Anda di halaman 1dari 23

1

A. Pendahuluan
Sifat al-Quran yang s{ah{ih{ li kulli zama>n wa maka>n menuntut adanya fleksibilitas dalam
memahami al-Quran, mengingat problematika kehidupan senantiasa bergerak dinamis. Seiring
kebutuhan akan tafsir1, ada tiga unsur yang sangat urgen dalam membangun pemahaman
terhadap al-Qur'an. Ketiga unsur tersebut yaitu pendekatan, metode, dan corak tafsir.
Penggunaan istilah pendekatan tafsir belum dijumpai dalam kitab-kitab ulu>m al-Qura>n
klasik. Sementara itu peminat kajian ulu>m al-Qura>n di Indonesia berbeda pendapat dalam
memaknainya. Adapun untuk metode tafsir, terdapat empat macam metode yang masyhur
dalam tafsir, yaitu tah}li>li> (analitis), ijma>li> (global), muqa>ran (komparatif), maud}u>i> (tematik).2
sedangkan pada masa kontemporer, hermeneutika mengambil peran sebagai paragima dan
metode baru dalam kajian al-Quran.

Ketiga unsur tersebut sangat mempengaruhi perjalanan pertumbuhan dan perkembangan


penafsiran. Dengan demikian, makalah ini mencoba membahas mengenai dinamika tafsir
dengan menganalisa perkembangan pada pendekatan, metode dan corak tafsir sejak masa
Rasulullah hingga masa kontemporer, dan mengkorelasikan dengan khazanah tafsir di
Indonesia.

B. Pembahasan
1. Pendekatan Tafsir
Secara etimologi, pendekatan berasal dari akar kata dekat, yang memiliki lima
makna, yaitu: tidak jauh, hampir, berhampiran, akrab, dan menjelang. Adapun pendekatan

1
Tafsir secara harfiyah berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk masdar dari kata yang berarti
keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan penjelasan. Oleh karena itu pengertian tafsir dibedakan atas dua
macam: pertama, Tafsir sebagai mashdar berarti menguraikan dan menjelaskn apa-apa yang dikandung al-Quran
berupa makna-makna, rahasia-rahasia dan hukum-hukum. Kedua, Tafsir sebagai maful berarti ilmu yang
membahas koleksi sistematis dari natijah penelitian terhadap al-Quran dari segi dilalahnya yang dikehendaki
Allah swt. sesuai dengan kadar kemampun manusia. Lihat: Abu Husain Ahmad ibn faris ibn zakariya, Maqa>yis al-
Lugah, Jilid IV (Mesir: Mustaafa al-babi al-Halabi, 1970), h. 504, dan M. Al-Fatih Suryadilaga, dkk, Metodologi
Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 12
2
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran (Bandung: Mizan, 1998), h. 85.
2

bermakna perihal mendekati. 3 Dalam bahasa Arab dan Inggris disebut ittijah al-fikr dan
approach. 4
Dalam konteks metodologi, penggunaan istilah teknis (technical term) pendekatan
tafsir belum dijumpai dalam kitab-kitab ulu>m al-Qura>n klasik semisal al-Burha>n fi> ulum al-
Qura>n dan al-Itqa>n fi> ulum al-Qura>n sampai periode modern sekalipun tidak ada ulama tafsir
yang menggunakannya.5
Para penggiat kajian Ulu>m al-Qura>n di Indonesia berbeda pendapat dalam memahami
definisi pendekatan dalam proses penafsiran. Hal ini dikarenakan perbedaan penyusunan
struktur pemetaan metodologi tafsir dan pemberian istilah teknis pada komponen-
komponennya. Pertama, pendekatan tafsir menurut M. Yunan Yusuf yaitu pendekatan Fiqhi,
falsafi, Sufi, dll. Kedua, pendekatan tafsir menurut Nashruddin Baidan adalah merupakan
bentuk atau jenis penafsiran itu sendiri, yaitu tafsir bi al-Matsu>r dan tafsir bi al-Rayi. Ketiga,
pendekatan tafsir menurut Islah Gusmian dimaknai sebagai titik beranjak keberangkatan dari
proses tafsir. Dua pendekatan itu yakni 1) berorientasi pada teks dalam dirinya yang kemudian
disebut Pendekatan Tekstual, dan 2) berorientasi pada konteks pembaca (penafsir) yang
kemudian disebut Pendekatan Kontekstual.6
Pendekatan tafsir menurut M. Yunan Yusuf lebih mengarah pada pengertian corak atau
nuansa tafsir yakni pendekatan sufi, fiqhi, falsafi. Pendekatan itu merupakan sebuah ruang
dominan dari suatu karya tafsir. Sebaliknya pendekatan tafsir menurut Nashruddin Baidan
adalah merupakan bentuk atau jenis penafsiran itu sendiri, yaitu tafsir bi al-Matsu>r dan tafsir
bi al-Rayi.7 Menurutnya, tidak digunakannya istilah bentuk tafsir oleh ulama-ulama tafsir
priode klasik dan modern, tidak berarti mereka tidak mengetahui objek yang dimaksud yaitu
tafsir bi al-Matsu>r dan tafsir bi al-Rayi. Namun karena mereka tidak membutuhkan istilah
semacam itu untuk menyebut kedua jenis tafsir tersebut.8

3
Departemen Pendidikan RI, Kamus Besar Indonesia (Jakarta: Pustaka Bahasa, 2008 M), h. 333.
4
Abd. Muin Salim,, Mardan, dan Achmad Abubakar, Metodologi Penelitian Tafsi>r Maud}u>i> (Jakarta:
Pustaka Aril, 2010), h. 82.
5
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 368.
6
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesi; Dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003), h.
116-121.
7
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, h. 386.
8
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, h. 368.
3

Tafsir bi al-Matsu>r ialah tafsir yang berdasarkan pada Al-Quran atau riwayat yang
shahih sesuai urutan yang telah disebutkan dalam syarat-syarat mufassir.9 Atau penjelasan al-
Quran sendiri dari Rasulullah saw yang disampaikan kepada para sahabat, dan para sahabat
berdasarkan ijtihadnya, dan dari para tabiin juga berdasarkan ijtihadnya.10 Tafsir bi al-Matsu>r
secara harfiah berarti menafsirkan dengan menggunakan riwayat sebagai sumber pokoknya.
Karena itu, tafsir ini dinamakan juga dengan al-tafsir bi al-riwa>yah (tafsir dengan riwayat) atau
tafsir bi al-manqu>l (tafsir dengan menggunakan pengutipan (riwayat).11 Pendekatan ini sangat
mendominasi pada periode Islam awal, yakni masa Rasulullah, sahabat, tabiin, dan tabi
tabiin. Meskipun di era tabiin dan tabi tabin, riwayat-riwayat Israiliyyat mulai dimasukkan
dalam penafsiran.12
Diantara kitab-kitab tafsir yang dapat dikategorikan sebagai Tafsir bi al-Matsu>r antara
lain: 1) Ja>mi Al-Baya>n fi Tafsir Al-Quran, karangan Abu Jafar Muhammad bin Jarir Al-
Thabari> (w. 310 H), 2) Tafsir Maalim Al-Tanzil, dikenal dengan sebutan Al-Tafsir Al-Manqul,
karangan Al-Imam Al-Hafiz Al-Syahir Muhyi Al-Sunnah Abu Muhammad bin Husein bin
Masud bin Muhammad bin Al-Farra Al-Baghawy Al-SyafiI (w. 510 H), 3) Tafsir Al-Quran
Al-Azhim, karangan Abu Al-Fada Ismail bin Amr bin Katsir (w. 774 H).13
Tafsir bi al-Rayi merupakan jenis tafsir yang hadir setelah berakhirnya masa salaf
sekitar abad ke-3 H, seiring perkembangan Islam di bidang ilmu pengetahuan dan lahirnya
mazhab-mazhab serta aliran mutakallimin dikalangan umat Islam kala itu.14 Penafsirannya
dominan diambil berdasarkan kemampuan penalaran dan ijtihad mufassir (setelah mengetahui
bahasa Arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti

9
Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), h. 434
10
Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhui, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 24.
11
M. Quraish Shihab, Sejarah dan Ulu>mul Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 174
12
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi penafsiran al-quran Periode Klasik Hingga
Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka Yogyakarta, 2003), h. 66
13
Acep Hernawan, Ulu>mul Qura>n, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), h. 114
14
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, h. 376, Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta
Metodologi penafsiran al-quran Periode Klasik Hingga Kontemporer, h. 68
4

Asba>b al-Nuzu>l dan Na>sikh wal al-Mansu>kh),15 tanpa meninggalkan unsur riwayah seperti
hadis, penafsiran sahabat dan tabiin.16
Diantara kitab-kitab tafsir yang dapat dikategorikan sebagai Tafsir bi al-Rayi antara
lain: 1) al-Kasysya>f an Haqa>iq al-Tanzi>l wa Uyu>n al-Aqa>wil fi Wujuh al-Tawi>l karangan
Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari al-Khawarizmi (w. 538 H), 2) Mafa>tih al-Gaib karangan
Abu Abdillah Muhammad bin Umar al-Ra>zi (w. 606 H), 3) Ruh al-Maa>ni fi Tafsi>r al-Quran al-
Azi>m wa al-Sabi al-Matsa>ni> karangan Abu Fadhl Syihab al-Di>n al-Sayyid Mahmud al-Alu>si al-
Bagdadi (w. 1270 H).17
Pendekatan tafsir menurut Islah Gusmian dimaknai sebagai titik beranjak keberangkatan
dari proses tafsir. Dua pendekatan itu yakni:
1) Pendekatan Tekstual, yaitu arah gerak dari proses penafsiran cenderung berpusat pada
teks. Sifatnya kebawah: dari refleksi (teks) ke praksis (konteks). Praktik tafsir dengan
pendekatan ini lebih berorientasi pada teks dalam dirinya. Sedangkan praksis nya lebih
bersifat ke-Araban, yaitu teks al-Quran turun pada masyarakat Arab sebagai
audiensnya. Pendekatan ini menuntut seorang mufassir harus memiliki cakrawala
pemikiran yang luas mengenai konteks dan kondisi di mana ayat al-Quran diturunkan.
Karena maknanya sepenuhnya menjadi domain otoritas teks,18 maka pengalaman lokal
(sejarah dan budaya dimana penafsir hidup dan berada) yang melingkupi penafsir dengan
audiensnya tidak menempati posisi yang signifikan bahkan sama sekali tidak punya
peran.19
Pendekatan tafsir al-Quran secara tekstual dapat dikenali pada konsep kajiannya
yang lebih menekankan kajian struktur bahasa (pendekatan nahwiyah/ struktur bahasa

15
Muhammad Husain al- Dzahabi>, Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n, Jilid I (Mesir: Da>r al-Maktub al-Hadi>tsah,
1976), h. 272.
16
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Quran (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2014), h. 278.
17
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Quran, h. 274.
18
H. Syafruddin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 39-
40.
19
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; Dari Hermeneutika hingga Ideologi, h. 248
5

Arab) dan sastra (balaghah/ ilmu sastra Arab). Belakangan pendekatan tafsir tekstual ini
juga menggunakan pendekatan filologis dan semantik.20
Beberapa literatur tafsir di Indonesia yang menggunakan perspektif tekstual ini
antara lain: Tafsir al-Misbah dan Tafsir al-Quran al-Karim: Tafsir atas Surat-surat
Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, keduanya merupakan karya M. Quraish
Shihab, Konsep Kufr dalam al-Quran karya Harifuddin Cawidu, al-Quran dan
Tafsirnya karya Tim Badan Wakaf UII, dll.21
2) Pendekatan Kontekstual, yaitu arah gerak dari proses penafsiran lebih berpusat pada
konteks sosio-historis di mana penafsir hidup dan berada. Sifatnya ke atas: dari praksis
(konteks) ke refleksi (teks). Latar belakang social-historis dimana teks muncul dan
diproduksi menjadi variable penting. Namun yang lebih penting, semuanya itu harus
ditarik ke dalam konteks penafsir (pembaca) dimana ia hidup dengan segala hal yang
melingkupinya (sejarah, budaya, dan sosialnya sendiri).22
Kata kunci yang acap kali digunakan dalam tafsir kontekstual ini adalah akar
kesejarahan.23 Aliran tafsir yang berorientasi kontekstual, secara pragmatis atau
orientasinya berkecenderungan pada penafsiran al-Quran yang tidak semata mata
berpegang teguh pada makna lahiriahnya saja, tetapi juga menekankan dimensi konteks
yang menyertai teks, dalam konteks realitas apa suatu teks hendak ditafsirkan dan
terutama mengedepankan nilai-nilai subtantif teks yang bermuara pada kepentingan
maslahat manusia dalam situasi dan kondisi yang berubah. Oleh karena itu diperlukan
konteks dalam penafsiran.24
Beberapa tokoh pemikir yang dikenal menggunakan pendekatan ini adalah Farid
Esack,25 Fazlur Rahman yang menggunakan tinjauan filsafat dan melahirkan metode

20
Badri Khaeruman,Sejarah Perkembangan Tafsir al-Quran (Bandung: PT Pustaka Setia Muharram, 1425
H/ 2004 M), h. 20.
21
Selengkapnya lihat: Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; Dari Hermeneutika hingga Ideologi, h.
253.
22
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; Dari Hermeneutika hingga Ideologi, h. 249
23
Syafruddin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 43.
24
Syafruddin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual, h. 52.
25
Hermeneutik al-Quran oleh Esack ditempatkan dalam ruang social dimana ia berada, sehingga sifatnya
bukan lagi kearaban yang bersifat umum. Ia adalah muslim Afrika yang merumuskan hermeneutik al-Quran yang
berporos pada pembebasan dan persamaan dengan mempertimbangkan aspek kontekstual dimana ia hidup dan
6

tafsir gerakan ganda (Double movement).26 Di Indonesia, Dalam Cahaya al-Quran:


Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya Syubah Asa, masuk dalam kategori tafsir yang
menggunakan pendekatan ini, dengan mencoba memposisikan al-Quran sebagai kritik
sosial.27
2. Metode Tafsir
Kata metode ini berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan.
Dalam bahasa Inggris kata ini ditulis method, sedang bangsa Arab menerjemahkannya dengan
t}ari>qah dan manhaj.28 Sedangkan menurut KBBI, metode diartikan sebagai cara yang digunakan
untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja
yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang
ditentukan.29 Selanjutnya, Nasharuddin Baidan mengungkapkan bahwa studi tafsir al-Quran
tidak lepas dari metode, yaitu suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat al-Quran yang
diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad saw.30
Adapun mengenai metode tafsir, terdapat empat macam metode yang masyhur dalam
tafsir, yaitu tah}li>li> (analitis), ijma>li> (global), muqa>ran (komparatif), maud}u>i> (tematik).
Pengklasifikasian tersebut didasarkan pada pandangan al-Farmawi dalam kitab al-Bida>yah fi>
31
Tafsi>r al-Maud}u>i. Sedangkan tafsir kontemporer menawarkan paradigma dan metode
hermeneutika dalam kajian al-Quran.32
Pada masa-masa awal Islam, tidak ditemukan ulama salaf yang membahas tentang
metodologi tafsir secara khusus. Karena, pada saat itu mereka belum merasa perlu menetapkan

berada. Penafsiran al-Quran , bagaimanapun, adalah eisegesis-memasukkan wacana asing kedalam al-Quran
(Reading Into)-sebelum Exegesis-mengeluarkan wacana dari al-Quran (Reading-Out). Islah Gusmian, Khazanah
Tafsir Indonesia; Dari Hermeneutika hingga Ideologi, h. 250
26
Abdul Mustaqim, Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: PT LkiS Group 2012), h.180.
27
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; Dari Hermeneutika hingga Ideologi, h. 251
28
Nasharuddin Baidan, Metode Penafsiran al-Quran (Cet. I; Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002), h. 54.
29
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 910.
30
Nasharuddin Baidan, Metode Penafsiran al-Quran, h. 54.
31
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran (Cet. XVII; Bandung: Mizan, 1998), h. 85.
32
Yayan Rahtikawati dan dadan Rusmana, Metodologi Tafsir al-Quran: Strukturalisme, Semantik,
Semiotik, dan Hermeneutik (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 475
7

kajian khusus mengenai metodologi tafsir, karena pada umumnya mereka menguasai ilmu-ilmu
yang diperlukan dalam menafsirkan al-Quran, seperti ilmu bahasa Arab, balagah, sastra, dan
sebagainya. Akan tetapi, bukan berarti mereka menafsirkan al-Quran tanpa metode, sebaliknya
metode yang diterapkan oleh generasi pertama itulah yang dikembangkan oleh para mufassir
yang datang kemudian. Metode tafsir yang pertama kali muncul saat itu adalah metode Ijma>li>
(global), yang mengambil bentuk dalam tafsir bi al-mas\u>r, kemudian nantinya diikuti oleh
bentuk al-rayi seperti dalam tafsir al-Jala>lain.33
1) Metode ijmali>
Metode Ijmali> yaitu menafsirkan al-Quran dengan cara singkat dan global, tanpa uraian
panjang lebar. Metode ini mengulas setiap ayat al-Quran dengan sangat sederhana, tanpa ada
upaya untuk memberikan improvisasi makna dengan pengkayaan dan wawasan lain, sehingga
pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada aspek pemahaman yang ringkas tapi
padat, tidak bertele-tele dan bersifat global.34 walaupun ada beberapa ayat yang ditafsirkan
agak panjang, hanya sebatas penjelasan yang tidak analitis dan tidak komparatif.35karena
penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Quran, sehingga membaca
tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode ijmali layaknya membaca ayat al-Quran.36
Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-
pola yang diakui oleh jumhur ulama, dan mudah dipahami oleh semua orang.37
Sistematika penyajian tafsir metode ijmali sebenarnya tidak jauh beda dengan metode-
metode lainnya, terutama dengan metode tahlili (analisis). Penyajiannya dilakukan runtut
dengan cara menguraikan ayat demi ayat surat demi surat yang ada pada al-Quran secara

33
Klasifikasi yang dilakukan oleh Nasharuddin Baidan tampaknya tidak didasarkan pada kronologi tahun
munculnya kitab tafsir, karena yang disebutkan pertama kali adalah tafsi> al-Jala>lain, yang merupakan tafsir yang
muncul sekitar abad kesembilan dan kesepulub, sedangkan tafsi>r al-T{abari> merupakan kitab tafsir yang muncul
pada abad ketiga. Lihat Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran dan Tafsir, Ed.
III (Cet. VI; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012), h. 195 dan 200.
34
Abd. Muin salim, Mardan, Acmad Abu Bakar, Metodologi Penelitian Tafsi>r Maud{u>i> (Yogyakarta:
Pustaka al-Zikra, 2011), h. 42.
35
Abd. Muin salim, Mardan, Acmad Abu Bakar, Metodologi Penelitian Tafsi>r Maud{u>i>, h. 41.
36
Abd. Muin salim, Mardan, Acmad Abu Bakar, Metodologi Penelitian Tafsi>r Maud{u>i>, h. 42.
37
Mardan, al-Quran Sebuah Pengantar (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2010), h. 258.
8

sistematis. Semua ayat ditafsirkan secara berurutan dari awal sampai akhir secara ringkas dan
padat dan bersifat umum.38
Kelebihannya adalah penyajian tafsir yang menggunakan metode ini relatif lebih murni
dan terbebas dari upaya-upaya penafsiran yang bersifat israiliyyat,39 dapat dipahami oleh
berbagai macam lapisan masyarakat, dan membantu bagi pecinta al-Quran yang tidak punya
waktu luang yang banyak untuk belajar al-Quran secara detail, rinci, dan mendalam, sebab
yang disajikannya hanyalah kesimpulan dan pokok pikiran yang dirumuskan dalam al-Quran.
sedang bagi mereka yang mempunyai waktu luang yang banyak, tentu tafsir yang menggunakan
metode ini kurang menarik, kendatipun ia tidak mengabaikannya.40 kekurangannya ialah uraian
yang bersifat global saja, sehingga maksud ayat secara luas tidak bisa terungkap dengan tuntas
sesuai dengan perkembangan zaman.41 Sehingga dalam kenyataannya ia termasuk metode yang
kurang digandrungi, terutama oleh mufasir-mufasir kontemporer, dibandingkan metode
komparatif dan metode analitis.
Beberapa kitab tafsir ditulis dengan metode ijmali, seperti kitab Tafsi>r al-Qura>n al-
Kari>m karya Muhammad Farid Wajdi, kitab Tafsi>r al-Was>it} terbitan Majma al-Buh}u>s\ al-
Islami>yyah, Ta>j al-Tafa>sir karya Muhammad Utsman al-Mirghani, dan kitab Tafs>r al-Jala>lain,
karya Jala>l al-Di>n al-Mah}alli> dan Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>.42
Seiring perjalanan waktu, para ulama tafsir merasakan kebutuhan adanya tafsir yang
mencakup seluruh isi al-Quran. Metode Ijma>li> kemudian berkembang terus hingga melahirkan
apa yang disebut metode analitis (tah}li>li>) pada akhir abad ketiga dan awal abad keempat Hijriah
(ke-10 M), yang ditandai dengan munculnya kitab-kitab tafsir yang yang memberikan uraian
38
Abd. Muin salim, Mardan, Acmad Abu Bakar, Metodologi Penelitian Tafsi>r Maud{u>i>, h. 41.
39
Nasharuddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 23
40
Quraish Shihan dalam bukunya Kaidah Tafsir menyebutkan bahwa dalam metode ini mufasir tidak
perlu menyinggung asba>b nuzu>l atau muna>sabah, apalagi makna-makna kosa kata dan segi-segi keindahan bahasa
al-Quran. tetapi langsung menyebutkan kandungan ayat secara umum atau hukum dan hikmah yang dapat
dipetik. Sang mufasir bagaikan menyodorkan buah segar yang telah dikupas, dibuang bijinya, dan telah diiris-iris
pula, sehingga siap untuk segera disantap. Lihat Qurais Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, ketentuan dan Aturan yang
Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 381. Mardan, al-
Quran Sebuah Pengantar, h. 258-259. Lihat juga Quraish Shihab dkk. Sejarah dan Ulumu al-Quran (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008), h. 185.
41
Anshori, Menafsirkan al-Quran dengan Ijtihad (Jakarta: Referensi, 2012.), h. 77.
42
Abd. Muin salim, Mardan, Acmad Abu Bakar, Metodologi Penelitian Tafsi>r Maud{u>i>, h. 42. Lihat juga
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Quran: Kajian Kritis Terhadap Ayat-Ayat Yang Beredaksi Mirip
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 67.
9

cukup luas dan mendalam tentang pemahaman suatu ayat, seperti tafsir al-T{abari> dalam bentuk
al-mas\u>r, dan tafsir al-Ra>zi> dalam bentuk al-rayi.43 Pada masa ini, Islam memiliki kepedulian
serius terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Fanatisme dan sektarianisme
terhadap aliran-aliran teologi (mutakallimin), mazhab-mazhab maupun golongan, memberi
dampak psikologis di kalangan peminatnya. Klaim kebenaran dan mencari jastifikasi dari al-
Quran sering dilakukan untuk meraih dukungan masyarakat maupun pemerintah. Sehingga
embrio tafsir saat itu adalah sarat dengan kepentingan subjektif (ideologis) mufassirnya.44
2) Metode tah}li>li> 45
Metode tah}li>li> adalah menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan memaparkan segala
makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam al-
Quran Mushaf Us\mani>.46 Adapun yang memahami metode tafsir ini dengan metode yang
digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan memaparkan berbagai aspek yang
terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna
yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan dari mufassir yang
menafsirkan ayat-ayat tersebut.47
Umumnya penafsiran metode ini menganut sistem mushafi yaitu mengikuti urutan ayat
dan surah sebagaimana yang ada dalam mushaf. Biasanya yang dihidangkan itu mencakup
pengertian umum kosa kata ayat, Muna>sabah/ hubungan ayat dengan ayat sebelumnya, Sabab
al-Nuzu>l (kalau ada), makna global ayat, hukum yang ditarik, yang tidak jarang menghidangkan

43
Hal ini dipaparkan oleh Muhammad Baqir al-Shadr dalam kitabnya al-Madrasah al-Qura>niyah, h. 7-10
yang dikutip dari: M. Quraish Shihab, dkk. Sejarah dan Ulumu al-Quran, h. 172. Lihat juga: Nasharuddin
Baidan, Metode Penafsiran al-Quran, h. 54,
44
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, h. 69
45
Tah}li>li> berasal dari bahasa Arab h}allala-yuh}allalu-tah}li>l yang bermakna membuka sesuatu atau tidak
menyimpang sesuatu darinya, atau bisa juga berarti membebaskan, mengurai, menganalisis. Lihat: Ahmad bin
Fa>ris bin Zakariya>, Mujam Maqa>yi>s al-Lu>gah, Juz 2 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1979 M/1399 H), h. 20, M. Quraish
Shihab, dkk. Sejarah dan Ulumu al-Quran (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 172, Muhammad bin Mukrim bin
Ali Abu al-Fa>dil Jama>luddin bin Manz}u>r, Lisa>n al-Arabi>, Juz 11 (Beirut: Da>r S{a>dir, 1414 H), h. 163
46
Zahir bin Awad al-Almai, Dira>sa>t fi al-Tafsi>r al-Maud}u>i> li al-Qura>n al-Kari>m (Riya>d}: t.p., 1404 H), h.
18. Sebagaimana yang dikutip dari: . Quraish Shihab, dkk. Sejarah dan Ulumu al-Quran, h. 172.
47
Abd al-Hayy al-Farmawi>, al-Bida>yat fi al-Tafsi>r al-Maud}u>i>, h. 24. Lihat juga: M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Quran Dengan Metode Maudu>i>: Beberapa Aspek Ilmiyah Tentang al-Quran (Jakarta: Perguruan Tinggi
Ilmu al-Quran, 1986), h. 37. Lihat juga: Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Quran: Kajian Kritis Terhadap
Ayat-Ayat Yang Beredaksi Mirip (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 68. Bandingkan dengan: Ahmad
Syurbasi, Qis}s}at al-Tafsi>r, terj. Zufran Rahma, Study Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir al-Quran al-Kari>m
(Jakarta: Kalam Mulia, 1999), h. 232.
10

aneka pendapat para ulama mazhab. Ada juga yang menambahkan dengan uraian tentang aneka
Qiraat, Ira>b ayat-ayat yang ditafsirkan, serta keistimewaan susunan kata-katanya.48
Dalam pembahasannya, penafsir biasa merujuk kepada riwayat-riwayat terdahulu baik
yang diterima dari Nabi saw., sahabat maupun ungkapan-ungkapan Arab pra Islam dan
termasuk cerita Isra>i>liya>t. Oleh karena pembahasan yang terlalu luas itu maka tidak tertutup
kemungkinan penafsirannya diwarnai bias subjektivitas penafsir, baik latar belakang keilmuan
maupun aliran mazhab yang diyakininya. Sehingga menyebabkan adanya kecendrungan khusus
yang teraplikasi dalam karya mereka.49
Para penafsir tidak seragam dalam mengoprasikan metode ini. Ada yang mengurai
secara ringkas, ada pula yang menguraikannya secara terperinci. Itu semua didasari oleh
kecenderungan para penafsir,50 sehingga muncullah berbagai keragaman yang bisa dilihat dari
bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tah}li>li> yang jumlahnya
sangat banyak,51 dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh metode tafsir yang
disebutkan al-Farmawi dalam kitabnya: Al-Tafsir bi al-Mas\u>r, Al-Tafsir bi al-Rayi, Al-Tafsir
al-S}uf> i>, Al-Tafsir al-Fiqh, Al-Tafsir al-Falsafi>, Al-Tafsir al-Ilmi>, Al-Tafsir al-Adabi> al-
Ijtima>i>.52
Terlepas dari kelebihannya, metode ini juga mendapat kritikan. Seperti Kitab-kitab
tafsir yang menekan uraiannya pada hukum/ fiqh banyak dikritik karena penulisnya terlalu
menekan pada pandangan mazhabnya, sehingga menurut Syaikh Muhammad Abduh, Mazhab
menjadi dasar dan al-Quran digunakan untuk mendukungya. Dengan kata lain al-Quran
dijadikan pembenaran mazhab dan tidak dijadikan petunjuk untuk memperoleh kebenaran.53
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa para penafsir yang menggunakan metode ini
tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya

48
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui Dalam
Memahami Ayat-Ayat al-Quran (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 378.
49
M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2005), h. 42.
50
M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir, h. 42.
51
M. Quraish Shihab, dkk. Sejarah dan Ulumu al-Quran , h. 174.
52
Penjelasan untuk semua model tafsir di atas bisa didapati pada: Abd al-Hayy al-Farmawi>, al-Bida>yat fi
al-Tafsi>r al-Maud}u>i>, h. 24-38. Baca juga: M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir, h. 42-45. Baca
juga: M. Quraish Shihab, dkk. Sejarah dan Ulumu al-Quran , h. 174-185.
53
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 379.
11

dengan ayat-ayat al-Quran. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi
jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi
54
pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas mufassirnya. Pembahasan
yang dilakukan melalui metode ini terasa seakan-akan mengikat generasi berikutnya. Karena
penafsirannya bersifat sangat umum dan teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran
terhadap persoalan-persoalan khusus yang dialami oleh mufassir di dalam kehidupan
masyarakat mereka, akibatnya penafsiran tersebut memberikan kesan seolah-olah itulah
pandangan al-Quran untuk setiap waktu dan tempat.55
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini, ada yang ditulis sangat
panjang, seperti kitab tafsir karya al-Alu>si, Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, dan Ibnu Jari>r al-T{abari>. Ada
yang agak sedang, seperti kitab tafsir Imam al-Baidawi> dan al-Naisabu>ri>. Dan ada pula yang
ditulis ringkas, tetapi jelas dan padat, seperti Tafsi>r Jala>lain karya Jala>l al-Di>n al-Suyu>ti dan
Jala>l al-Di>n al-Mah}alli> dan kitab tafsir yang ditulis Muhammad Farid Wajdi.56 Pada periode
selanjutnya, sekitar abad ke-5 Hijriyah, lahir pula metode muqa>rin.

3) Metode Muqa>rin (komparatif)57

Metode Muqa>rin secara terminologis adalah menafsirkan sekelompok ayat al-Quran


atau suatu surah tertentu dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, antara ayat
dengan hadis Nabi saw., dan antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek
perbedaan tertentu dari objek yang dibandingkan.58
Prof. Muin Salim menjelaskan bahwa Metode Muqaran digunakan dalam membahas
ayat-ayat al-Quran yang memiliki kesamaan redaksi namun berbicara tentang topik yang
berbeda, atau sebaliknya topik yang sama dengan redaksi yang berbeda. Ada juga diantara

54
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, h. 87.
55
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, h. 87.
56
M. Quraish Shihab, dkk. Sejarah dan Ulumu al-Quran , h. 174. Baca juga: Abd. Muin Salim, Mardan,
Acmad Abu Bakar, Metodologi Penelitian Tafsi>r Maud{u>i>, h. 39.
57
Muqa>ran berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk masdar dari kata Qa>rana-Yuqa>rinu-
Muqa>ranatan. Secara bahasa kata Muqa>ran pada dasarnya mengandung makna menghimpun atau menghubungkan
sesuatu terhadap sesuatu yang lain. M.Quraish Shihab dkk, Ensiklopedi al-Quran - Kajian Kosa Kata, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), h. 796.
58
Abu al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhui (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977),
h. 45.
12

penafsir yang membandingkan antara ayat-ayat al-Quran dengan hadis Nabi saw. yang secara
lahiriah tampak berbeda.59
Al-Farmawi> menambahkan bahwa metode tafsir Muqaran mempunyai pengertian lain
yang lebih luas, yaitu membandingkan ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang tema
tertentu, atau membandingkan ayat-ayat al-Quran dengan hadis-hadis Nabi saw. termasuk
dengan hadis-hadis yang tampak kontradiktif dengan al-Quran, atau dengan kajian-kajian
lainnya.60
Ruang lingkup pembahasan tafsir Muqaran dari masing-masing aspek berbeda-beda.
Secara global, tafsir Muqaran antara ayat dapat diaplikasikan pada ayat-ayat al-Quran yang
memiliki dua kecenderungan yaitu: 1) ayat-ayat yang memiliki kesamaan redaksi namun ada
yang berkurang, ada juga yang berlebihan, 2) adalah ayat-ayat yang memiliki perbedaan
ungkapan, tetapi tetap dalam satu maksud. Nashruddin selanjutnya melengkapi pendapat
tersebut dalam buku yang lain dengan pernyataan bahwa wilayah kajian perbandingan ayat
dengan ayat tidak hanya terbatas pada analisis redaksional saja, melainkan mencakup perbedaan
kandungan makna masing-masing ayat yang diperbandingkan. Disamping itu, juga dibahas
perbedaan kasus yang dibicarakan oleh ayat-ayat tersebut, termasuk juga sebab turun ayat serta
konteks sosial-kultural masyarakat pada waktu itu.61
Ada tiga aspek yang menjadi kajian utama dalam metode tafsir Muqaran, yaitu:
1) Membandingkan penafsiran ayat dengan ayat dari berbagai segi.
Perbandingan dalam aspek ini dapat dilakukan pada semua ayat, baik dalam pemakaian
mufradat, urutan kata, maupun kemiripan redaksi. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam
metode ini, khusunya yang membandingkan antara ayat dengan ayat (juga ayat dengan hadis),
biasanya mufassirnya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan
yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus/masalah itu sendiri.62
2) Membandingkan segi kandungan ayat dengan hadis Nabi saw.

59
Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Cet. I; Yogyakarta: TERAS, 2005), h. 46-47.
60
Abu al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhui (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977),
h. 39.
61
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)
62
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Quran Dengan Metode Mawdhiiy-Beberapa Aspek Ilmiah Tentang al-
Quran, (Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran, 1986), h. 34.
13

Dalam kategori ini, yang menjadi persoalan adalah ayat yang sepintas maknanya
bertentangan dengan sabda Nabi saw. atau sebaliknya. Dalam melakukan perbandingan ayat al-
Quran dengan hadis yang terkesan berbeda atau bertentangan ini, langkah pertama yang harus
ditempuh adalah menentukan nilai hadis yang akan diperbandingkan dengan ayat al-Quran.
hadis itu haruslah sahih. Sementara hadis dhaif tidak bisa diperbandingkan, karena disamping
nilai otoritasnya rendah, dia justru semakin bertolak karena pertentangannya dengan ayat al-
Quran, setelah itu para mufassir melakukan analisis terhadap latar belakang terjadinya
perbedaan atau pertentangan antara keduanya.63
3) Membandingkan pendapat-pendapat para ulama tentang penafsiran-penafsiran yang
telah mereka lakukan.
Yang menjadi pembahasan pada poin ini bukan sekedar perbedaanya saja, melainkan
argumentasi masing-masing penafsir, bahkan mencoba mencari apa yang melatarbelakangi
perbedaan itu dan berusaha pula menemukan sisi-sisi kelemahan dan kekuatan masing-masing
penafsir.64 Langkah Muqaran seperti ini penting dilakukan, mengingat bahwa khazanah tafsir
al-Quran itu banyak sekali, terutama dari segi coraknya. Dengan mengumpulkan pendapat-
pendapat ulama dari berbagai corak dan berbagai disiplin ilmu, tentu akan menghasilkan suatu
penafsiran yang lebih mendekati kebenaran dibanding hanya memegang satu pandangan saja
tanpa menguji dan melihat pandangan-pandangan penafsir yang lain. Disinilah tampak
keunggulan tafsir Muqaran dibanding dengan pendekatan-pendekatan lainnya.65

63
Sekalipun sanad hadis tersebut sahih, jika maknanya bertentangan dengan al-Quran, baik langsung atau
tidak, maka hadis tersebut dapat diklaim sebagai hadis yang tidak sahih. Karena salah satu ciri utama hadis sahih
adalah maknanya tidak bertentangan dengan al-Quran dan tidak mungkin Nabi saw. menentang Tuhan. Demikian
kira-kira logika ulama ahli hadis dalam ketika menghadapi makna-makna hadis seperti itu. Berbeda dengan ulama
ahli ushul fiqih. Menurut mereka, jika hadis bertentangan dengan al-Quran, pertentangan itu sesungguhnya masih
dapat dikompromikan, yakni kedua larangan atas teks ajaran itu masih dapat dipakai sebagai dua ajaran yang
saling melengkapi. Dan larangan yang berasal dari al-Quran itu bersifat mutlak haramnya, sementara larangan
yang berasal dari sabda Nabi saw. dapat bersifat mutlak selama tidak ada nash yang menentangnya. Jika ada nash
lain yang menentangnya maka pelarangan itu hanya bersifat makruh saja. Badri Khaeruman, Sejarah
Perkembangan Tafsir Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 101-102, Quraish Shihab dkk, Sejarah Ulumul
Quran, (Cet.IV; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 190.
64
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir-Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam
Memahami Ayat-ayat al-Quran, (Cet.1; Tengerang: Lentera Hati, 2013), h. 385.
65
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran, h. 103.
14

Diantara kelebihan metode tafsir Muqaran adalah Memberikan wawasan yang relatif
lebih luas,66 membuka pintu untuk bersikap toleran, dapat mengungkapkan orisinalitas dan
objektifitas hadis Nabi saw, dan dapat mengungkapkan sumber-sumber perbedaan di kalangan
mufassir atau perbedaan pendapat diantara kelompok umat Islam yang didalamnya termasuk
mufassir itu sendiri.
Adapun kekurangannya yakni Penafsiran yang menggunakan metode Muqaran tidak
dapat diberikan kepada pemula, seperti mereka yang belajar tingkat menengah ke bawah. Hal
ini disebabkan pembahasan yang dikemukakan terlalu luas dan kadang-kadang terlalu ekstrim,
konsekuensinya tentu akan menimbulkan kebingungan bagi mereka bahkan mungkin bisa
merusak pemahaman mereka terhadap Islam secara universal.67 Metode tafsir Muqaran tidak
dapat diandalkan untuk menjawab problem-problem sosial yang sedang tumbuh ditengah
masyarakat. Hal ini disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan daripada
pemecahan masalah.68
Dimasa selanjutnya, lahirnya berbagai corak tafsir mengilhami para ulama tafsir untuk
menyusun metode baru dalam penafsiran al-Quran, hingga melahirkan metode tematik
(maud}u>i>). Meskipun pola penafsiran tematik ini secara embriotik telah lama dikenal dalam
sejarah tafsir, namun dalam bentuknya yang dikenal sekarang, pertama kali ditulis oleh Prof.
Dr. Ahmad al-Ku>mi (Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar).
Kalau pendapat ini diterima, maka metode tematik dikatakan baru lahir secara faktual pada
paruh kedua abad ke-20 yang lalu.69 Quraish Shihab menjelaskan bahwa metode yang
dicetuskan oleh al-Ku>mi> ini merupakan kelanjutan dari metode tematik gaya Mahmud Syaltut,
dalam tafsirnya Tafsi>r al-Qura>n al-Kari>m, yang disusun pada bulan Januari 1960, sedangkan al-
Ku>mi mencetuskan ide itu pada akhir tahun enam puluhan.70 Buah dari tafsir model ini menurut
Quraish Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Insa>n f al-
Qura>n, al-Marah f al-Qura>n, dan karya Abul Ala al-Maududi, al-Riba> f al-Qura>n71.

66
M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), h. 111-212.
67
Al-Jurjaniy, al-Tarifa>t, (Jeddah: al-Tabbah wa al-Nasyr wa al-Tauzi, t.t.), h. 63.
68
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), h. 32.
69
Nasharuddin Baidan, Metode Penafsiran al-Quran, h. 54.
70
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, h. 76.
71
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir maud}u>i atas Pelbagai Persoalan Ummat, h. 114.
15

Kemudian tafsir model ini dikembangkan dan disempurnakan lebih sistematis oleh Abd al-Hay
al-Farmawi>, pada tahun 1977, dalam kitabnya al-Bida>yah fi al-Tafsi>r Maud}u>i : Dirasah
Manhajiyah Maudu>iyah.
4) Metode tafsir Maud}u>i 72
Metode tafsir Maud}u>i secara sederhana adalah menafsirkan ayat-ayat al-Quran
berdasarkan tema atau topik pemasalahan yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan
manusia yang dibentangkan ayat-ayat al-Quran.73 Bentuk defenisi operasional tafsir Maud}u>i
atau tematik ini, lebih rinci tergambar dalam rumusan yang dikemukakan oleh Abd al-Hay al-
Farmawi>, yaitu mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yang mempunyai maksud yang sama, dalam
arti sama-sama membahas satu topik masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologis dan
sebab turunnya ayat-ayat tersebut. selanjutnya mufassir mulai memberikan keterangan dan
penjelasan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argument itu berasal dari al-Quran, hadis, maupun
pemikiran rasional.74
Untuk menggunakan metode ini Secara sistematis, langkah-langkah yang harus
ditempuh yakni: menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan tema, menulusuri asbab nuzul
(jika ada), mengkaji semua kata dan kalimat, menulusuri pemahaman ayat-ayat tersebut dari
berbagai aliran dan penafsiran, dan melakukan penalaran objektif melalui kaidah-kaidah tafsir
yang mutabar, serta didukung oleh argumentasi al-Quran, hadis, dan fakta sejarah yang dapat
ditemukan.75
Adapun Kelebihan dan Kekurangan Metode Tafsir Maud}u>i adalah sebagai berikut:
Kelebihan Tafsir Maud}u>I;
Metode ini menghimpun semua ayat yang memiliki kesamaan tema
Peneliti dapat melihat keterkaitan antara ayat yang memiliki kesamaan tema

72
Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia (Surabaya:Pustaka Progesif, 1987)
h.1565,
73
Must}afa Muslim, Mabahis Fiy al-Tafsir al-Maud}uI ( Damaskus: Dar al-Qalam, 1997) h.16
74
Abd Al-Hay al-Farmawi>, Bida>yah Fi al-Tafsir al-Maudu>i> (Kairo: Hadrat al-Gharbiyah, 1977), h.52
75
Selengkapnya lihat: Abd Al-Hay al-Farmawi>, Bida>yah Fi al-Tafsir al-Maudu>i> dalam Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Quran, h. 153.
16

Peneliti dapat menangkap ide al-quran secara sempurna dari ayat-ayat yang
memiliki kesamaan tema
Metode ini dapat menyelesaikan kesan kontradiksi antar ayat yang selama ini
dilontarkan oleh pihak-pihak tertentu.
Metode ini sesuai dengan zaman modern.
Membantu para pelajar secara umum untuk sampai pada petunjuk al-quran tanpa
harus merasa lelah dan bertele-tele76
Kekurangan metode tafsir Maud}u> i antara lain :
Memenggal ayat al-Quran: Yang dimaksud memenggal ayat al-Quran ialah suatu kasus
yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang
berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu
diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat,
maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari
mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman
suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya
mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari
berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Quran itu bagaikan
permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul
pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut.77
5) Metode Hermeneutik

Upaya membumikan al-Quran atau mengoperasionalkan berbagai ajaran yang ada


dalam al-Quran -ditengah desakan arus modernisasi dan globalisasi- terus-menerus dilakukan
oleh umat Islam, khususnya para pembaca, pengkaji, dan mufassir al-Quran. Upaya-upaya itu
terlihat dengan berbagai kerja keras kolektif, kajian metode, dan berbagai penyediaan
instrument-instrumen pengkajian al-Quran.

76
Abd al-Hayy al-Farmawi>, al-Bida>yat fi al-Tafsi>r al-Maud}u>i>: Dirasah Manhajiyah Maud}u>iyah, terj.
Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhui dan Cara Penerapannya h. 56.
77
Nashruddin Baidan. Metodologi Penafsiran al-Quran. h. 165-169.
17

Relasi antara Barat dan Islam yang cenderung membaik, membawa perubahan internal
dalam tubuh umat Islam dan membuka dunia Islam terhadap perkembangan Iptek. Banyak
karya intelektual Barat diterjemahkan dalam bahasa Arab atau bahasa Muslim, serta banyak
sarjana Muslim yang belajar ke Barat, sehingga membawa cakrawala baru terhadap pemahaman
dan penafsiran teks-teks al-Quran yang lebih variatif.78 Tradisi kajian, pemahaman, dan
penafsiran al-Quran yang sebelumnya telah terlembaga dalam ilmu atau metode, misalnya
ulum al-Quran, ulum al-Tafsir,tafsir dan takwil, baik dalam domain studi tekstual maupun
studi kontekstual, mengalami pergeseran epistemologi dan pertambahan perangkat ilmu ketika
seorang mufassir melakukan penafsiran.
Jika sebelumnya domain penafsiran masih terpaku pada gaya penafsiran konvensional79,
maka para sarjana Muslim kontemporer80 memberikan tawaran tafsir modern dengan
memasukkan sentuhan filsafat dan ilmu-ilmu baru yang berkembang di Barat dan di Timur
seperti filologisme, historisisme, fenomenologis, linguistic kritis, sampai hermeneutika. 81 Hal
tersebut diupayakan agar hasil kajian dan penafsiran al-Quran tetap aktual, applicable, serta
dapat dijadikan solusi alternatif dari berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Muslim
dan dunia. Tokoh-tokoh heremeneutik dalam kajian alquran yang dikenal antara lain Amin al-
Khulli, Binth al-Syat}I, Syahrur, Hassan Hanafi, Farid Esack, Fazlur Rahman, dan Amina Wadud
Muhsin.
Hemeneutika merupakan metode interpretasi-epistemologis baru dalam dunia tafsir al-
Quran. Hermeneutika adalah sebuah ilmu yang merefleksikan tentang suatu kata atau even
yang ada pada masa lalu, dapat dipahami dan secara eksistensial dapat bermakna dalam situasi
kekinian manusia. Ia mencakup aturan-aturan metodologis yang diterapkan di dalam penafsiran

78
Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir al-Quran: Strukturalisme, Semantik,
Semiotik dan Hermeneutik (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 66.
79
Pendekatan konvensional yang dimaksud lazim disebut manhaj bi al-Matsu>r (tafsir riwayah), yang
sering kali didudukkan dalam konotasi yang disakralkan. Menurutnya, tradisi penafsiran model ini hanya
mengambil dan menerangkan ayat demi ayat, dilakukan untuk membela sudut pandang tertentu, dan prosedur
pembahasannya tidak dapat mengemukakan pandangan al-Quran yang kohesif terhadap alam dan kehidupan.
Sadullah Assaidi, Pemahaman Tematik al-Quran Menurut Fazlur Rahman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013),
h. 56.
80
Masa kontemporer telah dimulai sejak masa Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Abdul Mustaqim,
Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi penafsiran al-quran Periode Klasik Hingga Kontemporer, h. 91
81
Marzuki Wahid, Post-Tradisionalisme Islam: Gairah Baru Pemikiran Islam di Indonesia, dalam Taswi>rul
Afkar. Jurnal Refleksi Pemikiran dan Kebudayaan, (Lakpesdam-TAF, 2000), h. 12.
18

dan asumsi-asumsi epistemologis pemahaman.82 Singkatnya, hermeneutika sebagai metode


diartikan sebagai cara menafsirkan symbol berupa teks atau benda konkret untuk dicari
maknanya, dan mensyaratkan kemampuan untuk menafsirkan masa lalu yang tidak dialami,
kemudian dibawa ke masa sekarang.
Hermeneutika diorientasikan untuk mencari relevansi makna bahasa dalam konteksnya.
Adapun interpretasi-epistemologisnya adalah penafsiran terhadap teks dibangun atas dasar teori
episteme. Episteme adalah teori pengetahuan yang membahas: asal-usul, anggapan, karakter,
rentang, dan kecermatan/kebenaran/ atau keabsahan pengetahuan. jika teori ini diaplikasikan ke
dalam penafsiran al-Quran, maka epistema ini dapat dijabarkan dengan melihat tiga momen,
yaitu: momen linguistic, antropologis, dan historis.83
Pada momen linguistic, kata atau lafaz al-Quran dibaca sebagai tanda (dila>l), pada
momen antropologis, kata yang sama dibaca sebagai simbol (isya>rah) atau analisis mistis, dan
pada momen historis, batas-batas tafsir logika-leksikografis (logika perkamusan) atau teks dan
konteks, dikembangkan dengan tafsir imajiner. Singkatnya, dalam memahami al-Quran tidak
hanya diperlukan analogi konseptual antara dunia manusia dan dunia Tuhan, tetapi juga
diperlukan analogi historis kontekstual antara dunia nabi Muhammad saw yang Arabik dengan
dunia umat Islam lain yang hidup pada zaman dan wilayah yang berbeda dengan Arab.84
Aktivitas interpretasi dalam pandangan hermeneutika selalu melibatkan tiga elemen
yaitu teks, pengarang, dan pembaca (penafsir). Dengan demikian, pendekatan hermeneutika
dalam kajian al-Quran akan selalu melibatkan struktur teks al-Quran (the world of text),
pengarang al-Quran (Tuhan/Muhammad; the world of author), dan subjektivitas
pembaca/penafsir (the world of reader/interpreter). Problem metode ini adalah menghadirkan
teks dan pengarang pada waktu yang bersamaan untuk mengungkap makna yang dikehendaki,
terlebih lagi jika teks yang dikaji adalah teks lampau yang pengarangnya sudah tidak ada
sehingga tidak mungkin melakukan konfirmasi. Karena problem itulah, hermeneutika sangat
menghargai faktor subjektivitas penafsir/pembaca. Subjektivitas penafsir pada hakikatnya

82
Carl Breaten, History of Hermeneutics (Philadelphia: Fortress, 1966), h. 131.
83
Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir al-Quran: Strukturalisme, Semantik,
Semiotik dan Hermeneutik, h. 459
84
Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir al-Quran: Strukturalisme, Semantik,
Semiotik dan Hermeneutik, h. 459
19

adalah menulis ulang dengan sejumlah presuposisi dan pengalaman serta referensi yang
dimilikinya.85
Kontroversi pemikiran antara penafsir kontemporer dengan pendekatan hermeneutika
dan pendekatan konvensional mengenai al-Quran bukan terletak pada kesimpulan-kesimpulan
yang dihasilkan, tapi justru terlihat jelas pada penerapan metode atau prosedur untuk
menghasilkan suatu pengertian dari pesan al-Quran.86 Pendekatan hermeneutika dalam dunia
tafsir hingga saat ini masih diperdebatkan oleh kalangan Pemikir Islam sendiri.
Perkembangannya mendapat hambatan dari Muslim Konservatif era kontemporer yang
mempertahankan status-quo dalam tradisi agama dan kaum fundamentalis yang
menginterpretasikan al-Quran secara harfiyah, yang oleh Fazlur Rahman dinilai gagal untuk
memisahkan unsur-unsur normatif wahyu dari unsur-unsur deskriptif yang hanya berkaitan
dengan waktu dan tempat dimana wahyu terjadi.87
3. Corak Tafsir
Corak dalam literatur tafsir identik dengan kata laun , yang artinya warna88. Jadi corak
berarti nuansa atau warna khusus yang mewarnai tafsir. Tafsir sendiri sangat bergantung
dengan horizon mufassirnya, sehingga penaafsiran sangat relatif dan tentatif.89 Berbicara
tentang corak atau alwa>n al-tafsi>r, maka al-Z\\|ahabi mengungkapkan dalam al-Tafsi>r wa al-
Mufassirun, bahwa setidaknya ada empat alwa>n al-tafsi>r pada era modern, yaitu al-laun al-ilm
(ilmu pengetahuan/sains), al-laun al-maz\habi> (mazhab), al-laun al-ilh}a>di> (penafsiran yang
didasarkan pada hawa nafsu/penafsiran yang rusak), al-laun al-adab al-ijtima>i>
(kemasyarakatan).90 Sebelumnya, al-Z|ahabi> juga telah membahas tentang al-tafsir> al-s{u>fiyyah

85
Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir al-Quran: Strukturalisme, Semantik,
Semiotik dan Hermeneutik, h. 460
86
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Quran Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman
(Jakarta: Sulthan Thaha Press, 2007), h. 151
87
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Quran Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, h.
151
88
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),
h. 1299.
89
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, h. 200.
90
Muh}ammad H{usain al-Z|ahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Juz II (Kairo:Maktabah Wahbah. t.th.), h.
364.
20

(corak sufistik), al-tafsi>r al-fala>sifah (filsafat), al-tafsi>r al-fuqaha> (fiqh), al-tafsi>r al-ilmi>.91
Selain itu, dalam Buh}us\ fi> Us}u>l al-Tafsi>r wa Mana>hijuhu> juga disebutkan beberapa corak
lainnya, seperti al-tafsi>r al-fiqh, al-tafsi>r al-baya>ni>, al-tafsi>r al-ijtima>i>, al-taz\awwuq al-adabi>.92
Sedangkan metode hermeneutik melahirkan beberapa corak dalam kajian al-Quran,
yaitu: 1) Hermeneutika linguistic kritis, seperti yang diperkenalkan Amin Khulli, Binth al-
Syat}I, dan Syahrur, 2) Hermeneutika pembebasan, seperti yang diperkenalkan oleh Hassan
hanafi dan Farid Essack, 3) Hermeneutika sistematis historis, seperti yang diperkenalkan Fazlur
Rahman, 4) Hermeneutika feminis, seperti yang diperkenalkan oleh Amina wadud Muhsin dan
Syahrur,93

C. Kesimpulan

Ada tiga unsur yang sangat urgen dalam membangun pemahaman terhadap al-Qur'an.
Ketiga unsur tersebut yaitu pendekatan, metode, dan corak tafsir. Pendekatan tafsir meliputi
pendekatan bi al-Mats\u>r, bi al-Rayi, ada juga yang menggunakan istilah pendekatan Tekstual
dan pendekatan Kontekstual. Adapun untuk metode tafsir, terdapat empat macam metode yang
masyhur dalam tafsir, yaitu tah}li>li> (analitis), ijma>li> (global), muqa>ran (komparatif), maud}u>i>
(tematik).94 sedangkan pada masa kontemporer, hermeneutika menjadi paradigma dan metode
baru dalam khazanah tafsir.

Dapat dinyatakan bahwa pada periode Islam awal, yakni masa Rasulullah hingga Tabi
Tabiin, penafsiran al-Quran lebih didominasi pendekatan bi al-Mats\u>r. Belum didapati
kritisisme dalam menerima sebuah tafsir, seolah-olah tafsir nabi, sahabat menjadi mutlak
hingga nyaris tanpa kritik. Di era Tabiin hingga Tabi Tabiin, unsur-unsur Israiliyyat mulai
dimasukkan dalam penafsiran dan mulai terkontaminasi oleh kepentingan mazhab tertentu.

Pada periode selanjutnya, kurang lebih pada akhir abad ke 3 Hijriyah setelah berakhirnya
generasi salaf, saat Islam mulai berinteraksi dengan perkembangan ilmu pengetahuan, beragam

91
Muh}ammad H{usain al-Z|ahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Juz II, h. 250, 308, 319, 349.
92
Fahd al-Ru>mi>, Buh}us\ fi> Us}u>l al-Tafsi>r wa Mana>hijuhu> (Cet. IV; t.t.: Maktabah al-Taubah, 1419 H), h.
86, 91, 85, 100, 104, 106, 110.
93
Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir al-Quran: Strukturalisme, Semantik,
Semiotik dan Hermeneutik, h. 477
94
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran (Bandung: Mizan, 1998), h. 85.
21

metode dan corak tafsir mulai bermunculan. Tafsir pada masa ini sarat dengan kepentingan
ideologi mufassir dan fanatisme golongan/mazhab. Pada masa inilah geliat corak penafsiran
tumbuh subur, seperti corak fikih, teologis, sufistik, falsafi, dan ilmi, dll. Tokoh-tokoh mufassir
pada masa ini antara lain Ibnu Jarir at-tabari, al-Zamakhsyari>, Fakhruddin al-Razi>, dll.

Era setelahnya adalah masa kontemporer, yakni dimulai dari masa Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha. Paradigma dan metode yang mulai dikembangkan pada masa ini adalah
Hermeneutika. Karakteristik tafsir pada masa ini adalah mengupayakan agar hasil kajian dan
penafsiran al-Quran tetap aktual, applicable, serta dapat dijadikan solusi alternatif dari
berbagai persoalan yang kini dihadapi oleh masyarakat Muslim dan dunia.
22

DAFTAR PUSTAKA

al-Almai, Zahir bin Awad. Dira>sa>t fi al-Tafsi>r al-Maud}u>i> li al-Qura>n al-Kari>m. Riya>d}: t.p.,
1404 H.
al-Farmawi, Abu al-Hayy. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhui Mesir: Maktabah al-
Jumhuriyyah, 1977.
al-Farmawi>, Abd al-Hayy. al-Bida>yat fi al-Tafsi>r al-Maud}u>i>: Dirasah Manhajiyah Maud}u>iyah,
terj. Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhui dan Cara Penerapannya. Bandung:
Pustaka Setia, 2002.
Al-Jurjaniy, al-Tarifa>t, Jeddah: al-Tabbah wa al-Nasyr wa al-Tauzi, t.t.
al-Dzahabi>, Muhammad Husain. Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n, Mesir: Da>r al-Maktub al-
Hadi>tsah, 1976.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran dan Tafsir.
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012.
Assaidi, Sadullah. Pemahaman Tematik al-Quran Menurut Fazlur Rahman . Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013
Anshori, Menafsirkan al-Quran dengan Ijtihad. Jakarta: Referensi, 2012
Baidan, Nashruddin Metodologi Penafsiran al-Quran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
-------. Metode Penafsiran al-Quran: Kajian Kritis Terhadap Ayat-Ayat Yang Beredaksi Mirip.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
-------. Wawasan Baru Ilmu Tafsir .Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 201
Breaten, Carl, History of Hermeneutics. Philadelphia: Fortress, 1966
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia; Dari Hermeneutika hingga Ideologi. Jakarta:
Teraju, 2003
Hernawan, Acep. Ulu>mul Qura>n, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011
H. Syafruddin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Ilyas,Yunahar . Kuliah Ulumul Quran. Yogyakarta: Itqan Publishing, 2014.
Ibn Manz}u>r, Muhammad bin Mukrim bin Ali Abu al-Fa>dil Jama>luddin. Lisa>n al-Arabi>. Beirut:
Da>r S{a>dir, 1414 H.
Ibn Zakariya>, Ahmad bin Fa>ris. Mujam Maqa>yi>s al-Lu>gah. Beirut: Da>r al-Fikr, 1979 M/1399 H.
Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Mardan, al-Quran Sebuah Pengantar . Ciputat: Mazhab Ciputat, 2010.
Munawir, Ahmad Warson. al-Munawwir Kamus Arab Indonesia . Surabaya:Pustaka Progesif,
1987
Muslim, Must}afa. Mabahis Fiy al-Tafsir al-Maud}ui. Damaskus: Dar al-Qalam, 1997
23

Mustaqim, Abdul. Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: PT LkiS Group 2012


RI, Departemen Agama. Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989.
Salim, Abd Muin. Metodologi Ilmu Tafsir, Cet. I; Yogyakarta: TERAS, 2005.
Salim, Abd. Muin, Mardan, Acmad Abu Bakar, Metodologi Penelitian Tafsi>r Maud{u>i>.
Yogyakarta: Pustaka al-Zikra, 2011.
Shihab M. Quraish dkk. Ensiklopedi al-Quran - Kajian Kosa Kata, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
-------. Kaidah Tafsir-Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam
Memahami Ayat-ayat al-Quran, Tengerang: Lentera Hati, 2013.
-------. Mukjizat al-Quran, Bandung: Mizan, 1998.
-------. Sejarah dan Ulumu al-Quran. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
-------. Tafsir al-Quran Dengan Metode Mawdhiiy-Beberapa Aspek Ilmiah Tentang al-Quran,
Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran, 1986.
-------. Membumikan al-Quran. Cet. XVII; Bandung: Mizan, 1998.
Suryadilaga, M. Alfatih. dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2005.
Syurbasi, Ahmad. Qis}s}at al-Tafsi>r, terj. Zufran Rahma, Study Tentang Sejarah Perkembangan
Tafsir al-Quran al-Kari>m. Jakarta: Kalam Mulia, 1999.
Saleh, Ahmad Syukri. Metodologi Tafsir al-Quran Kontemporer dalam Pandangan Fazlur
Rahman. Jakarta: Sulthan Thaha Press, 2007
Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir al-Quran: Strukturalisme,
Semantik, Semiotik dan Hermeneutik. Bandung: Pustaka Setia, 2013
Wahid, Marzuki. Post-Tradisionalisme Islam: Gairah Baru Pemikiran Islam di Indonesia, dalam
Taswi>rul Afkar. Jurnal Refleksi Pemikiran dan Kebudayaan, Lakpesdam-TAF, 2000

Anda mungkin juga menyukai