahabits fi Tarikh Al-Tafsir wa Manahij Al-Mufassirin,
Beirut, Libanon: Daar al-Fikr), Tangerang: Gaya Media Pratama, Cet. 1, hal. 61-62.

[4] Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Op. Cit, hal. 62.

[5] Ibid, hal. 63

[6] Hasbi Ash-Shidiqiy, Op. Cit., hal. 244.

[7] M. Qadirun Nur, 2004, Kritik Metodologi Matan Hadits (Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd
al-Matn Ind Ulama’ al-Hadits al-Nabawi), Tangerang: Gaya Media Pratama, cet. I, hal.44.

[8] Ibid, hal. 69.

[9] M. Qadirun Nur, Op. Cit., hal. 96-70.

[13] Ibid, hal. 70.

[10] Ibid,

[11] Ibid,

Anda mungkin juga menyukai