Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Penafsiran Al-Qur’an merupakan kegiatan para ulama yang sejak dahulu
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam khazanah keilmuan Islam. Al-Qur’an
mengandung segudang makna, yang atas dasar itulah peluang ntuk
mengaktualisasikan makna ayat-ayatnya selalu terbuka lebar. Tuntutan agar Al-
Qur’an dapat berperan dan berfungsi dengan baik menjadi pedoman dan petunjuk
hidup bagi manusia, terutama dalam zaman kontemporer sekarang ini.
Sebagaimana ‘ulumul Qur’an klasik, hermeneutika adalah metode analisis
terhadap teks yang konsep utamanya adalah dengan memperhatikan konteks
historisnya pada masa lalu untuk ditarik ke konteks saat ini. Hermeneutika
menjadi semakin ‘populer’ di kalangan akademisi, tidak hanya dikaji sebagai
metode analisis teks tetapi juga telah menjadi metode yang diterapkan dalam
meneliti teks. Beberapa cabang ilmu telah banyak menggunakan analisis ini
seperti sosiologi, antropologi, dan juga penelitan teks yang lain.
Namun sayangnya di kalangan muslim sendiri hermeneutika dipandang
sebelah mata, karena beranggapan komponen metodologi yang berasal dari ‘luar’
akan mencederai sakralitas Al-Qur’an. Oleh karena itu tidak sedikit yang memiliki
pandangan sinis dan skeptis terhadap hermeneutika bahwa ia adalah metode yang
berusaha dikembangkan untuk ‘merusak’ autentisitas Al-Qur’an. Ada pula yang
berpandangan bahwa tidak layak hermeneutika yang merupakan komponen
metodologi penelitian teks Bibel digunakan untuk meneliti Al-Qur’an.
Pandangan-pandangan ini yang awalnya membendung masuknya hermeneutika
dalam menafsirkan dan meneliti Al-Qur’an di kalangan muslim kontemporer.
Dalam arus berikutnya, hermenutika tidak dapat terbendung, beberapa
sarjana Islam termasuk di Indonesia, turut serta membangkitkan kajian
hermeneutika. Hingga beberapa universitas Islam telah memasukkan
hermeneutika dalam silabus pembahasan untuk para mahasiswanya. Kajian
hermeneutika dan penerapan hermeneutik dalam penafsiran teks terus
berkembang di ranah ilmiah akademik yang ada di Indonesia.

1
B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut, maka yang akan menjadi pokok
pembicaraan dalam makalah ini, adalah:

1. Apakah Pengertian Hermeneutika?

2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Hermeneutika?

3. Apakah Perbedaan antara Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an?

4. Bagaimana Contoh Aplikasi Hermeneutika dalam Penafsiran Al-Qur’an?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hermeneutika
Hermeneutika secara etimologis diambil dari bahasa Yunani
“hermeneuin” yang artinya adalah menjelaskan. Kata “hermeneuin” diambil dari
nama Hermes, yang merupakan makhluk mitologi Yunani yang memiliki peran
sebagai perantara pesan Tuhan kepada manusia. Kata tersebut kemudian diserap ke
dalam bahasa Jerman Hermeneutik dan bahasa Inggris Hermeneutics.1
Adapun secara terminologis, hermeneutika didefinisikan sebagai sebuah
istilah secara beragam dan bertingkat oleh Hans Georg Gadamer dalam artikelnya,
“Classical and Philoshophical Hemeneutics”. Menurutnya sebelum menjadi
sebuah disiplin keilmuan, kata tersebut dia definisikan dengan mengatakan:
“Hermeneutika adalah seni praktis, takne techne, yang digunakan dalam hal-hal
seperti berceramah, menafsirkan bahasa-bahasa lain, menerangkan dan
menjelaskan teks. Dan sebagai dasar dari semua kegiatan itu adalah seni
memahami, sebuah seni khusus yang dibutuhkan ketika makna teks itu tidak
jelas”.
Walaupun dalam perkembangannya, hermeneutik digunakan dalam
berbagai kajian keilmuan, namun secara singkat hermeneutik dapat diartikan
sebagai suatu metode interpretasi yang memperhatikan konteks kata-kata (dari
suatu teks) dan konteks budaya pemikirannya. Hermeneutik juga dapat diartikan
sebagai salah satu metode interpretasi yang mempunyai tugas untuk memahami isi
dan makna sebuah kata, kalimat, teks, serta untuk menemukan instruksi-instruksi
yang terdapat dalam bentuk simbol-simbol.2
Pengertian hermeneutika erat hubungannya dengan penafsiran teks-teks
dari masa lalu dan penjelasan perbuatan pelaku sejarah. Adalah menjadi tugas
sejarawan untuk memahami obyek kajiannya dengan cara menafsirkan makna-
makna dari semua peristiwa, proses serta perbuatan keseluruhan masyarakat.

1
Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan ‘Ulumul Qur’an. (Yogyakarta:
Pesantren Nawasea Press, 2017). Hal 13
2
Ansori. “Teks dan Otoritas (Memahami Pemikiran Hermeneutika Khalid El-Fadl)”.
Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an dan Hadist. Vol 10. No. 1. (Yogyakarta: Jur. Tafsir Hadits, 2009).
Hal 55

3
Sejarawan menjelaskan masa lalu dengan mencoba menghayati atau menempatkan
dirinya dan dalam diri pelaku sejarah, mencoba memahami dan menjelaskan
bagaimana para pelaku sejarah berpikir, merasakan, berbuat. Dalam mencoba
memasuki diri pelaku-pelaku sejarah dan mencoba memahami apa yang
dipikirkan, dirasakan, dan diperbuat oleh para pelaku sejarah itu, sejarawan harus
juga menggunakan latar belakang kehidupan dengan seluruh pengalaman hidupnya
sendiri sehingga ada semacam “dialog” di antara sejarawan dengan sumber-sumber
sejarah yang digunakan.
Dalam hermeneutik, pada umumnya disepakati bahwa luas cakupan
hermeneutik berkisar pada tiga hal, yaitu dunia teks (the world of the text), dunia
pengarang (the world of the author), dan dunia pembaca (the world of the reader),
atau biasa disebut triadik hermeneutik. Hermeneutik berbicara mengenai hampir
semua hal yang berkaitan dengan tiga hal tersebut mencakup teks, pembacaan,
pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan situasi atau kondisi
paradigmatik pemaknaan pembaca ataupun pengarang.
Sebagai kesimpulan, secara epistemologis, hermeneutika dalam pengertian
sempit adalah disiplin yang membahas metode-metode yang tepat untuk
memahami dan menafsirkan hal-hal yang perlu ditafsirkan. Sedangkan dalam
pengertian luas yang mencakup empat macam tingkatan, hermeneutika adalah
cabang ilmu pengetahuan yang membahas hakekat, metode, dan landasan filosofi
dalam kegiatan penafsiran.

B. Sejarah Perkembangan Hermeneutika


1. Hermeneutika Klasik
Sebagai cirinya yakni, bahwa hermeneutika klasik lebih
difungsikan sebagai landasan interpretasi teks suci seperti Bibel, karena
itu ia sering disebut dengan Hermeneutika Bibel.3 Kelahiran
hermeneutika sebagai dasar menginterpretasikan teks Bibel sebenarnya
telah muncul pada abad ke-1 M. Penafsiran alegoris yang pertama kali
dilakukan oleh para filosof Stoa dan dipraktekkan oleh para teolog
masa periode awal penafsiran Bibel, yang dilakukan oleh Philo von

3
Syamsuddin, Sahiron . Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta:
Pesantren Nawasea Press, 2017), Hal 21

4
Alexandrien terhadap Perjanjian Lama secara mendalam dan metodis.
Bahkan dengan penafsiran alegorisnya ia dikenal sebagai “Bapak
Penafsiran Alegoris”. Proses pemahaman alegoris bertujuan untuk
mendapatkan makna yang mendalam dari teks, bukan hanya membaca
teks.
Selanjutnya pada abad ke-13 M. para teolog Kristen kemudian
mengembangkan pemikiran yang ditawarkan oleh Philo dan Origenes.
Maka dikenal empat macam makna; (1) makna literal, adalah makna
kata perkata dari teks; (2) makna alegoris, adalah makna yang
digunakan untuk ide dasar penafsiran dan untuk mengungkap kata-kata
metaforis dalam teks; (3) makna moral, adalah yang berkaitan dengan
dimensi moral yang diterapkan dalam kehidupan; dan (4) makna
anagogis, adalah dimensi transendental (kehidupan akhirat yang kekal)
dari sebuah kata atau teks.
2. Hermeneutika Modern
Hermeneutika modern lebih merupakan hermeneutika yang
dipandang sebagai displin ilmu yang mandiri dan dikenal sebagai
hermeneutika umum. Ia lahir dengan munculnya kata tersebut abad ke
17. Hermeneutika berkembang menjadi disiplin pokok filsafat modern
fase kedua sejak diterbitkannya tulisan-tulisan Schleiermacher pada
abad 19 M, ia dikenal sebagai “Bapak Hermeneutika Modern” 4.
Perkembangan pada masa ini merupakan perubahan signifikan dalam
pemikiran hermeneutika yang diungkap Schleiermacher.
Kemudian hermeneutika berkembang dan mempengaruhi pemikir-
pemikir muslim kontemporer dalam kajian penafsiran, seperti Hasan
Hanafi, Mohammad Arkoun, Farid Esack dan Nashr Hamid Abu Zayd.
Tidak luput pula hermeneutika mulai memasuki khazanah pemikiran
cendekiawan Nusantara. Beberapa pemikir Indonesia abad modern dan
kontemporer—bahkan dalam karya tafsirnya—turut menerapkan
beberapa model hermeneutika. Mereka melalukan itu tanpa

4
Faiz, Fahruddin. Hermeneutika Al-Qur’an Tema-tema Kontroversial , (Yogyakarta:
Kalimedia, 2015), Hal 7

5
meninggalkan pertimbangan kesesuaiannya dalam aktifvitas penafsiran
Al-Qur’an.
C. Perbedaan antara Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an
Ditinjau dari segi sejarah, hermeneutika muncul dari adanya keraguan atas
keotentikan Bibel sehingga timbul desakan rasionalisasi yang dipelopori oleh
filsafat Yunani waktu itu. Mereka meyakini bahwa Bibel bukan ditulis oleh Nabi
‘Isa yang dipercayai sebagai Yesus dan bukan pula ditulis oleh murid-murid
beliau, tetapi ditulis oleh orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi
‘Isa. Dalam perjanjian baru, terdapat Injil Johanes, Injil Markus, Injil Mathius,
Injil Lukas dan sebagainya. Dengan demikian bahwa Bibel merupakan hasil karya
para penulisnya dan Tuhan menurunkan wahyunya kepada para penulis wahyu
dalam bentuk inspirasi.
Hal ini yang membedakan dengan Al-Qur’an yang tidak mengalami
permasalahan dari segi sejarah. Al-Qur’an sudah jelas riwayat dan sanadnya serta
telah dihafal oleh para sahabat di bawah bimbingan Rasulullah SAW. Al-Qur’an
memiliki jalur periwayatan yang amat banyak. Sedangkan Bibel, selain
riwayatnya tunggal (ahad) yang dibawa oleh seorang saja, baik Johanes, Markus,
Lukas maupun Mathius, periwayatan Bibel juga mursal, sanadnya terputus karena
tidak pernah bertemu dengan Nabi ‘Isa secara langsung.
Karena terdapat perbedaan antara Al-Qur’an dan Bibel sebagaimana
disebut di atas, maka Hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an juga harus
disesuaikan dengan perbedaan ini. Al-Qur’an tidak boleh dipahami sebagai teks
buatan manusia, yang dimungkinkan mengalami perubahan sesuai dengan kondisi
zaman dan tempat, melainkan Al-Qur’an harus dipahami sebagai kalamullah,
yang sesuai dengan setiap kondisi zaman dan tempat.
Kelebihan hermeneutika dibanding penafsiran yang berangkat dari makna
literal teks adalah kemampuannya untuk mendamaikan pertentangan yang tajam
antar teks. Karena ia beralih menuju artian yang lebih dalam. Kondisi ini sangat
berbeda kita dapati dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an tidak mengalami permasalahan
dari segi sejarah. Akibat masalah otentisitas Bibel, agama Yahudi dan Kristen
tidak mengenal arti Bibel langsung dari sumbernya atau yang berotoritas. Karena

6
itu mereka mengadopsi hermeneutika dari tradisi Yunani untuk mempertahankan
status Bibel sebagai kitab suci.
D. Contoh Aplikasi Hermeneutika dalam Penafsiran
Dalam contoh aplikasi penafsiran hermeneutis ini akan diangkat
penafsiran tentang ayat-ayat perang, dimana ayat-ayat itu—tidak jarang disalah-
artikan dan disalah-pahami, dan bahkan—menjadi alat legitimasi gerakan jihad,
hingga jihad yang beraroma perebutan kekuasaan di kancah internasional.
1. Konteks Historis Ayat

)29 :‫ص ِر ِه ْم لََق ِد ْيٌر (سورة احلج‬ ِ ِِ ِ


ْ َ‫ُأذ َن للَّذيْ َن َي ْقُتلُ ْو َن بَِأن َُّه ْم ظُل ُموا َوِإ َّن اهللَ َعلَى ن‬
Ayat tersebut tergolong ayat Madaniyyah (diturunkan pada masa setelah
Nabi hijrah ke Madinah). Ath-Thabari menafsirkan ayat 29 dengan: “Telah
diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya hanya Allah, benar-benar Maha
Kuasa menolong mereka”.5 Az-Zamakhsyari mengungkapkan bahwa kaum
musyrik Makkah menyakiti kaum mukmin dan datang kepada Nabi Muhammad
dan menyakiti beliau pula, tetapi Nabi Muhammad mengatakan kepada
pengikutnya: “Sabarlah! Aku belum diperintahkan untuk pergi berperang”. Ath-
Thabari mengutip pernyataan Ibnu Zayd yang manyatakan bahwa kebolehan
perang diberikan setelah Nabi dan para sahabatnya bersabar terhadap perlakuan
kaum musyrik selama sepuluh tahun.6
Dalam sejarah Islam, peperangan besar pertama yang terjadi antara kaum
mukmin dan kaum musyrik Makkah terjadi pada tahun 2 Hijriyah, yakni perang
Badar yang setelah hijrah ke Madinah. Dan ayat perang tersebut turun setelah
memang tidak ada jalan keluar lain untuk mengatasi kaum Musyrik Mekkah yang
telah banyak melakukan tindak kekerasan terhadap Nabi Muhammad dan para
pengikutnya. Upaya bertahan dengan bersabar dan membiarkan kaum musyrik
telah dilakukan, akan tetapi mereka tetap melakukan tekanan dan serangan.

5
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayat al-
Qur’an, (Kairo: Hajar, 2001), Juz 16, Hal 571
6
Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, Hal 575

7
2. Analisis Bahasa
Dua ayat ini terdiri dari rangkaian idiom sebagai kunci pemaknaan, yang
menunjukkan situasi yang dapat menyebabkan diizinkannya berperang. Dan
beberapa kata menunjukkan makna yang memiliki konsekuensi hukum tersendiri.

‫ُِأذ َن لِلَّ ِذيْ َن َي ْقُتلُ ْو َن بَِأن َُّه ْم ظُلِ ُموا‬


Potongan ayat ini diartikan dengan: Telah diizinkan (berperang) bagi
orangorang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. Di
dalamnya terdapat dua kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu “udzina” dan
“zhulimu”. Mengenai kata “udzina” ia adalah bentuk pasif (mabni majhul) yang
artinya diizinkan, sedangkan bentuk aktifnya (mabni ma’lum) adalah “adzina”
yang artinya mengizinkan. Ibnu Mandzur menyebutkan kata “adzina lahu fi asy-
syai’” artinya sama dengan abahahu lahu (seseorang membolehkan sesuatu
kepada orang lain7. Dengan bentuk udzina menunjukkan bahwa perang hanyalah
sesuatu yang diperbolehkan, dalam artian lebih baik dihindari dan tidak harus
menempuh jalan perang.
Sedangkan lil-ladzina yuqataluna (bagi mereka yang diperangi) dan
biannahum zhulimu (karena mereka ditindas), menunjukkan bahwa
diperbolehkannya jalan perang adalah ketika dalam kondisi penindasan. Dalam
hal makna penindasan secara konteks historis masa Nabi Muhammad, maka kita
harus melihat rekam sejarah bagaimana yang dialami olehnya dan para
pengikutnya. Dan kita tidak bisa menerapkan makna penindasan ini secara
general.
Secara implikasi hukum, ayat yang terdapat struktur “udzina” lebih
rendah kadar perintahnya daripada ayat yang memuat perintah langsung seperti
“qatilu” (berperanglah/perangilah) dalam surat Al-Baqarah ayat 190, Ali Imran
ayat 167, An-Nisa’ ayat 76, dan “infiru” (berangkatlah untuk berperang) seperti
yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 38 dan 41. Namun ayat-ayat yang
mengandung bentuk perintah tersebut tidak seharusnya menjadi pemahaman
utama untuk berperang, akan tetapi bahwa bentuk perintah ini turun setelah
diizinkan (udzina) sebagai yang pertama turun dalam ‘kebolehan’ berperang.

7
Mandzur, Ibnu. Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar Al-Ma’arif), Hal 52

8
BAB III

PENUTUP

Sebagai kesimpulan, secara epistemologis, hermeneutika dalam pengertian


sempit adalah disiplin yang membahas metode-metode yang tepat untuk
memahami dan menafsirkan hal-hal yang perlu ditafsirkan. Sedangkan dalam
pengertian luas yang mencakup empat macam tingkatan, hermeneutika adalah
cabang ilmu pengetahuan yang membahas hakekat, metode, dan landasan filosofi
dalam kegiatan penafsiran.
Bahwa hermeneutika diperdebatkan penggunaannya dalam penafsiran Al-
Qur’an bukanlah suatu yang menghalangi mufassir abad ini untuk terus menggali
relevansinya. Hermeneutika sebagai tradisi kritik Bibel dalam sejarah awalnya,
menjadi embrio penting perkembangnnya hingga ia menjadi metode penafsiran
yang menyuarakan kebenaran. Dan tidak ada yang salah ketika intelektual Islam
mengembangkannya, dengan mengadopsi teori dan metode analisis teks yang
relevan untuk diterapkan dalam proses penafsiran Al-Qur’an.
Metode hermeneutika dianggap memiliki ciri khas, yaitu pengembangan
nilai kontekstualisasi suatu teks yang akan diteliti. Lebih dari itu, hermeneutika
berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan batas yang jelas dan
melingkupi teks. Batas yang dimaksud adalah teks, pengarang, dan pembaca atau
mufassir. Hermeneutika dalam studi Islam melalui tafsir Al-Qur’an menemukan
kesesuaian antara ayat-ayat Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan, yang juga
menunjukkan kemukjizatan Al-Qur’an dan kemuliaannya.
Kelebihan hermeneutika dibanding penafsiran yang berangkat dari makna
literal teks adalah kemampuannya untuk mendamaikan pertentangan yang tajam
antar teks. Karena ia beralih menuju artian yang lebih dalam. Kondisi ini sangat
berbeda kita dapati dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an tidak mengalami permasalahan
dari segi sejarah. Akibat masalah otentisitas Bibel, agama Yahudi dan Kristen
tidak mengenal arti Bibel langsung dari sumbernya atau yang berotoritas. Karena
itu mereka mengadopsi hermeneutika dari tradisi Yunani untuk mempertahankan
status Bibel sebagai kitab suci.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan ‘Ulumul Qur’an.


(Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017).
2. Ansori. “Teks dan Otoritas (Memahami Pemikiran Hermeneutika Khalid El-
Fadl)”. Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an dan Hadist. Vol 10. No. 1. (Yogyakarta:
Jur. Tafsir Hadits, 2009).
3. Syamsuddin, Sahiron . Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta:
Pesantren Nawasea Press, 2017).
4. Faiz, Fahruddin. Hermeneutika Al-Qur’an Tema-tema Kontroversial , (Yogyakarta:
Kalimedia, 2015).
5. Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayat al-
Qur’an, (Kairo: Hajar, 2001), Juz 16.
6. Mandzur, Ibnu. Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar Al-Ma’arif).

10

Anda mungkin juga menyukai