Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Adakalanya seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus sehingga menimbulkan masalah


tentang penerapannya. Kejadian yang sekaligus atau serentak tersebut disebut samenloop yang
dalam bahasa Belanda juga disebut samenloop van strafbaar feit atau concursus. Perbarengan
merupakan terjemahan dari samenloop atau concursus. Ada juga yang menerjemahkannya dengan
gabungan. Dalam pembahasan kali ini yang menjadi sorotan adalah perbarengan dua atau lebih
tindak pidana yang dipertanggungjawabkan kepada satu orang atau beberapa orang dalam rangka
penyertaan. Tindak pidana-tindak pidana yang telah terjadi itu sesuai dengan yang dirumuskan
dalam perundang-undangan. Sedangkan kejadiannya sendiri dapat merupakan hanya satu tindakan
saja, dua/lebih tindakan atau beberapa tindakan secara berlanjut. Dalam hal dua/lebih tindakan
tersebut masing-masing merupakan delik tersendiri, dipersyaratkan bahwa salah satu di antaranya
belum pernah diadili.

Ajaran mengenai samenloop [1]ini merupakan salah satu ajaran yang tersulit di dalam ilmu
pengetahuan hukum pidana, sehingga orang tidak akan dapat memahami apa yang sebenarnya
dimaksud dengan samenloop van strafbaar feit itu sendiri, maupun permasalahan-permasalahan
yang timbul di dalam ajaran tersebut, apabila orang itu tidak mengikuti perkembangan paham-
paham mengenai perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan pasal-pasal yang mengatur
masalah samenloop itu sendiri.

Perkembangan paham-paham mengenai perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan pasal-pasal
yang mengatur masalah samenloop itu sendiri, khususnya yang terdapat didalam rumusan pasal 63

ayat (1) KUHP, terjemahan perkataan feit di pasal ini dengan perkataan perbuatan menunjukkan
bahwa team penerjemah Departemen Kehakiman R.I. (sekarang Departemen Hukum dan HAM)
Secara resmi telah menafsirkan perkataan feit di dalam rumusan pasal 63 ayat (1) KUHP itu sebagai
suatu perbuatan yang nyata, yakni suatu penafsiran yang oleh Hoge Raad (HR) sendiri telah
ditinggalkan sejak lebih dari setengah abad yang lalu. Kiranya tim penerjemah Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman itu juga tidak akan menerjemahkan perkataan feit di
dalam rumusan pasal 63 ayat (1) KUHP itu dengan perkataan perbuatan, seandainya tim tersebut
mengetahui bahwa sudah sejak setengah abad yang lalu terdapat keberatan-keberatan terhadap
penggunaan perkataan perbuatan itu sendiri.

Sebelum kita membicarakan apa yang disebut samenloop van strafbare feiten itu sendiri, perlu
diketahui bahwa orang hanya dapat berbicara mengenai adanya suatu samenloop van strafbare
feiten, apabila di dalam suatu jangka waktu yang tertentu, seseorang telah melakukan lebih daripada
satu tindak pidana dan di dalam jangka waktu tersebut orang yang bersangkutan belum pernah
dijatuhi hukuman oleh pengadilan, karena salah satu dari tindakan-tindakan yang telah ia lakukan.

Apa yang disebut samenloop van strafbare feiten atau gabungan tindak-tindak pidana itu, oleh
pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Bab ke-VI dari Buku ke-1 KUHP atau tegasnya
di dalam pasal 63 sampai dengan pasal 71 KUHP, yaitu berkenaan dengan pengaturan mengenai
berat ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan oleh seorang hakim terhadap seorang tertuduh
yang telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana, yang perkaranya telah diserahkan
kepadanya untuk diadili secara bersama-sama.

Dalam suatu samenloop itu, hakim harus memperhatikan kenyataan-kenyataan apakah tertuduh itu
hanya melakukan satu tindak pidana, atau ia telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana.
Prof. Simons berpendapat, bahwa apabila tertuduh itu hanya melakukan satu tindak pidana dan
dengan melakukan tindakan tersebut, tindakannya itu ternyata telah memenuhi rumusan-rumusan
dari beberapa ketentuan pidana, atau dengan perkataan lain apabila dengan melakukan satu tindak
pidana itu, tertuduh ternyata telah melakukan beberapa tindak pidana, maka di situ terdapat apa
yang disebut eendaadse samenloop atau concursus idealis ataupun apa yang oleh Prof. Van Hamel
juga telah disebut sebagai samenloop van strafbepalingen atau gabungan ketentuan-ketentuan
pidana.

Ukuran Pidana yang dapat dijatuhkan atas diri seseorang dalam tindak pidana Concursus.

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa perlunya studi kasus berupa suatu gabungan
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang secara sadar maupun tidak sadar serta
pembedaan yang sangat mendasar untuk mengetahui sebatas mana gabungan tindak pidana dapat
ditafsirkan menjadi sebuah eendaadse samenloop ataukah meerdaadse samenloop.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari pembahasan diatas, penulis ingin menyampaikan beberapa inti permasalahan, antara lain:

1. Benarkah jenis perbuatan yang terjadi dalam contoh kasus adalah gabungan atau konkursus?
Apakah alasannya?

2. bila betul itu merupakan gabungan, apa bentuk gabungan yang terjadi?

3. bagaimana sistem pemidanaan yang diberlakukan pada kasus tersebut?

BAB II

KASUS

 Senin, 20 Agustus 1979. Edy Sampak dan Ojeng-Cece bin Rojai, keduanya berusia 44
tahun, berboncengan sepeda motor buatan Inggris 250 cc merek BSA keluaran tahun 1950.
Nomor polisi F 2933 C. Di punggung Ojeng menempel sebuah ransel yang sama sekali
tidak ia ketahui isinya. Ransel itu milik Edy Sampak.
 Edy Sampak Berpangkat Sersan Mayor, bekerja di Ramil 0806 Karang Tengah, Kesatuan
Skodim 0608 Cianjur, Jalan Raya Siliwangi Cianjur. BSA melaju dari rumah Edy Sampak
di Kp. Karang Tengah Desa Nagrak Kec Cianjur Kota Cianjur pukul 07.00 pagi. Mereka
menuju ke Kantor Pekasmil Dim 0607 Sukabumi. Perjalanan cukup memakan waktu.
Mereka tiba sekitar pukul 11.00. Di sana Edy Sampak menghentikan sepeda motornya. Edy
Sampak masuk ke ruangan dan mencari Sersan Mayor E Sutarjat.
 Sayang, Serma E Sutarjat tak berada di sana. Dari seorang rekan kerjanya, Edy Sampak
mendapat informasi Sersan Mayor E Sutarjat tengah menukarkan cek gaji bulanan ke Bank
BNI 46 di Sukabumi. Edy Sampak dan Ojeng pun langsung meluncur ke Sukabumi untuk
menemui Serma E Sutarjat. Edy Sampak sudah tak sabar menerima uang gajinya. Di Bank
BNI 46 itu Edy Sampak bertemu dengan Serma E Sutarjat dan menyampaikan niatnya
mengambil gaji.
 Namun, Serma E Sutarjat keberatan memberikan uang gaji Edy Sampak. Pasalnya, seluruh
uang gaji mesti dilaporkan ke atasan sebelum dibagikan. Cek gaji bulanan bernomor seri
xxx-1 LL 122994 sebesar Rp 21.317.944,- itu rencananya akan diberikan kepada seluruh
pegawai Ramil 080 Karang Tengah Kesatuan Skodim 0608 Cianjur.
 Selepas dari Bank BNI 46, Serma E Sutarjat mampir ke Kantor Skodim 0607
Sukabumi/Pekasmil. Ojeng yang menemani Edy berada di luar tak jauh dari bank. Ia diberi
uang seribu rupiah dan diminta membeli jerigen ukuran 5 liter. “Untuk bensin motor,” kata
Edy Sampak.
 Sementara itu, Edy Sampak mengambil tas miliknya yang sebelumnya dititipkan di sebuah
toko di Jalan Raya Ciaul. Ia juga membeli dua buah pemantik api. Dalam tas tersebut Edy
Sampak memasukan sebuah pisau, golok kecil, sangkur, botol minuman, sebuah pucuk
pistol Cis 4,5 mm, dan jas hujan. Masih dalam ransel itu, ia juga menyimpan sepucuk
senjata otomatis jenis Carel Gustaf, 200 butir peluru, dan dua magazine yang ia kemas rapi
pada sebuah kotak kayu.
 Tak lama berselang, Edy Sampak dan Ojeng memutar sepeda motornya dan mengarahkan
ke Kantor Skodim 0607 Sukabumi/Pekasmil menyusul Serma E Sutarjat. Setiba di Kantor
Skodim 0607, Edy langsung menemui Serma E Sutarjat. Di kantor Skodim 0607 Sukabumi
itu Edy Sampak mendapat penjelasan kembali perihal penolakan memberikan uang gaji di
Bank BNI 46 dari E Sutarjat. Namun, karena memaksa, Serma E Sutarjat pun memberikan
uang gaji Edy Sampak.
 Edy Sampak dan Ojeng meninggalkan sepeda motornya di Kantor Skodim 0607
Sukabumi/Pekasmil. Mereka ikut bergabung bersama Serma E Sutarjat dan rekannya,
menumpang sebuah mobil minibus merek Mitsubishi Colt bernopol D 5791 G. Mobil
minibus ini bukan inventaris Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Melainkan,
mobil angkutan umum yang disewa dari Iding bin Arsa, 45 tahun. Iding bin Arsa ditemani
kenek bernama Ujang Sugandi.
 Colt ini kemudian membawa penumpang antara lain Serma E Sutarjat, Serma Edy Sampak,
Serma Jujun, Karsip Daeng Rusmana, Koptu Sumpena, Ojeng, Aliun, dan dua orang lagi
yang tak diketahui namanya. Edy Sampak duduk di bangku paling belakang sebelah kanan.
Ojeng duduk di samping Edy Sampak. Di tengah diisi dua orang penumpang. Jok paling
depan diisi oleh dua orang juga. Kendaraan pun penuh dan langsung tancap gas menuju
Cianjur.
 Sesampai di daerah Gekbrong –antara Sukabumi dan Cianjur– Edy Sampak tiba-tiba
menyuruh sopir keluar dari jalan besar. Jalan desa yang menuju ke arah Perkebunan Tee
Gedeh dan langsung menuju Kecamatan Cugenang. Kepada sopir dan penumpang lain, Edy
Sampak mengutarakan hendak mengambil kambing untuk persiapan lebaran. Saat itu
lebaran memang tinggal beberapa hari. Di daerah Kebon Peuteuy, Gekbrong, ia meminta
sopir melambatkan laju mobil. Sang sopir dan penumpang lainnya menurut saja. Mereka
sama sekali tidak menaruh curiga atas permintaan Edy Sampak.
 Kemudian tiba – tiba terdengar bunyi suara tembakan yang keluar dan meledak dari senjata
milik Edy Sampak. Edy Sampak tanpa basa-basi memutuskan mengeluarkan senjata api
yang ia simpan di ranselnya, menembakkannya ke arah Karsip Jujun yang duduk persis
berada di depan Edy Sampak. Jarak antara Edy Sampak dengan Karsip Jujun hanya sekitar
30 cm. Edy Sampak menembak dari arah belakang persis di sandaran jok Karsip Jujun.
 Peluru juga diarahkan kepada Serma E Sutarjat dan membabat habis seluruh penumpang
yang ada di dalam Colt. Dengan tenang Edy menghabisi seluruh penumpang kecuali Ojeng.
Kendaraan melaju tak terarah tanpa kendali.
 Kemudian Colt yang mereka naiki berhenti dan mesinnya mati ketika menabrak tumpukan
pasir. Dekat sebuah kebun bambu dan semak-semak. Sang sopir Iding bin Arsa masih bisa
meloncat keluar dari pintu mobil. Malang, Iding bin Arsa juga terkena peluru Edy Sampak.
 Namun, ia masih sempat lari. Melihat Iding bin Arsa lari, Edy Sampak memintanya
berhenti. Iding bin Arsa terus berlari sampai Edy Sampak menembakkan senjata apinya
dari kejauhan. Dua buah peluru pun bersarang pada kaki dan punggung Iding. Ia tersungkur
karena tidak kuat menahan panasnya peluru yang hinggap di punggungnya. Ia terjatuh dan
tak sadarkan diri di sebuah parit. Namun, ia kembali sadar setelah mendengar samara-samar
teriakan keneknya, Ujang Sugandi, dari kejauhan. Tidak hanya menembak hampir seluruh
penumpang, Edy Sampak pun dengan kejam dan sadis membakar minibus Colt.

Putusan:

 Persidangan Edy Sampak termasuk bersifat khusus. Pasalnya, pengadilan tak hanya
mengadili seorang prajurit ABRI saja. Melainkan terdapat seorang sipil. Maka, majelis
hakim yang mengadili kasus ini pun berubah.
 Hakim ketua berasal dari hakim kalangan militer. Namun, kedua anggota majelis hakim
lainya dipegang dari kalangan hakim sipil. Edy Sampak berada di tahanan Inrehab Cimahi
sejak 28 Agustus 1979. Sementara, Ojeng berada di dalam tahanan sejak tanggal 25
Agustus 1979 di Rumah Tahanan Kebon Waru. Selama proses persidangan berlangsung
tak sedikit keterangan saksi yang dipanggil oleh pengadilan meringankan dakwaan
terhadap tersangka Serma Edy Sampak.
 Dalam persidangan itu terdakwa Serma Edy Sampak dinyatakan bersalah secara komulatif
melakukan perbuatan-perbuatan pidana kejahatan.

· Edy Sampak terbukti terlibat pembunuhan berencana sesuai dengan pasal 240 KUHP,

· pelaku pembunuhan yang diikuti, disertai, didahului dengan perbuatan lain sesuai dengan pasal
339 KUHP, percobaan pembunuhan yang diikuti, disertai, didahului perbuatan pidana lain sesuai
pasal 53 junto 339 KHUP,

· pelaku pencurian dengan kekerasan berakibat luka berat atau matinya orang lain yang dilakukan
oleh dua orang sesuai pasal 365 ayat 4 KUHP,

· pelaku menghancurkan, merusak, membikin tidak dapat dipakai lagi suatu barang, kepunyaan
orang lain sesuai pasal 406 ayat 1 KUHP, dan

· pelaku bersama-sama tanpa hak menguasai, membawa, menyimpan, menyembunyikan,


mempergunakan suatu senjata api sesuai pasal 1 ayat 1 UU 12 Tahun 1951, dan

· pelaku percobaan pembunuhan sesuai pasal 53 junto 338 KUHP. Majelis hakim dengan keras
kemudian memberikan vonis hukuman mati.

· Ditambah dengan pidana tambahan dipecat dari dinas ABRI/TNI AD.

· Dicabut haknya untuk memperoleh tanda jasa/kehormatan yang diberikan oleh dan atas nama
Pemerintahan/Negara Republik Indonesia.

· Dicabut haknya memasuki dinas ABRI.

· Untuk perkara Ojeng, Majelis Hakim menjatuhkan vonis hukuman penjara selama 12 tahun. Ia
juga mesti membayar perkaranya sebesar Rp 2000,-. Sedangkan Bani bin Sahri, majelis hakim
memberikan pidana berupa hukuman penjara selama 4 bulan 15 hari. Dan mesti membayar biaya
perkara sebesar Rp 2000,-.

BAB III

LANDASAN TEORI
3.1 Pengertian Gabungan (Concursus)

Samenloop / concursus dapat diterjemahkan gabungan atau perbarengan. Dalam makalah ini akan
digunakan istilah “gabungan”.[2] Gabungan tindak pidana yaitu apabila seseorang atau lebih
melakukan satu perbuatan dan dengan melakukan satu perbuatan, ia melanggar beberapa peraturan
pidana atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan itu belum dijatuhi putusan
hakim atas diri orang tersebut dan terhadap beberapa pelanggaran dari beberapa peraturan pidana
itu diadili sekaligus.

Dengan demikian maka syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan adanya
gabungan adalah: Ada dua/ lebih tindak pidana dilakukan;

· Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang dalam hal
penyertaan);

· Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili; dan

· Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.

3.2 Sistem Pemidanaan

Pada dasarnya teori gabungan tindak pidana dimaksudkan untuk menentukan pidana apa dan
berapa ancaman maksimum pidana yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah
melakukan lebih dari satu tindak pidana[ Putusan No. 200/Pdt.G/2004/Pn.Jkt.3].

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal 4 (empat) sistem atau stelselpemidanaan,
yaitu:[4]

1. Sistem Absorpsi

Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang masing-
masing diancam dengan pidana yang berbeda, maka menurut sistem ini hanya dijatuhkan satu
pidana saja, yaitu pidana yang terberat walaupun orang tersebut melakukan beberapa delik.

2. Sistem Kumulasi

Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang diancam
dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut sistem ini tiap-tiap pidana yang diancamkan terhadap
delik-delik yang dilakukan oleh orang itu semuanya dijatuhkan.

3. Sistem Absorpsi Diperberat

Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa jenis delik yang
masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, menurut stelsel ini pada hakikatnya hanya
dapat dijatuhkan 1 (satu) pidana saja yakni yang terberat, akan tetapi dalam hal ini diperberat
dengan menambah 1/3 (sepertiga).

4. Sistem Kumulasi Terbatas

Apabila seeorang melakukan beberapa jenis perbuatan yang menimbulkan beberapa jenis delik
yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut stelselini, semua
pidana yang diancamkan terhadap masing-masing delik dijatuhkan semuanya. Akan tetapi, jumlah
pidana itu harus dibatasi, yaitu jumlahnya tidak boleh melebihi dari pidana terberat ditambah 1/3
(sepertiga).

3.3 Bentuk-Bentuk Gabungan Tindak Pidana

Gabungan memiliki beberapa bentuk, yaitu:[5]

1. Gabungan dalam satu perbuatan (Eendaadse Samenloop/Concursus Idealis)

Eendaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan, tetapi dengan satu
perbuatan itu ia melanggar beberapa peraturan pidana yang berarti ia telah melakukan beberapa
tindak pidana. Hal ini diatur dalam pasal 63 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:

Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya
salah satu di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman
pidana pokok yang paling berat.

Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam
aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.

Di antara para sarjana terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan satu
tindakan. Sebelum tahun 1932, Hoge Raad barpendirian yang ternyata dalam putusannya, bahwa
yang dimaksud dengan satu tindakan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP[6]adalah tindakan nyata atau
tindakan materiil.

Taverne bertolak pangkal dari pandangan hukum pidana bahwa tindakan itu terdiri dari dua/lebih
tindakan yang terdiri sendiri yang mempunyai sifat yang berbeda yang tak ada kaitannya satu sama
lain dapat dibayangkan keterpisahan masing-masing. Akibat dari pendirian Hoge Raad ini, makna
dari pasal 63 ayat (1) menjadi sempit. Hanya dalam hal-hal terbatas masih apat dibayangkan
kemanfaatan dari ketentuan pasal tersebut.

Pendirian Hoge Raad bersandar kepada sifat atau ciri yang terdapat pada tindakan tersebut, namun
belum secara tegas dapat diketahui apa yang dimaksud dengan satu tindakan dan beberapa
perbuatan. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam prakterknya Hoge Raadmenyelesaikan perkara
secara kasuistis.

Modderman mengatakan bahwa dilihat dari sudut badaniah tindakan itu hanyalah satu saja akan
tetapi dari sudut rohani ia merupakan pluralitas (ganda). Sedangkan Pompe mengutarakan bahwa
apabila seseorang melakukan satu tindakan pada suatu tempat dan saat, namun harus dipandang
merupakan beberapa tindakan apabila tindakan itu mempunyai lebih dari satu tujuan atau cukupan.

Ketentuan dalam pasal 63 ayat (2) [7]sesuai dengan asas lex spesialis derogat lex general, yang
artinya ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan yang umum. Yang dimaksud dengan
ketentuan pidana khusus adalah jika pada tindak pidana khusus itu termuat atau tercakup semua
unsur-unsur yang ada pada tindak pidana umum, akan tetapi padanya masih ada unsur lainnya atau
suatu kekhususan. Pemidanaan dalam hal concursus idealismenggunakan stelsel absorpsi murni
yaitu dengan salah satu pidana yang terberat.

2. Gabungan dalam beberapa perbuatan (Meerdaadse Samenloop/concursus realis)


Meerdaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan tiap-tiap
perbuatan tindak pidana sendiri-sendiri dan terhadap perbuatan-perbuatan tadi diadili sekaligus.
Hal ini diatur dalam pasal 65, 66, 70 dan 70 bis KUHP. Menurut ketentuan yang termuat dalam
KUHP, concursus realis dibedakan antara jenis tindak pidana yang dilakukan. Tindak pidana
kejahatan termuat dalam pasal 65 dan 66 KUHP. Sedangkan tindak pidana pelanggaran termuat
dalam pasal 70 dan 70 bis.

Pasal 65 KUHP[8] mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana
pokok sejenis dan sistem pemidanaan menggunakan sistem absorpsi diperberat. Pasal 66 KUHP
mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak
sejenis dan sistem pemidanaanya juga menggunakan absorpsi diperberat.

Perbedaan antara pasal 65 dan 66 KUHP terletak pada pidana pokok yang diancamkan terhadap
kejahatan-kejahatan yang timbul karena perbuatan-perbuatannya itu yaitu apakah pidana pokok
yang diancamkannya itu sejenis atau tidak. Sedangkan pasal 70 KUHP mengatur apabila seseorang
melakukan beberapa pelanggaran atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang
merupakan kejahatan dan pelanggaran.

Jika pasal 65 dan 66 menyebutkan tentang gabungan kejahatan dengan kejahatan, pasal 70 memberi
ketentuan tentang gabungan kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran.
Dalam hal ini maka kejahatannya dijatuhkan hukumannya sendiri, sedangkan bagi masing-masing
pelanggarannya pun dikenakan hukuman sendiri-sendiri dengan pengertian bahwa jumlah
semuanya dari hukuman kurungan yang dijatuhkan bagi pelanggaran-pelanggaran itu tidak boleh
lebih dari satu tahun empat bulan dan mengenai hukuman kurungan pengganti denda tidak lebih
dari delapan bulan. Pasal 70 bis menentukan kejahatan-kajahatan ringan dianggap sebagai
pelanggaran. Bagi masing-masing kejahatan ringan tersebut harus dijatuhkan hukuman sendiri-
sendiri dengan ketentuan bahwa jika dijatuhkan hukuman penjara maka jumlah semua hukuman
tidak boleh lebih dari delapan bulan.

3. Perbuatan berlanjut (Voorgezette Handeling)[9]

Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan beberapa perbuatan itu merupakan tindak
pidana sendriri. Tetapi di antara perbuatan itu ada yang hubungan sedemikian eratnya satu sama
lain sehingga beberapa perbuatan itu harus dianggap sebagai satu peruatan lanjutan. Hal ini diatur
dalam pasal 64 KUHP dan pemidanaannya menggunakan sistem absorpsi.

Apa yang dimaksud dengan perbuatan berlanjut? Terdapat beberapa pendapat mengenai perbuatan
berlanjut tersebut. Ada sarjana yang memberikan pengertian bahwa perbuatan berlanjut adalah
apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan delik, tetapi
beberapa perbuatan yang masing-masing delik itu seolah-olah digabungkan menjadi satu delik.

Sedangkan Simons mengatakan bahwa KUHP yang berlaku sekarang tidak mengenal vorgezette
handeling sebagaimana diatur dalam pasal 64 KUHP yang merupakan bentuk gabungan
dalam concursus realis. Hanya tentang pemidanaan pasal 64 KUHP menyimpang dari ketentuan
pasal 65 KUHP dan 66 KUHP. Menurut pasal 65 KUHP dan 66 KUHP yang dijatuhkan adalah
satu pidana yang terberat ditambah dengan sepetiganya. Sedangkan menurut pasal 64 KUHP yang
dijatuhkan hanya satu pidana yang diperberat. Oleh karena itu, Simons menganggap pasal 64
KUHP sebagai pengecualian terhadap concursus realis/ meerdaadse samenloop.

Adapun ciri-ciri dari perbuatan berlanjut adalah:

a. Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu kehendak jahat;
b. Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan

c. Tenggang waktu antara terjdinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau lama.

Persoalan mengenai sejauh mana cakupan dari satu kehendak jahat tersebut erat hubungannya
dengan delik dolus/ culpa dan delik materil/ formil. Untuk delik dolus dalam hubungannya dengan
delik materiil/ formal tidak ada persoalan mengenai cakupan dari satu kehendak jahat tersebut.

BAB IV

ANALISIS KASUS

Karena Edy Sampak melakukan lebih dari satu tindak pidana, yaitu pembunuhan, pencurian,
pengrusakan, dan pemilikan senjata api ilegal, maka ini termasuk tindak pidana Gabungan. Selain
daripada itu, perbuatan Edy Sampak juga telah memenuhi beberapa syarat Gabungan, yaitu:

· Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang dalam hal
penyertaan). Dalam hal ini, Edy Sampak melakukan lebih dari satu tindak pidana.

· Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili. Syarat ini juga telah terpenuhi,
karena kesemua tindak pidana yang dilakukan belum ada yang dipidana.

· Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus. Ini juga sesuai dengan persidangan
Edy Sampak yang mengadili sekaligus semua perbuatannya.

Bagaimana dengan sistem pemidanaannya? Sistem pemidanaan Edy Sampak, seperti yang telah
disebutkan di bab II, menggunakan sistem kumulasi, yaitu tiap-tiap pidana yang diancamkan
terhadap delik-delik yang dilakukan oleh orang itu semuanya dijatuhkan. Sistem kumulasi
dipergunakan karena Edy Sampak melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik
yang diancam dengan pidana sendiri-sendiri.

Selanjutnya bentuk gabungan tindak pidana apa yang terjadi di kasus ini? Karena Edy Sampak
melakukan beberapa perbuatan yang semuanya terjadi secara berurutan, maka gabungan macam
ini disebut gabungan dalam beberapa perbuatan (Meerdaadse Samenloop/concursus
realis). Meerdaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan tiap-
tiap perbuatan tindak pidana sendiri-sendiri dan terhadap perbuatan-perbuatan tadi diadili
sekaligus. Ini sesuai dengan apa yang terjadi pada Edy Sampak.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah diuraikan dihubungkan dengan pokok permasalahan yang telah
dirumuskan, maka kami dapat menarik kesimpulan bahwa:
1. Perbuatan yang dilakukan yang terdapat dalam pasal 65-66 KUHP tidak dapat hanya diartikan
sebagai perbuatan materiil atau fisik saja. Akan tetapi, perbuatan-perbuatan yang terjadi harus
dilihat dalam suatu kompleks perbuatan dan juga akibat-akibat yang terjadi.

2. Gabungan tindak pidana yaitu apabila seseorang atau lebih melakukan satu perbuatan dan dengan
melakukan satu perbuatan, ia melanggar beberapa peraturan pidana atau apabila seseorang
melakukan beberapa perbuatan, dan itu belum dijatuhi putusan hakim atas diri orang tersebut dan
terhadap beberapa pelanggaran dari beberapa peraturan pidana itu diadili sekaligus.

3. ada empat stelsel pemidanaan dalam gabungan, dan yang dipergunakan dalam persidangan kasus
Edy Sampak adalah sistem kumulatif.

4. Bentuk gabungan yang terjadi pada kasus Edy Sampak adalah gabungan dari beberapa perbuatan
atau konkursus realis.

5.2 Saran

Kelompok kami menyarankan penegak hukum agar selalu mempertimbangkan dan menganalisis
suatu permasalahan dengan menyeluruh sehingga mendapatkan suatu penafsiran yang tidak salah,
terutama Hakim. Selain itu, suatu pelatihan mengenai teori-teori hukum pidana diperlukan oleh
para penegak hukum, agar kesalahan dalam praktek hukum bisa berkurang. Pemahaman ataupun
konsep yang salah akan menimbulkan permasalahan yang berlarut-larut dan kontroversial. Dengan
demikian, teori-teori gabungan tindak pidana hendaknya tidak ditafsirkan secara leterlijk saja yaitu
yang berdasar pada undang-undang, tetapi juga sumber hukum tidak terbatas dari perundang-
undangan, akan tetapi meliputi juga doktrin, yurisprudensi hakim dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai