Anda di halaman 1dari 10

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No.

56/DIKTI/Kep/2005

Ulama dan Jawara:


Studi tentang Persepsi Ulama terhadap Jawara
di Menes Banten Selatan

Karomani

ABSTRACT

Ulama (religious leader) and jawara (gank leader) become prominent local elites in Menes,
South Banten. Long history of those two leaders resulted in amalgamation of both elites:
alongside with pure ulama, there is also a group of ulama who is also jawara. Both elites
have positive perception to each other. Jawara-ulama was perceived by ulama as figures who
develop, maintain and preserve Banten cultural art. Jawaras are loyal to ulama and protect
ulama as well. On the other hand, jawara from outside of ulama group was negatively
perceived, assuming bad habits such as disobedience toward religious principles, bandit,
doing many violence act. The perception of ulama toward jawara was affected by a closeness
in terms of relationship with jawara, a resemblance of beliefs, values, worldview,
religious understanding, prejudice and life experience.

Kata kunci: ulama, jawara, persepsi negative, prasangka, kebudayaan Banten

1. Pendahuluan jawara yang umumnya tergabung dalam


perkumpulan persilatan.
Ulama, jawara, dan umaro di Banten telah Kepemimpinan ulama atau kiai dan jawara,
menjadi suatu konfigurasi kepemimpinan yang sebagaimana diakui Dewi (2003:243), merupakan
satu sama lain saling menunjang. Ulama memiliki simbiosis mutualisme yang tidak terpisahkan
pengaruh kuat dalam bidang keagamaan, jawara dalam konstruk sosial dan budaya masyarakat
memiliki pengaruh kuat dalam bidang adat, dan Banten. Meskipun elite ulama dan jawara satu sama
umaro memiliki pengaruh kuat dalam jaringan lain keberadaanya saling menunjang, di antara
kekuasaan pemerintahan. Ulama, dengan ilmu mereka acapkali terjadi hubungan yang kurang
agama yang dimilikinya, menjadi rujukan utama harmonis karena perbedaan peran dan
masyarakat setempat dalam menyelesaikan kepentingan. Ulama, misalnya, yang lebih
berbagai masalah sosial yang berdimensi vertikal mendekatkan diri pada konsep kepemimpinan
dan horisontal. Jawara, dengan kekuatan ekonomi agama, dan jawara (yang bukan tipe jawara ulama)
dan fisiknya, menjadikan wilayah Banten aman, yang lebih memfokuskan pada kepemimpinan adat
karena umumnya pihak-pihak yang berniat merusak karuhun berbeda kepentingannya satu sama lain.
ketentraman warga akan berhadapan dengan Antara jawara dan ulama, dilihat dari aspek ini, ada

Karomani. Ulama dan Jawara: Studi tentang Persepsi Ulama terhadap Jawara 227
konflik permanen. Jawara, di satu sisi, Persepsi, sebagaimana dikatakan Wilmot (dalam
berkepentingan dengan adat atau tradisi karuhun Purwasito, 2003:175), adalah cara organisme
yang dipengaruhi budaya Hindu, sementara ulama memberi makna. Persepsi merupakan suatu proses
di sisi lain berkepentingan dengan proses menafsirkan pesan atau informasi melalui inderawi.
islamisasi dan berusaha mengikis pengaruh Hindu Persepsi adalah inti komunikasi sedangkan
tersebut (Sunatra, 1997:125). penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi yang
Konflik antarelite ulama dan jawara tidak hanya identik dengan penyandian balik dalam proses
disebabkan oleh perbedaan peran dan kepentingan komunikasi. Persepsi adalah pengalaman tentang
elite yang bersifat politik atau ekonomi, tetapi bisa objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang
juga disebabkan oleh masalah komunikasi antarelite diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
itu seperti kesalahan pemaknaan simbol, persepsi, menafsirkan pesan (Rakhmat, 2000:51).
prasangka, dan lain sebagainya. Selain itu, Penjelasan lain dipaparkan Rich (1974:16)
perbedaan latar belakang budaya, nilai, norma, bahwa persepsi dapat didefinisikan sebagai proses
sikap, dan pandangan hidup di antara mereka yang memungkinkan suatu organisme menerima
dapat memicu konflik atau hubungan yang kurang dan menganalisis informasi. Menerima, di sini,
harmonis antarelite tersebut. Tulisan ini mengkaji adalah menunjuk pada sensasi (indera) atau proses
dan memahami bagaimana persepsi elite ulama ketika informasi datang kepada kita melalui sensasi
terhadap elite jawara di Banten selatan khusunya (indera) kita. Tentu saja, manusia sebagaimana
di wilayah Menes. dikatakan Rich dalam definisinya, tidak hanya
Dalam tulisan ini, daerah Menes dijadikan sekedar menerima atau mengindera stimuli; tetapi
wilayah kajian penelitian karena daerah tersebut juga menganalisis apa yang ditangkap melalui
di Provinsi Banten umumnya, dan di Kabupaten indera tersebut. Persepsi, secara singkat, dikatakan
Pandeglang khususnya, merupakan daerah basis Cohen adalah interpretation of sensations as rep-
pendidikan dan tempat lahirnya tokoh-tokoh resentatives of external objects; perception is ap-
berpengaruh di tingkat lokal dan di tingkat parent knowledge of what is out there (Cohen
nasional. Menes, sejak awal abad ke-20, telah dalam Fisher dan Adam,1994:55).
menjadi salah satu pusat pendidikan Islam dengan Mulyana (2001:168) menjelaskan bahwa
berdirinya lembaga pendidikan Mathlaul Anwar persepsi meliputi penginderaan, atensi, dan
dan daerah ini juga menjadi basis pergerakan interpretasi. Penginderaan (sensasi) terkait dengan
menentang kolonialisme yang heroik di Banten, alat-alat indera kita baik indera peraba, penglihat,
seperti yang terjadi pada tahun 1926 (peristiwa pencium, pengecap, ataupun indera pendengar.
pemberontakan komunis di Banten). Atensi terkait dengan perhatian kita terhadap objek
sebelum kita merespon atau menafsirkan kejadian
2. Konsep Persepsi Sosial atau rangsangan tersebut. Interpretasi adalah
meletakkan suatu rangsangan bersama rangsangan
Dalam psikologi umum, dikatakan bahwa
lainnya sehingga menjadi suatu keseluruhan yang
persepsi adalah pengamatan secara global, belum
bermakna (Goodarce dan Foler dalam Mulyana,
disertai kesadaran; sedang subjek dan objeknya
2001: 169). Senada dengan Mulyana, Devito
belum terbedakan satu dari yang lainnya baru ada
(1997:89) mengatakan proses persepsi meliputi tiga
proses memiliki tanggapan (Kartono,1996:61).
tahap, yakni: (1) stimulasi alat indra terjadi; 2)
Pendapat ini berbeda dengan apa yang dikatakan
stimulasi ini ditata; dan 3) stimulasi ini ditafsirkan,
Singer (dalam Samovar, 1981:37) yang menjelaskan
dievaluasi.
persepsi adalah proses internal yang
Persepsi manusia terbagi dua, yakni persepsi
memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan,
terhadap objek (lingkungan fisik) dan persepsi
dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita,
terhadap manusia (persepsi sosial). Persepsi
dan proses tersebut memengaruhi prilaku kita.
terhadap objek melalui lambang-lambang fisik,

228 M EDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005


Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

sedangkan persepsi terhadap orang melalui haus dan sebagainya), faktor fisiologis (sakit,
lambang-lambang verbal atau nonverbal. Persepsi lelah, sehat, dan lain sebagainya), faktor sosial
terhadap objek menanggapi sifat-sifat luar, budaya seperti gender, agama, tingkat pendidikan,
sedangkan persepsi terhadap orang menanggapi pekerjaan, status sosial, dan bahkan faktorfaktor
sifat-sifat luar dan dalam (perasaan, motif, harapan, psikologis, seperti motivasi, pengharapan, emosi,
dan sebagainya). Objek tidak bereaksi sedangkan dan lain sebagainya. Selain oleh faktor internal,
manusia bereaksi. Itu sebabnya, persepsi terhadap atensi dipengaruhi juga oleh faktor eksternal
manusia dapat berubah dari waktu ke waktu, lebih seperti gerakan, intensitas, kekontrasan, kebaruan,
cepat daripada persepsi terhadap objek fisik. Apa dan perulangan objek ( Rich, 1974: 19-20).
yang dimaksud dengan persepsi dalam tulisan ini Persepsi bergantung pada dugaan. Hal ini
adalah ditujukan pada jenis persepsi terhadap didasari oleh kenyatan bahwa data yang diperoleh
manusia bukan pada objek fisik. Persepsi dalam mengenai objek melalui pengindraan tidak pernah
konteks ini juga tidak ketat merujuk pada lengkap, sehingga persepsi itu merupakan loncatan
pengertian persepsi dalam psikologi, melainkan langsung pada kesimpulan. Sebagai contoh,
lebih pada pengertian pemaknaan atau penafsiran tampak misalnya, ketika melihat gunung es, maka
seseorang pada keberadaan orang lain. Dengan hanya melihat bagian atasnya saja, namun terbiasa
perkataan lain, persepsi dalam tulisan ini lebih menduga ada juga bagian gunung es itu di bawah
ditujukan pada tanggapan (penerimaan) langsung permukaan air.
dari sesuatu (serapan), bukan ditujukan pada Persepsi bersifat evaluatif, artinya tidak ada
proses psikologis seseorang dalam mengetahui persepsi yang bersifat objektif. Manusia melakukan
beberapa hal melalui panca indranya (Moeliono, interpretasi berdasarkan pengalaman masa lalu dan
1996:759; Sarwono, 2002:94). kepentingannya. Persepsi adalah suatu proses
Persepsi terhadap manusia atau persepsi kognitif psikologis dalam diri yang mencerminkan
sosial bisa berbeda beda. Hal ini disebabkan oleh sikap, kepercayaan, nilai, dan pengharapan yang
jenis faktor pengalaman, faktor selektivitas, faktor kita gunakan untuk memaknai objek.
dugaan, faktor evaluatif, dan faktor kontekstual. Persepsi bersifat kontekstual,suatu
(Mulyana, 2001:176-196; Fisher dan Adam,1994:57- rangsangan dari luar harus diorganisasikan. Dari
60). Persepsi seseorang bergantung pada semua pengaruh yang ada dalam persepsi kita,
pengalaman. Hal ini tampak, misalnya, pada cara konteks merupakan salah satu pengaruh yang kuat.
orang bekerja, dan menilai pekerjaan mana yang Angka tiga belas (13), misalnya, dalam konteks
baik dan yang buruk; cara orang makan dan menilai tertentu bisa dibaca atau dipersepsi atau dimaknai
makanan yang lezat dan yang tidak; cara orang orang dengan huruf B.
mengukur kecantikan seseorang, dan lain Di samping disebabkan jenis faktor
sebagainya. Semuanya itu bergantung pada pengalaman, selektivitas, dugaan, evaluatif, dan
pengalaman sebelumnya yang melatari orang kontekstual, Samovar dan Porter (1981:38)
tersebut. Penafsiran manusia, dalam hal ini, karena sebagaimana juga dijelaskan Mulyana (2001:197)
pengalaman yang berbeda pasti memunculkan mengemukakan beberapa unsur budaya yang
penafsiran dan penilaian yang berbeda pula. memengaruhi persepsi, yaitu: kepercayaan, nilai,
Persepsi bergantung pada selektivitas. Setiap dan sikap; pandangan dunia; organisasi sosial;
saat manusia diberondong oleh jutaan rangsangan tabiat manusia; orientasi kegiatan; persepsi tentang
indrawi, dan tidak semua rangsangan itu diri dan orang lain. Kepercayaan terkait dengan
diperhatikan melainkan hanya yang tertentu saja anggapan subjektif bahwa sesuatu objek atau
yang menarik atensi kita. Atensi ini merupakan peristiwa mempunya ciri atau nilai tertentu. Nilai
faktor utama yang menentukan selektivitas kita atas adalah komponen evaluatip dari kepercayaan.
berbagai rangsangan itu. Atensi ini dipengaruhi Sikap adalah reaksi perasaan terhadap sesuatu.
oleh faktor internal seperti faktor biologis (lapar, Pandangan dunia adalah orientasi budaya

Karomani. Ulama dan Jawara: Studi tentang Persepsi Ulama terhadap Jawara 229
terhadap Tuhan, kehidupan, dan isu-isu filosofis Muhammad ibn Abdul Wahab (meninggal 1792)).
lainnya. Organisasi sosial adalah perkumpulan Gerakan ini sering dianggap terlalu revolusioner
massa. Tabiat manusia adalah pandangan kita oleh karena gagasan-gagasan yang
tentang siapa kita, bagaimana sifat dan watak kita. dikemukakannya, dilihat menurut ukuran
Orientasi kegiatan adalah terkait dengan apakah zamannya terlalu radikal. Gerakan wahabiah
manusia atau individu itu mementingkan proses menyerang sufisme tanpa ampun. Berkat gerakan
atau hasil dari suatu kegiatannya. Sedangkan inilah bidah, khurafat, dan takhayul yang merajalela
persepsi tentang diri dan orang lain terkait dengan dalam dunia Islam terkikis habis (Amien Rais
apakah manusia atau individu itu bersifat dalam John J Donohue dan John L Espositi, 1989:x).
individualis atau kolektivis. Selain dipengaruhi Mathlaul Anwar, meskipun merupakan
unsur budaya di atas, persepsi kadang dipengaruhi lembaga pendidikan agama tertua di Menes,
oleh prasangka (Rich, 1974:38). akhirnya mengalami perpecahan karena lembaga
ini acapkali diidentikkan dengan gerakan
3. Persepsi Ulama terhadap Perilaku pembaharuan. Beragam lembaga pendidikan di
Jawara Menes kemudian bermunculan sebagai pecahan
dari MA, seperti Nurul Amal (cahaya amal) yang
Ulama atau kiai di Banten Selatan, seperti di didirikan oleh K.H. Jirjis (almarhum) di
daerah Menes saat ini, bisa dikategorikan ke dalam Kadubangkong Menes, dan Anwarul Hidayah
dua tipikal ulama. Pertama, ulama senior atau ulama (cahaya hidayah) yang didirikan K.H Abdulatif
sepuh (syaehuna). Ulama ini, dari segi usia, sudah (almarhum) di Nanggorak Menes. K.H. Maani
berada di atas 75 tahun, dan dari segi keilmuan Rusdi di Menes saat ini merupakan satu-satunya
atau keulamaan lebih berkharisma di mata ulama sepuh. Ia memiliki pengalaman
masyarakat dibandingkan ulama lain. Ulama ini bermasyarakat dan bernegara pada berbagai
biasanya memiliki pesantren atau sekolah agama zaman, dari zaman penjajahan, zaman kemerdekaan,
mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. hingga zaman pascakemerdekaan (dari Orde Lama,
Ulama tipe ini, di daerah Menes, salah satunya Orde Baru sampai Orde Reformasi saat ini).
yang masih hidup sekarang adalah K.H. Maani Selain ulama sepuh, tipe ulama yang kedua di
Rusdi, pemimpin pondok dan sekolah Malnu Menes adalah ulama yang lebih muda, yang
(Mathaul Anwar Linahdatul Ulama). Malnu adalah berumur sekitar 55 atau 60 tahunan. Ulama ini bisa
lembaga pendidikan yang didirikan K.H Yasin, K.H. digolongkan ke dalam dua tipe ulama, yaitu ulama
Junaedi, dan K.H Maani Rusdi pada tahun 1968 yang relatif terpelajar (selain lulusan pondok juga
sebagai pecahan dari Matlaul Anwar (MA) yang berpendidikan tinggi) dan ulama yang hanya
lebih dulu berdiri pada tahun 1916 oleh K.H M lulusan pesantren. Ulama lulusan pondok
Yasin, K.H Mas Abdurrahman, dan K.H umumnya memiliki pesantren, sementara ulama
Mohammad Sholeh. Malnu, secara harfiah, lulusan perguruan tinggi tak semuanya memiliki
pengertiannya adalah munculnya cahaya mengikuti pesantren.
bangkitnya ulama. Latar belakang munculnya Dilihat dari karakter kejawaraan, ulama di
lembaga ini adalah adanya ketidaksepakatan K.H Menes bisa diklasifikasikan ke dalam dua klasifikasi
Yasin dan putranya K.H M Junaedi, dan juga K.H ulama, yaitu ulama jawara, dan ulama biasa (bukan
Maani Rusdi terhadap lembaga pendidikan yang ulama jawara). K.H. Haerudin termasuk ulama
bernama MA (secara harfiah berarti munculnya jawara, sementara K.H. Maani, K.H. Hakim, dan
cahaya) yang dinilai berpaham Muhammadiyah K.H. Suhri Utsman, termasuk ulama nonjawara,
(aliran pembaharuan). Bahkan kerap MA dituding meskipun K.H. Suhri Utsman itu sendiri mengenal
para alumninya sendiri sebagai perpanjangan beberapa jawara, beliau tidak disebut kiai jawara
ajaran wahabi. Gerakan wahabi adalah gerakan karena tidak memiliki ilmu hikmah yang kuat. Kiai
pembaharuan Islam di Arab Saudi yang dipelopori jawara yaitu kiai yang selain menganut ilmu hikmah

230 M EDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005


Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

(ilmu kebatinan) yang kuat yang dianggap memiliki kedua inilah yang oleh kiai dibina dalam hal
kesaktian juga banyak bergaul dengan jaringan kekuatan fisik, dan kemudian menjadi jawara yang
para jawara. Sementara ulama biasa, yaitu ulama biasa diklasifikasikan sebagai ulama jawara.
yang meskipun memiliki ilmu hikmah, tetapi tidak Persepsi para kiai di atas, sejalan dengan
dikenal memiliki kekuatan atau kesaktian dan tidak yang dikatakan Adimihardja (1991 dalam Hufad,
banyak bergaul dengan para jawara melainkan 2004:211), pada awalnya para jawara itu terkait
hanya mengajar ngaji atau menghadiri pengajian- dengan latar historis pada era kekuasaan sebelum
pengajian di pesantren. Ilmu hikmah pada ada pengaruh kekuasaan kesultanan Banten.
umumnya adalah ilmu yang dimiliki para kiai baik Jawara muncul tatkala adanya basis pelatihan
kiai jawara maupun bukan kiai jawara. Hal ini (kesatrian) para pasukan pengawal kerajaan
ditegaskan oleh Hufad berikut ini: Padjadjaran yang berada di bawah kekuasaan
Umumnya kiai identik dengan kepemilikan ilmu- Pucuk Umun di Banten Lama. Para jawara
ilmu agama yang tinggi, ahli hikmah dan kebatinan, merupakan perantara atau penghubung antara
memiliki dan mengasuh pesantren serta memimpin penguasa Padjadjaran dengan rakyatnya, yang
masyarakat. Kiai dipandang sebagai orang yang bertugas mengawasi kelompok-kelompok
memahami nilai pesan ajaran-ajaran agama, dan
masyarakat, memungut upeti, serta mengatur
menjadi sosok yang paling dekat dengan pusat
kekuatan supranatural. Ia memiliki kekuatan magis tugas lain untuk kepentingan kerajaan, yang
atau ilmu hikmah dan menguasai kitab-kitab dilakukan kadang-kadang dengan kekerasan demi
kuning, serta diangap dapat melakukan perbuatan berjalannya roda pemerintahan tradisional. Setelah
yang tidak dapat dikerjakan oleh orang-orang biasa raja Padjadjaran dan Pucuk Umun menyerah pada
(Hufad, 2004: 227). Sultan Hasanudin, para jawara yang setia pada
Ilmu hikmah yaitu ilmu yang berkaitan dengan kerajaan itu menyerah dan beralih menjadi pengikut
bacaan-bacaan dari ayat-ayat AlQuran yang Sultan Hasanudin. Dalam perjalanannya kemudian,
kadang disertai puasa dan wiridan seperti bacaan mereka bukan saja mahir dalam ilmu bela diri dan
hamdallah, istigfar, dan sholawat pada nabi kekebalan, tetapi mereka memelajari agama Islam
Muhammad SAW. Ilmu hikmah ini oleh sebagian dari para kiai; aktualisasi kejawaraannya dilandasi
orang dipandang berguna untuk kedigjayaan- oleh nilai-nilai dan norma agama sehingga disebut
kedigjayaan, seperti kebal (tahan) bacok, dan lain pula sebagai jawara ulama.
sebagainya. Kiai jawara selain memiliki jaringan Dalam persepsi para ulama, jawara saat ini di
pergaulan dengan komunitas para jawara, dulu kiai Menes berkembang menjadi dua tipikal jawara,
ini dipersepsikan para kiai sebagai orang yang suka yaitu jawara yang dekat dengan kiai dan jawara
berjudi dan bergaul dengan para jawara. Meskipun yang tidak dekat dengan kiai. Jawara yang dekat
demikian, judi dan bergaul dengan jawara dilakukan dengan kiai adalah jawara yang sedikit banyak
mereka dengan alasan untuk tetap berdakwah. berpendidikan agama dan sering berkomunikasi
Dalam pandangan ulama, baik ulama jawara dengan kiai, sementara jawara yang jauh dengan
maupun ulama biasa, jawara itu pada awalnya para kiai adalah jawara yang umumnya tidak
memang lahir dari kiai. Ulama umumnya berpersepsi berlatar pendidikan agama dan tidak membangun
bahwa ketika tekanan pemerintah kolonial Belanda komunikasi dengan para kiai. Jawara ini oleh para
terhadap masyarakat pribumi demikian kuat, hal ulama sering disebut baragajul (tidak memiliki
ini menyebabkan munculnya perlawanan- pekerjaan tetap dan sering berbuat onar). Tipikal
perlawanan rakyat dan pusat perlawanan berada jawara seperti ini identik dengan apa yang
pada kiai. Para kiai ini umumnya memiliki dua dikatakan Sunatra (1977:183;) dan Lubis (2004:127)
kelompok santri. Pertama, adalah santri yang sebagai jawara yang semata mata menggunakan
mempunyai bakat di bidang ilmu agama, dan kedua elmu hideung (ilmu hitam) yang tidak berdasarkan
adalah para santri yang mempunyai bakat yang ajaran agama Islam, melainkan masih berbau ajaran
berkaitan dengan bela diri. Sosok santri yang animisme. Termasuk elmu hideung yang dimiliki

Karomani. Ulama dan Jawara: Studi tentang Persepsi Ulama terhadap Jawara 231
jawara di luar ulama itu ialah jangjawokan. seperti perlawanan Ki Wasid di Cilegon (1888),
Jangjawokan, dalam Ensiklopedia Sastra Sunda dianggap onlusten (keonaran), ongeregeldheden
(1997:80), adalah sejenis puisi (mantra) Sunda. Ia (pemberontakan), complot (komplotan),
digunakan pada waktu akan melakukan suatu woelingen (kekacauan), dan onrust
pekerjaan agar berhasil baik dan yang (ketidakamanan). Jadi, sejak dahulu tidak
melakukannya selamat. Diucapkan, misalnya, pada dipungkiri memang ada jawara yang murni bandit
waktu akan berjalan, duduk, berdiri, berdandan, di luar kendali kiai tersebut. Hal ini dikemukakan
bertandang, berkumpul, menyauk beras, mencuci Kartodirdjo berikut ini:
beras, makan, minum, makan sirih, dan lain-lain. Pada tahun 1886 dalam masyarakat yang penuh
Selain menggunakan jangjawokan, beberapa keresahan timbul kekeruhan yang disebabkan oleh
benda tertentu diyakini oleh jawara yang berada merajalelanya gerombolan perampok di bawah
di luar komunitas kiai sebagai benda yang memiliki pimpinan Sakam. Karena sukar ditangkap, pada
rakyat ada kepercayaan bahwan ia berjimat dan
kekuatan magis. Jantung pohon pisang tertentu
memiliki kekebalan. Kabar bahwa dia akhirnya
(panggalek), misalnya, diyakini bisa dipakai untuk ditangkap di Batavia dan meringkuk di penjara
bermain judi agar selalu menang judi. Demikian juga sangat menggemparkan. Namun kemudian terbukti
buntut (buritan ) kadal atau sejenis komodo kecil bahwa yang ditangkap itu seorang Jaro bernama
yang bercabang dua yang lepas dengan Suhari. Akhirnya hakim memutuskan bahwa Suhari
sendirinya tepat pukul 12 siang pada hari Jumat, bukan Sakam, lalu dibebaskan. Sakam yang
misalnya, diyakini mereka berguna untuk elmu sesungguhnya beberapa bulan kemudian mati
(ilmu) nyandung (beristri lebih dari satu) agar para terbunuh dalam suatu konfrontasi dengan alat-alat
istri itu damai dan tentram tidak saling cemburu. Negara (Kartodirdjo,1988:56).
Tipikal jawara yang di luar komunitas para kiai Berbeda dengan sosok jawara yang diluar
di atas, lebih jauh secara historis dikemukakan kendali kiai yang peran dan prilakunya
Kartodirdjo (1984:56-164) bahwa pada saat dipersepsikan para kiai sebagai sosok yang negatif,
kesultanan Banten dihapuskan Daendeles pada jawara yang dekat dengan kiai adalah jawara dalam
abad ke-19, keadaan di Banten menjadi kacau dan pengertian yang positif. Jawara ini dipersepsikan
seluruh tatanan sosial hampir ambruk. Dalam oleh ulama berperan sebagai sosok pemelihara,
situasi seperti ini, munculah para pemimpin dari pengembang seni budaya Banten, dan sekaligus
kalangan kiai dan elite pedesaan lainnya. Mereka sebagai khadam para kiai. Yang dimaksud
secara radikal membangkitkan semangat pemelihara seni budaya tradisi di atas termasuk
perlawanan terhadap penguasa asing dan juga misalnya seni bela diri (pencak silat) debus, dan
terhadap pamong praja. Dalam situasi seperti ini, seni budaya lain. Sebagai khadam kiai, jawara
perampokan, penyamunan, pembegalan terjadi di dipersepsikan ulama sebagai penjaga harta
mana-mana. Malahan dalam perkembangannya kekayaan pribadi ulama, dan sarana dakwah bagi
kemudian, sekitar tahun 1880-an, muncul ulama.
perampok dan bandit tulen yang tidak ada Seni budaya Banten, seperti pencak silat dan
kaitannya dengan perlawanan. Mereka merampok debus, yang dibina dan dikembangkan jawara
dan melakukan penggarongan tanpa pilih bulu. dalam komunitas ulama mendapat apresiasi yang
Mereka inilah yang membuat onar dan menjadikan baik di mata ulama, karena kedua seni budaya ini
nama jawara menjadi cemar. Hal ini lalu lekat dengan unsur-unsur Islam. Pencak silat aliran
dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk Cimande, misalnya, amat kental dengan nuansa
meruntuhkan citra para pejuang yang agama keislaman, karena ia lahir dari sosok kiai di
sesungguhnya, dengan cara mencap atau memberi Bogor. Demikian juga debus di Banten telah
label bahwa semua kaum jawara Banten adalah berkembang secara turun-temurun yang dalam
bandit, sehingga perlawanan dalam bentuk perjalannya tidak terlepas dari pengaruh agama
gerakan sosial yang bermaksud melawan penjajah Islam. Karena lekat dengan unsur budaya Islam

232 M EDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005


Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

inilah, maka umumnya ulama berpersepsi positif Ciri tampilan fisik jawara yang dikemukakan
terhadap seni budaya itu. Ensiklopedia Sunda di atas, dalam persepsi para
Dalam masa kesultanan Banten, diakui memang ulama hal itu sebenarnya bagian dari ciri fisik atau
pengaruh Islam demikian kuat dalam berbagai aspek tampilan sosok jawara masa lalu. Jawara saat ini
kehidupan masyarakat Banten. Itu sebabnya, masuk meskipun tipikal jawara yang di luar kendali kiai
akal manakala pengaruh Islam terhadap kesenian di menurut persepsi ulama sudah berbeda sosok
Banten termasuk kesenian debus demikian kuat tampilan fisiknya dengan jawara dahulu. Pakaian
nuansa keislamannya karena kesultanan Banten, jawara saat ini, dalam kesehariannya, sama saja
sebagaimana dikatakan Gulliot et al. (1990:17), yang dengan pakaian masyarakat biasa memakai celana
berdiri sejak abad ke-16 (1527) menjadi dinasti Is- panjang, memakai baju atau kaos, tidak memakai
lam terkokoh di Nusantara. Agama Islam ikut topi laken, tidak memakai celana pangsi, tidak
menyuburkan kesenian di Banten karena Islam pada memakai sarung yang dilintangkan seperti jawara
dasarnya tidak melarang berkesenian. Para ulama dahulu, dan kesannya tidak terlalu sangar atau
dalam menyebarkan agama bahkan menggunakan menakutkan, meskipun kadang tetap di antara
kesenian sebagai salah satu teknik dalam metode mereka suka membawa golok. Meskipun demikian,
dakwahnya. Sebagai buktinya, apabila kita dalam acara khusus, seperti dalam padepokan
berkunjung pada musium kesultanan Banten, di sana persilatan atau acara resmi dalam keorganisasaian
akan ditemui peninggalan-peninggalan ulama kejawaraan, pakaian mereka diakui berbeda dengan
seperti gamelan, gendang, kenong, dan goong. Para warga masyarakat lain. Para jawara dalam acara
ulama, konon, bahkan menggunakan pertunjukan seperti itu memakai celana pangsi dan baju dinas
wayang yang pada awalnya lekat dengan budaya hitam layaknya seorang jagoan. Warna hitam yang
Hindu sebagai penarik dakwahnya. Jimat Kalima dikenakan jawara, bagi para jawara, sebagai cermin
Sada (dua kalimat syahadat) yang muncul dalam keteguhan sikap, dan sekaligus sebagai tradisi
cerita pewayangan merupakan kreasi ulama yang kejawaraan
berusaha menyesuaikan seni budaya Hindu itu Jawara di Banten Selatan, dalam persepsi para
dengan nafas Islam. Debus sebagai salah satu ulama, tidak seperti di tempat lain, memakai tato,
bentuk kesenian rakyat tidak terlepas dari nafas Is- memakai bahar, dan asesoris lain yang
lam dan tujuan dakwah itu. Karenanya, wajar menyeramkan. Mereka dipersepsikan para ulama
manakala kesenian yang dibina dan dikembangkan mengetahui agama, dan tetap hormat pada kiai.
sebagian jawara itu mendapat persepsi positif dari Bahkan, jawara yang buruk kelakuannya pun
para ulama. seandainya mendengar kiai mau dibunuh, mereka
Terkait dengan penampilan sososk jawara akan membela kiai. Faktor inilah yang menyebabkan
secara fisik, seperti sepintas diungkapkan Banten secara keseluruhan aman dari kasus yang
umumnya para ulama berpersepsi sama bahwa mengancam eksistensi para kiai.
jawara di Banten Selatan saat ini berpenampilan Meskipun secara real jawara dalam masyarakat
biasa-biasa. Persepsi mereka berbeda dengan apa berperan penting, para kiai umumnya berpersepsi
yang dikemukakan dalam Ensiklopdeia Sunda sama yakni kiailah (bukan jawara) yang
(2000:203) yang menjelaskan ciri-ciri fisik jawara sesungguhnya berperan penting yang memiliki
itu seperti berikut ini: pengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat
Jawara disebut juga oah, jagoan. Kata jawara
sehari-hari.
terutama digunakan di daerah Banten. Umumnya Sebagaimana telah dikemukakan, meskipun
laki-laki yang penampilannya sangar. Berpakian ulama umumnya berpersepsi bahwa pengaruh
celana pangsi, baju kampret, ikat kepala barangbang mereka dalam masyarakat, khususnya masyarakat
semplak, kumis panjang melintang, mata merah, Banten Selatan, demikian kuat dibandingkan elite
tangan penuh dengan akar bahar, membawa golok jawara, dan umaro, mereka berpersepsi tidak ada
dengan ikat pinggang kulit tebal dan lain-lain. konflik di antara tiga elite itu. Untuk lebih jelas,

Karomani. Ulama dan Jawara: Studi tentang Persepsi Ulama terhadap Jawara 233
Gambar 1. Persepsi Ulama terhadap Peran dan Perilaku Jawara

(+)
Persepsi Peran dan prilaku jawara
Ulama Jawara dalam komunitas kiai
(+)

(\)
Persepsi Peran dan prilaku jawara
Ulama Biasa (-) diluar komunitas kiai

Pengaruh persepsi: kedekatan, kesamaan


kepercayaan, nilai, pandangan dunia, pemahaman
agama, dan prasangka, serta pengalaman hidup
informan dengan sosok jawara.

Ket: (+) positif (-) negative (\) tidak selalu positif dan negatif

Gambar 1, melukiskan persepsi ulama terhadap berbuat kekerasan. Sementara, bagi ulama jawara,
jawara. persepsi terhadap perilaku jawara di luar komunitas
ulama tidak selalu negatif. Jawara dalam persepsi
4. Kesimpulan mereka berperan dalam meredam konflik dan
melacak kejahatan di masyarakat.
Ulama dan jawara di Banten Selatan
Persepsi para ulama terhadap jawara
merupakan elite lokal yang berpengaruh di dalam
dipengaruhi oleh kedekatan, kesamaan
masyarakat setempat. Ulama di Banten Selatan
kepercayaan, nilai, pandangan dunia, pemahaman
teridiri dua tipikal ulama, yakni ulama jawara dan
agama, dan prasangka, serta pengalaman hidup
ulama biasa. Ulama jawara adalah ulama yang
para ulama dengan sosok jawara.
memiliki ilmu kebatinan yang kuat dan memiliki
jaringan komunikasi dengan para jawara. Ulama
biasa adalah ulama, yang meskipun memiliki ilmu
kebatinan atau ilmu hikmah, tidak memiliki jaringan Daftar Pustaka
komunikasi dengan para jawara.
Dewi, Kurniawati H. 2003. Kepemimpinan Kiai dan
Persepsi ulama, baik ulama jawara maupun
Jawara di Banten Pengaruhnya terhadap
ulama nonjawara, terhadap perilaku jawara dalam
Good Governance. Banten: LSPB.
komunitas ulama positif. Jawara dipersepsikan para
ulama berperan sebagai sosok pemelihara, Devito, Joseph A. 1997. Komunikasi
pengembang seni budaya Banten, taat beragama, AntarManusia. Jakarta: Profesional Books.
dan sekaligus sebagai khadam para kiai. Persepsi
Fisher, B Aubrey, dan Katherine L Adam. 1994. In-
ulama jawara terhadap jawara di luar komunitas
terpersonal Communications Pragmatics of
ulama negatif. Jawara dipersepsikan mereka
Human Relationships. New York: McGraw-
sebagai bandit, tidak taat beragama, dan suka
Hill, Inc.

234 M EDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005


Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

Hufad, M. 2004. Sosialisasi Identi tas Rakhmat, Jalaludin, 2000. Psikologi Komunikasi.
Kekerabatan pada Keluarga Inti di Menes Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Banten. Bandung: Disertasi, PPs Unpad.
Rich, Andrea L. 1974. Interracial Communica-
Kartono, Kartini. 1996. Psikologi Umum. tion. New York: Harper and Row Publishers.
Bandung: CV Mandar Maju.
Sarwono, 2002. Psikologi Sosial Individu dan
Kartodirdjo, Sartono.1984. Pemberontakan Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai
Petani Banten 1888. Jakarta: Pustidaka Jaya. Pustidaka.
Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Samovar, Larry, A, dan Richard, E Porter. 1981. Un-
Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda derstanding Intercultural Communication.
Karya. California: Wadsworth Publishing Company.
Moelyono, Anton 1996. Kamus Besar Bahasa In- Sun antra . 1997. In tegra si dan Konflik
donesia: Jakarta: Balai Pustidaka. Kedudukan Politik Jawara dan Ulama dalam
Budaya Lokal. Studi Kasus Kepemimpinan
Purwasito, 2003. Komunikasi Multikultural.
di Banten. Bandung: PPs Unpad.
Surakarta: Universitas Muhamadiyah.

Karomani. Ulama dan Jawara: Studi tentang Persepsi Ulama terhadap Jawara 235
236 M EDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005

Anda mungkin juga menyukai